Sunday, March 24, 2013

Perempuan Pencatat Kenangan

Cerpen Badrul Munir Chair


SEMULA kami mengira tak ada yang berharga dari kehidupan seseorang seperti Lubna. Perempuan itu bisu dan mentalnya sedikit terganggu. Sepanjang hari ia berjalan berkeliling kampung tanpa tujuan pasti. Jika ia melihat kerumunan warga yang sedang berkumpul, ia akan mendekat. Ia akan tersenyum kepada warga yang sedang berkerumun itu, kemudian ia akan merebahkan dirinya di tanah, ikut mendengar percakapan-percakapan warga yang sedang rehat dari pekerjaan rumah tangga.

Jika penyakit mentalnya sedang kumat, ia akan berteriak kencang sembari menatap tajam setiap orang yang ada disekelilingnya. Ia seperti mengutuk dan menyumpahi kami yang kadang-kadang justru tersenyum melihat tingkah gila Lubna. Sementara Mak Saripah, ibunda Lubna, hanya menatap nanar anaknya penuh iba.

Namun jika Lubna sedang sehat, ia akan tersenyum sepanjang hari. Menyapa ramah setiap orang yang ditemuinya dengan kalimat yang tak kami mengerti. Kami yang disapanya akan mengangguk dan membalas senyuman Lubna, tak jarang kami memberi Lubna makanan kecil yang akan dengan senang hati ia terima.

Ya, semula kami mengira tak ada yang berharga dari kehidupan Lubna. Namun semenjak Lubna belajar menulis di bawah bimbingan ibu-ibu PKK yang datang dari kota, semenjak itulah kami merasa ada yang berharga dari kehidupan Lubna.

Awalnya suatu hari terjadi keributan di balai desa. Papan tulis yang mencatat catatan simpan pinjam koperasi desa dan anggaran dalam satu bulan kedepan tiba-tiba terhapus dan lenyap dari papan karena terkena rembesan air hujan. Padahal data-data itu baru saja dirapatkan tadi malam. Pengurus koperasi juga begitu teledor tidak menyalin catatan di kertas atau buku arsip koperasi. Tentu sulit untuk mengingat-ingat jumlah rincian anggaran yang sudah dirapatkan tadi malam.

Karena keteledoran itu, terjadi perdebatan sengit di antara pengurus yang kemudian mengarah pada keributan. Tiba-tiba di tengah perdebatan sengit itu, Lubna datang dengan memperlihatkan buku catatannya. Tentu kami terheran-heran, ternyata Lubna menyalin semua catatan di papan balai desa dengan lengkap, walaupun tulisannya tidak rapi dan lebih seperti cakar ayam.

Semenjak itulah kami sadar bahwa ternyata Lubna bisa diandalkan, masih ada yang bermanfaat dari kehidupan Lubna yang malang, terlahir bisu dan lemah mental, terlahir tanpa seorang ayah karena Mak Saripah yang janda tiba-tiba sudah hamil besar padahal suaminya sudah lebih sepuluh tahun lalu meninggal. Sampai saat ini Mak Saripah merahasiakan siapa ayah kandung Lubna kepada kami.

Di buku catatan yang selalu dibawanya ke mana-mana, Lubna mencatat semua hal yang dijumpainya. Mulai dari hal-hal penting hingga hal-hal sepele. Seperti nama-nama warga yang dijumpainya, makanan-makanan yang dimakannya dalam sehari,  hingga jumlah ayam di kandang tetangga juga tak luput dari catatannya.

Bertambah hari Lubna semakin rajin dan pandai mencatat. Lubna tak jarang juga sering dipercayai warga untuk mencatat hal-hal penting. Seperti misalnya ketika kami akan memberikan pinjaman uang kepada seseorang, kami akan memanggil Lubna untuk mencatat jumlah pinjaman yang kami berikan, sebagai bukti dan pengingat antara kedua belah pihak yang melangsungkan kesepakatan. Dengan senang hati, Lubna akan mencatat meski tidak kami janjikan imbalan.

Tak hanya pandai mencatat, Lubna juga pandai mendengarkan. Ia sering menjadi tempat bercerita orang-orang yang sedang sedih atau dilanda permasalahan. Mungkin kebisuan Lubna membuat kami lebih nyaman bercerita tanpa harus disela dan dibantah, daripada harus bercerita pada orang lain yang kerapkali membantah apa yang sedang kami keluhkan. Lagipula, Lubna tak akan mungkin menyebarkan keluh-kesah dan cerita kami yang lebih banyak mengenai masalah pribadi. Berbeda halnya jika kami bercerita kepada orang lain, rahasia pribadi kami akan bocor dan tersebar begitu cepat.

Jika kami bercerita dan berkeluh-kesah tentang permasalahan kami, Lubna begitu tulus mendengarkan, sambil sesekali ia mencorat-coret buku catatan, mungkin ia menulis apa yang kami ceritakan. Kami terus bercerita hingga semua keluh-kesah dan kesedihan kami puas kami utarakan.

Lama-kelamaan, kami tak hanya berkeluh kesah tentang permasalahan dan kesedihan yang sedang melanda kami, tetapi kami juga mulai menceritakan masa lalu dan kenangan-kenagang kami pada Lubna. Tentang mantan kekasih, lelaki-lelaki yang diam-diam kami kagumi, bahkan kami juga menceritakan perselingkuhan-perselingkuhan kami. Kami tak perlu khawatir rahasia kami akan bocor, toh Lubna hanya bisa mencatat, dan buku catatannya selalu ia dekap erat-erat.

Lubna telah menjelma sebagai tukang catat serba bisa, mulai catatan hutang hingga keluhan dan curahan hati kami yang sedang dilanda sedih dan duka. Lambat-laun buku catatan Lubna seperti buku catatan dosa yang menyimpan rahasia hampir seluruh warga.

Hingga suatu hari, buku catatan Lubna menimbulkan permasalahan besar. Karena catatan yang ditulisnya, keselamatan Lubna terancam. Permasalahan itu timbul karena Lubna mencatat surat wasiat mengenai pembagian harta warisan. Sebagaimana lazimnya kami yang selalu mempercayakan setiap permasalahan kepada Lubna, Pak Ginanjar, juragan kaya raya di kampung kami itu juga mempercayakan Lubna untuk menuliskan surat wasiat menjelang kematiannya.

Dalam catatan Lubna, tertulis pembagian harta warisan yang diperuntukkan kepada empat anak sang juragan. Awalnya tidak ada permasalahan dalam pembagian harta yang cukup merata itu. Namun ketika tiba-tiba Lubna membalik lembar buku catatannya, kami yang saat itu menyaksikan pembagian harta warisan di rumah mendiang Pak Ginanjar yang belum lama dikebumikan dibuat gempar. Dalam catatan itu Lubna menuliskan, bahwa rumah megah yang selama ini ditempati Pak Ginanjar diwariskan kepada Lubna, anak kandung Mak Saripah yang sebenarnya juga merupakan anak kandung Pak Ginanjar. Kontan saja kami dibuat gempar. Selama ini Mak Saripah merahasiakan ayah kandung Lubna dari kami selama bertahun-tahun.

Empat anak Pak Ginanjar yang belum reda dari kesedihan karena baru saja ditinggal ayahnya tiba-tiba kalap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa selama ini mendiang ayah mereka telah berbuat serong dengan Mak Saripah.

“Dasar perempuan gila pendusta!”

“Catatan orang gila seperti Lubna tidak bisa dipercaya!”

“Pasti ia mengada-ada!”

Lubna yang dicerca dengan kata-kata kasar seperti itu hanya diam, tiba-tiba ia menitikkan air mata. Kami tahu, Lubna adalah orang yang sangat jujur bahkan polos, orang seperti Lubna rasanya tidak mungkin berdusta.

“Kalau kamu masih ingin selamat, enyahlah dari kampung ini!”

Ancaman dari salah seorang anak juragan membuat Lubna berteriak kalap. Tiba-tiba ia berlari meninggalkan rumah mendiang Pak Ginanjar yang masih dipenuhi para pentakziah.

Semenjak itulah Lubna dan Mak Saripah meninggalkan kampung kami. Lubna pergi bersama rahasia-rahasia dan kenangan kami yang tersimpan dalam buku catatannya. n

/Yogyakarta, September 2012


Lampung Post, Minggu, 24 Maret 2013

No comments:

Post a Comment