Sunday, March 17, 2013

Perjalanan Pulang

Cerpen M. Joenoes Joesoef

NAMAKU Rosanah. Dipanggil Eros kemudian Rossy. Asalku dari Karangsoro, desa miskin di pantai utara. Sawah dan ladang kami sempit-sempit, tak memberikan hasil memadai. Maka kaum prianya sering merantau, menjelajahi kota-kota di sekitar, dekat mau pun jauh. Mereka jadi kuli bangunan, tukang gali, pemulung atau apa saja, asal dapat uang. Sekolahku cuma sampai kelas empat. Orangtuaku bilang, sekolah itu pemborosan.

Ketika aku haid pertamakali, emakku bilang, itu tandanya aku sudah mengancik dewasa, sudah jadi perempuan sejati. Segeralah belajar memacak diri, biar cepat ditaksir laki-laki. Di desa miskin ini, kawinnya seorang anak perempuan akan sangat melegakan orang tua. Mereka akan lepas dari beban dan tanggung jawab, dialihkan ke pundak sang menantu.

Sebetulnya sudah banyak yang menaksir diriku. Aku memang mewarisi penuh kecantikan emakku, yang waktu muda jadi pesinden keliningan, dengan pemuja yang tidak sedikit. Tubuhku tumbuh subur, mudah mengelabui orang tentang usiaku. Tetapi apa andalan para penaksirku itu? Mereka juga masih menggandol pada orangtua masing-masing. Mana bisa mereka memenuhi harapanku untuk lepas dari lilitan kemelaratan.
Masa depan cerah baru nampak, ketika Pak Dawud muncul di desa kami. Dia seorang pencari tenaga kerja, terutama wanita, untuk dikirimkan ke luar negeri. Ke Singapura , Malaysia, Taiwan, Hongkong atau Arab Saudi. Gajinya, katanya, berjuta-juta. Kalau ke Arab Saudi, malah ada keuntungan lain : bisa naik haji.
               
***

Puluhan orang mendaftar. Termasuk aku, setelah direstui bapak dan – terutama – emakku, yang bersemangat sekali mendorongku terima tawaran pekerjaan itu. Ternyata, yang memenuhi syarat – artinya, bisa bayar uang pendaftaran – hanya belasan. Aku sendiri tak perlu membayar samasekali, karena kata Pak Dawud, “Buat si Neng, biarlah semuanya bapak yang tanggung. Si Neng tahunya berangkat saja.”

Sejak semula, Pak Dawud memang nampak punya perhatian khusus kepadaku. Dia perlu-perlukan mampir, berkenalan dengan bapak dan emak, yang langsung senang pada laki-laki itu. Pak Dawud memang pintar membawakan diri. Tutur katanya lembut dan sopan. Dia bilang kepada orangtuaku, “Bapak dan ibu jangan kuatirkan si Neng. Saya akan jaga si Neng secara pribadi. Potong leher saya kalau saya bohong.”

Dan ketika rombongan kami diberangkatkan ke ibukota dengan minibus carteran, aku diperlakukan khusus. Aku diajak naik mobil Pak Dawud, sebuah Toyota Kijang. Betapa meluapnya rasa banggaku, ketika penduduk sedesa memandang terkesima, karena seorang Rosanah duduk berdampingan dengan orang kota.

Tetapi Pak Dawud tidak langsung membawaku ke ibukota. Dia mengajakku menginap di sebuah hotel kecil, tetapi ramai sekali. Perempuan-perempuan berdandan menor lalulalang. Mereka bicara dengan bahasa sembarangan, bahkan bahasa tak sopan. Kata Pak Dawud, “Bapak mau ajak si Neng senang-senang dulu. Urusan pekerjaan, mah, gampang! Besok-besok saja diselesaikan.”
           
***

Malam itu kami tidur sekamar dan seranjang. Mulanya aku merasa risih sekali. Tetapi Pak Dawud bersikap wajar dan kebapakan. Dia tidak omong macam-macam, apalagi berbuat macam-macam. Dia langsung tidur, mendengkur keras. Rasa risihku pelan-pelan sirna. Aku ingat lagi apa yang diucapkannya kepada orangtuaku. Agaknya dia memang teguh memegang ucapannya itu. Alangkah berbudinya Pak Dawud ini, aku membatin.  

Ternyata aku keliru. Pak Dawud bukanlah orang seperti yang kubayangkan. Bahkan sebaliknya. Dia telah mematangkan rencana untuk menjerumuskan aku ke jurang malapetaka yang dahsyat. Dan itu berawal dari datangnya seorang laki-laki lain ke kamar kami pada malam berikutnya. Dibandingkan dengan Pak Dawud, laki-laki itu bertubuh kecil. Mereka bicara dalam suara rendah, tak bisa kudengar. Tetapi yang jelas sekali, mata laki-laki itu tak pernah beralih dari diriku. Di akhir pembicaraan, mereka tertawa-tawa, lalu bersalaman. Dan Pak Dawud bilang, “Bapak ada urusan sebentar, Neng. Tolong si Neng temani Bapak Jahim ini dulu, ya?”

Dan bentuk malapetaka yang sebenarnya pun menjelma, begitu Pak Dawud keluar kamar. Tanpa buang-buang waktu, Pak Jahim meringkusku. Penuh takut dan bingung, aku coba berontak. Tetapi tak banyak yang bisa kuandalkan sebagai gadis desa enambelasan (tetapi di surat keteranganku ditulis duapuluh satu). Aku segera kehilangan daya. Dengan mudah laki-laki itu menguasai diriku. Aku hanya bisa menangis, yang ditanggapi Pak Jahim dengan enteng saja, “Ah, ini kan biasa antara laki-laki dan perempuan, Neng. Tidak usah takut. Malah kalau sudah satu kali merasakan, bisa-bisa si Neng ketagihan, he-he-he!”. Dan dia segera beraksi, mengebut dengan cepatnya, seperti sopir yang tak sabar, langsung tekan pedal gas dalam-dalam. Aku kesakitan sekali. Aku merintih berkepanjangan. Sungguh sial, dia salah menafsirkannya! Dan dia pun jadi tambah bersemangat. Tetapi sesungguhnya yang paling menimbulkan rasa muak dan tertipu adalah bentuk tubuhnya yang kecil itu. Ternyata tak semua bagian tubuhnya kecil.
               
***

Dan sejak malam itu, aku bukan lagi Rosanah yang cuma gadis desa  LAGI ROSANAH YANG CUMA GADIS desa dari Karangsoro. Aku sudah jadi barang dagangan, yang bebas ditawarkan kepada peminat, siapa saja. Aku dipromosikan sebagai “barang baru, yang masih segar dan hangat”. Dan Pak Dawud yang paling menangguk keuntungan.

Akhirnya aku tercampak ke Batam. Di sini aku sudah sepenuhnya menjadi “Rossy” dan menjadi “barang baru” lagi. Aku sukses menjaring pelanggan-pelanggan dari Singapura, terutama pada akhir pekan. Salah seorangnya adalah Mister Kwee, laki-laki empatpuluhan, manajer gudang pendingin hasil laut, katanya. Belakangan aku tahu, dia asal Indonesia juga, bahkan satu kabupaten denganku. Aku pun lalu menyapanya dengan “Oom Kwee”, mengajaknya omong dengan bahasa daerah pantai utara yang khas itu, hingga jadi sangat akrablah kami. Lambat laun, hubungan kami bukan lagi hanya sekadar antara seorang penjaja seks dengan pelanggannya, tetapi menjadi hubungan antara sesama manusia, menjadi lebih manusiawi.

Oom Kwee punya isteri dan anak, tetapi itu bukan anak kandungnya. Maka sangat besar keinginannya untuk juga punya anak sejati. Sayang, isterinya menolak keras, karena akan mengganggu karirnya sebagai pebisnis. Oom Kwee hanya bisa pasrah. Terus terang, dia selalu merasa “dibawah angin” jika menghadapi isterinya itu, yang sebetulnya masih adik sepupunya, anak pamannya. Ya, semua yang dimilikinya sekarang ini, berasal dari pemberian pamannya itu. Bukannya dia tak bisa usaha sendiri. Sewaktu masih di Indonesia , dia sudah berjaya sebagai petambak udang. Tetapi kegemarannya yang tak kenal batas terhadap judi, membikin semuanya berantakan. Lalu dia hijrah ke negeri Singa ini, bekerja di perusahaan pamannya. Sampai kemudian dia diminta menikahi adik sepupunya itu, yang hamil tanpa diketahui siapa penyebabnya, akibat pergaulan yang terlalu bebas.

“Aku ini memang laki-laki beristeri, Rossy,” bilang Oom Kwee suatu kali. “Tetapi aku samasekali tidak bisa merasakan hakekat sebenarnya dari statusku itu. Kamu tahu, isteriku itu dingin sekali. Yang dipikirkannya hanya kerja dan kerja. Dia tak pernah mau melayaniku sepenuh hati. Selalu ogah-ogahan. Makanya aku kelayapan kemana-mana. Aku merasa beruntung sekali, menemui kamu di sini. Ah, Rossy, kamu betul-betul perempuan yang bisa memenuhi semua apa yang dikehendaki laki-laki dari seorang perempuan.”

Oom Kwee adalah pelangganku yang paling tidak sayang pada uangnya. Setiap kali berkencan, sejuta dua juta selalu diserahkannya kepadaku. Sebagai imbalan, aku berusaha melayaninya sebaik yang aku bisa, seakan-akan aku adalah isterinya sejati. Mungkin ini sangat mengesankannya, sehingga pada suatu kali dia bilang, “Rossy, kamu harus ikut aku ke Singapura. Aku merasa tidak bisa pisah lagi dengan kamu. Kamu harus selalu mendampingi aku.”

Sangat bimbang, aku tanya, “Bagaimana dengan isteri Oom Kwee?”

“Gampang! Kita siasati dia. Akan kubilang, kamu adalah pembantu rumah tangga. Sudah lama dia cari-cari pembantu, untuk mengurus tanaman hias di aparteman kami. Kamu tinggal didalam. Ada kamar khusus untuk pembantu. Kamu mau, kan?”

Ke luar negeri?!? Tentu saja aku mau! Bukankah itu yang sebetulnya jadi tujuanku, ketika meninggalkan Karangsoro?
           
***   

Aparteman itu hanya hanya dihuni Om Kwee gdan istrinya. Itu pun dengan kamar terpisah. Sang anak diasuh oleh orangtua Tante Kwee (“tante” hanya sekadar sebutan dariku saja, karena tak pernah sekali pun aku sempat bicara dengan dia). Setiap hari, Tante Kwee berangkat pagi-pagi sekali, stir mobil sendiri. Baru pulang, setelah lewat pukul sembilan malam, malah sering lebih malam lagi. Hari Sabtu dan Minggu pun dia tak pernah ada di rumah. Dia main golf ke mana saja. Bahkan seringkali menyeberang ke Malaysia . Maka sungguh melimpah waktu yang dimiliki Oom Kwee. Sebagian besar dihabiskannya untuk bersenang-senang denganku.

Tetapi benar sekali kata orang, tak ada perbuatan jahat yang tak dihukum. Dan itulah yang kualami, ketika pada suatu hari Sabtu, Tante Kwee pulang main golf jauh lebih cepat dari biasa, sementara aku sibuk melayani suaminya. Aku paham sekali, kalau dia sampai kalap. Tetapi yang tak kubayangkan, dia akan bertindak sejauh itu. Dia hajar kepalaku dengan tongkat golf berkepala besi, ketika aku coba bangkit dari sikap baringku, sementara Oom Kwee berdiri pucat dan telanjang di pojok kamar. Berkali-kali dia lakukan itu. Dan setiap kali kepalaku berderak-derak. Mulanya terasa sakit luar biasa. Tetapi aneh sekali, sebentar saja, rasa sakit itu sudah menghilang. Yang kemudian terjadi, tubuhku menjadi ringan, lalu bisa mengapung, sama halnya dengan para astronot di kapal ruang angkasa, seperti yang kulihat di teve. Kalau aku gerakkan tangan atau kakiku dengan agak keras, tubuhku pun bergerak tak terkendali. Sampai akhirnya aku menumbuk plafon. Dari situ aku menyaksikan pemandangan yang ada di bawah sana . Seram! Tubuhku yang telanjang tergolek di kasur, kepalaku remuk, berkubang dalam darah. Wajah Oom Kwee pucat pasi, tubuhnya gemetar hebat. Sementara Tante Kwee berdiri membelakangi tubuhku, menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Rupanya dia sendiri pun tak kuat menyaksikan akibat perbuatannya.

Tetapi mereka tak lama-lama amat tercekam dengan keadaan di kamar itu. Mereka mulai bicara dengan bahasanya sendiri. Lalu Oom Kwee cepat-cepat berpakaian. Kemudian mulailah suami isteri itu bertindak. Mereka kumpulkan barang-barang yang berharga. Sesudah itu semua kamar diacak-acak. Apa saja dijungkirbalikkan. Lalu mereka tinggalkan apartemen, menuju ke rumah orangtua Tante Kwee. Tentu saja bersama barang-barang berharga itu. Tidak lupa tongkat golf yang dipakai menghajar kepalaku. Pintu apartemen sengaja tidak dikunci.

Setelah tiga hari, para penghuni apartemen yang lain mulai mengendus bau yang tak sedap. Tentu saja itu berasal dari tubuhku, yang masih terbaring di tempat semula dan mulai membusuk. Lalu apartemen diperiksa. Dan terjadilah kegemparan. Polisi datang.

Oom Kwee dan isterinya yang dimintai keterangan bilang, mereka tetirah sejak lima hari yang lalu di rumah orangtua mereka. Aku ditinggal sendirian. Tak lupa mereka ajukan dugaan, aku mungkin diperkosa dan dibunuh oleh perampok atau para perampok. Melihat kenyataan yang ada, polisi cenderung membenarkan dugaan itu.

Tentu saja aku marah dan kecewa sekali. Tetapi apa yang bisa kulakukan? Aku hanya semakin memprihatini diriku sendiri. Selama ini aku betul-betul cuma jadi alat pemuas nafsu laki-laki semata. Ketika aku tak bisa lagi melakukan hal itu, aku tak punya arti apa pun, tidak juga atas nama kebenaran dan keadilan. Lihatlah Oom Kwee itu. Dia tahu kenyataan yang sebenarnya, tetapi dia ingkari. Ya, aku yang masih hidup memang bisa jadi ajang pemuas nafsunya. Tetapi apa gunanya aku yang sudah mati?

Dan sekarang, dalam wadah sempit, kedap udara, aku dalam perjalanan pulang ke Karangsoro. Aku sedih, karena gagal melaksanakan cita-cita hendak memberikan masa depan yang lebih baik kepada bapak, emak, dan adik-adikku. Mereka masih harus tertatih-tatih menempuh jalan panjang kemelaratan itu. Entah sampai kapan. n


Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013

No comments:

Post a Comment