Sunday, March 10, 2013

Seutas Kenangan yang Melilit Leher Loya

Cerpen Mashdar Zainal
   

Sebuah Novel dan Secarik Puisi Romantis
Puisi itu ditulis tangan, di atas selembar kertas berwarna ungu muda bergambar semu bunga-bunga. Puisi itu disampaikan pada Loya dengan diselipkan dalam sebuah novel—yang diberikan pada Loya sebagai hadiah ulang tahun.

“Terima kasih. Novelnya bagus sekali. Aku sudah khatam membacanya,” ungkap Loya saat bertemu kembali dengan lelaki itu.

“Bagaimana dengan…”

“Puisinya aku juga sudah baca, dan akan kusimpan sebagai harta karunku.”

“Kau menyukainya?” mata lelaki itu berbinar.

“Lebih dari sekadar menyukai.” Tegas Loya.

“Artinya….”   

“Artinya aku bodoh sekali jika aku tidak...”

Lelaki itu langsung paham maksud Loya. Ia meloncat kegirangan sebelum merangkul Loya dan menciumnya penuh hasrat. Loya tak bisa berkata-kata. Sudah lama ia tergila-gila pada lelaki itu. Hanya saja, ia seorang perempuan, perempuan yang hanya bisa menunggu. Dan perasaanya selama ini memang tidak salah. Lelaki itu juga menyimpan perasaan padanya. Itulah yang disebut sebagai: pucuk dicinta ulam tiba.

Setiap malam, sebelum memejamkan mata. Loya selalu membuka kembali puisi itu. Membacanya sambil tersenyum. Kemudian melipatnya kembali dan menyimpanya di bawah bantal, hingga senyum manis lelaki itu terbawa sampai tidurnya.


Sebatang Lipstick Ungu

Seusai nonton bioskop, lelaki itu mengajak Loya ke toko kosmetik.

“Aku ingin kau terlihat cantik, meski kau memang sudah cantik,” kata lelaki itu.

Lelaki itu meminta Loya untuk memilih sendiri merek bedak dan perawatan wajah yang ia kehendaki. Tapi, dalam hal lipstick, lelaki itu sendiri yang memilihkannya.

“Ah, kau ini. Menikah pun belum, sudah kau pilihkan aku warna janda,” kata Loya, tak terima.

“Memangnya ungu itu warna janda?”

“Ha? Bahkan kau tak tahu itu?”

“Aku baru tahu kalau ungu itu warna janda.”

“Tak mau, ah! Mendingan yang pink.”

“Yang ini bagus. Cocok dengan warna bibirmu.”

“Yang pink aja.”

“Pink itu sudah terlalu biasa. Aku mau kau tampil beda. Percaya padaku. Ungu akan membuatmu semakin cantik.”

“Gombaaal!”

“Sudahlah. Ini cocok dengan warna bibirmu,” ulang lelaki itu.

“Aduuuh… kok ungu sih?”

“Ungu bagus. Aku suka sekali warna ungu. Tak bisa kubayangkan jika itu bibirmu.” Lelaki itu mengeluarkan rayuanya.

Loya mulai goyah, “Coba sini lihat!” Loya memperhatikan sebatang lipstick yang dari tadi diacung-acungkan oleh kekasihnya.

“Ini tak seburuk yang kukira. Ini lembut sekali. Boleh juga,” kata loya kemudian.

“Makanya…” Lelaki itu melenggangkan senyum kemenangan.

Sampai di rumah kost. Lelaki itu sendiri yang mengoleskan lipstick ungu itu ke bibir Loya. Loya tersipu-sipu. Hingga lelaki itu membasahi bibirnya dengan warna ungu yang tersaput di bibir Loya. Mereka tenggelam dalam warna ungu yang menggetarkan. Warna ungu yang penuh muslihat.


Seutas Syal Panjang Berwarna Hijau Muda Bergambar Bintang

Malam melarut dalam dingin. Loya membenamkan kepalanya ke pundak lelaki itu. Mereka duduk di sebuah bangku panjang di tengah taman kota. Menunggu pergantian tahun. Segepok kembang api sudah dalam genggaman Loya. Nanti, tepat pukul 00.00 mereka akan menyalakannya bersama-sama.

“Lihat bintang-bintang itu!” tatapan Loya terlempar ke langit lepas.

“Kenapa?”

“Indah sekali. Aku ingin menjadi bintang,” ungkap loya seperti orang yang tengah melamun.

“Jangan!!” sontak lelaki itu.

“Kenapa?”

“Bintang itu selalu sendiri. Kedinginan. Kesepian. Aku tak mau kau begitu…”

Loya mengalihkan paku pandangnya. Ia menatap mata jernih lelaki itu dan tersenyum. Lelaki itu balas menatapnya. Tulus. Loya semakin merapatkan kepalanya. Ia bisa mencium parfum yang dipakai di leher kekasihnya.

“Kau kedinginan. Sebentar. Tunggu di sini, ya!” Lelaki itu beranjak meninggalkan Loya.

Beberapa menit kemudian, lelaki itu datang dengan sebuah syal panjang berwarna hijau muda bergambar bintang. Lelaki itu memakaikan syal itu di leher Loya.

“Yang warna ungu habis. Jadi kupilihkan yang hijau muda saja,” tukas lelaki itu.

“Kau beli di mana?” tanya Loya, sambil merapikan syal di lehernya.

“Ada deh!”

“Kau tidak suka bintang. Tapi kenapa kau belikan aku syal bergambar bintang?”

“Aku tak bilang aku tak suka bintang. Aku hanya tak mau kau menjadi bintang. Karena, kalau kau menjadi bintang. Kau akan pergi meninggalkanku, ya, kan?”

“Kalau begitu aku jadi rembulan saja. Dan kau bisa jadi matahari.”

“Jangan! Nanti kita takkan pernah bertemu.”

“Kalau begitu… aku jadi apa?”

“Kau jadi Loya saja. Itu lebih dari cukup.”

“Hei, sebentar lagi pukul 00.00. Ayo kita siapakan kembang apinya.”

Lelaki itu terus mengawasi Loya yang sibuk dengan kembang api di tangannya.

“Aku takut kehilanganmu!” tiba-tiba lelaki itu mendekap tubuh Loya.


Sebuah Rumah Kecil dengan Dua Kamar

“Kita belum menikah. Jadi mana bisa kita tinggal bersama.”

“Ini kota besar, Loy. Siapa yang peduli kita sudah menikah atau belum.”

“Tapi…”

“Aku sengaja membeli rumah ini, supaya kita bisa tinggal bersama, Loy. Selepas ini kita menikah dan rumah inilah yang akan menjadi surga kita.”

“Iya. Tapi…”

“Sudah. Sekarang saatnya memindahkan barang-barangmu ke rumah ini. Rumah kostmu itu terlalu sempit dan butut. Aku tak mau kau tinggal di sana lagi.”

Faktanya, kekasih Loya adalah putra seorang pejabat. Uang tak pernah jadi masalah. Kalau mau, sebenarnya Loya bisa meminta apa saja. Tapi Loya hanya membutuhkan cinta, dan ia sudah mendapatkannya dengan sempurna. Sebenarnya ia senang sekali. Tinggal di rumah baru, berdua dengan lelaki yang sangat ia cintai. Tapi tetap saja, ada yang mengganjal di dadanya. Sampai detik itu orang tua lelaki itu, pun orang tua Loya di kampung, masih belum tahu hubungan mereka. Entah atas dasar apa, mereka seperti telah sepakat dengan dunianya tanpa khawatir oleh biba-bibu orang tua mereka.

Rumah itu kecil namun sangat elegan. Dengan dua kamar ukuran 4x5, dengan dua  taman kecil di depan dan belakang. Dengan satu dapur dan kamar mandi. Pertama menempati rumah itu, Loya tak bisa berhenti tersenyum. Ia membayangkan, setiap pagi ia akan membangunkan kekasihnya dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Ia juga akan memasakkan masakan apa saja yang diinginkan kekasihnya.

Malam pertama menempati rumah itu, Loya dan lelaki itu tak dapat menahan dirinya. Dalam sebuah kamar yang lampunya dimatikan. Lelaki itu merengkuh tubuh Loya seolah tak mau kehilangan. Loya pun menyambutnya. Mereka melebur menjadi satu. Mereka larut dan saling memagut. Malam itu, dunia adalah milik mereka.


Sepasang Gaun Pengantin

Lelaki itu mengajak Loya ke butik. Di sana, lelaki itu memesan sepasang gaun pengantin. Untuknya dan Loya. Loya tak begitu pandai memilih kain dan motiv-motivnya. Maka, Loya memutuskan untuk menyerahkan semua pada kekasihnya. Beberapa minggu kemudian, gaun itu telah di antar ke rumah mereka. Mereka sempat foto-foto berdua mengenakan gaun itu.

“Sebentar lagi kita akan menikah,” ungkap lelaki itu.

“Dan kita akan merawat anak kita bersama-sama,” balas Loya sambil mengelus perutnya.

“Tiga bulan, ya?”

Lelaki itu mengecup perut Loya yang mulai membuncit.

“Bagaimana orang tuamu?” tanya Loya  kemudian.

Lelaki itu diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Mereka akan merestui pernikahan kita. Bagaimana orang tuamu?”

“Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada mereka,” Loya mulai menangis.

Lelaki itu menenangkan Loya dalam pelukannya.


Selembar Foto Ukuran 10R

Foto itu di pajang di dalam kamar. Mereka berdua duduk di atas ranjang sambil  memandangi foto itu.

“Kita memang serasi,” ucap lelaki itu. Loya hanya tersenyum.

“Bulan depan. Di sebelahnya akan ada dua foto lagi.”

“Foto apa?”

“Foto kita wisuda. Kau di sebelah kiri dan aku di sebelah kanan.”

Loya hanya mengangguk. Mendengar kata wisuda, tiba-tiba hatinya jadi tidak enak. Entah sebab apa. Loya sangat khawatir. Dan kekhawatiran seorang wanita tak pernah salah. Episode tawa akan lewat, saatnya episode air mata…

Menjelang wisuda, lelaki itu pamit kepada Loya untuk pulang ke kotanya dan berkabar perihal mereka ke orang tuanya. Begitu pun Loya. Dengan gemetar ia menceritakan semua pada orang tuanya. Ia meminta restu kedua orang tuanya untuk menikah. Di sini Loya tidak menjelaskan kalau ia tengah hamil. Tapi siapa yang bisa menyembunyikan bangkai. Kedua orang tua Loya terlalu pandai untuk dikelabuhi. Mereka mencium permohonan loya yang tiba-tiba, tubuh loya yang semakin mekar, juga gelagat loya yang tak bisa menyimpan kebohongan. Maka detik itu pula, orang tua Loya mengusir Loya halus-halus.

“Kau ikut calon suamimu saja. Bapak tak akan menggelar pesta pernikahan kecuali pesta pernikahan yang baik-baik saja.” kata bapak Loya dingin.

Sementara ibunya, kembali opname setelah mendengar kebenaran kabar anaknya.

Maka, Loya kembali ke rumah kecil itu dengan perasaan hancur. Harapannya hanya satu: lelaki itu datang dengan kabar gembira. Namun selang beberapa minggu, bulan, lelaki itu tidak juga kembali. Sebentar lagi wisuda kelulusan akan digelar. Dan lelaki itu tak ada kabar. Perut Loya semakin membuncit. Ia tak mungkin mengikuti pesta pengukuhan gelar itu dalam keadaan demikian. Namun, di pesta wisuda kelulusan itu, Loya melihat lelaki itu bersama keluarganya di sebuah sedan mengkilap. Lelaki itu seperti tak mengenal Loya. Di sini, Loya mengindahkan prasangkanya. Barangkali orang tua lelaki itu tak mersetui hubungan anaknya. Tapi Loya sangat yakin, kalau lelaki yang ia cintai itu juga sangat mencintainya, jadi tak mungkin ia meinggalkannya begitu saja.

Benar bukan? Sinar mata Loya kembali berbinar ketika seorang teman mengantarkan sebuah surat yang ditipkan lelaki itu untuknya. Dalam bayangan Loya, lelaki itu akan datang dan meminta maaf, setelah itu membawanya lari ke tempat yang jauh. Jauh dari jangkauan orang-orang tua yang sulit untuk dimintai pengertian. Dalam hal minta maaf, Loya tidak salah. Dalam suratnya, lelaki itu mengucapkan maaf beberapa kali. Dalam hal pergi jauh, Loya juga tidak salah, yang salah hanya… lelaki itu hanya pergi seorang diri, tanpa mengajak Loya.

Lelaki itu mengaku, setelah menjelaskan semua pada orang tuanya, orang tua lelaki itu mengirim lelaki itu ke Australia. Dengan begitu, ia bisa meredamkan rasa malu, katanya. Lelaki itu, mengakhiri suratnya tanpa sesuatu yang bisa diharapkan Loya, kecuali sebuah rumah yang telah dipasrahkan untuknya. Maka, sampai di situ, Loya sudah tahu bagaimana cerita cintanya akan berakhir.
   

Seorang Bayi


Loya merasa bersyukur. Lelaki itu masih meninggalkan sebuah rumah untuknya tinggal. Loya tidak membenci lelaki itu atas apa yang ia lakukan. Karena di suratnya yang terakhir, lelaki itu masih mengatakan, bahwa ia masih sangat mencintai Loya. Beberapa bulan kemudian, bayi yang dikandung Loya lahir. Tanpa ayah. Loya membesarkan bayinya seorang diri. Ia juga mulai mencari kerja kesana-kemari untuk menghidupi dirinya dan bayinya, hingga ia diterima bekerja di sebuah pabrik garment, yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia menyewa seorang gadis belia untuk merawat bayinya sementara ia bekerja.


Selembar Undangan

Ketika bayinya menginjak usia ketiga. Katastrofa kembali menderanya. Seorang teman lama tiba-tiba datang dengan kabar buruk. Ia datang dengan selembar undangan. Undangan itu memang bukan untuk Loya. Teman lama itu datang untuk sekedar berkabar. Dalam undangan itu, Loya jelas-jelas membaca nama lelaki itu. Lelaki yang banyak menitipkan kenangan untuknya, termasuk seorang bayi. Foto lelaki itu juga terpajang di sana, tengah memeluk seorang gadis—mempelai putri. Loya tak bisa bernapas.

Saat teman lamanya itu memohon diri. Loya masih tercengang dengan tangis tanpa suara. Sesekali ia melirik balitanya yang tengah asyik bermain. Loya tak bisa mengungkapkan perasaanya. Tangisan pun rasanya tak pernah cukup.


Seutas Kenangan yang Melilit Leher Loya

Malam itu Loya gelisah. Di ruang tengah, ia mengumpulkan satu demi satu kenangan yang telah ditinggalkan lelaki itu untuknya. Sebuah novel dan lipstick berwarna unggu ia geletakkan di atas meja. Secarik puisi dan selembar foto ukuran 10 R ia tempelkan di dinding ruang tengah, dengan perekat plastik. Sepasang gaun pengantin ia jabar di atas sofa. Bayinya ia dudukkan di sofa yang lain. Selembar undangan berwarna ungu masih ia genggam erat-erat di tanganya. Seperti menggenggam dendam.

Lantas Loya mulai mengenakan syal panjang berwarna hijau muda bergambar bintang di lehernya. Dengan syal itu ia membentuk tali laso di lehernya. Kemudian dengan menaiki kursi, ia mengaitkan ujung lain syal itu pada tangkai kipas angin, kuat-kuat. Setelah yakin, Loya pun menendang kursi itu. Selembar undangan berwarna ungu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Loya meronta, matanya mendelik dan berair, lidahnya menjulur. Balitanya yang duduk di sofa hanya tertawa-tawa. Ia mengira, ibunya tengah mengajaknya bermain. n

Malang, Desember 2010

No comments:

Post a Comment