Cerpen Swandini Wiratmo
SUARA orang ber-uro-uro tembang Jawa terdengar gamblang di lereng Merapi. Ditingkahi angin yang sejuk, para pria tampak nikmat menghisap rokok linting klembak menyan, dari tembakau irisan. Bau kemenyannya menyebar ke mana-mana dan membuat pusing.
Enam penari serimpi meliuk-liuk lemah gemulai. Orang-orang desa, tua, muda, dan anak-anak asyik menyaksikan pementasan geladi resik wayang orang di Padepokan Seni Cipta Budaya, di samping kantor kelurahan. Kendati begitu, di luar pun anak-anak dengan bertelanjang kaki berlari-larian bermain jitungan. Mereka sepertinya tak terusik tarian-tarian yang akan digelar pada malam Suro itu.
"Tinggal dua hari lagi kita akan pentas," kata Ndoro Panji Kimpul, salah satu sesepuh warga Dusun Tutup Ngisor, di lereng Gunung Merapi.
Sambil menghisap rokok lintingnya, Ndoro Panji Kimpul yang juga ahli kebatinan kembali berkata: "Kita harus tampil lebih bagus ketimbang pementasan bulan Mauludan, kemarin. Karena pementasan Suro, amat sakral," tandas Ndoro Kimpul ketika membuka acara tersebut.
Tanggal 1 Muharram, memasuki tahun baru Islam. Seperti yang dilakukan orang-orang Jawa, biasanya pada malam 15 Suro atau Mualudan melakukan lek-lekan, untuk mencari wangsit, atau mencari sesuatu yang lebih baik.
"Bagaimana kalau tiba-tiba Merapi marah lagi. Apa kita juga jadi mentas?" tanya Sastro menyiasati perkataan Ndoro Kimpul.
Ndoro Kimpul kembali menghisap rokok lintingnya dalam-dalam. Kepulan asap menyeruak naik ke atas. Pikiran Ndoro Kimpul menerawang jauh, yakni pada zaman para leluhur-leluhurnya. Mereka tak peduli hujan atau gunung meletus, pentas wayang orang itu pasti dilaksanakan. Justru dengan adanya gegebluk tersebut, semakin memacu untuk mementaskan. Dan mereka yakin, dengan pentas sebagai laku menolak balak.
Maka dipilihnya hari sakral pada 15 Suro, 12 Maulud, sehari setelah Idulfitri, dan 17 Agustus. Keempat hari tersebut sudah digariskan setiap tahun mementaskan kesenian yang telah melebur pada warga tersebut.
"Harus dilaksanakan. Acara ini merupakan salah satu guyub bagi warga Dusun Tutup Ngisor," kata Ndoro Kimpul serius.
"Kita masih ingat leluhur kita, Romo Wesi Geni. Beliau berpesan, acara wayangan tak boleh ditiadakan, kendati guntur menggelegar ataupun Merapi mengamuk," tandasnya mantap.
Penduduk desa yang berkumpul sedari tadi kelepas-kelepus mengembuskan isapan rokok linting hanya manggut-manggut saja. Seolah memberi isyarat mengiyakan ucapan Ndoro Kimpul.
"Kalau tak jadi pentas, berarti sudah menyalahi aturan. Itu pertanda kita sudah tidak patuh lagi dengan adat," kata Sudarmo, penyuluh desa. Angin berembus kencang. Turun ke lembah. Menebarkan hawa dingin. Orang-orang pun yang duduk terus menghisap rokok lintingnya dalam-dalam. Untuk menghangatkan badan. Sembari menaikkan sarungnya. Sehingga menutupi sebagian muka. "Wah, apa mau hujan. Kok dingin banget," ujar Karto.
"Iya. Lihat saja mendung seperti telah menggulung rembulan," kata Firman menimpali omongan Karto.
Malam semakin larut. Hujan pun muntah dari langit. Namun, alunan gending Jawa terdengar bertalu-talu. Para wiyaga, malah tampak makin bersemangat. Mereka seperti tak hiraukan lebatnya hujan yang mengenangi rumah dan jalanan. Serta udara dinginnya malam.
Apalagi mereka ingat bahwa pementasan kali ini bukan hanya guyub warga Dusun Tutup Ngisor. Tapi juga guyub bersama warga di luar daerah, di Desa Ngaglik.
"Pasti pentas Mauludan ini lebih bagus. Lihat saja, para pemain berlatih tanpa cacat. Pantaslah geladi resik cuman sebentar," ujar Muin memuji. Sehingga Ndoro Kimpul tampak puas dan beliau berpesan para pemain tidak boleh mengecewakan penonton.
Malam berjalan perlahan. Hujan pun telah reda. Orang-orang bergerombol pulang. Sambil berjingkat-jingkat mereka berjalan menerobos gelapnya malam.
Dus, malam tanggal 12 Maulud pun tiba. Para pemain berangkat naik truk ke Desa Ngaglik. Terlihat di sepanjang jalan para penjual makanan dengan memakai lampu teplok sudah menggelar dagangannya. "Pasti nanti pergelaran akan sukses. Lihat saja, banyak orang bergerombol di jalan. Mereka pasti akan menonton kita," ujar Sukiyem, yang biasa berperan sebagai Arjuna itu girang.
Malam pun bergulir. Tampak jejeran wayang orang, bentangan kain wayang, dan waranggana telah bersimbuh di atas panggung. Kemudian, gending mengalun perlahan. Mereka sepertinya telah terhipnotis dengan suasana sakral yang mulai terbangun. Apalagi ketika suluk dimulai. Ditambah tiga sinden, berwajah ayu menembangkan gending-gending merdu, memicunya makin bersemangat.
Beberapa kelir digulung. Pementasan didahului dengan igelan tari serimpi. Kemudian, lakon pertunjukan Maruti: Geger Alengka, untuk pementasan gebyar bulan Suro.
Galibnya, kendati tontonan wayang orang ini gratis, hanya segelintir orang saja yang menyaksikan pertunjukan tersebut.
"Saya tidak mengira sama sekali, penonton hanya sedikit," kata Sukiyem, pemeran Biyung Emban kepada Sutarmi.
"Iya, katanya di desa sebelah ada pertunjukan dangdut. Mereka lebih suka menonton dangdut ketimbang wayang orang," kara Sutarmi yang juga pemeran Emban sambil membenahi selendangnya.
Pukul 24.00 WIB, pertunjukkan selesai. Penonton satu per satu meninggalkan tempat.
Ndoro Kimpul, pemimpin Padepokan Seni Cipta Budaya merasa puas, kendati pertunjukan wayang orang sepi penonton. "Pantas saja, penontonnya sedikit, wong mendung, kok," katanya kepada para pemain. "Acara pementasan cukup berhasil, kamu lihat sendiri kan mau hujan gerimis. Dan, penonton juga tak terusik beranjak dari tempat duduknya. Ini berarti mereka sangat menghargai kesenian tradisional," katanya menyakinkan anggotanya.
"Saya bersyukur kepada Allah. Pementasan ini sukses," kata Ndoro Kimpul bersemangat.
Esoknya, anggota wayang orang dari Padepokan Seni Cipta Budaya meninggalkan Desa Ngaglik.
Kembali ke Desa Tutup Ngisor yang tetap tenteram. Tak pernah berkecamuk percikan pertikaian dan kembali berkesenian. Pola hidup dan tata cara berkesenian kental warga Dusun Tutup Ngisor.
Pandangan hidup tercermin dari pentas wayang mereka. Tak ada tokoh yang mati. Warga Dusun Tutup Ngisor menyiasati bahwa kekalahan tidak harus berakhir dengan kematian. Maka, perang antar-Pandawa dan Kurawa dalam Perang Bharatayudha tak pernah mereka pentaskan. Alasannya, mereka adalah bersaudara. Jadi, dicarikan lakon yang baik tanpa harus ada adegan permusuhan, apalagi pembunuhan.
Selain itu, keluarga Padepokan Seni Cipta Budaya tak pernah menggambarkan atau menampilkan tokoh-tokoh wayang yang bernasib tragis. Namun, khusus pada adegan Perang Kembang antara Cakil dan Arjuna, tokoh Cakil tetap dimatikan. Alasannya, Cakil melambangkan hawa nafsu angkara murka. Nafsu angkara murka itu wajib dibunuh dalam sanubari.
"Saya sangat bangga dengan Romo Sindul yang rela menyerahkan tanahnya kepada Desa Tutup Ngisor untuk berkesenian--cara berkesenian mereka bukan bertumpu pada uang, melainkan jaringan alam semesta," tambah Raden Sangkur.
Selama 24 jam, mereka menyatukan hidup dalam seni. Selagi pentas, kendati tak dilihat orang mereka tak kecewa. Wayang orang yang begitu dicintainya, menjadi suluh bagi barometer kekuatan budaya mereka. Mengaktualisasikan dirinya, mengajar nilai adiluhung dengan pentas cerita soal budaya.
Mereka tidak pernah pesimitis. Kendati wayang orang dianggap tidak punya masa depan. Karena itu, tiap kali mereka ditanya, raut ketidakyakinan akan kembalinya masa keemasan wayang orang selalu muncul pada wajah-wajah mereka. Ketidakyakinan itu bukan tanpa dasar. Selama pertunjukan di desa lain, kadangkala hanya beberapa pementasan saja yang dipadati penonton.
Berkesenian laku wajib bagi warga. Maka, tak heran bila wayang orang tersebut sering diundang di luar daerah. Mereka yang mengundang kendati tak jarang tidak dibayar. Jika mereka memberi, ya diterima. Kalaupun tidak, ya tidak jadi apa. Pemberian itu biasanya dibelikan alat-alat. Sisanya dibagi rata sesama pemain.
Kenyataannya, permintaan untuk pentas datang silih berganti. Pantaslah di papan yang tergantung di tempat latihan, tertulis jadwal pentas di daerah lain. Kalau dapat sisa pentas lumayan. Sekitar Rp3.500 untuk menambah beli makanan anak-anak.
"Coba, saudara bayangkan. Apa yang ada di luar sekeliling kita. Selalu gemuruh ramai orang saling fitnah-menfitnah, baku hantam, bahkan bunuh-membunuh," kata Ndoro Kimpul ketika latihan rutin setiap malam Minggu.
"Tapi, di desa kita tidak pernah terjadi percikan pertikaian," kata Ndoro Kimpul lagi.
Bahkan, sewaktu Bapak Raden Sangkur, lurah Desa Ngaglik memberi sambutan selalu memuji. "Saya bangga terhadap warga Tutup Ngisor yang unik. Konon, rasa iri atau persaingan tak sehat, jauh dari batin mereka. Tabu berselisih antartetangga," kata Raden Sangkur yang hadir juga pada acara tersebut.
Mereka pun asyik ngobrol, dari kesenian hingga persoalan masalah bangsa ini. Di tengah era globalisasi dan informasi, mereka lebih menyukai pementasan musik rock ataupun dangdut.
Mereka harus tabah ditonton barisan kursi kosong. Tapi mereka yakin, jumlah penonton memang bukan satu-satunya ukuran untuk menilai eksistensi sebuah kesenian.
Mereka selalu memegang pameo sesepuh yang mahir mendalang Sastroprawiro. "Bila kesenian lahir dari hati nurani, senimannyalah yang menentukan estetik seni itu, bukan penonton ataupun siapa saja."
Memang patut disayangkan, kalau dalam pementasan hanya ditonton segelintir orang. Namun yang menjadi pertanyaan mereka, apa sebetulnya yang membuat jenis kesenian adiluhung ini ditinggalkan penontonnya. Padahal, wayang tak hanya ngudal belulang, tapi juga sarat filsafat dan penuh keindahan. Dialognya kental, humornya cerdas, dan igelan wayangnya sangat indah dan menghibur. Wayang juga lambang sekaligus bayangan dari realita semesta, ajarannya dikutip tiap hari.
Sekaligus wayang orang menjadi seni marginal. Yang kini sepertinya menjadi kekuatiran banyak seniman. Karena sudah jadi kenyataan, wayang orang dipinggirkan. Sehingga tak jarang grup wayang orang legendaris kalau mengadakan pertunjukkan seperti amal gratis. Namun, mereka tak pernah meminta. “Ora ilok. Wong cilik kuwi prasasat kandang langit kemul mega. Tapi barang siapa menguasai bibit, dia akan menguasai kehidupan," ujar Ndoro Kimpul perlahan.
Lampung Post, Minggu, 28 Maret 2010
Sunday, March 28, 2010
Sunday, March 21, 2010
Percintaan Empat Puluh
Cerpen Muhammad Muis
HARI masih pagi benar. Sesekali masih terdengar kokok-kokok ayam dari seputar rumah dan kebun-kebun penduduk. Burung-burung riang bercericit gembira beranjak dan terbang dari sarang-sarangnya dan mulai beterbangan kian kemari, bersenda gurau menyambut pagi, menyambut hari baru. Halimun masih menyelimuti desa kecil itu. Di ujung pematang, di kejauhan, di antara rimbun pepohonan, belukar, dan gunung yang kekar sang mentari belum tegas memperlihatkan garang sinar emasnya, seakan masih malas beranjak dari peraduannya. Sisa-sisa kabut masih menari-nari di seputar ujung-ujung pucuk-pucuk dedaunan dan hutan pinus nun di ujung kampung. Rasa dingin masih menusuk hingga ke tulang-tulang sumsum.
Sudah dua hari aku mudik. Pagi ini, selesai salat subuh aku berolahraga dengan berjalan-jalan mengitari seantero desa dengan menyusuri jalan-jalan setapak menuju persawahan. Bertahun-tahun aku tak pernah lagi pulang kampung. Kata kawanku, Jakarta telah memesona dan memenjaraku di perutnya, aku sudah lupa kampung halaman. Kubenamkan dalam-dalam kerinduan yang memuncak itu. Ah, mereka takkan pernah bisa mengerti.
Kisah ini terjadi dua puluh satu tahun yang lalu.
Adalah Jamilah nama perempuan itu. Tujuh belas tahun usianya kala itu, hanya terpaut sedikit dari usiaku. Aku kelas tiga SMA dan ia kelas satu. Tujuh belas, sweet seventeen, saat bunga semerbak harum dan ranum nan segar siap dipetik. Banyak kumbang yang ingin berlaga untuk mencium segar wangi bunga itu, bahkan ingin memetiknya.
Jamilah gadis berkerudung. Pink adalah jilbab kesukaannya. Oval wajahnya, bangir hidungnya, teduh tatap matanya, tipis bibirnya, putih mulus kulitnya, gembira air mukanya, dan seolah bercahaya wajahnya. Paras bercahaya dalam balutan jilbab itu kuyakin karena sering dibasuh dengan air wudu. Jamilah adalah seorang muslimah yang taat. Siapa pun mengakui itu. Ia adalah sebuah pesona. Pesona itu bukan hanya nama yang indah: Jamilah bermakna �indah, cantik�, tetapi juga pada tingkah dan tutur katanya, yang akan memenjara lelaki mana pun yang melihatnya dengan hiasan senyum manis yang kerap tersungging dari bibir mungilnya.
Hari itu, dua puluh satu tahun yang lalu, ketika pagi-pagi aku bersepeda ke sekolah, Jamilah, seperti biasa, menyapaku. Entah mengapa, kali ini, perasaanku amat lain. Ada sesuatu yang takkan dapat kulukiskan dengan kata-kata tentang itu. Sapaan dan senyum manisnya pagi itu seolah membuat dunia berhenti sejenak berputar, seakan kali ini dunia berada di bawah kuasaku, dunia seakan berpihak padaku. Bunga desa itu benar-benar menjerat dan memenjarakan dalam pesona kecantikan Cleopatranya. Aku terkesiap, darah seolah berhenti mengalir, detak jantung bagai diam, dan perasaan luar biasa aneh menjalari sekujur tubuh. Aku serasa memilikinya, serasa memiliki dunia seisinya. Orang lain seakan mengontrak saja di dunia ini. Rasanya aku limbung dan hampir terjatuh dari atas sadel sepedaku. Jarak 15 km ke kota pagi itu kutempuh serasa amat cepat. Benar-benar aku tak hirau akan letihku.
"Assalamu�alaikum...!"
Sebuah salam menyentakkanku di pagi itu. Aku pun menoleh.
"Wa'alaikum salam."
Saat mencapai persimpangan jalan itu aku terkejut bukan buatan ketika mendengar ucapan itu. Perempuan muda berjilbab pink itu seakan memutarkan video kenangan masa lalu kami yang indah, sebuah nostalgia masa remaja. Akan tetapi, dalam nostalgia itu juga ada kepedihan.
Dua puluh satu tahun sudah cinta membenamkanku di bawah telapak kakinya. Selama itu pula sudah cinta itu membuatku bertahan menahan rindu dendam tak terperi padanya, juga kerinduan pada keluarga dan kerabatku.
Wajah perempuan itu kupastikan tidak banyak yang berubah: masih tetap cantik, seperti dulu. Yang begitu tampak nyata pada wajah itu adalah bercak hitam yang membekas di dahinya. Aku tahu, tanda itu adalah bekas sujudnya. Selain itu, tatapan mata yang dulu demikian tenang dan teduh kini tampak semakin teduh. Ia kelihatan semakin dewasa, matang, dan seakan kenyang dengan penderitaan. Melihat tatapan teduh itu, yang sesekali menatap ke arahku, aku hampir tidak kuat berdiri di atas kedua kakiku. Aku seakan-akan hampir ambruk. Tuhan, tolonglah hamba....Serasa ingin aku berenang dalam keteduhan dan ketenangan telaga bening itu. Satu tatapannya pagi itu tak dapat kuceritakan maknanya, hanya ia dan Tuhanlah yang tahu.
Di depannya sering aku tidak sanggup untuk banyak berkata-kata dan menatap ke dalam kedua bola matanya. Sejujurnya, aku malu bahwa pada usiaku yang sudah kepala empat ini dadaku masih berdegup begitu keras di depan perempuan berjilbab merah jambu ini. Aku malu, ini seperti anak ABG, tetapi aku tak kuasa menghindarinya.
"Apa kabar?" tanyanya.
"Baik," jawabku, singkat. "Dan kau?"
"Alhamdulillah, baik juga."
Aku berhenti melangkah.
"Kapan kau tiba?"
"Kemarin."
Ia diam.
"Mau ke mana?" tanyaku kemudian.
"Ke sawah, biar belum begitu panas."
"Tidak dengan bapak dan ibu?"
"Sebentar lagi ibu menyusul, masih repot."
"Oh...."
"Aku sudah dengar dari adikmu bahwa kau akan pulang."
Aku diam.
Kulihat ia menatap ke hampir sekujur tubuhku. Dari sepatu sportku hingga topiku tak luput dari tatapnya. Ia lalu membuang pandangannya ke arah kejauhan, ke arah sang surya yang mulai beranjak naik.
"Kau masih rajin olahraga seperti dulu."
Aku mengangguk.
"Coba kaulihat pohon besar tua itu," katanya sembari menunjuk sebuah pohon besar dan tua. Wajahnya berbinar gembira. Ia seakan ingin membawaku pada kenangan masa lalu.
Di tempat yang tidak jauh dari pesantren itulah aku, Jamilah, dan kawan-kawan kami sering bermain-main tatkala lelah belajar dan mengaji di masa remaja kami.
Aku memilih-milih kata dan kalimat yang tepat untuk melanjutkan perbincangan dengannya. Ah, diksiku sering tidak pas dan kata-kataku sering macet tanpa sebab jika berdiri di depannya, sejak dulu. Heran, sejak SMA sukar sekali kata-kata kupilih pabila bertemu dengannya. Dari senyumnya pagi ini, kuduga, ia masih mengingat semua itu.
"Bagaimana pekerjaanmu?" pancingnya.
Aku tersenyum.
"Alhamdulillah, baik."
"Kudengar kau jadi peneliti dan dosen di Jakarta."
Aku mengangguk.
"Aku gembira mendengarnya.... Kau hebat."
Aku terdiam sembari tersenyum-senyum mendengar pujiannya.
Beberapa kata berebut ingin keluar dari benakku, bersidesak. Aku merasa tertekan dan kesusahan dibuatnya.
"Putrimu?" tanyaku, malam itu, di ruang tamu rumahnya.
Perempuan muda itu mengangguk.
"Berapa usianya?"
"Lima tahun," jawabnya.
"Hanya satu?"
Jamilah, perempuan itu, mengangguk.
"Pak kiai mana?" tanyaku.
Ia diam. Ia membuang pandangannya ke luar, ke halaman luas di depan rumahnya. Kemudian, ia menoleh padaku. Di atas pipi putih mulus yang dibungkus jilbab itu kulihat butiran bening air mata mengalir. Ia menyekanya dengan sapu tangan, lalu menyeka hidungnya juga yang tampak tiba-tiba seakan beringus.
"Ia menyampaikan salam untukmu sebelum ia pergi, ia meminta maaf... setelah ia tahu," suaranya datar dan agak tertahan. Ada nada kesedihan dan kegetiran di sana.
Aku tersentak.
"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Beliau sudah wafat setahun yang lalu."
Aku terhenyak lemas di atas kursi tamu di ruang tamu rumah orang tua Jamilah itu.
"Mengapa aku tak diberi tahu? Mengapa tak satu pun yang memberi tahu?"
"Mereka tak mau membuatmu semakin sedih," ibunda Jamilah yang sejak tadi diam ikut bicara. "Pernikahan Jamilah dengan Pak Kiai lama baru dikarunia anak, yang hanya semata wayang ini."
Aku terdiam. Tanpa kusadari, air mata pelahan titik jua dari kedua bola mataku, tak mampu kutahan-tahan. Pikiranku menerawang. Kiai Haji Abidin Abdul Malik adalah guru mengajiku, ustaz tempat kami bertanya tentang Islam. Beliau adalah ulama terpandang dan pengasuh sebuah pesantren--tempat aku, Jamilah, dan banyak santri lain belajar agama. Sebenarnya, aku bukan santri, tetapi aku dan banyak kawanku belajar mengaji di sana.
Walaupun sudah hampir satu tahun ditinggal mati istrinya tercinta, demi dua anaknya, Pak Kiai belum juga mau menikah sebab ia takut istri baru akan kurang perhatian pada kedua anaknya yang ketika itu juga masih kecil-kecil. Akan tetapi, putusan yang kemudian diambilnya adalah ... melamar Jamilah, muridnya.
Hanya Tuhan, aku, Jamilah, dan keluargaku yang tahu bahwa aku dan Jamilah saling mencintai. Akan tetapi, Pak Kiai sama sekali tidak tahu-menahu hal itu. Kidung cinta itu tersimpan begitu rapi hingga tak banyak yang tahu. Percintaan itu memang hanya lewat surat. Aku ingat ketika keesokan harinya seorang sahabatku mengantarkan surat merah jambu dari Jamilah memohonkan maafku atas penerimaan orang tuanya atas lamaran Pak Kiai.
Di atas semua itu, aku mencintai dan menghormati guruku, Kiai Abidin. Akan tetapi, pada sisi lain, aku pun mencintai Jamilah sepenuh hati. Aku tak kuasa menghalangi pernikahan itu. Jamilah pun tak kuasa menolak pinangan itu.
Aku pun remuk redam. Aku membuang diriku sebagai orang yang hancur oleh cinta. Beruntung kala itu kami sudah menjelang tamat SMA sehingga memungkinkanku pergi jauh dari kampungku. Jakarta adalah tujuanku.
"Jangan sedih, Nak...," ibunda Jamilah membuyarkan lamunanku. "Allah memang sudah berkehendak demikian, semoga almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya."
Aku diam. Satu demi satu orang-orang yang kusayang menghadap-Nya. Hidup ini benar-benar bagai musafir yang berhenti sejenak di bawah pohon, lalu beranjak pergi lagi untuk sebuah perjalan lain yang lebih panjang.
"Mengapa engkau tak menikah lagi, Jamilah?" tanyaku, seperti keceplosan. Tiba-tiba aku merasa malu dan bersalah setelah mengucapkan kata-kata itu, yang kunilai kurang patut.
Jamilah diam seribu basa. Namun, sekilas kutangkap rona bersemu merah di wajahnya, wajahnya agak berubah. Ia lalu membuang mukanya.
"Katanya dia telah bersumpah, takkan mau menikah lagi sebelum melihat engkau pulang ke kampung kita ini, sebelum ia bertemu engkau lagi," jawab ibunya.
Aku tersentak. Aku tidak mengira akan mendapat jawaban itu.
"Engkau sendiri, mengapa belum menikah juga, padahal usiamu sudah kepala empat, Nak?"
Pertanyaan ibunda Jamilah itu tak mampu kujawab.
Malam itu aku kembali ke rumah orang tuaku. Namun, aku mulai ragu apakah besok pagi aku akan segera kembali ke Jakarta atau memperpanjang cutiku. Di tangga dekat teras, ibu, Jamilah, dan putrinya mengantarku. Malam itu, aku merasa tenggelam dalam telaga cinta tatkala melihat tatap lembut mata perempuan berjilbab pink dan gadis kecil tanpa ayah yang melambaikan tangannya itu. Rasanya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Jakarta--Lampung, 2009/25 Feb 2010
Lampung Post, Minggu, 21 Maret 2010
HARI masih pagi benar. Sesekali masih terdengar kokok-kokok ayam dari seputar rumah dan kebun-kebun penduduk. Burung-burung riang bercericit gembira beranjak dan terbang dari sarang-sarangnya dan mulai beterbangan kian kemari, bersenda gurau menyambut pagi, menyambut hari baru. Halimun masih menyelimuti desa kecil itu. Di ujung pematang, di kejauhan, di antara rimbun pepohonan, belukar, dan gunung yang kekar sang mentari belum tegas memperlihatkan garang sinar emasnya, seakan masih malas beranjak dari peraduannya. Sisa-sisa kabut masih menari-nari di seputar ujung-ujung pucuk-pucuk dedaunan dan hutan pinus nun di ujung kampung. Rasa dingin masih menusuk hingga ke tulang-tulang sumsum.
Sudah dua hari aku mudik. Pagi ini, selesai salat subuh aku berolahraga dengan berjalan-jalan mengitari seantero desa dengan menyusuri jalan-jalan setapak menuju persawahan. Bertahun-tahun aku tak pernah lagi pulang kampung. Kata kawanku, Jakarta telah memesona dan memenjaraku di perutnya, aku sudah lupa kampung halaman. Kubenamkan dalam-dalam kerinduan yang memuncak itu. Ah, mereka takkan pernah bisa mengerti.
Kisah ini terjadi dua puluh satu tahun yang lalu.
Adalah Jamilah nama perempuan itu. Tujuh belas tahun usianya kala itu, hanya terpaut sedikit dari usiaku. Aku kelas tiga SMA dan ia kelas satu. Tujuh belas, sweet seventeen, saat bunga semerbak harum dan ranum nan segar siap dipetik. Banyak kumbang yang ingin berlaga untuk mencium segar wangi bunga itu, bahkan ingin memetiknya.
Jamilah gadis berkerudung. Pink adalah jilbab kesukaannya. Oval wajahnya, bangir hidungnya, teduh tatap matanya, tipis bibirnya, putih mulus kulitnya, gembira air mukanya, dan seolah bercahaya wajahnya. Paras bercahaya dalam balutan jilbab itu kuyakin karena sering dibasuh dengan air wudu. Jamilah adalah seorang muslimah yang taat. Siapa pun mengakui itu. Ia adalah sebuah pesona. Pesona itu bukan hanya nama yang indah: Jamilah bermakna �indah, cantik�, tetapi juga pada tingkah dan tutur katanya, yang akan memenjara lelaki mana pun yang melihatnya dengan hiasan senyum manis yang kerap tersungging dari bibir mungilnya.
Hari itu, dua puluh satu tahun yang lalu, ketika pagi-pagi aku bersepeda ke sekolah, Jamilah, seperti biasa, menyapaku. Entah mengapa, kali ini, perasaanku amat lain. Ada sesuatu yang takkan dapat kulukiskan dengan kata-kata tentang itu. Sapaan dan senyum manisnya pagi itu seolah membuat dunia berhenti sejenak berputar, seakan kali ini dunia berada di bawah kuasaku, dunia seakan berpihak padaku. Bunga desa itu benar-benar menjerat dan memenjarakan dalam pesona kecantikan Cleopatranya. Aku terkesiap, darah seolah berhenti mengalir, detak jantung bagai diam, dan perasaan luar biasa aneh menjalari sekujur tubuh. Aku serasa memilikinya, serasa memiliki dunia seisinya. Orang lain seakan mengontrak saja di dunia ini. Rasanya aku limbung dan hampir terjatuh dari atas sadel sepedaku. Jarak 15 km ke kota pagi itu kutempuh serasa amat cepat. Benar-benar aku tak hirau akan letihku.
"Assalamu�alaikum...!"
Sebuah salam menyentakkanku di pagi itu. Aku pun menoleh.
"Wa'alaikum salam."
Saat mencapai persimpangan jalan itu aku terkejut bukan buatan ketika mendengar ucapan itu. Perempuan muda berjilbab pink itu seakan memutarkan video kenangan masa lalu kami yang indah, sebuah nostalgia masa remaja. Akan tetapi, dalam nostalgia itu juga ada kepedihan.
Dua puluh satu tahun sudah cinta membenamkanku di bawah telapak kakinya. Selama itu pula sudah cinta itu membuatku bertahan menahan rindu dendam tak terperi padanya, juga kerinduan pada keluarga dan kerabatku.
Wajah perempuan itu kupastikan tidak banyak yang berubah: masih tetap cantik, seperti dulu. Yang begitu tampak nyata pada wajah itu adalah bercak hitam yang membekas di dahinya. Aku tahu, tanda itu adalah bekas sujudnya. Selain itu, tatapan mata yang dulu demikian tenang dan teduh kini tampak semakin teduh. Ia kelihatan semakin dewasa, matang, dan seakan kenyang dengan penderitaan. Melihat tatapan teduh itu, yang sesekali menatap ke arahku, aku hampir tidak kuat berdiri di atas kedua kakiku. Aku seakan-akan hampir ambruk. Tuhan, tolonglah hamba....Serasa ingin aku berenang dalam keteduhan dan ketenangan telaga bening itu. Satu tatapannya pagi itu tak dapat kuceritakan maknanya, hanya ia dan Tuhanlah yang tahu.
Di depannya sering aku tidak sanggup untuk banyak berkata-kata dan menatap ke dalam kedua bola matanya. Sejujurnya, aku malu bahwa pada usiaku yang sudah kepala empat ini dadaku masih berdegup begitu keras di depan perempuan berjilbab merah jambu ini. Aku malu, ini seperti anak ABG, tetapi aku tak kuasa menghindarinya.
"Apa kabar?" tanyanya.
"Baik," jawabku, singkat. "Dan kau?"
"Alhamdulillah, baik juga."
Aku berhenti melangkah.
"Kapan kau tiba?"
"Kemarin."
Ia diam.
"Mau ke mana?" tanyaku kemudian.
"Ke sawah, biar belum begitu panas."
"Tidak dengan bapak dan ibu?"
"Sebentar lagi ibu menyusul, masih repot."
"Oh...."
"Aku sudah dengar dari adikmu bahwa kau akan pulang."
Aku diam.
Kulihat ia menatap ke hampir sekujur tubuhku. Dari sepatu sportku hingga topiku tak luput dari tatapnya. Ia lalu membuang pandangannya ke arah kejauhan, ke arah sang surya yang mulai beranjak naik.
"Kau masih rajin olahraga seperti dulu."
Aku mengangguk.
"Coba kaulihat pohon besar tua itu," katanya sembari menunjuk sebuah pohon besar dan tua. Wajahnya berbinar gembira. Ia seakan ingin membawaku pada kenangan masa lalu.
Di tempat yang tidak jauh dari pesantren itulah aku, Jamilah, dan kawan-kawan kami sering bermain-main tatkala lelah belajar dan mengaji di masa remaja kami.
Aku memilih-milih kata dan kalimat yang tepat untuk melanjutkan perbincangan dengannya. Ah, diksiku sering tidak pas dan kata-kataku sering macet tanpa sebab jika berdiri di depannya, sejak dulu. Heran, sejak SMA sukar sekali kata-kata kupilih pabila bertemu dengannya. Dari senyumnya pagi ini, kuduga, ia masih mengingat semua itu.
"Bagaimana pekerjaanmu?" pancingnya.
Aku tersenyum.
"Alhamdulillah, baik."
"Kudengar kau jadi peneliti dan dosen di Jakarta."
Aku mengangguk.
"Aku gembira mendengarnya.... Kau hebat."
Aku terdiam sembari tersenyum-senyum mendengar pujiannya.
Beberapa kata berebut ingin keluar dari benakku, bersidesak. Aku merasa tertekan dan kesusahan dibuatnya.
"Putrimu?" tanyaku, malam itu, di ruang tamu rumahnya.
Perempuan muda itu mengangguk.
"Berapa usianya?"
"Lima tahun," jawabnya.
"Hanya satu?"
Jamilah, perempuan itu, mengangguk.
"Pak kiai mana?" tanyaku.
Ia diam. Ia membuang pandangannya ke luar, ke halaman luas di depan rumahnya. Kemudian, ia menoleh padaku. Di atas pipi putih mulus yang dibungkus jilbab itu kulihat butiran bening air mata mengalir. Ia menyekanya dengan sapu tangan, lalu menyeka hidungnya juga yang tampak tiba-tiba seakan beringus.
"Ia menyampaikan salam untukmu sebelum ia pergi, ia meminta maaf... setelah ia tahu," suaranya datar dan agak tertahan. Ada nada kesedihan dan kegetiran di sana.
Aku tersentak.
"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Beliau sudah wafat setahun yang lalu."
Aku terhenyak lemas di atas kursi tamu di ruang tamu rumah orang tua Jamilah itu.
"Mengapa aku tak diberi tahu? Mengapa tak satu pun yang memberi tahu?"
"Mereka tak mau membuatmu semakin sedih," ibunda Jamilah yang sejak tadi diam ikut bicara. "Pernikahan Jamilah dengan Pak Kiai lama baru dikarunia anak, yang hanya semata wayang ini."
Aku terdiam. Tanpa kusadari, air mata pelahan titik jua dari kedua bola mataku, tak mampu kutahan-tahan. Pikiranku menerawang. Kiai Haji Abidin Abdul Malik adalah guru mengajiku, ustaz tempat kami bertanya tentang Islam. Beliau adalah ulama terpandang dan pengasuh sebuah pesantren--tempat aku, Jamilah, dan banyak santri lain belajar agama. Sebenarnya, aku bukan santri, tetapi aku dan banyak kawanku belajar mengaji di sana.
Walaupun sudah hampir satu tahun ditinggal mati istrinya tercinta, demi dua anaknya, Pak Kiai belum juga mau menikah sebab ia takut istri baru akan kurang perhatian pada kedua anaknya yang ketika itu juga masih kecil-kecil. Akan tetapi, putusan yang kemudian diambilnya adalah ... melamar Jamilah, muridnya.
Hanya Tuhan, aku, Jamilah, dan keluargaku yang tahu bahwa aku dan Jamilah saling mencintai. Akan tetapi, Pak Kiai sama sekali tidak tahu-menahu hal itu. Kidung cinta itu tersimpan begitu rapi hingga tak banyak yang tahu. Percintaan itu memang hanya lewat surat. Aku ingat ketika keesokan harinya seorang sahabatku mengantarkan surat merah jambu dari Jamilah memohonkan maafku atas penerimaan orang tuanya atas lamaran Pak Kiai.
Di atas semua itu, aku mencintai dan menghormati guruku, Kiai Abidin. Akan tetapi, pada sisi lain, aku pun mencintai Jamilah sepenuh hati. Aku tak kuasa menghalangi pernikahan itu. Jamilah pun tak kuasa menolak pinangan itu.
Aku pun remuk redam. Aku membuang diriku sebagai orang yang hancur oleh cinta. Beruntung kala itu kami sudah menjelang tamat SMA sehingga memungkinkanku pergi jauh dari kampungku. Jakarta adalah tujuanku.
"Jangan sedih, Nak...," ibunda Jamilah membuyarkan lamunanku. "Allah memang sudah berkehendak demikian, semoga almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya."
Aku diam. Satu demi satu orang-orang yang kusayang menghadap-Nya. Hidup ini benar-benar bagai musafir yang berhenti sejenak di bawah pohon, lalu beranjak pergi lagi untuk sebuah perjalan lain yang lebih panjang.
"Mengapa engkau tak menikah lagi, Jamilah?" tanyaku, seperti keceplosan. Tiba-tiba aku merasa malu dan bersalah setelah mengucapkan kata-kata itu, yang kunilai kurang patut.
Jamilah diam seribu basa. Namun, sekilas kutangkap rona bersemu merah di wajahnya, wajahnya agak berubah. Ia lalu membuang mukanya.
"Katanya dia telah bersumpah, takkan mau menikah lagi sebelum melihat engkau pulang ke kampung kita ini, sebelum ia bertemu engkau lagi," jawab ibunya.
Aku tersentak. Aku tidak mengira akan mendapat jawaban itu.
"Engkau sendiri, mengapa belum menikah juga, padahal usiamu sudah kepala empat, Nak?"
Pertanyaan ibunda Jamilah itu tak mampu kujawab.
Malam itu aku kembali ke rumah orang tuaku. Namun, aku mulai ragu apakah besok pagi aku akan segera kembali ke Jakarta atau memperpanjang cutiku. Di tangga dekat teras, ibu, Jamilah, dan putrinya mengantarku. Malam itu, aku merasa tenggelam dalam telaga cinta tatkala melihat tatap lembut mata perempuan berjilbab pink dan gadis kecil tanpa ayah yang melambaikan tangannya itu. Rasanya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Jakarta--Lampung, 2009/25 Feb 2010
Lampung Post, Minggu, 21 Maret 2010
Sunday, March 14, 2010
Quthuz
Cerpen Imaduddin Zanki
DARAH Saifuddin Muzaffar Quthuz mendidih. Senarai surat dari Hulagu Khan, pemimpin besar bangsa Mongol, ia lipat. Meski wajahnya yang putih terlihat memerah, Quthuz mencoba menenangkan diri. Mulutnya lamat-lamat beristigfar. Ia tahu dia adalah dari kelas pekerja Bani Mamluk. Namun, sekarang, ia adalah mata rantai kekuasaan Islam yang tersisa. Abbasiyah di Bagdad sudah jatuh. Satu juta delapan ratus ribu muslim mati. Aliran sungai di semua Bagdad bahkan menghitam. Tinta dari jutaan kitab cendekiawan muslim menganak sungai. Quthuz tahu, Mesir adalah wilayah yang kesekian diincar bangsa Mongol. Tak seperti agresor lain semisal Romawi dan Persia, bangsa Mongol lebih tak beradab. Tak hanya manusia yang mereka bantai, kebudayaan pun mereka hancurkan.
Quthuz menganggukkan kepala. Itu sebuah isyarat untuk tentara yang berada di dalam istananya agar mengeksekusi utusan Hulagu. Polahnya yang sombong dan tindak tanduknya yang menjadi mata-mata dalam sebulan terakhir, adalah alat pembayaran yang sah untuk menghukum mati utusan panglima Mongol yang mahsyur: Kitbuqa.
"Baybar," panggil Quthuz.
Yang dipanggil berjalan setapak demi setapak ke arah khalifahnya yang mulia.
Kedua orang itu bertatap muka. Sang khalifah dan panglima perangnya: Nukhudin Baybar.
"Apa pandangan Anda, Panglima, sekiranya semua kekuatan dinasti ini, dikirim untuk menjemput ajal Kitbuqa dan balatentaranya."
"Andaipun Khalifah memerintahkan berperang, yang paling tepat adalah menyerang terlebih dahulu."
"Kita benamkan mereka di Jalut, Baybar."
***
Genderang perang sudah ditabuh. Semua anak negeri telah mendengar seruan dari khalifah mereka. Segala daya upaya sedang dikerahkan. Dua puluh ribu tentara menghabiskan hari-hari dengan berlatih. Entah sudah berapa kali ayunan tangan mereka menebas boneka-boneka yang diserupakan dengan Kitbuqa. Tak terbilang juga ribuan anak panah yang mereka lepaskan dalam memenuhi hajat kemenangan. Dan tak terhingga pula harta negara yang dijadikan saham untuk sebuah kehormatan.
Para rakyat jelata serentak menyambut seruan. Mereka mengerti, mengikuti titah khalifah, sama dengan menaati nabi. Syaratnya, sang pemimpin juga taat pada Allah dan nabi. Mereka tahu benar bahwa baginda mereka, Quthuz, benar-benar berjuang demi agama. Demi kehormatan. Juga demi rakyat yang diayomi.
Di sudut-sudut kampung, semua bicara soal rencana perang besar. Perang yang mungkin membinasakan mereka juga. Perang yang barangkali menjadi akhir dari kekuasaan dinasti Mamluk--dinasti dari para kelas pekerja. Namun, mereka mahfum betapa sisi emosional kaum muslimin dipertaruhkan. Bagdag sudah jatuh. Tak terperi penderitaan kaum muslimin setelah dinasti Abasiyah tumbang. Kebudayaan intelektual kaum muslimin tinggal sejarah. Suriah juga dalam genggaman Mongol. Jazirah Asia Tengah pun tak luput dari cengkeraman penjajahan anak cucu Genghis Khan itu.
***
Baybar membentangkan peta besar. Fokusnya di Bukit Jalut. Ia menandai peta itu dalam tiga lingkaran besar. Lingkaran itu bermakna kumpulan balatentaranya. Beberapa hulubalang mendengarkan saksama penjelasan sang komandan. Sesekali di antara mereka ada yang bertanya.
"Fokus kita di tiga titik ini. Khalifah, aku, dan Perwira Yahya Alfagar yang langsung memimpin. Yang utama pasukan berkuda kita lengkapi dengan artileri. Di sini Yahya yang akan memimpin artileris kita."
Baybar mendetailkan rencana itu. Artileri yang dimaksud adalah peluru dari kumpulan bahan peledak. Supaya terus bergerak, alat berat dengan roda ini ditarik empat kuda. Mesti ada seratus orang sebagai tenaga artileris. Dan Yahya sudah menyiapkan orang-orang terbaiknya.
Azan terdengar di masjid di pusat kota. Baybar menyudahi taklimat. Setelah merangkum hasil pertemuan, semuanya menuju masjid di alun-alun kota. Khas kota Islam dengan masjid sebagai sentralnya. Sang Khalifah Quthuz sudah menunggu mereka di Baitullah itu.
***
Ini tanggal kelima bulan Ramadan 658 Hijriah atau 3 September 1260 Masehi.
Baju besi untuk berperang sudah dipakai di badan. Pedang untuk menebas lawan tergantung di pinggang. Pelindung kepala dari baja juga siap dikenakan.
Jamilia melepas suaminya dengan takzim. Ia tak terlihat sebagaimana umumnya permaisuri. Tak ada pakaian mewah berlapis sutra dan emas. Kini yang melekat hanya pakaian sederhana. Semua perhiasan sudah tanggal. Tinggal sapuan pupur tipis yang tersisa. Namun, celak mata Jamilia masih terjaga. Celak mata yang menjadikan lensa pemakainya tampak cergas dan bijaksana. Dan Quthuz amat menyukai mata bercelak itu.
"Aku tak perlu diancam cerai oleh engkau jika sekadar ingin semua hartaku kugadai di kas negara."
Quthuz memandang istrinya dengan kasih. Punggung tangannya menyapu ke seluruh lapisan wajah Jamilia. Telunjuk dan ibu jarinya memegang lembut dagu indah milik Jamilia.
"Ya, aku tak perlu mengancam menceraikanmu seperti Khalifah Umar bin Abdul Azis mengancam istrinya agar melepas semua emas di tubuh untuk harta negara."
***
Sang khalifah duduk gagah di atas kudanya. Dua puluh ribu pasukannya bersiaga. Deretan pasukan sudah dibagi sesuai dengan tugas. Sebagian lagi sudah keluar Mesir sebagai telik sandi. Baybar berada di muka sang baginda. Kuda hitamnya menghentak-hentakkan kaki seolah tak sabar ke medan laga.
"Bismillah. Lahaula wala quwwata illa billah. Amma bakdu. Hari ini aku mengulang doa junjungan kita, Muhammad putra Abdullah. Jika kita hari ini takluk di ketiak Kitbuqa, takkan ada lagi asma Allah yang sampai ke telinga cucu kita. Maka, aku tidak menyiapkan pilihan lain selain menang. Kita akan membenamkan mereka di Jalut. Aku dan Baybar yang langsung memimpin pasukan. Aku melihat ababil beterbangan di atas pasukan ini. Aku juga menyaksikan Jibril dan Mikail ada di atas balatentara ini. Allahu akbar, demi zat yang nyawaku berada di genggaman-Nya...."
Pasukan Quthuz lalu menyemburat ke medan laga. Hentakan kaki kuda-kuda mereka membumbungkan debu ke angkasa. Quthuz dan Baybar berpisah sekira sepeminuman teh jelang tanah Jalut. Sebuah taktik sudah disiapkan untuk mengubur Kitbuqa dan semua tentaranya.
Pertempuran berjalan dengan sengit. Gaduh. Dentingan logam pedang terdengar nyaring. Suara erangan tentara meregang nyawa membahana. Ringkikan kuda perang bersahut-sahutan dengan lengkingan Baybar mengatur satu per satu tentara Mesir.
Baybar menggebah kudanya kesana kemari. Titik kemenangan sudah di depan mata. Sang mata-mata memberi tanda dari kejauhan. Pasukan Yahya Alfagar dengan artilerisnya sudah mendekati area pertempuran. Mereka berhenti tepat di tanda yang sudah dibuat pasukan penyusup beberapa hari lalu. Yahya mengatur kompi khusus itu. Bola-bola berisi bubuk mesiu sudah disulut sumbunya. Kini puluhan pelontar bak ketapel raksasa sudah siap dilepaskan. Beberapa tentara memutar tuas yang sangat berat. Tuas itu pula yang mengatur derajat kemiringan ketapel raksasa yang dibuat dari kulit pilihan.
Di medan laga, Baybar mengomando pasukan agar mengatur jarak dengan tentara Mongol yang sudah terdesak. Sementara sang khalifah masih menunggu gerakan pasukan artileris.
Bum, bum, bum. Tanah Jalut bergetar hebat. Ribuan tentara Mongol menjemput ajalnya dengan raungan kesakitan teramat sangat. Baybar menyusun kembali pasukan. Ia tinggal menunggu di sisi bukit. Jika tak ada aral melintang, di titik inilah pasukan Kitbuqa terjepit.
Kini, celah di antara kedua bukit sudah disesaki pasukan Mongol. Quthuz membuka pelindung kepalanya. Ia menatap balatentara di belakangnya. Semua pun membuka pelindung kepala mereka.
Quthuz menyeruak masuk. Dari arah berlawanan, balatentara Quthuz menjepit sisa pasukan Mongol di Jalut.
Kuda Quthuz bergerak lincah. Panji-panji berlafal lailahaillallah berkibar-kibar ditiup angin. Balatentara Kitbuqa tak menyangka serangan dari sisi lain bukit itu.
Baybar mengomando pasukan agar terus merangsek. Sebuah tusukan Quthuz merobek lambung Kitbuqa. Panglima besar Mongol itu tersungkur mencium alas Jalut.
Ribuan tentara Mongol tak lekas menyerah meski tuannya sudah menelungkup di pasir tanah Jalut. Namun, karena semakin sedikit, sebagian besar kemudian meletakkan senjata. Bangsa Mongol kalah. Kekalahan pertama sepanjang agresi mereka mengangkangi dunia. Dan dari sana, berhenti pula ketamakan Mongol menguasai semua bagian muka dunia.
***
Quthuz dengan hangat memeluk Baybar, Yahya, dan hampir sebagian besar pasukannya. Ucapan alhamdulillah yang paling sering meluncur dari artikulasi lisannya. Malam sudah menjelang. Mendekati larut bahkan malam.
Di hari-hari akhir Ramadan, semua balatentara menunggu saat makan. Ihwal berbuka sudah mereka lalui dengan sekadar air setegukan dan roti keras dalam buntalan pakaian di pelana kuda-kuda mereka.
Lamat-lamat suara qari membaca mushaf Alquran.
Dari tinggi Bukit Jalut, lantunan ajakan menuju Tuhan diserukan. Dan di sanalah Quthuz menoreh sejarah emasnya. Sejarah menghentikan semua agresi Mongol ke tanah sah milik kaum muslimin. Quthuz menyepuh nama agungnya di sana. Di Ain Jalut itu.
Buat putra sulungku: Nuh Muzaffar Quthuz
Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
DARAH Saifuddin Muzaffar Quthuz mendidih. Senarai surat dari Hulagu Khan, pemimpin besar bangsa Mongol, ia lipat. Meski wajahnya yang putih terlihat memerah, Quthuz mencoba menenangkan diri. Mulutnya lamat-lamat beristigfar. Ia tahu dia adalah dari kelas pekerja Bani Mamluk. Namun, sekarang, ia adalah mata rantai kekuasaan Islam yang tersisa. Abbasiyah di Bagdad sudah jatuh. Satu juta delapan ratus ribu muslim mati. Aliran sungai di semua Bagdad bahkan menghitam. Tinta dari jutaan kitab cendekiawan muslim menganak sungai. Quthuz tahu, Mesir adalah wilayah yang kesekian diincar bangsa Mongol. Tak seperti agresor lain semisal Romawi dan Persia, bangsa Mongol lebih tak beradab. Tak hanya manusia yang mereka bantai, kebudayaan pun mereka hancurkan.
Quthuz menganggukkan kepala. Itu sebuah isyarat untuk tentara yang berada di dalam istananya agar mengeksekusi utusan Hulagu. Polahnya yang sombong dan tindak tanduknya yang menjadi mata-mata dalam sebulan terakhir, adalah alat pembayaran yang sah untuk menghukum mati utusan panglima Mongol yang mahsyur: Kitbuqa.
"Baybar," panggil Quthuz.
Yang dipanggil berjalan setapak demi setapak ke arah khalifahnya yang mulia.
Kedua orang itu bertatap muka. Sang khalifah dan panglima perangnya: Nukhudin Baybar.
"Apa pandangan Anda, Panglima, sekiranya semua kekuatan dinasti ini, dikirim untuk menjemput ajal Kitbuqa dan balatentaranya."
"Andaipun Khalifah memerintahkan berperang, yang paling tepat adalah menyerang terlebih dahulu."
"Kita benamkan mereka di Jalut, Baybar."
***
Genderang perang sudah ditabuh. Semua anak negeri telah mendengar seruan dari khalifah mereka. Segala daya upaya sedang dikerahkan. Dua puluh ribu tentara menghabiskan hari-hari dengan berlatih. Entah sudah berapa kali ayunan tangan mereka menebas boneka-boneka yang diserupakan dengan Kitbuqa. Tak terbilang juga ribuan anak panah yang mereka lepaskan dalam memenuhi hajat kemenangan. Dan tak terhingga pula harta negara yang dijadikan saham untuk sebuah kehormatan.
Para rakyat jelata serentak menyambut seruan. Mereka mengerti, mengikuti titah khalifah, sama dengan menaati nabi. Syaratnya, sang pemimpin juga taat pada Allah dan nabi. Mereka tahu benar bahwa baginda mereka, Quthuz, benar-benar berjuang demi agama. Demi kehormatan. Juga demi rakyat yang diayomi.
Di sudut-sudut kampung, semua bicara soal rencana perang besar. Perang yang mungkin membinasakan mereka juga. Perang yang barangkali menjadi akhir dari kekuasaan dinasti Mamluk--dinasti dari para kelas pekerja. Namun, mereka mahfum betapa sisi emosional kaum muslimin dipertaruhkan. Bagdag sudah jatuh. Tak terperi penderitaan kaum muslimin setelah dinasti Abasiyah tumbang. Kebudayaan intelektual kaum muslimin tinggal sejarah. Suriah juga dalam genggaman Mongol. Jazirah Asia Tengah pun tak luput dari cengkeraman penjajahan anak cucu Genghis Khan itu.
***
Baybar membentangkan peta besar. Fokusnya di Bukit Jalut. Ia menandai peta itu dalam tiga lingkaran besar. Lingkaran itu bermakna kumpulan balatentaranya. Beberapa hulubalang mendengarkan saksama penjelasan sang komandan. Sesekali di antara mereka ada yang bertanya.
"Fokus kita di tiga titik ini. Khalifah, aku, dan Perwira Yahya Alfagar yang langsung memimpin. Yang utama pasukan berkuda kita lengkapi dengan artileri. Di sini Yahya yang akan memimpin artileris kita."
Baybar mendetailkan rencana itu. Artileri yang dimaksud adalah peluru dari kumpulan bahan peledak. Supaya terus bergerak, alat berat dengan roda ini ditarik empat kuda. Mesti ada seratus orang sebagai tenaga artileris. Dan Yahya sudah menyiapkan orang-orang terbaiknya.
Azan terdengar di masjid di pusat kota. Baybar menyudahi taklimat. Setelah merangkum hasil pertemuan, semuanya menuju masjid di alun-alun kota. Khas kota Islam dengan masjid sebagai sentralnya. Sang Khalifah Quthuz sudah menunggu mereka di Baitullah itu.
***
Ini tanggal kelima bulan Ramadan 658 Hijriah atau 3 September 1260 Masehi.
Baju besi untuk berperang sudah dipakai di badan. Pedang untuk menebas lawan tergantung di pinggang. Pelindung kepala dari baja juga siap dikenakan.
Jamilia melepas suaminya dengan takzim. Ia tak terlihat sebagaimana umumnya permaisuri. Tak ada pakaian mewah berlapis sutra dan emas. Kini yang melekat hanya pakaian sederhana. Semua perhiasan sudah tanggal. Tinggal sapuan pupur tipis yang tersisa. Namun, celak mata Jamilia masih terjaga. Celak mata yang menjadikan lensa pemakainya tampak cergas dan bijaksana. Dan Quthuz amat menyukai mata bercelak itu.
"Aku tak perlu diancam cerai oleh engkau jika sekadar ingin semua hartaku kugadai di kas negara."
Quthuz memandang istrinya dengan kasih. Punggung tangannya menyapu ke seluruh lapisan wajah Jamilia. Telunjuk dan ibu jarinya memegang lembut dagu indah milik Jamilia.
"Ya, aku tak perlu mengancam menceraikanmu seperti Khalifah Umar bin Abdul Azis mengancam istrinya agar melepas semua emas di tubuh untuk harta negara."
***
Sang khalifah duduk gagah di atas kudanya. Dua puluh ribu pasukannya bersiaga. Deretan pasukan sudah dibagi sesuai dengan tugas. Sebagian lagi sudah keluar Mesir sebagai telik sandi. Baybar berada di muka sang baginda. Kuda hitamnya menghentak-hentakkan kaki seolah tak sabar ke medan laga.
"Bismillah. Lahaula wala quwwata illa billah. Amma bakdu. Hari ini aku mengulang doa junjungan kita, Muhammad putra Abdullah. Jika kita hari ini takluk di ketiak Kitbuqa, takkan ada lagi asma Allah yang sampai ke telinga cucu kita. Maka, aku tidak menyiapkan pilihan lain selain menang. Kita akan membenamkan mereka di Jalut. Aku dan Baybar yang langsung memimpin pasukan. Aku melihat ababil beterbangan di atas pasukan ini. Aku juga menyaksikan Jibril dan Mikail ada di atas balatentara ini. Allahu akbar, demi zat yang nyawaku berada di genggaman-Nya...."
Pasukan Quthuz lalu menyemburat ke medan laga. Hentakan kaki kuda-kuda mereka membumbungkan debu ke angkasa. Quthuz dan Baybar berpisah sekira sepeminuman teh jelang tanah Jalut. Sebuah taktik sudah disiapkan untuk mengubur Kitbuqa dan semua tentaranya.
Pertempuran berjalan dengan sengit. Gaduh. Dentingan logam pedang terdengar nyaring. Suara erangan tentara meregang nyawa membahana. Ringkikan kuda perang bersahut-sahutan dengan lengkingan Baybar mengatur satu per satu tentara Mesir.
Baybar menggebah kudanya kesana kemari. Titik kemenangan sudah di depan mata. Sang mata-mata memberi tanda dari kejauhan. Pasukan Yahya Alfagar dengan artilerisnya sudah mendekati area pertempuran. Mereka berhenti tepat di tanda yang sudah dibuat pasukan penyusup beberapa hari lalu. Yahya mengatur kompi khusus itu. Bola-bola berisi bubuk mesiu sudah disulut sumbunya. Kini puluhan pelontar bak ketapel raksasa sudah siap dilepaskan. Beberapa tentara memutar tuas yang sangat berat. Tuas itu pula yang mengatur derajat kemiringan ketapel raksasa yang dibuat dari kulit pilihan.
Di medan laga, Baybar mengomando pasukan agar mengatur jarak dengan tentara Mongol yang sudah terdesak. Sementara sang khalifah masih menunggu gerakan pasukan artileris.
Bum, bum, bum. Tanah Jalut bergetar hebat. Ribuan tentara Mongol menjemput ajalnya dengan raungan kesakitan teramat sangat. Baybar menyusun kembali pasukan. Ia tinggal menunggu di sisi bukit. Jika tak ada aral melintang, di titik inilah pasukan Kitbuqa terjepit.
Kini, celah di antara kedua bukit sudah disesaki pasukan Mongol. Quthuz membuka pelindung kepalanya. Ia menatap balatentara di belakangnya. Semua pun membuka pelindung kepala mereka.
Quthuz menyeruak masuk. Dari arah berlawanan, balatentara Quthuz menjepit sisa pasukan Mongol di Jalut.
Kuda Quthuz bergerak lincah. Panji-panji berlafal lailahaillallah berkibar-kibar ditiup angin. Balatentara Kitbuqa tak menyangka serangan dari sisi lain bukit itu.
Baybar mengomando pasukan agar terus merangsek. Sebuah tusukan Quthuz merobek lambung Kitbuqa. Panglima besar Mongol itu tersungkur mencium alas Jalut.
Ribuan tentara Mongol tak lekas menyerah meski tuannya sudah menelungkup di pasir tanah Jalut. Namun, karena semakin sedikit, sebagian besar kemudian meletakkan senjata. Bangsa Mongol kalah. Kekalahan pertama sepanjang agresi mereka mengangkangi dunia. Dan dari sana, berhenti pula ketamakan Mongol menguasai semua bagian muka dunia.
***
Quthuz dengan hangat memeluk Baybar, Yahya, dan hampir sebagian besar pasukannya. Ucapan alhamdulillah yang paling sering meluncur dari artikulasi lisannya. Malam sudah menjelang. Mendekati larut bahkan malam.
Di hari-hari akhir Ramadan, semua balatentara menunggu saat makan. Ihwal berbuka sudah mereka lalui dengan sekadar air setegukan dan roti keras dalam buntalan pakaian di pelana kuda-kuda mereka.
Lamat-lamat suara qari membaca mushaf Alquran.
Dari tinggi Bukit Jalut, lantunan ajakan menuju Tuhan diserukan. Dan di sanalah Quthuz menoreh sejarah emasnya. Sejarah menghentikan semua agresi Mongol ke tanah sah milik kaum muslimin. Quthuz menyepuh nama agungnya di sana. Di Ain Jalut itu.
Buat putra sulungku: Nuh Muzaffar Quthuz
Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
Sunday, March 7, 2010
Zombies dan Monster Remote Control
Cerpen Beni Setia
1.
MARLA, siswa SMA kelas III itu, tertegun. Ragu-ragu ketika memasuki Leisure Café saat terik matahari mulai lena dan azan zuhur di Masjid Al Arifiah-- seratus lima puluh meter dalam kampung, lewat gang di samping kafé--lama reda. Bertepatan dengan Aswad, koki yang gegas mengejar salat berjamaah itu, balik tak gegas. Abai.
Meski bagaimana, akhirnya memilih kursi di meja pertama depan pintu masuk. Duduk menghadap luar, menyimak anak-anak bimbingan belajar berdatangan di Astro--di seberang, tiga puluhan tujuh meter lebih ke kiri. Menonton lalu lalang yang santai dan yang agak ugal-ugalan di jalan yang mulai ramai menjelang petang. Merasakan embus angin dari pusar kipas angin di lelangit tepat di meja belakang. Menyejukkan diri di tengah instrumentalia megah Yanni, yang terpampang di televisi dekat kasir.
Ketika pelayan datang mengantarkan daftar menu dalam lembar pink yang kaku diberi plastik laminating: ia bertanya tanpa mau menerimanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pelayan itu menatap. Menunjuk televisi dekat kasir, yang menghadirkan laporan live sebuah liputan berita, setelah hilang kontak dengan DCD Yanni.
2.
"BUKAN untuk bersantai atau ngisi perut," kata Turah, pelayan itu, di hadapan polisi penyidik. Waktunya, usai magrib, setelah diberi kesempatan untuk sembahyang di musala Polsekta M. Begitu bunyi teks pada frame tayangan berita televisi itu memberi keterangan, dengan huruf hitam di latar adegan yang tak begitu terang.
"Ia nggak gelisah. Santai dan tenang," kata dia pada polisi yang membawanya ke kantor buat dimintai keterangan, dalam frame flash back. Sesuai tuntutan prosedur penyidikan, buat melengkapi visum, yang akan dilampiri dengan surat bunuh diri aneh Marla, yang mengindikasikan ada semacam kekerasan dalam rumah tangga.
"Ia duduk diam. Anteng! Ngeluarin buku tebal bersampul hijau dari tas yang terselempang di bahu. Membukai lantas menulis di halaman tengah, setelah termangu lama sekali. Nggak bereaksi ketika saya pelan mengantar gelas es jeruk. Malah asyik mengetuk-ngetukkan pulpen sambil nggigit-nggigit bibir bawah. "Saestu, Pak."
"Hhhh."
"Ia menulis. Tenang--tidak tergesa--, setidaknya begitu yang terlihat dari dapur, meski yang tampak cuma punggung. Merobek lembar agenda, menggeletakkannya di meja. Memasukkan buku agenda dan pulpen. Ngeluarin dompet dan menarik tiga lembaran Rp1.000 yang masih kaku. Itu tuh ..."
"Hhhh."
"Meraih gelas. Membuka tutupnya dan meneguk es jeruk setelah berlama-lama ngocek sehingga bunyi detak beradunya sendok dengan tabung gelas itu seakan-akan nggak akan berhenti--meski saya yakin kalau gula dalam es jeruk itu udah 99% larut. Sungguh! Saya yang bikin es jeruk itu. Saya telah bikin es jeruk selama lima tahunan. Dua tahun di warung Lik Nah, sebelas bulan di Kafe Luang, dua tahun di Leisure..."
"Wis ...wis. Sing pokok-pokok ae."
"Ia meneguknya. Meluruskan punggung dengan gerakan dua tangan ke samping. Bangkit. Berdiri. Mengacungkan lembaran uang Rp1.000-an itu kepadaku-semua anak bimbingan tes tahu kalau harga es itu hanya Rp2.500, Pak. Meneguk sekali lagi. Lalu meletakkan lembaran agenda, uang Rp1.000-an--ditindih dengan gelas yang separuh isi."
"Ditindih gelas?"
"Kertas agenda itu, lalu uang, dan di atasnya gelas es jeruk."
"Hhhh."
"Lalu melenggang ke luar. Termangu di ujung trotoar, dan mendadak melaju ke hadapan Inova yang deras digas di jalan kosong," kata Turah, sambil menarik napas panjang. Polisi itu menyorongkan Aqua gelas dan ia minumnya--pada berkas proses verbal, polisi mencatat: pengendara Inova, Koh Ibun Tirtawacana, ngebut karena jalan kosong mulai dari perempatan Legowo, 150 meter dari kafe.
3.
PELAYAN itu menyorongkan tumpukan koran Metropos. Marla membaca yang pertama, yang memuat kesaksian tukang becak yang mangkal di depan Astro, di berita yang muncul dua hari setelah kejadian itu. "Saya ngadap jalan mengharap ada siswa bimbingan yang nggak dijemput, hingga sedikitnya saya bisa beli nasi pecel De Lah," kata dia.--membuat Dabrus, wartawan Metropos, memberi tiga lembar Rp1.000.
Kemudian Dabrus menulis: Marla celingukan, seperti nyari becak dan angkutan --tak beranjak menyebrang. Menunggu sebuah Inova yang melaju, dengan sopir yang angkuh mengendarai mobil yang baru dibeli tiga bulan lampau, dan senantiasa ingin dicoba daya pacunya, dengan melaju kencang.
Kemudian Marla maju selangkah, meloncat menelungkup di hadapan bakal laju Inova. Telungkup dengan tangan terulur lurus, membuat si sopir panik dan tersia-sia mengerem dan membanting kemudi ke kiri. Itu malah menyebabkan pinggang Marla terlindas roda kanan depan. Sentakan yang membuat kepalanya terdongak dihantam bongkah garda--sebelum punggungnya dilindas roda kanan belakang. Remuk.
Gaya pemberitaan sensasional. Dihias dua buah potret, berjajar, di halaman muka --sebagai lead berita. Potret lokasi kejadian, meski yang tampak cuma tanda olah TKP dari kapur, dan potret lembar surat bunuh diri Marla. Dengan head berita yang sangat panjang: "Ibu saya monster," kata Marla sebelum bunuh diri.
4.
BERITA yang secara tidak langsung--berdasarkan pesan bunuh diri Marla itu--menunjukkan kalau bunuh diri Marla itu punya penyebab, dan itu mungkin kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak. Kejahatan yang dilakukan atas nama kasih sayang dan masa depan korban, rencana dan tindakan yang diangankan oleh si ibu akan membuatnya jadi manusia unggul--bukan yang mengidap depresi sehingga bunuh diri.
Seorang bekas guru SD Marla diwawancarai Dabrus, yang dilaporkan sebagai: Sumber Metropos, seorang bekas Guru SD Marla, yang minta namanya dirahasiakan, bilang Marla itu dipaksa mamanya agar selalu dapat ranking. Sering dihajar dan dimarahi di depan guru-gurunya bila ulangan hariannya jeblok. Bahkan bolak-balik menyalahkan guru kelas yang dianggap nggak becus memberi nilai kepada Marla--yang dileskan Inggris, Matematika, dan seterusnya itu.
Setiap pulang ia harus menunggu di depan gerbang sekolah, dalam hujan atau panas, sampai mamanya datang menjemput. Tak diperkenankan pulang sendiri. Tak boleh diajak pulang atau diantar orang tua murid yang lain. "Pernah," kata sumber Metropos, "Ia kehujanan dan diajak pulang bareng oleh Bu KS. Marla menolak dan bilang, nanti ia dimarahi mamanya. Anak itu tertekan dan takut akan mama. Jadi pintar, tapi kehilangan inisiatif dan gairah normal seorang anak--dilarang ikut pramuka, belajar kelompok, dan/atau bermain bersama teman. Hidupnya hanya belajar, les, dan jadi anak manis. Zombies yang dikendalikan mama--monster remote control."
5.
MAMA--monster remote control. Satu penutup berita yang amat tendensius dan subjektif. Tidak terbayang akan dipilih oleh wartawan atau redaktur koran nasional macam Proporsi atau Iconia. Sebuah palu godam teramat khas Prapto dan terutama maha Metropos--yang menjadikan berita sensasi sebagai ujung tombak pendongkrak oplah penjualan eceran harian.
Sore hari, di bawah sugesti redaktur pelaksana atas laporan dari Divisi Penjualan langsung, Dabrus menulis berita lanjutan tentang Marla. Kini, dengan ngutip prosa lirik Kahlil Gibran, tentang hakikat anak yang otonom, dan kawajiban orang tua untuk jadi sang liberalian,yang memerdekakan anaknya tumbuh mandiri. Dengan mengorek pendapat Sarwadina, yang kebetulan piket kantor Komnas Perlindungan Anak, via telepon dan wawancara summir yang kemudian ditata jadi potongan-potongan teks tendensius
Jangan otoritarian, tulis Dabrus, karena Tuhan yang menciptakan dan memiliki segala mahluk itupun bisa berbesar hati dan leluasa memberikan kebebasan kepada (manusia) ciptaan-Nya. Lantas kenapa Marla hanya dianggap asesori atau komoditas yang bebas diapa-apain oleh mama?
6.
PADA tayangan live di televisi itu tergambar: Tak ada reaksi berlebihan dari pihak keluarga Marla--mereka tak langganan Metropos. Tapi salah satu paklik dari garis ibu Marla, seorang Pati Mabes Polisi menelepon ke Polsekta. Dan menyebabkan Dabrus dipanggil dan diminta menghentikan pemberitaan selanjutnya. Dabrus tegas menolak. Kapolsekta tersenyum, bilang: Ia kini butuh kerja sama, seperti Dabrus nanti butuh keiklasan kerja sama polisi.
"Cuma saran," katanya. "Bila tidak? Ya ... sumber-sumber kepolisian, terutama di polsekta sini, tertutup bagi Metropos."
Tapi, pada Prapto, Redpel Metropos--yang sengaja diundang ke Polsekta M--, si Kapolsekta itu diam-diam membocorkan hasil proses verbal Mamanya Marla--meski sebagai teks off the record. Sebuah pengakuan yang sebetulnya sangat potensial buat ditulis sebagai berita melodrama khas Metropos, yang diangankan si Redpel sebagai bakal ledakan permintaan eceran yang tinggi. Ya!
"Ini bukan kasus rumit," katanya. "Sesungguhnya amat biasa dan sering terjadi. Tapi harus dihentikan meski bisa jadi peringatan bagi yang lainnya--ia ber-backing."
Tertulis: Sebenarnya saya tak benar-benar memahami Marla. Meski saya ingin menjadikannya seorang anak yang tak biasa-biasa saja. Ia harus jadi anak unggul--mengikuti garis keturunan ayah dan ibu saya, atau ayah-ibu Mas Syarif, bapaknya. Saya tentukan jadwal, saya bikin poin-poin kegiatan rutin harian, yang bermanfaat-saya tentukan titik target pada garis tuju untuk tumbuh jadi manusia unggul. Saya bikin larangan, tabu, dan rambu. Tapi ia tumbuh jadi anak yang harus dikomando.
Saya selalu marah karena ia menjadi si tanpa inisiatif. Sekali ia duduk ia cuma duduk, terkadang diam tanpa melakukan apa-apa. Dan saya pernah menangis ketika ia dirayakan berulang tahun di rumah neneknya, di antara sanak keluarga. Ia duduk, diam, pasif saat dilempari, disiram dan digoda keluarga. Hanya diam. Diam! Tidak bereaksi. Tak menggelak dilempar permen, tak bereaksi disiram air di kepala. Diam. Bahkan tak ikut menari, nyanyi, atau berteriak bersama yang lain.
Bapak marah. "Kamu apakan cucuku?" katanya. Saya tak tahu--tidak mengerti. Saya menangis semalaman ketika menyadari Marla itu telah tumbuh jadi si manusia canggung yang tak bisa baur terlibat dengan orang lain--bahkan sanak saudaranya. Saya marahi ia. Saya tanya, apa yang diinginkannya. Marla diam. Bisu. Menunggu komando. Saya marahin ia. Saya hajar. Saya paksa agar ia mau bergaul, merdeka penuh inisiatif seperti remaja lain. Ia bungkam-- menunggu komando.
Hari itu saya benar-benar jengkel. Saya beri ia duit, dan memaksanya untuk berangkat les sendiri, dengan harus ke kafe terlebih dulu untuk membeli es jeruk atau makan bakso. Ia tersentak. Saya benar-benar marah. Saya berteriak "mengusirnya" agar mulai belajar mandiri dan punya inisiatif. Hasilnya ...?
7.
HASILNYA, seperti yang diberitakan Metropos: Marla menulis pesan kematian pendek Ibu saya monster--dengan huruf blok yang rapi. Lalu menunggu mobil Inova Ibun Tirtawacana--yang kebetulan lewat--, dan meloncat melindaskan diri. Tapi fakta Marla tak mengaduh, mengeluh atau merintih-- "Bahkan fakta kalau aku tranced tersenyum lega," gumam Marla--luput tak ditulis Metropos, karenanya tidak diketahui oleh siapa pun di dunia ini.
"Aku merdeka," bisik Marla, melirik kasir, isyarat minta dikirim daftar menu. Tapi ruang kasir itu jadi semak liar yang menaungi batu nisan yang tulisannya pudar ditutupi lumut yang mengering oleh cuaca. Lalu angin berembus di rumpun bambu, menimbulkan desau dan bunyi derit batang bersilang. Di jauhnya Marla mendengar ayam berkokok. Lalu reda yang menekan jadi kesunyian petang, yang sesekali dihiasi denging uir-uir. Senantiasa.
Caruban, 2006—2007—2009--2010
Lampung Post, Minggu, 7 Maret 2010
1.
MARLA, siswa SMA kelas III itu, tertegun. Ragu-ragu ketika memasuki Leisure Café saat terik matahari mulai lena dan azan zuhur di Masjid Al Arifiah-- seratus lima puluh meter dalam kampung, lewat gang di samping kafé--lama reda. Bertepatan dengan Aswad, koki yang gegas mengejar salat berjamaah itu, balik tak gegas. Abai.
Meski bagaimana, akhirnya memilih kursi di meja pertama depan pintu masuk. Duduk menghadap luar, menyimak anak-anak bimbingan belajar berdatangan di Astro--di seberang, tiga puluhan tujuh meter lebih ke kiri. Menonton lalu lalang yang santai dan yang agak ugal-ugalan di jalan yang mulai ramai menjelang petang. Merasakan embus angin dari pusar kipas angin di lelangit tepat di meja belakang. Menyejukkan diri di tengah instrumentalia megah Yanni, yang terpampang di televisi dekat kasir.
Ketika pelayan datang mengantarkan daftar menu dalam lembar pink yang kaku diberi plastik laminating: ia bertanya tanpa mau menerimanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pelayan itu menatap. Menunjuk televisi dekat kasir, yang menghadirkan laporan live sebuah liputan berita, setelah hilang kontak dengan DCD Yanni.
2.
"BUKAN untuk bersantai atau ngisi perut," kata Turah, pelayan itu, di hadapan polisi penyidik. Waktunya, usai magrib, setelah diberi kesempatan untuk sembahyang di musala Polsekta M. Begitu bunyi teks pada frame tayangan berita televisi itu memberi keterangan, dengan huruf hitam di latar adegan yang tak begitu terang.
"Ia nggak gelisah. Santai dan tenang," kata dia pada polisi yang membawanya ke kantor buat dimintai keterangan, dalam frame flash back. Sesuai tuntutan prosedur penyidikan, buat melengkapi visum, yang akan dilampiri dengan surat bunuh diri aneh Marla, yang mengindikasikan ada semacam kekerasan dalam rumah tangga.
"Ia duduk diam. Anteng! Ngeluarin buku tebal bersampul hijau dari tas yang terselempang di bahu. Membukai lantas menulis di halaman tengah, setelah termangu lama sekali. Nggak bereaksi ketika saya pelan mengantar gelas es jeruk. Malah asyik mengetuk-ngetukkan pulpen sambil nggigit-nggigit bibir bawah. "Saestu, Pak."
"Hhhh."
"Ia menulis. Tenang--tidak tergesa--, setidaknya begitu yang terlihat dari dapur, meski yang tampak cuma punggung. Merobek lembar agenda, menggeletakkannya di meja. Memasukkan buku agenda dan pulpen. Ngeluarin dompet dan menarik tiga lembaran Rp1.000 yang masih kaku. Itu tuh ..."
"Hhhh."
"Meraih gelas. Membuka tutupnya dan meneguk es jeruk setelah berlama-lama ngocek sehingga bunyi detak beradunya sendok dengan tabung gelas itu seakan-akan nggak akan berhenti--meski saya yakin kalau gula dalam es jeruk itu udah 99% larut. Sungguh! Saya yang bikin es jeruk itu. Saya telah bikin es jeruk selama lima tahunan. Dua tahun di warung Lik Nah, sebelas bulan di Kafe Luang, dua tahun di Leisure..."
"Wis ...wis. Sing pokok-pokok ae."
"Ia meneguknya. Meluruskan punggung dengan gerakan dua tangan ke samping. Bangkit. Berdiri. Mengacungkan lembaran uang Rp1.000-an itu kepadaku-semua anak bimbingan tes tahu kalau harga es itu hanya Rp2.500, Pak. Meneguk sekali lagi. Lalu meletakkan lembaran agenda, uang Rp1.000-an--ditindih dengan gelas yang separuh isi."
"Ditindih gelas?"
"Kertas agenda itu, lalu uang, dan di atasnya gelas es jeruk."
"Hhhh."
"Lalu melenggang ke luar. Termangu di ujung trotoar, dan mendadak melaju ke hadapan Inova yang deras digas di jalan kosong," kata Turah, sambil menarik napas panjang. Polisi itu menyorongkan Aqua gelas dan ia minumnya--pada berkas proses verbal, polisi mencatat: pengendara Inova, Koh Ibun Tirtawacana, ngebut karena jalan kosong mulai dari perempatan Legowo, 150 meter dari kafe.
3.
PELAYAN itu menyorongkan tumpukan koran Metropos. Marla membaca yang pertama, yang memuat kesaksian tukang becak yang mangkal di depan Astro, di berita yang muncul dua hari setelah kejadian itu. "Saya ngadap jalan mengharap ada siswa bimbingan yang nggak dijemput, hingga sedikitnya saya bisa beli nasi pecel De Lah," kata dia.--membuat Dabrus, wartawan Metropos, memberi tiga lembar Rp1.000.
Kemudian Dabrus menulis: Marla celingukan, seperti nyari becak dan angkutan --tak beranjak menyebrang. Menunggu sebuah Inova yang melaju, dengan sopir yang angkuh mengendarai mobil yang baru dibeli tiga bulan lampau, dan senantiasa ingin dicoba daya pacunya, dengan melaju kencang.
Kemudian Marla maju selangkah, meloncat menelungkup di hadapan bakal laju Inova. Telungkup dengan tangan terulur lurus, membuat si sopir panik dan tersia-sia mengerem dan membanting kemudi ke kiri. Itu malah menyebabkan pinggang Marla terlindas roda kanan depan. Sentakan yang membuat kepalanya terdongak dihantam bongkah garda--sebelum punggungnya dilindas roda kanan belakang. Remuk.
Gaya pemberitaan sensasional. Dihias dua buah potret, berjajar, di halaman muka --sebagai lead berita. Potret lokasi kejadian, meski yang tampak cuma tanda olah TKP dari kapur, dan potret lembar surat bunuh diri Marla. Dengan head berita yang sangat panjang: "Ibu saya monster," kata Marla sebelum bunuh diri.
4.
BERITA yang secara tidak langsung--berdasarkan pesan bunuh diri Marla itu--menunjukkan kalau bunuh diri Marla itu punya penyebab, dan itu mungkin kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak. Kejahatan yang dilakukan atas nama kasih sayang dan masa depan korban, rencana dan tindakan yang diangankan oleh si ibu akan membuatnya jadi manusia unggul--bukan yang mengidap depresi sehingga bunuh diri.
Seorang bekas guru SD Marla diwawancarai Dabrus, yang dilaporkan sebagai: Sumber Metropos, seorang bekas Guru SD Marla, yang minta namanya dirahasiakan, bilang Marla itu dipaksa mamanya agar selalu dapat ranking. Sering dihajar dan dimarahi di depan guru-gurunya bila ulangan hariannya jeblok. Bahkan bolak-balik menyalahkan guru kelas yang dianggap nggak becus memberi nilai kepada Marla--yang dileskan Inggris, Matematika, dan seterusnya itu.
Setiap pulang ia harus menunggu di depan gerbang sekolah, dalam hujan atau panas, sampai mamanya datang menjemput. Tak diperkenankan pulang sendiri. Tak boleh diajak pulang atau diantar orang tua murid yang lain. "Pernah," kata sumber Metropos, "Ia kehujanan dan diajak pulang bareng oleh Bu KS. Marla menolak dan bilang, nanti ia dimarahi mamanya. Anak itu tertekan dan takut akan mama. Jadi pintar, tapi kehilangan inisiatif dan gairah normal seorang anak--dilarang ikut pramuka, belajar kelompok, dan/atau bermain bersama teman. Hidupnya hanya belajar, les, dan jadi anak manis. Zombies yang dikendalikan mama--monster remote control."
5.
MAMA--monster remote control. Satu penutup berita yang amat tendensius dan subjektif. Tidak terbayang akan dipilih oleh wartawan atau redaktur koran nasional macam Proporsi atau Iconia. Sebuah palu godam teramat khas Prapto dan terutama maha Metropos--yang menjadikan berita sensasi sebagai ujung tombak pendongkrak oplah penjualan eceran harian.
Sore hari, di bawah sugesti redaktur pelaksana atas laporan dari Divisi Penjualan langsung, Dabrus menulis berita lanjutan tentang Marla. Kini, dengan ngutip prosa lirik Kahlil Gibran, tentang hakikat anak yang otonom, dan kawajiban orang tua untuk jadi sang liberalian,yang memerdekakan anaknya tumbuh mandiri. Dengan mengorek pendapat Sarwadina, yang kebetulan piket kantor Komnas Perlindungan Anak, via telepon dan wawancara summir yang kemudian ditata jadi potongan-potongan teks tendensius
Jangan otoritarian, tulis Dabrus, karena Tuhan yang menciptakan dan memiliki segala mahluk itupun bisa berbesar hati dan leluasa memberikan kebebasan kepada (manusia) ciptaan-Nya. Lantas kenapa Marla hanya dianggap asesori atau komoditas yang bebas diapa-apain oleh mama?
6.
PADA tayangan live di televisi itu tergambar: Tak ada reaksi berlebihan dari pihak keluarga Marla--mereka tak langganan Metropos. Tapi salah satu paklik dari garis ibu Marla, seorang Pati Mabes Polisi menelepon ke Polsekta. Dan menyebabkan Dabrus dipanggil dan diminta menghentikan pemberitaan selanjutnya. Dabrus tegas menolak. Kapolsekta tersenyum, bilang: Ia kini butuh kerja sama, seperti Dabrus nanti butuh keiklasan kerja sama polisi.
"Cuma saran," katanya. "Bila tidak? Ya ... sumber-sumber kepolisian, terutama di polsekta sini, tertutup bagi Metropos."
Tapi, pada Prapto, Redpel Metropos--yang sengaja diundang ke Polsekta M--, si Kapolsekta itu diam-diam membocorkan hasil proses verbal Mamanya Marla--meski sebagai teks off the record. Sebuah pengakuan yang sebetulnya sangat potensial buat ditulis sebagai berita melodrama khas Metropos, yang diangankan si Redpel sebagai bakal ledakan permintaan eceran yang tinggi. Ya!
"Ini bukan kasus rumit," katanya. "Sesungguhnya amat biasa dan sering terjadi. Tapi harus dihentikan meski bisa jadi peringatan bagi yang lainnya--ia ber-backing."
Tertulis: Sebenarnya saya tak benar-benar memahami Marla. Meski saya ingin menjadikannya seorang anak yang tak biasa-biasa saja. Ia harus jadi anak unggul--mengikuti garis keturunan ayah dan ibu saya, atau ayah-ibu Mas Syarif, bapaknya. Saya tentukan jadwal, saya bikin poin-poin kegiatan rutin harian, yang bermanfaat-saya tentukan titik target pada garis tuju untuk tumbuh jadi manusia unggul. Saya bikin larangan, tabu, dan rambu. Tapi ia tumbuh jadi anak yang harus dikomando.
Saya selalu marah karena ia menjadi si tanpa inisiatif. Sekali ia duduk ia cuma duduk, terkadang diam tanpa melakukan apa-apa. Dan saya pernah menangis ketika ia dirayakan berulang tahun di rumah neneknya, di antara sanak keluarga. Ia duduk, diam, pasif saat dilempari, disiram dan digoda keluarga. Hanya diam. Diam! Tidak bereaksi. Tak menggelak dilempar permen, tak bereaksi disiram air di kepala. Diam. Bahkan tak ikut menari, nyanyi, atau berteriak bersama yang lain.
Bapak marah. "Kamu apakan cucuku?" katanya. Saya tak tahu--tidak mengerti. Saya menangis semalaman ketika menyadari Marla itu telah tumbuh jadi si manusia canggung yang tak bisa baur terlibat dengan orang lain--bahkan sanak saudaranya. Saya marahi ia. Saya tanya, apa yang diinginkannya. Marla diam. Bisu. Menunggu komando. Saya marahin ia. Saya hajar. Saya paksa agar ia mau bergaul, merdeka penuh inisiatif seperti remaja lain. Ia bungkam-- menunggu komando.
Hari itu saya benar-benar jengkel. Saya beri ia duit, dan memaksanya untuk berangkat les sendiri, dengan harus ke kafe terlebih dulu untuk membeli es jeruk atau makan bakso. Ia tersentak. Saya benar-benar marah. Saya berteriak "mengusirnya" agar mulai belajar mandiri dan punya inisiatif. Hasilnya ...?
7.
HASILNYA, seperti yang diberitakan Metropos: Marla menulis pesan kematian pendek Ibu saya monster--dengan huruf blok yang rapi. Lalu menunggu mobil Inova Ibun Tirtawacana--yang kebetulan lewat--, dan meloncat melindaskan diri. Tapi fakta Marla tak mengaduh, mengeluh atau merintih-- "Bahkan fakta kalau aku tranced tersenyum lega," gumam Marla--luput tak ditulis Metropos, karenanya tidak diketahui oleh siapa pun di dunia ini.
"Aku merdeka," bisik Marla, melirik kasir, isyarat minta dikirim daftar menu. Tapi ruang kasir itu jadi semak liar yang menaungi batu nisan yang tulisannya pudar ditutupi lumut yang mengering oleh cuaca. Lalu angin berembus di rumpun bambu, menimbulkan desau dan bunyi derit batang bersilang. Di jauhnya Marla mendengar ayam berkokok. Lalu reda yang menekan jadi kesunyian petang, yang sesekali dihiasi denging uir-uir. Senantiasa.
Caruban, 2006—2007—2009--2010
Lampung Post, Minggu, 7 Maret 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)