Cerpen Riki Utomi
MATANYA tajam seperti ingin menerkam. Selalu begitu saat-saat dia tidak senang pada sesuatu. Terlebih pada sebuah hal yang menurutnya tidak etis atau kebodohan yang sangat janggal. Dia juga menaruh—boleh juga dibilang dendam. Tapi entah pada siapa. Sempat juga dulu dia mengatakan semua orang di negeri ini goblok. Setelah itu dia juga menertawakan dirinya sendiri, lalu dia sinis kembali sambil berteriak “tidak ada yang becus di negeri ini!”
Orang-orang menduga dia memiliki kelainan jiwa. Tapi memang, tidak semudah itu untuk mengatakannya demikian, karena ada beberapa hal yang kadang dari omongan nyelenehnya itu terkandung maksud tertentu yang harus terlebih dahulu jauh-juah dicerna. Ada sesuatu yang patut disikapi dari sikap-sikapnya. Tapi itu tadi, butuh pendalaman makna, pendalaman kata, yang berujung pada kesimpulan yang lain, yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan. Barangkali sebuah sikap ataupun gagasan yang brilian tentang kehidupan. Ya. Seperti ahli-ahli dalam merumuskan sebuah teori.
Tapi anehnya, matanya itu, tetap menatap tajam pada siapa saja. Termasuk orang-orang terdekatnya yang dia cintai. Ini sungguh meresahkan siapa saja. Namun dia tetap tidak peduli sedikit pun tentang hal itu, baginya hal-hal negatif yang selalu dibicarakan orang tentang dirinya merupakan sebuah fenomena yang—anehnya—selalu disyukurinya, “Bukankah itu sebuah realita, dan saya yakin itu bagus!” tegasnya dengan congkak sambil bertolak pinggang.
Saya tidak begitu kenal dengannya. Tapi dia mengaku telah jauh-jauh hari mengenal saya. Kau tahu? Saya sangat menaruh curiga dari orang seperti dirinya. Tentu saja, karena bisa saja dia benar-banar seorang penjahat atau pedengki yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan tanpa ampun dan tanpa tahu malu. Saya juga tak banyak tahu tentang dirinya. Yang saya hanya tahu bahwa dia—seperti kata orang-orang—sedikit memiliki kelainan jiwa. Meski saya tidak begitu jelas, tapi tentu saya tetap berhati-hati. Ini pikiran buruk…
***
YA. Akhir-akhir ini dia ingin mendekati saya. Katanya sebagai teman dekat. Dia mengaku saya adalah orang yang sangat senang dibuat teman dalam berbagi dalam suka dan duka. Tidak semua orang yang selalu sibuk dengan dirinya sendiri dan bangga pada kesalahan. Dia selalu bilang dengan congkak bahwa begitu bangga orang-orang berdasi di negeri ini dalam menghabiskan uang-uang negaranya sendiri tanpa tahu malu. Tanpa takut dosa. Tanpa-tanpa segalanya….
Saya hanya berpikir, dia selalu berteori, seperti kemarin, dia mengatakan untuk tidak mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri sipil sebab percuma, atau dia sempat mengatakan setiap orang berdasi yang dijumpainya dengan sebutan anjing. Lalu dia mamaki dengan lari-lari kecil seperti tak ada kejadian. Untuk itulah dia sangat diincar oleh beberapa orang untuk dipukuli. Tapi dia tidak seujung kukupun menaruh rasa takut di hati. “Katakutan akan membuat bangsa ini menjadi pengecut dan melahirkan generasi yang kandas di tengah lautan!” teriaknya di hadapan orang-orang yang sudah sakit hati akan ulahnya. Kau tahu? Padahal semua orang itu sudah siap dengan pentungan kayu di setiap tangan mereka, siap untuk memecahkan kepalanya.
Tapi dasar manusia setengah waras, dia malah mengentuti semua orang itu sebelum mengambil ancang-ancang untuk berlari. Lalu saya tidak tahu lagi seperti apa keadaan itu, sebab terlalu ngeri untuk saya ikuti. Tapi baiklah, dia akhirya selamat dengan menyeburkan diri di tengah sungai yang berarus deras yang diketahui sungai itu akan menghanyutkan apa saja sampai ke tangah lautan…
Saya merasa ada sesuatu yang ingin diungkapkannya. Seperti orang lain juga, saya menjadi sedikit tahu, bahwa dia juga pernah menempuh kuliah, tapi sayangnya tidak selesai sebab dia terlalu sibuk dengan organisasi. Seperti juga diungkap oleh teman-temannya, bahwa dia sangat suka dengan teori-teori. Menciptakan pemikiran dengan landasan kebenaran yang nyata. Membuat sebuah ketaraturan dalam setiap keputusan yang akan diambil serta menyikapi tindak tanduk dalam melaksanakan apa yang telah menjadi keputusan itu. Sehingga dia selalu mengatakan “pola pikir kita perlu diubah. Bangsa ini akan selamanya menjadi manja dengan keadaan yang membuat semakin semrawut sehingga banyak parodi dan tidak punya rasa malu!” gaungnya. Saya mengerti dari apa-apa yang dia gaungkan dan saya juga mengangguk. Sebab benar apa yang dibicarakannya. Tentang bangsa ini, yang hampir tidak pernah menjunjung harkat dan martabat bangsanya sendiri, begitu yang kadang diucapkannya.
“Bukankah setiap orang yang duduk di atas sana selalu bangga dengan korupsi?” tanyanya santai tapi dengan mulut bengkok kepada saya, seperti mengejek sesuatu, tapi saya yakin bukan kepada saya.
Saya hanya mengangguk.
“Ah, kau mengangguk saja dari tadi, seperti burung pelatuk!” ejeknya.
Saya paham dengan nuansa bualannya yang khas menyindir pemerintah itu. Membuatnya semakin merasa muak pada apa-apa yang ada di negeri ini. Menurutnya, di hari-hari entah kapan, negeri ini hanya tinggal nama. Saya langsung saja menyambarnya dengan hentakan keras di meja. Sebuah tamparan tangan saya, langsung mengejutkannya, dan saya tidak peduli.
“Kau gila! Kau mengejek negerimu sendiri. Untuk apa kau berpikir seperti itu kalau hanya omong yang selalu kau gaungkan!”
“Aku tidak menggaungkan! Ini adalah sebuah kenyataan! Kau tahu bukan? Sangat sulit mengubah pola pikir rakyat bangsa ini yang masih bodoh dalam menyikapi keadaan dimana dia berada.”
Ah… saya merasa sinting lama-lama berada di dekatnya. Tiba-tiba saya sepeti menyesal telah mengenalnya. Kalau tahu sejak dulu saya tidak mau lagi bergaul dengannya. Untuk apa. Menurut saya dia hanya bisa berspekulasi tanpa tahu harus bagaimana, meski benar juga apa yang selalu dibicarakannya.
Untuk itu saya pergi saja darinya. Menjauh sejauh-jauhnya. Meski kadangkala dia menelpon saya untuk sekadar mengajak berbual, tapi selalu saya tidak mengangkatnya atau saya nonaktifkan atau pula saya buang kartu itu dan saya ganti kartu baru. Tapi anehnya, dia selalu melacak dan mengetahui nomor kartu baru saya.
***
UNTUK itulah orang semakin membenci dirinya. Akibat ulahnya yang menjengkelkan. Tapi dalam kurun waktu tertentu dia selalu berbicara lantang di tengah-tengah keramaian orang apakah di pasar, di pelabuhan, di kantor bupati, atau di bandara, di sekolah dan di mana-mana tentang sebuah kebodohan bangsa ini, tentang keterbelakangan mental bangsa ini, dan tentang pola pikir bangsa ini yang masih jauh tertinggal dan semakin terbelakang.
Dari saat-saat seperti itu dia selalu tertawa sambil meludahi tentang kebodohan negeri ini. Orang-orang tidak tinggal diam, langsung mengejarnya juga mungkin untuk dapat membunuhnya. Tapi dia selalau saja berhasil lolos. Saya juga heran.
***
SAYA sudah menduga. Dia pasti mengirimkan sms. Tapi saya malas membalasnya, buang-buang waktu dan pulsa saja. Tapi semakin lama sms-nya bernada mengejek saya dan saya juga tidak enak hati dibuatnya. Sebab dia selalu saja mengatakan bangsa ini bodoh! Termasuk semua orang, juga saya sendiri. Lalu saya balas dia dengan nama-nama binatang, tapi—seperti saya duga—dia tidak jera.
“Apa yang sebenarnya kau mau!” teriak saya di telepon.
“Aku ingin mengajak kau pindah.”
“Bangsat. Apa maksudmu!?” balas saya geram.
“Kau masih saja bodoh seperti orang-orang di negeri ini. Kau tahu, tidak ada gunanya tinggal di negeri yang kacau ini. Di mana segala sisi kehidupan tidak lagi mencerminkan ketenteraman…” balasnya dengan dalil edannya.
“Bangsat!”
“Kau mengapa tidak percaya denganku?”
“Untuk apa aku percaya!?”
“Kau juga masih bodoh! Kau tahu, negari ini hanya mengisahkan aib-aib bangsanya sendiri tanpa ada prestasi-prestasi yang boleh tinggi dibicarakan dan diceritakan. Orang-orang yang duduk di kursi empuk itu begitu bangga memakan uang keringat rakyat tanpa tahu malu kalau mereka sebenarnya lebih rendah dari binatang! Jadi untuk apa kita banggakan negeri ini!”
Saya terdiam. Berani sekali dia mengatakan demikian. Tapi saya kembali berpikir, memang ada benarnya. Tapi haruskah saya berpikiran seperti dirinya? Ah… lagi-lagi dia mengatakan pola pikir. Ya, kata itu seperti pamungkas dalam setiap ocehannya, membuat saya turut juga mencermati dari setiap ucapannya.
“Ikutlah denganku ke negeri lain, yang lebih damai dan sejahtera,” balasnya lagi dengan tidak tahu diuntung. Saya tentu saja mengatakannya demikian karena memang tidak tahu diuntung, bukankah dia terlahir dan besar di negeri ini.
“Tidak! Kau hanya lintah darat dan tidak punya pendirian,” balas saya dengan tenang tapi pasti.
Dia tak bergeming. Hening sesaat. Dari satu sisi, dia tak ubahnya seperti monster setengah manusia. Saya tak tahu harus berbuat apa di saat-saat seperti ini. Apakah saya harus memukulnya? Atau siap-siap berlari menjauhi meski saya sudah benar-benar geram dengan tangan mengepal erat. Rasanya saya begitu ingin melayangkan tinju ke pipinya, merontokkan seluruh giginya, meremukkan wajahnya yang menjijikkan.
Tapi… kurang ajar! Dia tertawa sinis dan berlanjut lantang menertawakan saya. Tawa menggelegar seperti sebuah keberhasilan dalam sesuatu. Lalu tak habis-habisnya dia mengatakan saya goblok tidak mau ikut dengannya. Sambil terus berkata juga bahwa negeri ini sudah tidak lagi mencerminkan sebagai negeri. Hanya negeri dongeng yang suatu saat akan hilang oleh tangan-tangan manusianya sendiri.
Saya tak tahan lagi. Saya banting handphone, segera menuju ke kost-nya dengan geram yang telah sampai ke ubun-ubun. Saya segera melayangkan tinju ke wajahnya. Perkelahian sengit terjadi. Saya tak habis pikir kenapa menjadi seperti itu. Tapi apa boleh buat, saya tidak terima kalau dia terus berkata semena-mena seperti itu. Biarlah, saya tak peduli apapun yang terjadi dengan diri saya. Dia benar-benar saya libas bertubi-tubi, mungkin juga sampai mati…. n
Selatpanjang, Januari 2013
MATANYA tajam seperti ingin menerkam. Selalu begitu saat-saat dia tidak senang pada sesuatu. Terlebih pada sebuah hal yang menurutnya tidak etis atau kebodohan yang sangat janggal. Dia juga menaruh—boleh juga dibilang dendam. Tapi entah pada siapa. Sempat juga dulu dia mengatakan semua orang di negeri ini goblok. Setelah itu dia juga menertawakan dirinya sendiri, lalu dia sinis kembali sambil berteriak “tidak ada yang becus di negeri ini!”
Orang-orang menduga dia memiliki kelainan jiwa. Tapi memang, tidak semudah itu untuk mengatakannya demikian, karena ada beberapa hal yang kadang dari omongan nyelenehnya itu terkandung maksud tertentu yang harus terlebih dahulu jauh-juah dicerna. Ada sesuatu yang patut disikapi dari sikap-sikapnya. Tapi itu tadi, butuh pendalaman makna, pendalaman kata, yang berujung pada kesimpulan yang lain, yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan. Barangkali sebuah sikap ataupun gagasan yang brilian tentang kehidupan. Ya. Seperti ahli-ahli dalam merumuskan sebuah teori.
Tapi anehnya, matanya itu, tetap menatap tajam pada siapa saja. Termasuk orang-orang terdekatnya yang dia cintai. Ini sungguh meresahkan siapa saja. Namun dia tetap tidak peduli sedikit pun tentang hal itu, baginya hal-hal negatif yang selalu dibicarakan orang tentang dirinya merupakan sebuah fenomena yang—anehnya—selalu disyukurinya, “Bukankah itu sebuah realita, dan saya yakin itu bagus!” tegasnya dengan congkak sambil bertolak pinggang.
Saya tidak begitu kenal dengannya. Tapi dia mengaku telah jauh-jauh hari mengenal saya. Kau tahu? Saya sangat menaruh curiga dari orang seperti dirinya. Tentu saja, karena bisa saja dia benar-banar seorang penjahat atau pedengki yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan tanpa ampun dan tanpa tahu malu. Saya juga tak banyak tahu tentang dirinya. Yang saya hanya tahu bahwa dia—seperti kata orang-orang—sedikit memiliki kelainan jiwa. Meski saya tidak begitu jelas, tapi tentu saya tetap berhati-hati. Ini pikiran buruk…
***
YA. Akhir-akhir ini dia ingin mendekati saya. Katanya sebagai teman dekat. Dia mengaku saya adalah orang yang sangat senang dibuat teman dalam berbagi dalam suka dan duka. Tidak semua orang yang selalu sibuk dengan dirinya sendiri dan bangga pada kesalahan. Dia selalu bilang dengan congkak bahwa begitu bangga orang-orang berdasi di negeri ini dalam menghabiskan uang-uang negaranya sendiri tanpa tahu malu. Tanpa takut dosa. Tanpa-tanpa segalanya….
Saya hanya berpikir, dia selalu berteori, seperti kemarin, dia mengatakan untuk tidak mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri sipil sebab percuma, atau dia sempat mengatakan setiap orang berdasi yang dijumpainya dengan sebutan anjing. Lalu dia mamaki dengan lari-lari kecil seperti tak ada kejadian. Untuk itulah dia sangat diincar oleh beberapa orang untuk dipukuli. Tapi dia tidak seujung kukupun menaruh rasa takut di hati. “Katakutan akan membuat bangsa ini menjadi pengecut dan melahirkan generasi yang kandas di tengah lautan!” teriaknya di hadapan orang-orang yang sudah sakit hati akan ulahnya. Kau tahu? Padahal semua orang itu sudah siap dengan pentungan kayu di setiap tangan mereka, siap untuk memecahkan kepalanya.
Tapi dasar manusia setengah waras, dia malah mengentuti semua orang itu sebelum mengambil ancang-ancang untuk berlari. Lalu saya tidak tahu lagi seperti apa keadaan itu, sebab terlalu ngeri untuk saya ikuti. Tapi baiklah, dia akhirya selamat dengan menyeburkan diri di tengah sungai yang berarus deras yang diketahui sungai itu akan menghanyutkan apa saja sampai ke tangah lautan…
Saya merasa ada sesuatu yang ingin diungkapkannya. Seperti orang lain juga, saya menjadi sedikit tahu, bahwa dia juga pernah menempuh kuliah, tapi sayangnya tidak selesai sebab dia terlalu sibuk dengan organisasi. Seperti juga diungkap oleh teman-temannya, bahwa dia sangat suka dengan teori-teori. Menciptakan pemikiran dengan landasan kebenaran yang nyata. Membuat sebuah ketaraturan dalam setiap keputusan yang akan diambil serta menyikapi tindak tanduk dalam melaksanakan apa yang telah menjadi keputusan itu. Sehingga dia selalu mengatakan “pola pikir kita perlu diubah. Bangsa ini akan selamanya menjadi manja dengan keadaan yang membuat semakin semrawut sehingga banyak parodi dan tidak punya rasa malu!” gaungnya. Saya mengerti dari apa-apa yang dia gaungkan dan saya juga mengangguk. Sebab benar apa yang dibicarakannya. Tentang bangsa ini, yang hampir tidak pernah menjunjung harkat dan martabat bangsanya sendiri, begitu yang kadang diucapkannya.
“Bukankah setiap orang yang duduk di atas sana selalu bangga dengan korupsi?” tanyanya santai tapi dengan mulut bengkok kepada saya, seperti mengejek sesuatu, tapi saya yakin bukan kepada saya.
Saya hanya mengangguk.
“Ah, kau mengangguk saja dari tadi, seperti burung pelatuk!” ejeknya.
Saya paham dengan nuansa bualannya yang khas menyindir pemerintah itu. Membuatnya semakin merasa muak pada apa-apa yang ada di negeri ini. Menurutnya, di hari-hari entah kapan, negeri ini hanya tinggal nama. Saya langsung saja menyambarnya dengan hentakan keras di meja. Sebuah tamparan tangan saya, langsung mengejutkannya, dan saya tidak peduli.
“Kau gila! Kau mengejek negerimu sendiri. Untuk apa kau berpikir seperti itu kalau hanya omong yang selalu kau gaungkan!”
“Aku tidak menggaungkan! Ini adalah sebuah kenyataan! Kau tahu bukan? Sangat sulit mengubah pola pikir rakyat bangsa ini yang masih bodoh dalam menyikapi keadaan dimana dia berada.”
Ah… saya merasa sinting lama-lama berada di dekatnya. Tiba-tiba saya sepeti menyesal telah mengenalnya. Kalau tahu sejak dulu saya tidak mau lagi bergaul dengannya. Untuk apa. Menurut saya dia hanya bisa berspekulasi tanpa tahu harus bagaimana, meski benar juga apa yang selalu dibicarakannya.
Untuk itu saya pergi saja darinya. Menjauh sejauh-jauhnya. Meski kadangkala dia menelpon saya untuk sekadar mengajak berbual, tapi selalu saya tidak mengangkatnya atau saya nonaktifkan atau pula saya buang kartu itu dan saya ganti kartu baru. Tapi anehnya, dia selalu melacak dan mengetahui nomor kartu baru saya.
***
UNTUK itulah orang semakin membenci dirinya. Akibat ulahnya yang menjengkelkan. Tapi dalam kurun waktu tertentu dia selalu berbicara lantang di tengah-tengah keramaian orang apakah di pasar, di pelabuhan, di kantor bupati, atau di bandara, di sekolah dan di mana-mana tentang sebuah kebodohan bangsa ini, tentang keterbelakangan mental bangsa ini, dan tentang pola pikir bangsa ini yang masih jauh tertinggal dan semakin terbelakang.
Dari saat-saat seperti itu dia selalu tertawa sambil meludahi tentang kebodohan negeri ini. Orang-orang tidak tinggal diam, langsung mengejarnya juga mungkin untuk dapat membunuhnya. Tapi dia selalau saja berhasil lolos. Saya juga heran.
***
SAYA sudah menduga. Dia pasti mengirimkan sms. Tapi saya malas membalasnya, buang-buang waktu dan pulsa saja. Tapi semakin lama sms-nya bernada mengejek saya dan saya juga tidak enak hati dibuatnya. Sebab dia selalu saja mengatakan bangsa ini bodoh! Termasuk semua orang, juga saya sendiri. Lalu saya balas dia dengan nama-nama binatang, tapi—seperti saya duga—dia tidak jera.
“Apa yang sebenarnya kau mau!” teriak saya di telepon.
“Aku ingin mengajak kau pindah.”
“Bangsat. Apa maksudmu!?” balas saya geram.
“Kau masih saja bodoh seperti orang-orang di negeri ini. Kau tahu, tidak ada gunanya tinggal di negeri yang kacau ini. Di mana segala sisi kehidupan tidak lagi mencerminkan ketenteraman…” balasnya dengan dalil edannya.
“Bangsat!”
“Kau mengapa tidak percaya denganku?”
“Untuk apa aku percaya!?”
“Kau juga masih bodoh! Kau tahu, negari ini hanya mengisahkan aib-aib bangsanya sendiri tanpa ada prestasi-prestasi yang boleh tinggi dibicarakan dan diceritakan. Orang-orang yang duduk di kursi empuk itu begitu bangga memakan uang keringat rakyat tanpa tahu malu kalau mereka sebenarnya lebih rendah dari binatang! Jadi untuk apa kita banggakan negeri ini!”
Saya terdiam. Berani sekali dia mengatakan demikian. Tapi saya kembali berpikir, memang ada benarnya. Tapi haruskah saya berpikiran seperti dirinya? Ah… lagi-lagi dia mengatakan pola pikir. Ya, kata itu seperti pamungkas dalam setiap ocehannya, membuat saya turut juga mencermati dari setiap ucapannya.
“Ikutlah denganku ke negeri lain, yang lebih damai dan sejahtera,” balasnya lagi dengan tidak tahu diuntung. Saya tentu saja mengatakannya demikian karena memang tidak tahu diuntung, bukankah dia terlahir dan besar di negeri ini.
“Tidak! Kau hanya lintah darat dan tidak punya pendirian,” balas saya dengan tenang tapi pasti.
Dia tak bergeming. Hening sesaat. Dari satu sisi, dia tak ubahnya seperti monster setengah manusia. Saya tak tahu harus berbuat apa di saat-saat seperti ini. Apakah saya harus memukulnya? Atau siap-siap berlari menjauhi meski saya sudah benar-benar geram dengan tangan mengepal erat. Rasanya saya begitu ingin melayangkan tinju ke pipinya, merontokkan seluruh giginya, meremukkan wajahnya yang menjijikkan.
Tapi… kurang ajar! Dia tertawa sinis dan berlanjut lantang menertawakan saya. Tawa menggelegar seperti sebuah keberhasilan dalam sesuatu. Lalu tak habis-habisnya dia mengatakan saya goblok tidak mau ikut dengannya. Sambil terus berkata juga bahwa negeri ini sudah tidak lagi mencerminkan sebagai negeri. Hanya negeri dongeng yang suatu saat akan hilang oleh tangan-tangan manusianya sendiri.
Saya tak tahan lagi. Saya banting handphone, segera menuju ke kost-nya dengan geram yang telah sampai ke ubun-ubun. Saya segera melayangkan tinju ke wajahnya. Perkelahian sengit terjadi. Saya tak habis pikir kenapa menjadi seperti itu. Tapi apa boleh buat, saya tidak terima kalau dia terus berkata semena-mena seperti itu. Biarlah, saya tak peduli apapun yang terjadi dengan diri saya. Dia benar-benar saya libas bertubi-tubi, mungkin juga sampai mati…. n
Selatpanjang, Januari 2013
No comments:
Post a Comment