Sunday, May 19, 2013

Bujang Lapuk

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


Maukah kuceritakan kisah seseorang yang disebut bujang lapok: lelaki lapuk karena lama melajang? Lelaki itu dianggap tidak laku. Ia menjadi mekhanai tohow (bujang tua). Inilah ceritanya.

LELAKI itu memasuki usia 29 tahun, sudah cukup umur sebagai bujang. Di sini, lelaki--bukan hanya perempuan--jika sudah berusia 27 tahun belum juga berumahtangga,  keluarga akan mengecapnya mekhanai tohow 1) alias bujang lapok.2)  Dia akan merasa dikucilkan, layaknya diasingkan.
Apatah lagi, selain usianya sudah menjelang 29 tahun, juga sudah bekerja di sebuah perusahaan BUMN yang bergaji di atas Rp5 juta. Kalau cuma menikahi seorang gadis, tentu tak sulit. Tetapi sampai usianya yang sudah tidak remaja lagi, belum juga punya isteri.

Sebenarnya bukan dia saja bernasib menjadi menganai lapok, karena ayahnya sudah berumur 50 tahun saat menikah dengan ibunya yang janda berusia 28 tahun namun belum punya anak. Pernikahan tanpa didahului perkenalan. Paman yang mencari, paman juga yang meminta kepada keluarga ibu. Untunglah ibu menerima lamaran ayah, sehingga melahirkannya.
Kini lelaki itu merasakan sesuatu yang hampir sama dengan ayah. Bukan karena ia tak punya perempuan yang dicintai. Hanya semenjak lelaki itu mendapat pekerjaan di provinsi lain, membuat hubungan mereka agak renggang. Apalagi, keluarga dari kekasihnya amat kuat menjunjung adat. Seakan adat lebih didahulukan, setelah itu agama.

Begitulah, karena itu wajar banyak perempuan di daerah itu menjadi gadis tua karena tak ada yang berani meminang. Untuk menikah dengan cara melamar kepada keluarga gadis, uang pinangan sedikitnya Rp5 juta, bahkan bisa lebih dari itu semisal Rp75-100 juta.

Kalau dilanjutkan begawi adat3) berarti wajib menyembelih dua ekor kerbau. Berapa ratus juta hanya untuk sehari menjadi raja dan ratu? Kenapa tidak dana yang sangat banyak itu, dimanfaatkan untuk kebutuhan setelah menikah seperti rumah, perabotan rumah tangga bahkan keperluan sehari-sehari.
Namun adat demikian adiluhung dan dihidupkan secara turun-temurun, tidak dibenarkan hilang sekatapun. Setiap masyarakat adat, seperti wajib menjalani tradisi yang dibuat nenek-moyang sebagai adab. Sebelum berhadap-hadapan dengan penghulu, yang hendak menikah terlebih dulu siram-siraman4) di tanggo rajo.5) Selepas menikah, dilangsungkan mosok,6) adok,7) lalu sesan.8)

Sudah selesaikah begawi? Ternyata masih ada pernik-pernik lainnya. Begi keluarga perempuan berduit, bisa digelar pilangan9) maupun cuak mengan,10) baik di rumah gadis serta di keluarga besan.11)

Kalau lelaki itu dari kekuarga berpunya, tak akan ia menjadi menganai tohow, soalnya dengan mudah ia dapat meminang perempuan manapun yang nvdicintainya. Atau ia bisa saja ngeramut12) seandainya ada yang disukai namun si gadis tak merespon. Meramut masih kerap terjadi, meski adat seperti ini menegangkan dan cenderung berisiko besar dibandingkan jika sebambangan,13) yakni kawin-lari.

"Kapan mau mengambil gadis, usiamu sudah layak berkeluarga. Kau sudah bekerja, sudah bisa menghidupi isteri dan anak. Lagi pula ayah dan ibumu sudah rindu menggendong cucu," kata ayah saat ia pulang karena cuti.

Ibu hanya tersenyum seusai mengangguk. Mata ibu bagaikan menunggu jawaban.

Siapa yang tidak ingin berkeluarga? Siapa yang tak merindukan seorang perempuan untuk menemani hari-harinya, kawan di kala suka dan sedih, pengobat saat sakit ataupun duka, serta kawan di saat malam nan dingin? Ia menggumam.

"Bagaimana dengan..." ibu tak meneruskan kalimatnya.

"Bayu sudah menemui kekuarga Pipit, namun kata ayahnya setelah anaknya dapat pekerjaan karena hendak mencicipi hasil dari anaknya. Sebagai orang tua, tentu ingin sekali merasakan hasil keringat sang anak, itulah kebahagiaan tak ternilai dari orang tua sekaligus keberhasilan membesarkan anak. Kecuali..."

"Kecuali apa, Bayu?" desak ibu ingin sekali memeroleh jawaban segera.

"Bayu kira orang tua Pipit maunya kita ngelamar seperti yang dimintanya," ujar Bayu.

"Berapa mereka minta, langsung ayahnya bicara ke Bayu?" kini ayahnya bertanya.

"Pipit pernah ngomong, kalau orang tuanya minta uang lamaran Rp50 juta."
"Apa?" tanya kedua orang tuanya bersamaan, seraya keduanya kaget.
"Tapi Pipit hanya tersenyum. Tak menanggapi orang tuanya. Hanya saat bersama ibunya, ia coba minta pengertiaan dengan menceritakan keadaan keluarga kita."

"Lalu apa kata orang tuanya?" kejar ayahnya.

"Ya itulah kata ayahnya Pipit, tunggu anaknya bekerja dulu baru menikah," jawab Bayu.

"Dengan kata lain, mereka ingin mengulur-ulur waktu?" kata ayah lagi.

Bayu diam. Dia menarik sebatang rokok dari dalam bungkus, kemudian menyalakan. Sejenak ia nikmati hisapan demi hisapan rokok.

"Kamu punya rencana apa dengan Pipit. Ada langkah yang sudah disepakati kalian?" ayah membuka percakapan lagi.

"Ya ayah..."

"Apa rencananya?" ibu ingin tahu.

"Sebambangan."

*

KAWIN lari adalah pilihan terakhir bagi sepasang kekasih dalam adat di sini,14) apabila tak bisa ditempuh jalan melamar seperti biaya yang ditetapkan keluarga perempuan terlalu tinggi sehingga amat membebani, atau orang tua gadis tidak menyetujui hubungan kasih keduanya.

Dalam adat ini dibenarkan, walaupun musyawarah akan berlangsung tegang. Keluarga lelaki akan akan menyambangi orang tua perempuan setelah melarikan gadis ke keluarga yang bisa menjaga kehormatan, dengan membawa keris dan buah tangan lainnya.

Sebelum sebambangan, keduanya harus sepakat yang dilakukannya tanpa desakan orang lain. Keduanya juga harus meninggalkan surat dan sejumlah uang di rumah gadis. Kawin lari harus direncanakan secara masak oleh pasangan kekasih agar tidak gagal.

Gagal berarti malu yang tak terperi akan ditanggung. Bisa-bisa berujung ada yang jadi korbang. Pihak lelaki besar resikonya, karena ia dianggap menculik gadis orang. Apalagi sekiranya si gadis belum dewasa atau di bawah umur akan berhadapan dengan hukum.

"Sudah kau pikir matang, rencana melarikan Pipit, kalau ayah dan ibu hanya mendukung yang menurutmu paling baik," kata ayah pagi ini di meja makan.

"Terima kasih ibu, ayah. Sudah. Pipit minta minggu depan, bertepatan ada keluarganya pesta pernikahan, Bayu akan membawanya lari."

"Apa benar kalian sudah siap?" ibu ingin mendapat keyakinan dari Bayu.

"Siap lahir batin," tukas Bayu sembari tersenyum, kemudian memeluk dan mencium ibunya.

Dia menghitung jam, hari, pekan, bulan, lalu tahun. Ah, sudah mendekati gerbang 29 tahun. Suatu usia yang semestinya sudah mencumbu isteri dan menimang anak. Usia yang sejatinya tiap kali diteriaki "Abi" atau "Ayah" dan disiapkan makan di meja tiap pagi dan petang, sambil berkata dari bibir seorang perempuan: "Ayah, makan, sudah ada di meja mumpung masih hangat."

Khayalan itu hanya sekejap kemudian lesap. Kenyataannya, Bayu tetap sebagai lajang. Bahkan nyaris menjadi bujang lapok, menganai tohow.

*

KESEMPATAN tak akan datang dua kali. Bayu baru paham sepahamnya sekarang. Kenapa ia abai pada janji? Kenapa pula kuterima tawaran pendidikan di luar kota pada saat rencana sudah disepakati? Ia membatin.
Sehari sebelum membawa lari Pipit, ia mendapat surat mengikuti pendidikan di Kota M selama sebulan. Ia terima setelah disetujui Pipit, bahkan kekasihnya itu mendukung.

"Kita tunda, hanya sebulan kok sayang..." kata Pipit saat bertemu di Solaria, di psebuah mall terbesar di kotanya.

Bayu tersenyum. Berulang tangannya meremas-remas jemari Pipit, seperti tak ingin ia lepaskan.

Lalu malamnya ia tinggalkan kota ini, setelah berpamitan pada Pipit melalui telepon, juga kepada kedua orang tuanya.

Namun dua pekan begitu cepat mengubah segalanya. Pun rencana-rencana yang akhirnya harus ppupus.

Dari temannya datang kabar. Pipit dilamar pria dari kampung tetangganya, anak Suttan Macakpirang--seorang juragan pasir dan marmer, terpandang sebagai tokoh adat. Lelaki yang melamar kekasihnya juga sudah cakak pepadun15) bergelar Pangeran Rajo Dinegeri.16)

Bayu hanya termangu. Dia tak bergelar. Tidak punya adok,17) sebab sekali beradok, dananya tak kurang dari Rp20 juta bahkan bisa lebih sebab tiap begawi mesti menggelar cangget18) minimal tiga hari tiga malam.

Pipit tak mampu menolak. Karena kedua orang tuanya banyak berutang jasa pada Suttan Macakpirang. Saat dirawat di rumah sakit karena ginjal dan paru-paru basah, Macakpirang ikut melunasi biaya pengobatan yang tidak kecil.

Kini manakala Macakpirang meminta Pipit untuk menjadi isteri Pangeran Raja Dinegeri yang telah setahun menduda karena isterinya minggat ketika dia di dalam bui, tak mungkin mereka berani menolak.

Walaupun, Bayu tahu benar, calon suami kekasihnya itu dipenjara lantaran juragan narkoba dan penjudi. Kekasihnya akan memasuki kandang harimau.

"Tapi aku janji akan tetap menunggu, menerima dia apa adanya nanti," kata Bayu seperti bersumpah setelah mendengar kabar dari temannya kalau Pipit telah dilamar oleh keluarga Suttan Macakpirang.

Saudara aku selesaikan cerita ini, sebab tak ada kabar lagi nasib bujang lapok setelah kekasihnya menikah. Dia diboyong ke kota, apakah masih menjadi isteri Pangeran Rajo Dinegeri dan dikarunia anak atau ditinggal karena suaminya kembali menjalani hukuman? Jika ada berita baru ihwal dia, tentu akan kuceritakan untuk Anda... n

Lampung, 3-11 Februari 2013


Catatan:
1) mekhanai (menganai ) tohow, berarti lelaki (bujang) tua.

2) bujang lapok, lelaki lapuk alias tidak lelaki.

3) begawi adat biasa dilangsungkan di masyatakat adat Lampung, misalnya kala perkawinan, menerima gelar (cakak pepadun).

4) siram-siraman atau mandi sebelum akad nikah atau cakak pepadun.

5) tanggo rajo adalah tempat untuk turun mandi dan biasanya dibangun di tepi way (sungai) bagi yang akan menikah ataupun yang hendak menerima gelar adat.

6) mosok artinya suap-suapan (saling suap) antara pengantin lelaki dan perempuan, baik disuap oleh kedua orang tuanya.

7) adok atau nama gelar, misalnya Bayu Segara adok Suttan Seago-ago.

8) sesan merupakan bawaan--biasanya barang-barang maupun perabotan rumah tangga--oleh pengantin saat diboyong ke rumah pengantin/keluarga lelaki.

9) pilangan dilakukan pihak perempuan setelah gadisnya dilarikan oleh calon pengantin lelaki lalu dipulangkan/dikembalikan lagi sebagai gadis dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Pilangan seperti begawi, ada cangget, siram-siraman, dan makan bersama di Sessat Agung.

10) cuak mengan; panggilan makan (bersama) untuk mengumumkan adanya hajatan pernikahan.

11) besan; keluarga lelaki bagi perempuan, atau sebaliknya.

12) Ngeramut; merampas anak gadis. Biasanya seorang pria menyukai seorang perempuan namun si perempuan tak merespon, lalu direncanakan ngeramut atau dikarikan. Adat ngeramut lebih berisiko atau berbahaya dibanding sebambangan sebab biasa berurusan dengan pihak berwajib, jika si perempuan dan keluarganya tidak menerima. Itu sebabnya pihak lelaki biasanya akan menekan perempuan, atau perempuan dalam tekanan kekuasaan keluarga lelaki: ia harus menyatakan atas keinginan bersama.

13) sebambangan; selarian, melarikan gadis atas kesepakatan bersama, lantaran orang tua/keluarga gadis tidak setuju atau permintaan lamaran yang sangat memberatkan pihak lelaki, sedangkan pasangan kasih itu sudah saling mencinta.

14) adat masyarakat Lampung masih hidup sebambangan ini, jika jalan melamar buntu atau orang tua gadis tampaknya tidak mengehndaki kehadiran si lelaki.

15) cakak pepadun; naik/mengambil gelar, tradisi ini hidup di masyarakat Lampung beradat pepadun. Sementara bagi Lampung Saibatin, gelar diterima secara turun temurun, sebagaimana yang dianut dalam kerajaan.

16) Pangeran Rajo Dinegeri salah satu gelar bagi lelaki Lampung beradat pepadun. Gelar atau nama adok dipasang setelah nama yang diberi saat lahir. Selain pangeran, ada suttan, dalom, penyimbang.

17) maksudnya tidak memiliki gelar atau belum melangsungkan cakak pepadun.

18) pesta dalam begawi, dimana dalam acara ini ditampilkan tari-tarian (ngigel) baik itu antarmuda-mudi, orang tua, juga anak-anak. Cangget ini banyak ragam, yang terkenal adalah cangget bulan bakha (pesta/tari di bulan purnama) khusus bagi muda-mudi. Saat seperti ini muli (gadis/perempuan) Lampung dibolehkan orang tuanya keluar rumah.


Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013

No comments:

Post a Comment