Cerpen Ika Nurliana
BUKAN subyektivitas. Tapi aku yakin dari seribu orang yang harus melakukan ini, belum tentu satu yang bisa menikmatinya. Oh, mungkin aku berlebihan, baiklah kuralat. Dari seratus orang yang harus melakukan hal seperti aku ini, hanya satu orang yang dapat menikmatinya. Dan mungkin satu orang itu adalah dia dengan keisimewaaan kesabaran atau kebetulan otaknya sedang tak waras!
Menunggu dalam panas terik yang mendadak menyengat kulit. Kenapa pula aku begitu bodohnya janjian dengannya di perempatan jalan dengan lalulalang kendaraan dan semburan kenalpotnya? Kenapa tidak aku pilih café atau lobi hotel saja? Akan nyaman. Ngadem, dan banyak pemandangan. Ah, terlanjur sudah! Aku nyari yang praktis saja dan kuterlalu berprasangka baik kalau ia termasuk orang yang tepat waktu dalam janji. Baiklah, tak apa aku telah menunggu di sini, berdiri mematung di pojok ruko ini, berlalu sudah dua puluh menit. Agak gila!
Kenapa mendadak cepat sore? Kepalaku mendongak, bola mataku mengejar matahari ke arah barat. Oh tidak! Langit gelap! Mendung kelabu merapat. Ini dia cuaca yang sama sekali tak kuperhitungkan. Kenapa pula handphone dia tak bisa dihubungi? Dimatikan? Takut disadap? Oh lala… poooh!
Awan akan segera jatuh jadi hujan! Aku akan menjadi orang yang semakin tampak bodoh bila membiarkan badanku basah kuyup oleh percikan air. Air atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Bukan. Menepuk air di dalam bak, terpercik ke muka sendiri. Bukan. Tak ada hubungannya keadaanku ini dengan dua pribahasa pengairan itu tadi.
Membiarkan kepalaku celingak celinguk, maka kutemukan tempat itu. Prediksiku ini hujan akan sangat lebat dalam waktu sebentar, atau rintik lama dan tetap membasahi badanku juga! Baiklah, perlu ketepatan berpikir dan kecermatan dalam mengambil keputusan. Aku menuju ke sana. Tak boleh sayang uang. Kalau hanya untuk makan di sana saja aku tak punya uang, tentu tak akan mungkin terpikir kesalahanku mengapa tak janjian saja di café atau lobi hotel berbintang. Ini, di tasku ada puluhan juta. Kalau aku dengan gaya proletar ini, sungguh hanya sebatas cara untuk tetap terkesan sederhana. Kakiku melangkah ke sana.
Seorang pelayan di tempat makan sederhana ini menyambutku.
“Pesan apa Bang?” aku dipanggil Bang, panggilan yang telah lama hilang dari pendengaran.
“Ada mi ayam dan bakso,” ucapnya sopan.
Tanpa pikir panjang aku bilang. “Bakso pakai mi putih dan mi kuning ya,” ia mengangguk,
“Minumnya?”
“Es tawar saja,” aku tahu ia bengong sesaat.
Kenapa? Kamu kira aku miskin? Untuk makan di kafe atau menginap di hotel uangku ini cukup! Ah, tapi untuk apa aku bicara begitu? Akan lebih baik mereka selalu melihatku sederhana. Uangku sih, kusimpan saja atau seperti yang sudah sudah, kuinvestasikan dengan cara tersembunyi. Beli tanah di luar propinsi dan buat kamar kos kosan itu invest teraman. Istriku? Ia piih berlian tanpa pernah dipakai dan logam mulia yang disimpan di bank. Tak perlu penampilan. Sebab terlanjur mengidentitaskan diri sebagai orang yang sederhana begini.
Aku berpindah tempat duduk ke pojok dan kudengar teriakan pelayan tadi. “Bakso putih kuming satu, es tawar satu.”
“Apa? Es tawar?” suara pelayan yang lain mampir ke daun telingaku.
***
SAMBIL menunggu pesanan datang, aku mencoba menghubunginya lagi. Tidak aktif juga. Apa maksudnya ini? Lalu uang ini akan diapakan? Puluhan juta aku tenteng begini saja. Ah, benar-benar jutawan gaya proletar!
Pesanan itu datang tak lama kemudian. Aroma baksonya, hmmmm. Sudah lama aku tak menikmati makanan seperti ini. Pasti nikmat sekali. Dulu, aku terbiasa makan bakso tanpa saus dan kecap.
Aku belum mrnyentuhnya. Saat pandanganku keluar warung bakso ini dan mendapati hujan turun semakin menderas, mendadak aku memikirkan sedang dimanakah ia? Apakah telah terjadi sesuatu dengan dirinya hingga ponselnya belum juga aktif? Apakah dugaanku yang hiperbola tadi memang telah terjadi? Ataukah hanya masalah teknis, handphone nya habis batre di perjalanan. Ah, uang itu masih utuh padaku. Harus ku jaga. Ini amanah.
Aku menikmati makanan yang sudah sejak semenit lalu di depanku. Belum memakannya. Tapi menikmati aromanya. Rasanya belum puas saja mencium aroma lezat itu, anehnya belum mau juga menyentuh sendoknya.
Persis seorang perempuan yang tengah ngidam. Merengek minta bakso sedangkan waktu sudah mulai larut malam dan di luar sana hujan. Bersikeras tidak mau ditinggal untuk beli, dibungkus, dibawa pulang. Nekat ikut jalan jauh ke warung bakso, sampai di tempat, enggan turun dari motor, ternyata sudah puas melihat tempatnya dan aroma dari kepulan asapnya. Perempuan ngidam ada-ada saja pintanya. Tapi itu tentu bukan aku. Karena aku jelas pria. Dan istriku tidak sedang ngidam pula! Ini hanya sekelumit cerita tentang temanku. Lalu, dimana ini teman yang sudah kutunggu sejak tadi? Apakah aku baru akan memakan bakso ini setelah melihat batang hidungnya datang duduk di depanku?
“Bang, kok belum dinikmati baksonya?” aku tersenyum untuk menguasai diri dari kegugupan.
Sialan pelayan ini. Aku harus jawab apa agar ia puas. Mengapa pula ia memanggilku abang. Semestinya akulah yang memanggilnya demikian. Abang tukang bakso, mari-mari sini, aku mau beli, abang tukang bakso lekas dong kemari sudah tak tahan lagi, satu mangkuk saja, lima ratus perak yang banyak baksonya, bla bla bla.
Busyet dah! Kenapa aku masih hapal lagu kesukaan adiku jaman kecilnya itu? Dan tunggu dulu, lagi itu tahun berapa ya? Harga bakso lima ratus perak atau dua ratus si Eno itu bilang? Sekarang sepuluh ribu. Kulirik lagi uang dalam kantong plastik itu. Kugeser lebih mendekat. Aku takut khilaf.
Bakso bulat berkuah, dengan mi putih kuning, taburan bawang goreng dan daun seledri. Aku memang macam orang gila saja tak lekas menikmatinya.
“Mas,” tiba-tiba aku tergerak untuk bertanya sesuatu pada pelayan yang tengah membersihkan meja sebelah.
“Iya Bang?”
“Ini bakso apa?" apakah pertanyaanku terkesan tolol hinga ia bengong begitu? Atau kalimatku yang terlalu tinggi menurutnya? Disangkanya ini hanya sebuah kalimat tanya penuh kias?
“Bakso sapi.”
“Bakso sapi?” aku bergumam masih dengan tanda tanya.
“Iya Bang, bakso sapi, bukan yang lain. Sapi halal kan?!” ia menjawab panjang.
“Sapi impor atau lokal?” ia bengong lagi. Tahu aku menunggu jawabnya dan mungkin itu akan menjadi jawaban yang amat penting bagiku, ia memilih cara aman, diam lalu menggeleng.
“Enggak tahu saya,” aku sengaja menampakkan wajah kecewa, entah untuk alasan apa.
Aku tak tahu apa maksudku bertanya begitu. Mungkin di pikiran ruang bawah sadarku memerintahkan aku untuk menunda makan sambil menunggu rekan. Hujan sudah mulai reda, kepulan asap dari mangkok baksoku sudah menipis. Kehangatannya berkurang., mungkin itu juga akan berbanding lurus dengan rasa nikmat saat nanti ku makan, jika aku masih mau menyantapnya.
Sampai saat ini aku lebih tertarik untuk memandang makananku itu. Es sekali saja kuseruput. Bola daging sapi sepuluh biji, ukurannya kecil-kecil. Tampak nikmat disajikan dengan mangkuk putih bergambarkan ayam jago merah.
***
“KAU di sini,” mendadak sosok itu berdiri tegak di depanku. Beberapa bagian badannya tampak basah. Ia lompat bangku dan duduk.
“Bagaimana kau tahu dan langsung di sini?” kucoba sembunyikan curiga.
“Aku tahu, di mana posisimu, kan ponselmu disadap, aku tahu kau bawa uang banyak,” ia tertawa tergelak gelak sendiri, mungkin karena melihat mukaku yang memucat.
“Gampang saja. Kita janjian di situ, saat hujan kau akan berteduh di tempat terdekat sambil mungkin menikmati makanan, apa lagi saat tahu ponselku tak bisa dihubungi,” cukup cerdas tebakannya.
“Kau sekarang vegetarian, ya?” ia menatap aneh kearahku dan mangkok baksoku.
“Tak. Cuma aku belum memakannya. Mau?” ia menggeleng cepat.
“Aku pesan mi ayam, kenapa tak lekas kau makan, aku sudah disini,” ujarnya
Aku menghela nafas. “Aneh. Aku kasihan melihat sapi yang telah jadi bola begini,” ia terbahak.
“Aku sebaliknya, aku benci dengan sapi!” sedetik lalu ia terbahak, kini ia membentak seperti orang kalap.
Aku memandang menembus matanya.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Sapi adalah binatang yang paling sombong! Karena ia laris dan banyak dikonsumsi. Bahkan komuditas ekspor impor daging terbesar. Lihat bagaimana sistem pencernaannya. Binatang pemamah biak, makan pelan tapi rakus begitu. Sapi di banyak negara menimbulkan persoalan. Dari mulai penyakitnya, dagingnya yang mahal sampai harus operasi pasar menjelang lebaran, jadi rebutan untuk dibuat rendang,” aku menyimak.
“Dan kau tahu betapa terkenalnya sapi hanya karena bahasa kias, politik dagang sapi, sapi perah, sapi ompong, gerobak cadang ditarik sapi lawang, masih akan ada lagi nanti,” ia masih emosi hanya karena sapi.
"Sapi itu membuat petani sulit di saat kemarau. Ia tak lebih baik dari kerbau yang mau membantu membajak sawah,” aku terpukau dengan kalimatnya. Mi ayamnya belum datang juga. Memasak mi ayam memang lebih lama dari menghidangkan bakso.
“Sapi makin hari makin terkenal saja. Sapi sudah seperti selebriti, beredar di koran, televisi, infotainment, hallah! Ia menjadi makin terkenal karena namanya. Ia tak tahu terima kasih dan sekarang menyusahkan banyak orang dan petinggi negeri ini,”
“Ah, bahasamu Chuy, sejak kapan jadi bisa berfilosofi atau kau tengah belajar jadi politisi?” aku tersenyum.
“Lihatlah mangkukmu itu, aku semakin benci sapi dan lebih suka pada ayam.”
Aku menaikkan alis dan memandangnya, menunggunya bicara.
“Bola bola daging sapi itu tersaji dengan apik, dinikmati dan dipuji, tidakah kita lihat mangkok cap ayam yang begitu setia membawanya? Tapi ayam itu dapat apa?” aku tersenyum geli, mengerti tapi tak mampu menanggapi.
“Kau tahu? Sejak dulu ayam dan sapi musuhan. Di mangkokmu itupun tengah terjadi pertengkaran antara ayam dan bola daging,” kalimatnya nada geram.
“Kenapa?”
“Kau lupa atau belum tahu sejarahnya? Ratusan tahun lalu ayam susah payah membantu manusia, ia berkorban banyak saat mengeluarkan telur dan rela diambil manusia walau ia ingin mengeraminya, lalu digorenglah telur itu untuk lauk anak manusia, ternyata manusia itu lupa pada jasa ayam, ia malah menamakannya mata sapi. Sejak saat itu ayam benci pada sapi. Ayam yang berjuang, sapi yang dapat nama!”
“Kenapa ayam benci pada sapi? Bukan pada manusia?”
“Karena mereka beda dimensi, Bodoh! Ayam tak bisa bercakap dengan manusia!”
Oh, orang ini berani mengataiku bodoh hanya karena sapi!
“Lalu? Apakah permusuhan antara mereka masih saja terjadi?” rasa penasaran memaksaku untuk menyabarkan diri.
“Tentu, itu akan abadi,” tegasnya.
“Kau seperti mengerti bahasa binatang,”
“Sedikit memahami bahasa binatang, lebih tepatnya bahasa makanan, coba nikmati daging sapi itu, belajarlah mulai sekarang,” perintahnya.
“Bagaimana caranya?”
“Bertanyalah apa saja sambil kau tetap mengunyah, saat bertanya tak perlu bersuara, pakai hatimu!” ia memberi arahan.
Seperti sapi ompong, aku menurut, sebab ia sudah mulai menyuap mi ayamnya, baksoku sudah dingin. Konsekuensi, ini harus tetap kunikmati.
“Bagaimana?”
“Dia berkata, dia datang dari tempat yang jauh, menyeberangi samudra, lintas benua,” aku berbisik.
“Tanyakan, dia dari mana,”
“Dia dari Amerika,” aku masih berbisik.
“Sekali lagi, kau kalah oleh sapi!”
“Maksudnya?”
“Pernahkah kau ke luar negeri?” aku tahu ia mengejekku.
“Kau tahu, aku banyak uang,” aku melirik kantong uang itu. “Tapi aku telanjur komitmen untuk tetap hidup sederhana, jadi belum bisa plesiran ke sana,” ia mengangguk.
Aku mengerti. Sapi ini sungguh kurang ajar sekali. Aku merasa kalah olehnya.
“Kau orang kaya, terhormat, tetap kalah oleh sapi, binatang berkaki empat?! Ia sudah malang melintang ke seantero jagad! Kau di sini terlalu teliti dan hati-hati dengan komitmen dan janji hati!” mendengarnya aku mengumpat dalam diam.
EoL, 030213
Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013
BUKAN subyektivitas. Tapi aku yakin dari seribu orang yang harus melakukan ini, belum tentu satu yang bisa menikmatinya. Oh, mungkin aku berlebihan, baiklah kuralat. Dari seratus orang yang harus melakukan hal seperti aku ini, hanya satu orang yang dapat menikmatinya. Dan mungkin satu orang itu adalah dia dengan keisimewaaan kesabaran atau kebetulan otaknya sedang tak waras!
Menunggu dalam panas terik yang mendadak menyengat kulit. Kenapa pula aku begitu bodohnya janjian dengannya di perempatan jalan dengan lalulalang kendaraan dan semburan kenalpotnya? Kenapa tidak aku pilih café atau lobi hotel saja? Akan nyaman. Ngadem, dan banyak pemandangan. Ah, terlanjur sudah! Aku nyari yang praktis saja dan kuterlalu berprasangka baik kalau ia termasuk orang yang tepat waktu dalam janji. Baiklah, tak apa aku telah menunggu di sini, berdiri mematung di pojok ruko ini, berlalu sudah dua puluh menit. Agak gila!
Kenapa mendadak cepat sore? Kepalaku mendongak, bola mataku mengejar matahari ke arah barat. Oh tidak! Langit gelap! Mendung kelabu merapat. Ini dia cuaca yang sama sekali tak kuperhitungkan. Kenapa pula handphone dia tak bisa dihubungi? Dimatikan? Takut disadap? Oh lala… poooh!
Awan akan segera jatuh jadi hujan! Aku akan menjadi orang yang semakin tampak bodoh bila membiarkan badanku basah kuyup oleh percikan air. Air atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Bukan. Menepuk air di dalam bak, terpercik ke muka sendiri. Bukan. Tak ada hubungannya keadaanku ini dengan dua pribahasa pengairan itu tadi.
Membiarkan kepalaku celingak celinguk, maka kutemukan tempat itu. Prediksiku ini hujan akan sangat lebat dalam waktu sebentar, atau rintik lama dan tetap membasahi badanku juga! Baiklah, perlu ketepatan berpikir dan kecermatan dalam mengambil keputusan. Aku menuju ke sana. Tak boleh sayang uang. Kalau hanya untuk makan di sana saja aku tak punya uang, tentu tak akan mungkin terpikir kesalahanku mengapa tak janjian saja di café atau lobi hotel berbintang. Ini, di tasku ada puluhan juta. Kalau aku dengan gaya proletar ini, sungguh hanya sebatas cara untuk tetap terkesan sederhana. Kakiku melangkah ke sana.
Seorang pelayan di tempat makan sederhana ini menyambutku.
“Pesan apa Bang?” aku dipanggil Bang, panggilan yang telah lama hilang dari pendengaran.
“Ada mi ayam dan bakso,” ucapnya sopan.
Tanpa pikir panjang aku bilang. “Bakso pakai mi putih dan mi kuning ya,” ia mengangguk,
“Minumnya?”
“Es tawar saja,” aku tahu ia bengong sesaat.
Kenapa? Kamu kira aku miskin? Untuk makan di kafe atau menginap di hotel uangku ini cukup! Ah, tapi untuk apa aku bicara begitu? Akan lebih baik mereka selalu melihatku sederhana. Uangku sih, kusimpan saja atau seperti yang sudah sudah, kuinvestasikan dengan cara tersembunyi. Beli tanah di luar propinsi dan buat kamar kos kosan itu invest teraman. Istriku? Ia piih berlian tanpa pernah dipakai dan logam mulia yang disimpan di bank. Tak perlu penampilan. Sebab terlanjur mengidentitaskan diri sebagai orang yang sederhana begini.
Aku berpindah tempat duduk ke pojok dan kudengar teriakan pelayan tadi. “Bakso putih kuming satu, es tawar satu.”
“Apa? Es tawar?” suara pelayan yang lain mampir ke daun telingaku.
***
SAMBIL menunggu pesanan datang, aku mencoba menghubunginya lagi. Tidak aktif juga. Apa maksudnya ini? Lalu uang ini akan diapakan? Puluhan juta aku tenteng begini saja. Ah, benar-benar jutawan gaya proletar!
Pesanan itu datang tak lama kemudian. Aroma baksonya, hmmmm. Sudah lama aku tak menikmati makanan seperti ini. Pasti nikmat sekali. Dulu, aku terbiasa makan bakso tanpa saus dan kecap.
Aku belum mrnyentuhnya. Saat pandanganku keluar warung bakso ini dan mendapati hujan turun semakin menderas, mendadak aku memikirkan sedang dimanakah ia? Apakah telah terjadi sesuatu dengan dirinya hingga ponselnya belum juga aktif? Apakah dugaanku yang hiperbola tadi memang telah terjadi? Ataukah hanya masalah teknis, handphone nya habis batre di perjalanan. Ah, uang itu masih utuh padaku. Harus ku jaga. Ini amanah.
Aku menikmati makanan yang sudah sejak semenit lalu di depanku. Belum memakannya. Tapi menikmati aromanya. Rasanya belum puas saja mencium aroma lezat itu, anehnya belum mau juga menyentuh sendoknya.
Persis seorang perempuan yang tengah ngidam. Merengek minta bakso sedangkan waktu sudah mulai larut malam dan di luar sana hujan. Bersikeras tidak mau ditinggal untuk beli, dibungkus, dibawa pulang. Nekat ikut jalan jauh ke warung bakso, sampai di tempat, enggan turun dari motor, ternyata sudah puas melihat tempatnya dan aroma dari kepulan asapnya. Perempuan ngidam ada-ada saja pintanya. Tapi itu tentu bukan aku. Karena aku jelas pria. Dan istriku tidak sedang ngidam pula! Ini hanya sekelumit cerita tentang temanku. Lalu, dimana ini teman yang sudah kutunggu sejak tadi? Apakah aku baru akan memakan bakso ini setelah melihat batang hidungnya datang duduk di depanku?
“Bang, kok belum dinikmati baksonya?” aku tersenyum untuk menguasai diri dari kegugupan.
Sialan pelayan ini. Aku harus jawab apa agar ia puas. Mengapa pula ia memanggilku abang. Semestinya akulah yang memanggilnya demikian. Abang tukang bakso, mari-mari sini, aku mau beli, abang tukang bakso lekas dong kemari sudah tak tahan lagi, satu mangkuk saja, lima ratus perak yang banyak baksonya, bla bla bla.
Busyet dah! Kenapa aku masih hapal lagu kesukaan adiku jaman kecilnya itu? Dan tunggu dulu, lagi itu tahun berapa ya? Harga bakso lima ratus perak atau dua ratus si Eno itu bilang? Sekarang sepuluh ribu. Kulirik lagi uang dalam kantong plastik itu. Kugeser lebih mendekat. Aku takut khilaf.
Bakso bulat berkuah, dengan mi putih kuning, taburan bawang goreng dan daun seledri. Aku memang macam orang gila saja tak lekas menikmatinya.
“Mas,” tiba-tiba aku tergerak untuk bertanya sesuatu pada pelayan yang tengah membersihkan meja sebelah.
“Iya Bang?”
“Ini bakso apa?" apakah pertanyaanku terkesan tolol hinga ia bengong begitu? Atau kalimatku yang terlalu tinggi menurutnya? Disangkanya ini hanya sebuah kalimat tanya penuh kias?
“Bakso sapi.”
“Bakso sapi?” aku bergumam masih dengan tanda tanya.
“Iya Bang, bakso sapi, bukan yang lain. Sapi halal kan?!” ia menjawab panjang.
“Sapi impor atau lokal?” ia bengong lagi. Tahu aku menunggu jawabnya dan mungkin itu akan menjadi jawaban yang amat penting bagiku, ia memilih cara aman, diam lalu menggeleng.
“Enggak tahu saya,” aku sengaja menampakkan wajah kecewa, entah untuk alasan apa.
Aku tak tahu apa maksudku bertanya begitu. Mungkin di pikiran ruang bawah sadarku memerintahkan aku untuk menunda makan sambil menunggu rekan. Hujan sudah mulai reda, kepulan asap dari mangkok baksoku sudah menipis. Kehangatannya berkurang., mungkin itu juga akan berbanding lurus dengan rasa nikmat saat nanti ku makan, jika aku masih mau menyantapnya.
Sampai saat ini aku lebih tertarik untuk memandang makananku itu. Es sekali saja kuseruput. Bola daging sapi sepuluh biji, ukurannya kecil-kecil. Tampak nikmat disajikan dengan mangkuk putih bergambarkan ayam jago merah.
***
“KAU di sini,” mendadak sosok itu berdiri tegak di depanku. Beberapa bagian badannya tampak basah. Ia lompat bangku dan duduk.
“Bagaimana kau tahu dan langsung di sini?” kucoba sembunyikan curiga.
“Aku tahu, di mana posisimu, kan ponselmu disadap, aku tahu kau bawa uang banyak,” ia tertawa tergelak gelak sendiri, mungkin karena melihat mukaku yang memucat.
“Gampang saja. Kita janjian di situ, saat hujan kau akan berteduh di tempat terdekat sambil mungkin menikmati makanan, apa lagi saat tahu ponselku tak bisa dihubungi,” cukup cerdas tebakannya.
“Kau sekarang vegetarian, ya?” ia menatap aneh kearahku dan mangkok baksoku.
“Tak. Cuma aku belum memakannya. Mau?” ia menggeleng cepat.
“Aku pesan mi ayam, kenapa tak lekas kau makan, aku sudah disini,” ujarnya
Aku menghela nafas. “Aneh. Aku kasihan melihat sapi yang telah jadi bola begini,” ia terbahak.
“Aku sebaliknya, aku benci dengan sapi!” sedetik lalu ia terbahak, kini ia membentak seperti orang kalap.
Aku memandang menembus matanya.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Sapi adalah binatang yang paling sombong! Karena ia laris dan banyak dikonsumsi. Bahkan komuditas ekspor impor daging terbesar. Lihat bagaimana sistem pencernaannya. Binatang pemamah biak, makan pelan tapi rakus begitu. Sapi di banyak negara menimbulkan persoalan. Dari mulai penyakitnya, dagingnya yang mahal sampai harus operasi pasar menjelang lebaran, jadi rebutan untuk dibuat rendang,” aku menyimak.
“Dan kau tahu betapa terkenalnya sapi hanya karena bahasa kias, politik dagang sapi, sapi perah, sapi ompong, gerobak cadang ditarik sapi lawang, masih akan ada lagi nanti,” ia masih emosi hanya karena sapi.
"Sapi itu membuat petani sulit di saat kemarau. Ia tak lebih baik dari kerbau yang mau membantu membajak sawah,” aku terpukau dengan kalimatnya. Mi ayamnya belum datang juga. Memasak mi ayam memang lebih lama dari menghidangkan bakso.
“Sapi makin hari makin terkenal saja. Sapi sudah seperti selebriti, beredar di koran, televisi, infotainment, hallah! Ia menjadi makin terkenal karena namanya. Ia tak tahu terima kasih dan sekarang menyusahkan banyak orang dan petinggi negeri ini,”
“Ah, bahasamu Chuy, sejak kapan jadi bisa berfilosofi atau kau tengah belajar jadi politisi?” aku tersenyum.
“Lihatlah mangkukmu itu, aku semakin benci sapi dan lebih suka pada ayam.”
Aku menaikkan alis dan memandangnya, menunggunya bicara.
“Bola bola daging sapi itu tersaji dengan apik, dinikmati dan dipuji, tidakah kita lihat mangkok cap ayam yang begitu setia membawanya? Tapi ayam itu dapat apa?” aku tersenyum geli, mengerti tapi tak mampu menanggapi.
“Kau tahu? Sejak dulu ayam dan sapi musuhan. Di mangkokmu itupun tengah terjadi pertengkaran antara ayam dan bola daging,” kalimatnya nada geram.
“Kenapa?”
“Kau lupa atau belum tahu sejarahnya? Ratusan tahun lalu ayam susah payah membantu manusia, ia berkorban banyak saat mengeluarkan telur dan rela diambil manusia walau ia ingin mengeraminya, lalu digorenglah telur itu untuk lauk anak manusia, ternyata manusia itu lupa pada jasa ayam, ia malah menamakannya mata sapi. Sejak saat itu ayam benci pada sapi. Ayam yang berjuang, sapi yang dapat nama!”
“Kenapa ayam benci pada sapi? Bukan pada manusia?”
“Karena mereka beda dimensi, Bodoh! Ayam tak bisa bercakap dengan manusia!”
Oh, orang ini berani mengataiku bodoh hanya karena sapi!
“Lalu? Apakah permusuhan antara mereka masih saja terjadi?” rasa penasaran memaksaku untuk menyabarkan diri.
“Tentu, itu akan abadi,” tegasnya.
“Kau seperti mengerti bahasa binatang,”
“Sedikit memahami bahasa binatang, lebih tepatnya bahasa makanan, coba nikmati daging sapi itu, belajarlah mulai sekarang,” perintahnya.
“Bagaimana caranya?”
“Bertanyalah apa saja sambil kau tetap mengunyah, saat bertanya tak perlu bersuara, pakai hatimu!” ia memberi arahan.
Seperti sapi ompong, aku menurut, sebab ia sudah mulai menyuap mi ayamnya, baksoku sudah dingin. Konsekuensi, ini harus tetap kunikmati.
“Bagaimana?”
“Dia berkata, dia datang dari tempat yang jauh, menyeberangi samudra, lintas benua,” aku berbisik.
“Tanyakan, dia dari mana,”
“Dia dari Amerika,” aku masih berbisik.
“Sekali lagi, kau kalah oleh sapi!”
“Maksudnya?”
“Pernahkah kau ke luar negeri?” aku tahu ia mengejekku.
“Kau tahu, aku banyak uang,” aku melirik kantong uang itu. “Tapi aku telanjur komitmen untuk tetap hidup sederhana, jadi belum bisa plesiran ke sana,” ia mengangguk.
Aku mengerti. Sapi ini sungguh kurang ajar sekali. Aku merasa kalah olehnya.
“Kau orang kaya, terhormat, tetap kalah oleh sapi, binatang berkaki empat?! Ia sudah malang melintang ke seantero jagad! Kau di sini terlalu teliti dan hati-hati dengan komitmen dan janji hati!” mendengarnya aku mengumpat dalam diam.
EoL, 030213
Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013
No comments:
Post a Comment