Cerpen Tjak S. Parlan
AKU berjalan-jalan di pinggir jalan.
Orang-orang berkendara entah menuju entah pulang kemana. Tentu belum malam, dan aku sedang senang-senangnya menjalani pagi dengan perasaan bahagia sewajarnya. Masih kuingat, karena empat kali misscall aku beranjak dari ladang kapuk kecilku yang di sekililingnya tembok-tembok dengan gantungan dikerumuni baju-baju kotor dari waktu ke waktu. Ya, empat kali misscall ditambah dengan sekian kali dengung kecil nyamuk biadab menyengat cuping telinga, mengakhiri mimpiku dengan sad ending.
Happy Ending.
Untuk sementara, kesalahan yang paling fatal di tiap-tiap pagi adalah ketika ada yang datang terlalu cepat. Membangunkanku dengan suaranya yang tanpa sengaja —tapi nyaring—memenuhi seluruh ruangan tanpa kedap suara itu. Dan, ketika tubuhnya mulai mendekat, aku mencium aroma itu; aroma terapi pagi. Ada secangkir kopi dengan tatanan yang cukup formal. Dibelai dengan tangan lembut, diperhalus dengan creamer, seonggok asbak bersih, sebungkus rokok dan koran pagi yang tak pernah sekalipun mendukung cita-citaku, pun jika itu datang dari dunia mimpi. Itu semua membuatku tiba pada satu kenyataan: aku terbangun dengan mulut asam cuka dan rasa nyeri di dada yang dari pagi ke pagi belum juga mau pergi.
Detik berikutnya aku mulai mengingat mimpiku. Orang-orang baik itu semalam satu persatu menyembul dari balik bantalku lantas menyuguhkan kebrutalan fisik: menari erotis di depanku. Aku tiba-tiba saja membuat kesepakatan untuk menerima sebuah ajakan. ”Oke, kalau begitu maumu. Aku setuju bercinta denganmu.” Lalu kami menjadi porak poranda, kacau balau oleh irama alur yang tak pernah teratur, kadang serba prematur hingga aku lelah dalam kesia-siaan. Sial benar mimpiku hari ini, batinku.
Tetapi belaian tangan lembut yang diperhalus dengan creamer, seonggok asbak bersih, sebungkus rokok dan koran pagi yang tak pernah sekalipun mendukung cita-citaku bahkan jika itu datang dari dunia mimpi sekalipun itu, akhirnya membuat dua puluh empat jamku terasa tak begitu berat. Setidaknya aku merasa bahagia karena aku masih merasa ada.
Ketika aku sedang bangga-bangganya merasakan yang seperti itu, misscall bertambah satu lagi. Cericit dari HP butut itu merayakan hari kebangkitanku. Selamat pagi, selamat pagi. Nomor-nomor yang kukenal dan selalu memiliki peluang untuk mendapatkan rezeki. Bagaimana aku tak bahagia? Belum berakhir, tapi setidaknya aku bisa menyebutnya dengan: happy ending. Ah, alangkah sederhananya sebuah kebahagiaan.
Anjing-Anjing itu Menatapku Penuh Curiga.
Aku terus saja berjalan-jalan di pinggir jalan. Membiarkan para pengendara memenuhi tubuh jalanan di pagi itu. Sekilas-kilas satu dua tanya menyeruak dalam benak: orang-orang sedang menuju atau tengah kembali? Atau, dalam buntalan daging mereka sudahkah mengendap sari-sari empat sehat lima sempurna, yang dengan gigih didapatkan dari tetesan keringat: pemenuhan hidup yang tak habis-habisnya.
Atau, mereka telah melupakan ritual ”menyantap” di pagi hari untuk menandai bahwa hari itu tips-tips jitu yang tersirat dalam deretan daftar menu bukan lagi sesuatu yang langka untuk didapatkan dengan sebuah pekerjaan. Atau, sekali waktu, mereka tetap selapar aku?
Membayangkan aroma terapi pagi yang menentramkan sembari memuja Sang Pencipta dengan menyerap serangkum firman: ”Hai Anakku bangunlah, sambutlah rizki dari Rab-mu dan janganlah kamu tergolong orang-orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagi Rizki manusia antara terbitnya fajar menjelang terbitnya Matahari.”1]
Ya, aku seperti mendengar kata itu. Entah, mungkin dalam sebuah obrolan menjelang subuh di sebuah surau yang aku sendiri sudah lupa di mana. Tapi benar, aku masih mengingat itu dan seringkali menyaman-nyamankan perasaanku tentang harapan sepotong dua rezeki yang akan turun pagi ini.
Matahari sudah tinggi, aku segera melupakan aroma terapi pagi yang disemprotkan secara samar dalam jiwa dan ragaku. Apalah artinya tubuh ini yang terus menandai gerak, sementara ada sisa kebekuan yang terus diam jauh di palung jiwa sana. Sekali waktu terasa apek, menyengat atau sama sekali tak terasa. Dan pagi itu telah tumbuh menjadi perpaduan keduanya: aku bergerak dalam kediaman jiwaku yang tak sanggup bergerak. Aku hanya berderak-derak.
Maka seperti gemeretak tulang-tulang yang memburai dari buntalan dagingku sendiri, langkahku menggenapi kehidupan pagi. Di tengah orang-orang yang saling berteguran secara mekanis, para pekerja atau pengabdi robotik, sisa detail yang kuperhatikan adalah segerombolan anjing kumal di tikungan jalan. Keruh matanya mendahului usia yang sebenarnya.
Di depan pure, di dekat mesjid, dua tiga anjing itu menatapku dengan mata cengang. Bukan tatapan mengagumi, tapi lebih ke arah iba dan keheranan. Sekejap kemudian—ketika aku merasa harus diam sedetik dua—air liurnya mulai menetes. Aku segera mencium bau busuk bangkai. Tulang-tulang yang saban hari menabung bibit-bibit osteoporosis itu teraniaya diantara serpihan daging. Darah beku, warnanya hitam nyaris kelabu. Tidak ada yang lebih mendominasi stimulan bayangan buruk itu selain taring-taring runcing yang haus akan darah, daging dan tulang renyah ini. Aku merasa jijik, spontan meludah: sebuah improvisasi penolakan. Dan kepada mereka —anjing-anjing itu— kuberikan tatapan permakluman bahwa aku bukan mangsa yang pantas di pagi yang sederhana ini. Aku segera meninggalkan wilayah kengerian itu, berjalan lagi, membawa tubuh yang minus empat sehat lima sempurna ini berlalu menuju siang.
Angin Ribut di Tikungan.
Aku bertaruh. Aku berjudi untuk siang yang pecah dan gerah ini. Lempengan aspal yang membujur panjang ini akan menjadi saksi. Mungkin sekitar sepuluh hasta ke depan, di jalan menikung sedikit dekat jembatan, ia akan lewat. Menyapaku dengan samar, sekilas senyuman, sedikit tolehan. Lalu seperti biasa, aku akan sedikit telat memberikan respon. Setelah semua berlalu, bayangannya lenyap di tikungan yang lain, energi kesadaranku kembali terbangun, utuh dan percaya bahwa yang baru saja terjadi itu adalah perjumpaan. Sekilas interaksi. Satu tegur sapa pendek yang menjadikanku ada.
Aku berjalan saja. Berjalan terus, sampai aku melihat beberapa kejadian yang pernah kulihat sebelumnya. Tempatnya persis, pelakunya sama tapi waktunya berbeda. (Sebab aku tak bisa menandai kapan tepatnya itu terjadi).
Punggung jembatan itu kini sudah di pelupuk mata. Aku bisa mencium anyir sungai sampah meruap oleh angin dari bawahnya. Empat ekor anjing mengibaskan ekornya. Moncongnya runduk di himpitan kertas nasi. Seseorang di sebelahnya, yang tubuhnya ringkih dan tua memindai ladang kotoran di depan matanya. Kotoran mekanis, botol-botol minuman dari air mineral yang semakin laku di pasaran. Seekor anjing mengonggong pendek, mengabarkan kekecewaan pada tiga kawannya: hanya ada tulang lemuru hari ini. Dan si tua yang ringkih itu tak peduli. Tangan-tangannya yang terbungkus sarung tangan jorok, semakin gemar bergerak keluar masuk di karung rami: lumayan hasil tangkapanku hari ini.
Waktu berikutnya aku sudah melampaui jembatan itu. Menjadi pemandangan biasa seperti lalu lalang orang-orang. Aku tak melihatnya seperti yang pernah kuduga sebelumnya. Tak ada tegur sapa sependek penggalan apapun. Tak ada sekilas senyuman, bahkan sedikit tolehan. Tak ada pertemuan. Di seputar jalanan itu yang kutemui justru sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ada suara menderu, sontak menghentikan gerakan orang-orang di jalan.
Tapi daun-daun segera bergerak cepat. Bergerak bersama energi angin yang murka. Debu-debu tayamum, sari-sari dari berinci-inci kotoran, memecah-pecah dari kesatuannya. Terbang semaunya dan mendera sekenanya setiap obyek di dekatnya. Setelah dikeruk oleh gulungan angin yang akan menyusun kekuatannya menjadi badai, segala yang ada di tanah dan di atasnya semrawut. Berderak-derak, menampar-nampar, memutar seperti gasing, kencang-kencang menerpa.
Tak ada wujud apapun seketika itu. Ya, selain kepanikan sebentar yang menyisakan keterlambatan ramalan cuaca. Dan aku berdiri mematung dengan tiga empat suara di belakangku: sentakan klakson kendaraan, lebih mengagetkan ketimbang deru. Ada suara makian, lebih riuh dan menghantam dibanding umpatan angin. Ada aroma busuk emosi yang menyengat hati, lebih menusuk ketimbang kerikil-kerikil yang dihempaskan. Ada sepotong dua wajah congkak yang melambungkan tensi darah.
Aku hanya memberikan tolehan ringan. Berlalu tanpa sempat meminta maaf.
Lalu perlahan cuaca berubah. Angin kembali normal. Orang-orang berkendara sewajarnya membunuh kecemasan yang sebentar tadi melanda. Aku terus berjalan-jalan di pinggir jalan. Aku mengikuti alur, meninggalkan keributan arah mata angin. Terus. Terus hingga langkah kecilku menuju suatu tempat muasal lima kali misscall itu menunggu. Seseorang mungkin akan memberiku pekerjaan sederhana siang ini. Atau kalau tidak, aku pasti akan merasa baik-baik saja menemaninya minum kopi. Aku memiliki pertaruhan sederhana untuk hari ini. n
1] HR. Baihaqi
Lampung Post, Minggu, 31 Maret 2013
AKU berjalan-jalan di pinggir jalan.
Orang-orang berkendara entah menuju entah pulang kemana. Tentu belum malam, dan aku sedang senang-senangnya menjalani pagi dengan perasaan bahagia sewajarnya. Masih kuingat, karena empat kali misscall aku beranjak dari ladang kapuk kecilku yang di sekililingnya tembok-tembok dengan gantungan dikerumuni baju-baju kotor dari waktu ke waktu. Ya, empat kali misscall ditambah dengan sekian kali dengung kecil nyamuk biadab menyengat cuping telinga, mengakhiri mimpiku dengan sad ending.
Happy Ending.
Untuk sementara, kesalahan yang paling fatal di tiap-tiap pagi adalah ketika ada yang datang terlalu cepat. Membangunkanku dengan suaranya yang tanpa sengaja —tapi nyaring—memenuhi seluruh ruangan tanpa kedap suara itu. Dan, ketika tubuhnya mulai mendekat, aku mencium aroma itu; aroma terapi pagi. Ada secangkir kopi dengan tatanan yang cukup formal. Dibelai dengan tangan lembut, diperhalus dengan creamer, seonggok asbak bersih, sebungkus rokok dan koran pagi yang tak pernah sekalipun mendukung cita-citaku, pun jika itu datang dari dunia mimpi. Itu semua membuatku tiba pada satu kenyataan: aku terbangun dengan mulut asam cuka dan rasa nyeri di dada yang dari pagi ke pagi belum juga mau pergi.
Detik berikutnya aku mulai mengingat mimpiku. Orang-orang baik itu semalam satu persatu menyembul dari balik bantalku lantas menyuguhkan kebrutalan fisik: menari erotis di depanku. Aku tiba-tiba saja membuat kesepakatan untuk menerima sebuah ajakan. ”Oke, kalau begitu maumu. Aku setuju bercinta denganmu.” Lalu kami menjadi porak poranda, kacau balau oleh irama alur yang tak pernah teratur, kadang serba prematur hingga aku lelah dalam kesia-siaan. Sial benar mimpiku hari ini, batinku.
Tetapi belaian tangan lembut yang diperhalus dengan creamer, seonggok asbak bersih, sebungkus rokok dan koran pagi yang tak pernah sekalipun mendukung cita-citaku bahkan jika itu datang dari dunia mimpi sekalipun itu, akhirnya membuat dua puluh empat jamku terasa tak begitu berat. Setidaknya aku merasa bahagia karena aku masih merasa ada.
Ketika aku sedang bangga-bangganya merasakan yang seperti itu, misscall bertambah satu lagi. Cericit dari HP butut itu merayakan hari kebangkitanku. Selamat pagi, selamat pagi. Nomor-nomor yang kukenal dan selalu memiliki peluang untuk mendapatkan rezeki. Bagaimana aku tak bahagia? Belum berakhir, tapi setidaknya aku bisa menyebutnya dengan: happy ending. Ah, alangkah sederhananya sebuah kebahagiaan.
Anjing-Anjing itu Menatapku Penuh Curiga.
Aku terus saja berjalan-jalan di pinggir jalan. Membiarkan para pengendara memenuhi tubuh jalanan di pagi itu. Sekilas-kilas satu dua tanya menyeruak dalam benak: orang-orang sedang menuju atau tengah kembali? Atau, dalam buntalan daging mereka sudahkah mengendap sari-sari empat sehat lima sempurna, yang dengan gigih didapatkan dari tetesan keringat: pemenuhan hidup yang tak habis-habisnya.
Atau, mereka telah melupakan ritual ”menyantap” di pagi hari untuk menandai bahwa hari itu tips-tips jitu yang tersirat dalam deretan daftar menu bukan lagi sesuatu yang langka untuk didapatkan dengan sebuah pekerjaan. Atau, sekali waktu, mereka tetap selapar aku?
Membayangkan aroma terapi pagi yang menentramkan sembari memuja Sang Pencipta dengan menyerap serangkum firman: ”Hai Anakku bangunlah, sambutlah rizki dari Rab-mu dan janganlah kamu tergolong orang-orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagi Rizki manusia antara terbitnya fajar menjelang terbitnya Matahari.”1]
Ya, aku seperti mendengar kata itu. Entah, mungkin dalam sebuah obrolan menjelang subuh di sebuah surau yang aku sendiri sudah lupa di mana. Tapi benar, aku masih mengingat itu dan seringkali menyaman-nyamankan perasaanku tentang harapan sepotong dua rezeki yang akan turun pagi ini.
Matahari sudah tinggi, aku segera melupakan aroma terapi pagi yang disemprotkan secara samar dalam jiwa dan ragaku. Apalah artinya tubuh ini yang terus menandai gerak, sementara ada sisa kebekuan yang terus diam jauh di palung jiwa sana. Sekali waktu terasa apek, menyengat atau sama sekali tak terasa. Dan pagi itu telah tumbuh menjadi perpaduan keduanya: aku bergerak dalam kediaman jiwaku yang tak sanggup bergerak. Aku hanya berderak-derak.
Maka seperti gemeretak tulang-tulang yang memburai dari buntalan dagingku sendiri, langkahku menggenapi kehidupan pagi. Di tengah orang-orang yang saling berteguran secara mekanis, para pekerja atau pengabdi robotik, sisa detail yang kuperhatikan adalah segerombolan anjing kumal di tikungan jalan. Keruh matanya mendahului usia yang sebenarnya.
Di depan pure, di dekat mesjid, dua tiga anjing itu menatapku dengan mata cengang. Bukan tatapan mengagumi, tapi lebih ke arah iba dan keheranan. Sekejap kemudian—ketika aku merasa harus diam sedetik dua—air liurnya mulai menetes. Aku segera mencium bau busuk bangkai. Tulang-tulang yang saban hari menabung bibit-bibit osteoporosis itu teraniaya diantara serpihan daging. Darah beku, warnanya hitam nyaris kelabu. Tidak ada yang lebih mendominasi stimulan bayangan buruk itu selain taring-taring runcing yang haus akan darah, daging dan tulang renyah ini. Aku merasa jijik, spontan meludah: sebuah improvisasi penolakan. Dan kepada mereka —anjing-anjing itu— kuberikan tatapan permakluman bahwa aku bukan mangsa yang pantas di pagi yang sederhana ini. Aku segera meninggalkan wilayah kengerian itu, berjalan lagi, membawa tubuh yang minus empat sehat lima sempurna ini berlalu menuju siang.
Angin Ribut di Tikungan.
Aku bertaruh. Aku berjudi untuk siang yang pecah dan gerah ini. Lempengan aspal yang membujur panjang ini akan menjadi saksi. Mungkin sekitar sepuluh hasta ke depan, di jalan menikung sedikit dekat jembatan, ia akan lewat. Menyapaku dengan samar, sekilas senyuman, sedikit tolehan. Lalu seperti biasa, aku akan sedikit telat memberikan respon. Setelah semua berlalu, bayangannya lenyap di tikungan yang lain, energi kesadaranku kembali terbangun, utuh dan percaya bahwa yang baru saja terjadi itu adalah perjumpaan. Sekilas interaksi. Satu tegur sapa pendek yang menjadikanku ada.
Aku berjalan saja. Berjalan terus, sampai aku melihat beberapa kejadian yang pernah kulihat sebelumnya. Tempatnya persis, pelakunya sama tapi waktunya berbeda. (Sebab aku tak bisa menandai kapan tepatnya itu terjadi).
Punggung jembatan itu kini sudah di pelupuk mata. Aku bisa mencium anyir sungai sampah meruap oleh angin dari bawahnya. Empat ekor anjing mengibaskan ekornya. Moncongnya runduk di himpitan kertas nasi. Seseorang di sebelahnya, yang tubuhnya ringkih dan tua memindai ladang kotoran di depan matanya. Kotoran mekanis, botol-botol minuman dari air mineral yang semakin laku di pasaran. Seekor anjing mengonggong pendek, mengabarkan kekecewaan pada tiga kawannya: hanya ada tulang lemuru hari ini. Dan si tua yang ringkih itu tak peduli. Tangan-tangannya yang terbungkus sarung tangan jorok, semakin gemar bergerak keluar masuk di karung rami: lumayan hasil tangkapanku hari ini.
Waktu berikutnya aku sudah melampaui jembatan itu. Menjadi pemandangan biasa seperti lalu lalang orang-orang. Aku tak melihatnya seperti yang pernah kuduga sebelumnya. Tak ada tegur sapa sependek penggalan apapun. Tak ada sekilas senyuman, bahkan sedikit tolehan. Tak ada pertemuan. Di seputar jalanan itu yang kutemui justru sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ada suara menderu, sontak menghentikan gerakan orang-orang di jalan.
Tapi daun-daun segera bergerak cepat. Bergerak bersama energi angin yang murka. Debu-debu tayamum, sari-sari dari berinci-inci kotoran, memecah-pecah dari kesatuannya. Terbang semaunya dan mendera sekenanya setiap obyek di dekatnya. Setelah dikeruk oleh gulungan angin yang akan menyusun kekuatannya menjadi badai, segala yang ada di tanah dan di atasnya semrawut. Berderak-derak, menampar-nampar, memutar seperti gasing, kencang-kencang menerpa.
Tak ada wujud apapun seketika itu. Ya, selain kepanikan sebentar yang menyisakan keterlambatan ramalan cuaca. Dan aku berdiri mematung dengan tiga empat suara di belakangku: sentakan klakson kendaraan, lebih mengagetkan ketimbang deru. Ada suara makian, lebih riuh dan menghantam dibanding umpatan angin. Ada aroma busuk emosi yang menyengat hati, lebih menusuk ketimbang kerikil-kerikil yang dihempaskan. Ada sepotong dua wajah congkak yang melambungkan tensi darah.
Aku hanya memberikan tolehan ringan. Berlalu tanpa sempat meminta maaf.
Lalu perlahan cuaca berubah. Angin kembali normal. Orang-orang berkendara sewajarnya membunuh kecemasan yang sebentar tadi melanda. Aku terus berjalan-jalan di pinggir jalan. Aku mengikuti alur, meninggalkan keributan arah mata angin. Terus. Terus hingga langkah kecilku menuju suatu tempat muasal lima kali misscall itu menunggu. Seseorang mungkin akan memberiku pekerjaan sederhana siang ini. Atau kalau tidak, aku pasti akan merasa baik-baik saja menemaninya minum kopi. Aku memiliki pertaruhan sederhana untuk hari ini. n
1] HR. Baihaqi
Lampung Post, Minggu, 31 Maret 2013