Sunday, January 12, 2014

Kisah-Kisah yang Tak Perlu Diingat

Cerpen Alex R. Nainggolan


1.
Perempuan itu berjalan sendirian. Langkah kakinya tergesa. Melewati lorong yang gelap. Ia bersenandung, begitu lirih—barangkali ingin mengusir segala ketakutan yang hinggap di tubuhnya. Hari sudah teramat malam. Ia ingat cerita pemerkosaan itu. Ia pernah membacanya, di sebuah surat kabar. Seorang perempuan muda, digagahi oleh beberapa lelaki muda. Para lelaki yang sarat dengan berahi.

Hari teramat malam. Sudah dini hari. Mulai terasa hembusan angin yang membawa embun. Ia bergegas. Langkahnya cepat. Sungguh, ia adalah perempuan yang cantik. Dengan payudara yang masih muda dan ranum. Ia bergegas. Setidaknya ia mesti melewati lorong itu. Lorong yang gelap memanjang. Ah, mengapa ia tak sampai ke tubir?

Jejaknya memburu. Lorong masih gelap. Semestinya ada cahaya di depan sana. Tapi ia merasa beberapa tangan mendekapnya. Tubuhnya limbung. Ia tak sempat mengingat banyak. Hanya remang terdengar suara lelaki muda dengan tawa yang dipenuhi aroma alkohol. Ia tak sempat lagi berteriak.

2.
Ada suara gemerisik. Larut malam. Ia turun mengendap. Tiga orang lelaki membongkar paksa lemari besi. Suara makin gaduh. Jauh larut malam. Ia masih mengendap. Mungkin sebaiknya ia menelepon polisi. Tapi ponselnya tertinggal di kamar. Ia mengendap. Suara gemerisik.

“Ada orang. Cepat kejar dia!” langkahnya terdengar oleh seseorang. Ia menoleh. Ingin berteriak. Lalu sebilah parang menembus badannya. Ia ingin menjerit. Tapi tubuhnya lemah. Malam terasa makin larut.

3.
Belum jam dua puluh empat. Tapi suara teriakan memberat. Begitu dekat di gendang telinga. Segalanya telah pecah belah. Piring, gelas, foto, toples, dan mungkin kenangan. Malam terasa gulita.

“Kau pikir, aku tak membaca semua BBM-mu! Kau main belakang. Kau pengkhianat cinta. Betapa aku percaya penuh denganmu. Namun ternyata di otakmu hanya selingkuh.”

Perempuan itu menangis. Di sudut dinding ruang tamu. Malam begitu berat. Terasa gelap makin remang di tubuhnya. Ia merasa rambutnya ditarik. Ia merasa pipinya ditampar. Ia menjilat darah dari sela bibirnya. Ia menangis lagi.

“Dasar perempuan murahan. Kegatelan. Jadi itu kegiatanmu di luar. Wanita karier apaan kayak begitu.” Plak. Suara tamparan lagi. Kursi terbanting. Jeritan yang menembus kelam langit malam. Ia tak bisa menghitungnya. Entah yang keberapa. Entah keberapa kali pula—kejadian seperti ini—terus terjadi. Di usia pernikahannya yang merangkak ke angka lima tahun. Buk! Tendangan kaki terasa di perutnya. Ia limbung. Hanya ada sayup suara yang tak jelas.

Ia merasa malam betul-betul berat. Yang sempat diingat hanya suara sirene ambulans. Juga suara bisikan pelan di telinganya, ”Maafkan aku. Jangan bilang siapa-siapa tentang hal ini.” Ia mencoba tersenyum. Wajahnya terasa lebam. Namun, ia merasa masih ada cinta di tubuh lelakinya.

4.
Malam rebah di kota. Di sebuah pompa bensin. Ia baru saja berhenti. Baru menyandarkan sepeda motornya. Tapi seketika kepalanya ada yang menggebuk. Sebuah balok kayu. Lelaki muda itu terjatuh. Kerumunan orang mengeroyok tubuhnya. Pukulan bertubi-tubi singgah. Ia tak melihat dengan jelas wajah pelakunya.

Yang diingatnya orang-orang itu mengenakan helm. Tubuh mereka kekar. Ia diseret. Digebuki. Tak bisa menjerit. Ia muntah darah. Darahnya tercecer di aspal. Banyak orang melihatnya. Tapi tak berani mendekat. Satu pun. Ia ingin menjerit, mungkin menangis. Tapi tak pernah bisa. Terasa malam mengemas tubuhnya hingga meleleh. Malam yang bangkrut di kota. Hanya tubuhnya teronggok di seperempat bahu jalan. Di sebuah pompa bensin. Ia merasa sudah mati.

5.
Napasnya terasa begitu sengau. Pandangannya mendadak payau. Ia merasa sudah sampai di ujung kepala. Larinya sudah panjang. Malam yang ramai. Rangkaian karnaval. Kota yang berwarni. Keramaian yang riuh, menjelma teluh. Orang-orang memadat. Tenggelam dan merapat di kerlip lelampuan. Takjub pada binar cahaya.

Ia teringat anaknya yang demam. Uangnya habis. Anaknya sudah mengigau. Batinnya berbisik, “Aku segera mendapatkan uang buat beli obatmu, anakku. Bertahanlah.”

“Copet! Copet!” Kerumunan yang berkalung. Malam yang berbinar. Matanya yang kalap. Ia mesti mendapatkan uang buat beli obat.

Kerumunan tubuh. “Copet! Copet!” digenggamnya sebuah dompet. Sebuah lengan menunjuk wajahnya. Ia bergeas. Lari sekuat tenaga. Tapi napasnya mendadak habis. Malam masih berkerumun. Tubuhnya terjerembap. Suara pukulan bertalu-talu. Malam yang gaduh. Malam yang berkerumun. Ia, mungkin akan mati. Namun, masih diucapkannya lamat-lamat, “Ini obat buatmu, anakku. Kuburkanlah sakitmu.”

6.
Di sebuah hotel yang mewah. Malam yang muram. Suara pintu dibuka paksa. Tanpa ada ketukan.

“Dari mana ini? Apa hak Anda? Kok bisa seenaknya masuk? Mana surat perintahnya. Apa…” ia bertanya lantang.

“KPK!” mendadak ia lunglai. Padahal ia baru saja mau menyerahkan kantong kresek hitam ke seseorang. Tubuhnya digeledah. Ada perempuan cantik di sana. Ia belum sempat mengenakan pakaian. Tubuhnya setengah telanjang. Perempuan cantik itu, juga setengah telanjang.
“Silakan Saudara ikut,” suara seorang lelaki. Lalu sebuah mobil. Puluhan blitz lampu memotret. Ia menunduk. Menutup wajahnya. Mendadak ia lupa cara untuk tersenyum. Tubuhnya terasa kecut. Tak ada ponsel. Tak ada yang bisa dihubungi.

Ia melihat langit malam dari jendela mobil. Begitu muram. Ia menerawang, berusaha mengingat. Tentang perusahaannya yang baru berjalan. Tentang depositonya di berbagai bank. Tentang emas batangan seberat 100 kilogram di lemari besi rumahnya. Tentang rumah kesepuluhnya yang baru direnovasi. Tentang perempuan yang belum sempat bercinta dengannya.

Di luar memang langit benar-benar muram.

7.
Jalanan lengang. Malam yang menggelepar. Perempuan itu menekan pedal gas mobilnya sampai mentok. Tak lagi menyisa. Di kepalanya terasa penuh bintang. Jalanan begitu sepi. Ia merasa jadi pembalap formula satu. Masih digigitnya gigi. Masih ditekannya pedal gas. Di sebuah tikungan, mendadak matanya penuh kabut. Di kepalanya masih ada kerumunan bintang.

Ia mencoba mengingat sudah berapa gelas alkohol yang ditenggaknya. Tapi ingatannya kembali buram. Terakhir yang diingatnya cuma satu butir pil happy. Dan ia merasa melayang. Masuk ke mobil, langsung tancap gas. Masih sempat ditenggaknya setengah botol yang menyisa di dalam mobil.

“Ayo kita segera berangkat. Cepat.” Temannya mengucap setengah tertawa.

Jalanan lengang. Malam tergeletak sendirian. Begitu sunyi. Sepi menari di jalanan. Ia mencoba menggapai bintang yang berlarian di atas kepalanya. Di sebuah kelokan, kerumunan orang. Begitu banyak. Remaja tanggung. Seorang bapak yang menggendong bayi. Ia terus menekan pedal gas mobilnya. Ia merasa telah menginjak rem. Begitu banyak bintang di kepalanya. Ia tertawa keras. Mobilnya menghantam benda keras. Semuanya terguling. Malam yang lengang. Malam menggelepar dan mendadak pecah di jalanan.

Poris Plawad, Edelweis X/16, 2013


Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014




2 comments:

  1. Seperti trailer film, tp ini film kehidupan.bukan fiksi, benar-benar ad dan masih saja ada di lingkaran zaman kita . Getir, tp itulah adany. Like it....

    ReplyDelete