Cerpen Imaduddin Zanki
DARAH Saifuddin Muzaffar Quthuz mendidih. Senarai surat dari Hulagu Khan, pemimpin besar bangsa Mongol, ia lipat. Meski wajahnya yang putih terlihat memerah, Quthuz mencoba menenangkan diri. Mulutnya lamat-lamat beristigfar. Ia tahu dia adalah dari kelas pekerja Bani Mamluk. Namun, sekarang, ia adalah mata rantai kekuasaan Islam yang tersisa. Abbasiyah di Bagdad sudah jatuh. Satu juta delapan ratus ribu muslim mati. Aliran sungai di semua Bagdad bahkan menghitam. Tinta dari jutaan kitab cendekiawan muslim menganak sungai. Quthuz tahu, Mesir adalah wilayah yang kesekian diincar bangsa Mongol. Tak seperti agresor lain semisal Romawi dan Persia, bangsa Mongol lebih tak beradab. Tak hanya manusia yang mereka bantai, kebudayaan pun mereka hancurkan.
Quthuz menganggukkan kepala. Itu sebuah isyarat untuk tentara yang berada di dalam istananya agar mengeksekusi utusan Hulagu. Polahnya yang sombong dan tindak tanduknya yang menjadi mata-mata dalam sebulan terakhir, adalah alat pembayaran yang sah untuk menghukum mati utusan panglima Mongol yang mahsyur: Kitbuqa.
"Baybar," panggil Quthuz.
Yang dipanggil berjalan setapak demi setapak ke arah khalifahnya yang mulia.
Kedua orang itu bertatap muka. Sang khalifah dan panglima perangnya: Nukhudin Baybar.
"Apa pandangan Anda, Panglima, sekiranya semua kekuatan dinasti ini, dikirim untuk menjemput ajal Kitbuqa dan balatentaranya."
"Andaipun Khalifah memerintahkan berperang, yang paling tepat adalah menyerang terlebih dahulu."
"Kita benamkan mereka di Jalut, Baybar."
***
Genderang perang sudah ditabuh. Semua anak negeri telah mendengar seruan dari khalifah mereka. Segala daya upaya sedang dikerahkan. Dua puluh ribu tentara menghabiskan hari-hari dengan berlatih. Entah sudah berapa kali ayunan tangan mereka menebas boneka-boneka yang diserupakan dengan Kitbuqa. Tak terbilang juga ribuan anak panah yang mereka lepaskan dalam memenuhi hajat kemenangan. Dan tak terhingga pula harta negara yang dijadikan saham untuk sebuah kehormatan.
Para rakyat jelata serentak menyambut seruan. Mereka mengerti, mengikuti titah khalifah, sama dengan menaati nabi. Syaratnya, sang pemimpin juga taat pada Allah dan nabi. Mereka tahu benar bahwa baginda mereka, Quthuz, benar-benar berjuang demi agama. Demi kehormatan. Juga demi rakyat yang diayomi.
Di sudut-sudut kampung, semua bicara soal rencana perang besar. Perang yang mungkin membinasakan mereka juga. Perang yang barangkali menjadi akhir dari kekuasaan dinasti Mamluk--dinasti dari para kelas pekerja. Namun, mereka mahfum betapa sisi emosional kaum muslimin dipertaruhkan. Bagdag sudah jatuh. Tak terperi penderitaan kaum muslimin setelah dinasti Abasiyah tumbang. Kebudayaan intelektual kaum muslimin tinggal sejarah. Suriah juga dalam genggaman Mongol. Jazirah Asia Tengah pun tak luput dari cengkeraman penjajahan anak cucu Genghis Khan itu.
***
Baybar membentangkan peta besar. Fokusnya di Bukit Jalut. Ia menandai peta itu dalam tiga lingkaran besar. Lingkaran itu bermakna kumpulan balatentaranya. Beberapa hulubalang mendengarkan saksama penjelasan sang komandan. Sesekali di antara mereka ada yang bertanya.
"Fokus kita di tiga titik ini. Khalifah, aku, dan Perwira Yahya Alfagar yang langsung memimpin. Yang utama pasukan berkuda kita lengkapi dengan artileri. Di sini Yahya yang akan memimpin artileris kita."
Baybar mendetailkan rencana itu. Artileri yang dimaksud adalah peluru dari kumpulan bahan peledak. Supaya terus bergerak, alat berat dengan roda ini ditarik empat kuda. Mesti ada seratus orang sebagai tenaga artileris. Dan Yahya sudah menyiapkan orang-orang terbaiknya.
Azan terdengar di masjid di pusat kota. Baybar menyudahi taklimat. Setelah merangkum hasil pertemuan, semuanya menuju masjid di alun-alun kota. Khas kota Islam dengan masjid sebagai sentralnya. Sang Khalifah Quthuz sudah menunggu mereka di Baitullah itu.
***
Ini tanggal kelima bulan Ramadan 658 Hijriah atau 3 September 1260 Masehi.
Baju besi untuk berperang sudah dipakai di badan. Pedang untuk menebas lawan tergantung di pinggang. Pelindung kepala dari baja juga siap dikenakan.
Jamilia melepas suaminya dengan takzim. Ia tak terlihat sebagaimana umumnya permaisuri. Tak ada pakaian mewah berlapis sutra dan emas. Kini yang melekat hanya pakaian sederhana. Semua perhiasan sudah tanggal. Tinggal sapuan pupur tipis yang tersisa. Namun, celak mata Jamilia masih terjaga. Celak mata yang menjadikan lensa pemakainya tampak cergas dan bijaksana. Dan Quthuz amat menyukai mata bercelak itu.
"Aku tak perlu diancam cerai oleh engkau jika sekadar ingin semua hartaku kugadai di kas negara."
Quthuz memandang istrinya dengan kasih. Punggung tangannya menyapu ke seluruh lapisan wajah Jamilia. Telunjuk dan ibu jarinya memegang lembut dagu indah milik Jamilia.
"Ya, aku tak perlu mengancam menceraikanmu seperti Khalifah Umar bin Abdul Azis mengancam istrinya agar melepas semua emas di tubuh untuk harta negara."
***
Sang khalifah duduk gagah di atas kudanya. Dua puluh ribu pasukannya bersiaga. Deretan pasukan sudah dibagi sesuai dengan tugas. Sebagian lagi sudah keluar Mesir sebagai telik sandi. Baybar berada di muka sang baginda. Kuda hitamnya menghentak-hentakkan kaki seolah tak sabar ke medan laga.
"Bismillah. Lahaula wala quwwata illa billah. Amma bakdu. Hari ini aku mengulang doa junjungan kita, Muhammad putra Abdullah. Jika kita hari ini takluk di ketiak Kitbuqa, takkan ada lagi asma Allah yang sampai ke telinga cucu kita. Maka, aku tidak menyiapkan pilihan lain selain menang. Kita akan membenamkan mereka di Jalut. Aku dan Baybar yang langsung memimpin pasukan. Aku melihat ababil beterbangan di atas pasukan ini. Aku juga menyaksikan Jibril dan Mikail ada di atas balatentara ini. Allahu akbar, demi zat yang nyawaku berada di genggaman-Nya...."
Pasukan Quthuz lalu menyemburat ke medan laga. Hentakan kaki kuda-kuda mereka membumbungkan debu ke angkasa. Quthuz dan Baybar berpisah sekira sepeminuman teh jelang tanah Jalut. Sebuah taktik sudah disiapkan untuk mengubur Kitbuqa dan semua tentaranya.
Pertempuran berjalan dengan sengit. Gaduh. Dentingan logam pedang terdengar nyaring. Suara erangan tentara meregang nyawa membahana. Ringkikan kuda perang bersahut-sahutan dengan lengkingan Baybar mengatur satu per satu tentara Mesir.
Baybar menggebah kudanya kesana kemari. Titik kemenangan sudah di depan mata. Sang mata-mata memberi tanda dari kejauhan. Pasukan Yahya Alfagar dengan artilerisnya sudah mendekati area pertempuran. Mereka berhenti tepat di tanda yang sudah dibuat pasukan penyusup beberapa hari lalu. Yahya mengatur kompi khusus itu. Bola-bola berisi bubuk mesiu sudah disulut sumbunya. Kini puluhan pelontar bak ketapel raksasa sudah siap dilepaskan. Beberapa tentara memutar tuas yang sangat berat. Tuas itu pula yang mengatur derajat kemiringan ketapel raksasa yang dibuat dari kulit pilihan.
Di medan laga, Baybar mengomando pasukan agar mengatur jarak dengan tentara Mongol yang sudah terdesak. Sementara sang khalifah masih menunggu gerakan pasukan artileris.
Bum, bum, bum. Tanah Jalut bergetar hebat. Ribuan tentara Mongol menjemput ajalnya dengan raungan kesakitan teramat sangat. Baybar menyusun kembali pasukan. Ia tinggal menunggu di sisi bukit. Jika tak ada aral melintang, di titik inilah pasukan Kitbuqa terjepit.
Kini, celah di antara kedua bukit sudah disesaki pasukan Mongol. Quthuz membuka pelindung kepalanya. Ia menatap balatentara di belakangnya. Semua pun membuka pelindung kepala mereka.
Quthuz menyeruak masuk. Dari arah berlawanan, balatentara Quthuz menjepit sisa pasukan Mongol di Jalut.
Kuda Quthuz bergerak lincah. Panji-panji berlafal lailahaillallah berkibar-kibar ditiup angin. Balatentara Kitbuqa tak menyangka serangan dari sisi lain bukit itu.
Baybar mengomando pasukan agar terus merangsek. Sebuah tusukan Quthuz merobek lambung Kitbuqa. Panglima besar Mongol itu tersungkur mencium alas Jalut.
Ribuan tentara Mongol tak lekas menyerah meski tuannya sudah menelungkup di pasir tanah Jalut. Namun, karena semakin sedikit, sebagian besar kemudian meletakkan senjata. Bangsa Mongol kalah. Kekalahan pertama sepanjang agresi mereka mengangkangi dunia. Dan dari sana, berhenti pula ketamakan Mongol menguasai semua bagian muka dunia.
***
Quthuz dengan hangat memeluk Baybar, Yahya, dan hampir sebagian besar pasukannya. Ucapan alhamdulillah yang paling sering meluncur dari artikulasi lisannya. Malam sudah menjelang. Mendekati larut bahkan malam.
Di hari-hari akhir Ramadan, semua balatentara menunggu saat makan. Ihwal berbuka sudah mereka lalui dengan sekadar air setegukan dan roti keras dalam buntalan pakaian di pelana kuda-kuda mereka.
Lamat-lamat suara qari membaca mushaf Alquran.
Dari tinggi Bukit Jalut, lantunan ajakan menuju Tuhan diserukan. Dan di sanalah Quthuz menoreh sejarah emasnya. Sejarah menghentikan semua agresi Mongol ke tanah sah milik kaum muslimin. Quthuz menyepuh nama agungnya di sana. Di Ain Jalut itu.
Buat putra sulungku: Nuh Muzaffar Quthuz
Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
No comments:
Post a Comment