Sunday, February 17, 2013

Bloody Valentine

Cerpen Tita Tjindarbumi

Aku akan menepikan rasa, lalu membunuhnya perlahan sampai air mataku mengering  dan hati ini tak menyerukan lagi namamu. Akan kubiarkan daun-daun luruh dan terbang dibawa angin, seperti air mata yang jatuh tak mengenal tempat. Setiap  malam kudengar suara angin berbisik dan menyanyikan senandung malam tentang kita, akan kuputar lagu yang menyayat seperti pisaumu yang menyayat-nyayat tubuhku hingga tak kudengar lagi suaramu. Bahkan tak bisa lagi kudengar erangan kesakitanku. Telingaku tuli dan bisikanmu berlalu. Lalu akan kubiarkan angin berhembus kencang membawa seluruh tentangmu. Dan bau tanah itu…

***

Andaru mengepalkan tangannya yang gemetar dengan selembar kertas lusuh yang nyaris hancur digenggamannya. Ia selalu membenci Februari. Tubuhnya selalu mendadak menggigil setiap kali mengingat kejadian itu.

“Jangan ganggu akuu!” teriaknya kencang, menghardik.

Tubuhnya semakin dingin. Gigil itu telah membungkusnya sempurna. Andaru berlari memutari ruang kamarnya yang gelap. Lampu kamarnya padam. Lalu matanya nanar memeriksa setiap sudut kamarnya. Tirai jendela kamarnya sedikit terbuka. Dari celah yang terbuka matanya menangkap cahaya berkelebat di taman yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari kamarnya.

Daru menarik selimut sekuat tenaga. Ia panik. Wajahnya seketika pucat. Sial, kenapa tirai itu terbuka? Bukankah sore tadi ia telah mengunci jendela kamarnya dan menutup tirai?

Jeder!

Tiba-tiba kaca jendela kamarnya retak. Entah siapa dan dari mana datangnya batu  yang dilempar ke kaca jendelanya hingga retak. Membuat kaca itu menjadi buram.

Andaru tak berani beranjak mendekati jendela. Tubuhnya gemetar. Keringat telah membasahi bajunya. Pelipisnya basah oleh keringat dingin.

Prang….!

Gelas yang terletak di sebelah ranjangnya jatuh. Pecahan beling berhamburan di kamarnya yang terlihat acak-acakan. Salah satu pecahannya nancap ke kaki Daru. Laki-laki itu meringis kesakitan. Wajahnya pucat pasi. Ketakutan membayang di mata dan wajahnya.  Tubuhnya basah kuyub, ia teringat saat itu.

Darah! Darah! Daru melihat kamarnya penuh darah!

“Dalam percintaan semua bisa saja terjadi,” ujar Andaru dengan suara dingin, datar seakan tak peduli pada perasaan Asoka yang diam seribu bahasa.

Perempuan itu seperti dipasung jiwanya, tak berani membantah ucapan  Andaru yang sedang dikuasi alkohol.

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Sudah lama ia merasa tertekan atas sikap dan perlakuan laki-laki itu. Bukan hanya perangainya saja yang kasar, mulutnya yang berbau alkohol itu sering kali mengeluarkan sumpah serapah. Semua kata-kata kotor bisa berhamburan dari mulutnya.

Dia bukan siapa-siapa laki-laki itu.  Ia mengenal Daru karena orang tuanya terlanjur menjodohkan dengan Daru dengan alasan klise- orang tuanya yang terbelit hutang pada keluarga Daru.

“Jika dirimu menolak perjodohan itu kenapa tidak bicara pada kedua orang tuamu?” sergah Asoka dengan suara terbata-bata. Ketakutan tak akan pernah menyelesaikan persoalannya. Jelas sikap Daru menggambarkan laki-laki itu tak suka padanya. Ia juga tak suka pada lelaki pemabuk dan suka keluar masuk klub malam.

“Nggak segampang itu, Soka, “ jawab Andaru asal saja. Ia sibuk dengan gelas  berisi minuman beralkohol yang dipegangnya. Lelaki tolol pun tidak akan menolak dijodohkan dengan perempuan semolek Asoka.
Asoka menatap nanar lelaki itu. Dia heran  hari gini masih ada lelaki seperti Daru yang setiap hari hanya malas-malasan dan mabuk-mabukan. Tatapan matanya dingin dan tak pernah bisa bicara lembut pada perempuan.

“Kita bisa bicara pada keluarga. Atau aku yang akan bicara jika dirimu tidak mau!”

“Tidak bisa! Saya akan kehilangan hak waris jika menolak perjodohan ini.”

Sungguh egois. Asoka memalingkan wajahnya. Geram pada sikap Andaru yang tidak peduli pada perasaannya.

Ia hanya memikirkan warisan. Orang tuanya tahu benar  Andaru suka ganti-ganti kekasih. Sialnya, mereka menganggap Daru akan sembuh dari penyakitnya jika ia menikah.

Tiba-tiba saja badan Asoka limbung. Hanya beberapa detik. Detik berikutnya tubuh Asoka telah berdiri di depan Andaru,  menatap laki-laki penuh amarah.

“Saya tidak akan menikah denganmu,” desis  Asoka lalu  meninggalkan Daru yang masih bengong.

Andaru nyaris terjengkang, kaget melihat Asoka yang bersikap aneh!

Asoka tidak sadar bahwa  tubuhnya telah dimasuk arwah sosok lain yang tak dikenalnya. Dan tubuhnya telah dirasuki arah gentayangan.

***

Anjing melolong. Lolongannya panjang seperti suara tangis dari kejauhan. Langit semakin gelap. Tak ada satu pun bintang di malam itu.

Malam itu juga Andaru merasa ada yang tidak beres pada diri Asoka tunangannya. Daru juga merasa Asoka berubah menjadi perempuan berani.  Bahkan matanya seperti memendam dendam. Andaru pun suka mendadak merasa kepanasan bila berdekatan dengan Asoka. Kaang Andaru kesal dan nyaris tidak bisa menahan diri bila Asoka membuatnya marah.

Daru menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin kejadian itu terulang. Sungguh ia tak bermaksud melakukannya. Ia hanya kesal dan semua itu terjadi begitu saja. Andai saja ia tidak meronta dan berteriak…
Perempuan itu…

***

Perempuan itu berdiri di pintu masuk kamar Asoka. Memandangnya tak berkedip. Kedua bola matanya menatap kosong lurus ke depan.  Ia hanya berdiri menatap kosong tetapi tak berbicara apa-apa.

“Sedang menunggu seseorang?” tanya Asoka setelah sekian menit terpaku menatap perempuan itu. Ia tidak mengenal perempuan bergaun hitam itu.

 “Saya tidak suka kau dekat-dekat dengan dia,” ujar perempuan bergaun hitam itu singkat dengan matanya yang menyorot tajam. Bibir pucatnya dikatupkan rapat. Membetuk garis lurus. Senada dengan warna wajahnya yang pucat pasi.

“Dia…? Siapa maksudmu?”  Asoka melongo.

Dia siapa? Andaru? Ada urusan apa antara permpuan pucat itu dengan Andaru?

“Daru maksudmu?”

Perempuan yang wajahnya pias itu diam tak menjawab. Ia hanya menggerakan kepalanya pelan, mengangguk.

Siapa dia?

Asoka penasaran bercampur takut.

Perempuan itu mendekati Asoka.  Membiarkan gaun hitamnya yang panjang  menutupi jalan agar Asoka tidak bisa melewatinya. Aroma asing menebar begitu tubuh perempuan itu hanya berjarak sekian jengkal dari tubuh Asoka yang tiba-tiba menggigil kedinginan.

***

Hujan...
Aku sedang membayangkan membunuhmu dan mencari akal bagaimana menyembunyikan mayatmu yang tetap terlihat tampan meski sudah tak bernyawa.
Asoka menyeringai.

Aku tak akan memasukanmu ke dalam karung karena darahmu pasti akan terceder di sepanjang lorong bangunan tua ini. Aku akan membunuhmu tanpa mengeluarkan darah setetes pun.

Asoka tersenyum. Wajahnya yang pucat mulai memerah.

Sungguh aku tak akan tega mendorongmu dari lantai 39 ini. Selain itu pasti tak bisa kupandangi wajahmu sesaat setelah jiwamu lepas dari ragamu, seperti yang kau lakukan saat kau tikam pisau itu tepat di jantungku.
Asoka menelengkan wajahnya.

Aku hanya ingin melihat senyum terakhirmu sebelum keluar dari tubuh calon isterimu. Tetapi aku tak ingin perempuan calon isterimu hidup menderita bersamamu.

Ia perempuan bodoh yang mau saja dipakai untuk membayar hutang keluarganya. Tapi kau jauh lebih bodoh. Tak menaruh curiga ketika Asoka memintanya datang ke apartemen. Lantai 39 mungkin bagi laki-laki perusak perempuan itu adalah sebuah tempat yang penuh sensasi untuk melampiaskan hasrat binatangnya.


Asoka membiarkan Andaru masuk ke kamarnya. Ia, dengan gaun pinknya yang memamerkan ranum dadanya menyambut Andaru dengan senyum. Andaru seperti biasa selalu sibuk dengan dirinya. Ia selalu  berusaha mengendalikan perasaannya setiap melihat Asoka. Ia ingin Asoka menganggapnya lelaki dingin yang tak punya cinta.

“Ada apa memintaku kesini?” tanya Andaru dengan wajah tanpa senyum. Ia melihat ada yang aneh pada diri Asoka. Setahunya Asoka tak pernah memakai gaun dengan warna yang membuat Andaru bergidik. Ia mulai curiga…

Ya..ini bukan kebiasaan Asoka. Asoka tak pernah bersikap manis meski ia termasuk perempuan penurut. Tak pernah pakai gaun apalagi sexy begitu…

“Mau minum apa, Ndaru?” tiba-tiba Asoka telah berada di sisinya. Tersenyum memamerkan bibirnya yang ranum. Matanya menyorot tajam.

Andaru melengos. Badannya mendadak gemetar. Ia melihat mata itu bukan mata milik Asoka. Mata itu milik….

Andaru berpikir keras. Ia merasa pernah melihat mata itu. Siapa? Dimana? Rasanya tak asing..

“Mari kita bersulang…”

Benar, dia bukan Asoka. Kaki Andaru gemetar. Asoka tak pernah minum minumam beralkohol. Tetapi entah mengapa Andaru seperti tak berdaya ketika tangannya dipegang perempuan itu. Andaru juga tak kuasa melepaskan tangan perempuan itu yang terasa dingin.

“Jangan kuatir …aku akan membuatmu senang malam ini,” ujar perempuan itu lalu membelai pipi laki-laki itu. Saat itu Andaru melihat dengan jelas siapa perempuan yang berada di dekatnya. Sangat dekat.

“Ti…..daak! “ Keringat mengucur deras. Padahal suhu udara di ruangan itu seperti di dalam lemari pendingin.

“Kamu mau apa?!” teriak laki-laki itu sambil bergerak menjauh. Tetapi tangan perempuan itu lebih cekatan. Bukannya malah menjauh, Andaru malah kini berada sangat dekat dengan perempuan itu. Perempuan yang sangat dikenalnya.

Kini Andaru berada di alam cengkraman perempuan itu.

“Aku tidak sengaja, Zee…tak bermaksud membunuhmu,” ujar Andaru terbata-bata.

Zee, perempuan itu menatap Andaru dengan sorot tajam.

“Tidak ada guna semua omonganmu. Kau tak hanya membunuhku, tetapi juga janin yang ada di perutku!” teriak perempuan itu lalu dengan cepat tangannya menarik tubuh Andaru yang masih menggigil kedinginan sekaligus ketakutan.

“Kau harus membayar semua itu sekarang!” guman Zee lalu melepaskan cekalannya. Membiarkan Andaru berlari mengelilingi kamar. Zee tak mengejarnya, ia hanya mengikuti arah langkah laki-laki itu. Sampai akhirnya berhenti di jendela kamar yang tertutup tirai tetapi dalam keadaan terbuka lebar.

“Maafkan aku, Zee. Aku mencintaimu. Sumpah…aku tak sengaja…”

Zee menyeringai. Siapa yang percaya padamu, laki-laki biadab?  Ia tetap meneruskan langkahnya. Mendekati Andaru yang posisinya semakin mepet ke jendela yang terbuka.

“Aku sudah memaafkanmu. Aku rindu pada kebersamaan kita. Aku ingin memelukmu…” Zee semakin mendekat dan  tangannya berusaha menggapai tubuh laki-laki yang dulu membuainya dengan janji-janji kosong sampai ia menyerahkan seluruh dirinya untuk laki-laki itu.

Belum sampai tangan perempuan itu menyentuhnya, laki-laki itu telah bergerak lebih cepat. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan panjang, lalu BUKK.

Perempuan itu sempat menengok ke bawah. Ia melihat kerumunan orang. Kemudian perlahan ia membalikan tubuhnya dan menghilang.

***

Keesokan harinya  semua surat kabar mengabari berita kematian Andaru. Lelaki muda diduga bunuh diri setelah mengkonsumsi minuman beralkohol. Dan di atas jenazah laki-laki itu ada setangkai bunga mawar yang tangkainya berdarah. n


Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013
               

No comments:

Post a Comment