Cerpen Swandini Wiratmo
SUARA orang ber-uro-uro tembang Jawa terdengar gamblang di lereng Merapi. Ditingkahi angin yang sejuk, para pria tampak nikmat menghisap rokok linting klembak menyan, dari tembakau irisan. Bau kemenyannya menyebar ke mana-mana dan membuat pusing.
Enam penari serimpi meliuk-liuk lemah gemulai. Orang-orang desa, tua, muda, dan anak-anak asyik menyaksikan pementasan geladi resik wayang orang di Padepokan Seni Cipta Budaya, di samping kantor kelurahan. Kendati begitu, di luar pun anak-anak dengan bertelanjang kaki berlari-larian bermain jitungan. Mereka sepertinya tak terusik tarian-tarian yang akan digelar pada malam Suro itu.
"Tinggal dua hari lagi kita akan pentas," kata Ndoro Panji Kimpul, salah satu sesepuh warga Dusun Tutup Ngisor, di lereng Gunung Merapi.
Sambil menghisap rokok lintingnya, Ndoro Panji Kimpul yang juga ahli kebatinan kembali berkata: "Kita harus tampil lebih bagus ketimbang pementasan bulan Mauludan, kemarin. Karena pementasan Suro, amat sakral," tandas Ndoro Kimpul ketika membuka acara tersebut.
Tanggal 1 Muharram, memasuki tahun baru Islam. Seperti yang dilakukan orang-orang Jawa, biasanya pada malam 15 Suro atau Mualudan melakukan lek-lekan, untuk mencari wangsit, atau mencari sesuatu yang lebih baik.
"Bagaimana kalau tiba-tiba Merapi marah lagi. Apa kita juga jadi mentas?" tanya Sastro menyiasati perkataan Ndoro Kimpul.
Ndoro Kimpul kembali menghisap rokok lintingnya dalam-dalam. Kepulan asap menyeruak naik ke atas. Pikiran Ndoro Kimpul menerawang jauh, yakni pada zaman para leluhur-leluhurnya. Mereka tak peduli hujan atau gunung meletus, pentas wayang orang itu pasti dilaksanakan. Justru dengan adanya gegebluk tersebut, semakin memacu untuk mementaskan. Dan mereka yakin, dengan pentas sebagai laku menolak balak.
Maka dipilihnya hari sakral pada 15 Suro, 12 Maulud, sehari setelah Idulfitri, dan 17 Agustus. Keempat hari tersebut sudah digariskan setiap tahun mementaskan kesenian yang telah melebur pada warga tersebut.
"Harus dilaksanakan. Acara ini merupakan salah satu guyub bagi warga Dusun Tutup Ngisor," kata Ndoro Kimpul serius.
"Kita masih ingat leluhur kita, Romo Wesi Geni. Beliau berpesan, acara wayangan tak boleh ditiadakan, kendati guntur menggelegar ataupun Merapi mengamuk," tandasnya mantap.
Penduduk desa yang berkumpul sedari tadi kelepas-kelepus mengembuskan isapan rokok linting hanya manggut-manggut saja. Seolah memberi isyarat mengiyakan ucapan Ndoro Kimpul.
"Kalau tak jadi pentas, berarti sudah menyalahi aturan. Itu pertanda kita sudah tidak patuh lagi dengan adat," kata Sudarmo, penyuluh desa. Angin berembus kencang. Turun ke lembah. Menebarkan hawa dingin. Orang-orang pun yang duduk terus menghisap rokok lintingnya dalam-dalam. Untuk menghangatkan badan. Sembari menaikkan sarungnya. Sehingga menutupi sebagian muka. "Wah, apa mau hujan. Kok dingin banget," ujar Karto.
"Iya. Lihat saja mendung seperti telah menggulung rembulan," kata Firman menimpali omongan Karto.
Malam semakin larut. Hujan pun muntah dari langit. Namun, alunan gending Jawa terdengar bertalu-talu. Para wiyaga, malah tampak makin bersemangat. Mereka seperti tak hiraukan lebatnya hujan yang mengenangi rumah dan jalanan. Serta udara dinginnya malam.
Apalagi mereka ingat bahwa pementasan kali ini bukan hanya guyub warga Dusun Tutup Ngisor. Tapi juga guyub bersama warga di luar daerah, di Desa Ngaglik.
"Pasti pentas Mauludan ini lebih bagus. Lihat saja, para pemain berlatih tanpa cacat. Pantaslah geladi resik cuman sebentar," ujar Muin memuji. Sehingga Ndoro Kimpul tampak puas dan beliau berpesan para pemain tidak boleh mengecewakan penonton.
Malam berjalan perlahan. Hujan pun telah reda. Orang-orang bergerombol pulang. Sambil berjingkat-jingkat mereka berjalan menerobos gelapnya malam.
Dus, malam tanggal 12 Maulud pun tiba. Para pemain berangkat naik truk ke Desa Ngaglik. Terlihat di sepanjang jalan para penjual makanan dengan memakai lampu teplok sudah menggelar dagangannya. "Pasti nanti pergelaran akan sukses. Lihat saja, banyak orang bergerombol di jalan. Mereka pasti akan menonton kita," ujar Sukiyem, yang biasa berperan sebagai Arjuna itu girang.
Malam pun bergulir. Tampak jejeran wayang orang, bentangan kain wayang, dan waranggana telah bersimbuh di atas panggung. Kemudian, gending mengalun perlahan. Mereka sepertinya telah terhipnotis dengan suasana sakral yang mulai terbangun. Apalagi ketika suluk dimulai. Ditambah tiga sinden, berwajah ayu menembangkan gending-gending merdu, memicunya makin bersemangat.
Beberapa kelir digulung. Pementasan didahului dengan igelan tari serimpi. Kemudian, lakon pertunjukan Maruti: Geger Alengka, untuk pementasan gebyar bulan Suro.
Galibnya, kendati tontonan wayang orang ini gratis, hanya segelintir orang saja yang menyaksikan pertunjukan tersebut.
"Saya tidak mengira sama sekali, penonton hanya sedikit," kata Sukiyem, pemeran Biyung Emban kepada Sutarmi.
"Iya, katanya di desa sebelah ada pertunjukan dangdut. Mereka lebih suka menonton dangdut ketimbang wayang orang," kara Sutarmi yang juga pemeran Emban sambil membenahi selendangnya.
Pukul 24.00 WIB, pertunjukkan selesai. Penonton satu per satu meninggalkan tempat.
Ndoro Kimpul, pemimpin Padepokan Seni Cipta Budaya merasa puas, kendati pertunjukan wayang orang sepi penonton. "Pantas saja, penontonnya sedikit, wong mendung, kok," katanya kepada para pemain. "Acara pementasan cukup berhasil, kamu lihat sendiri kan mau hujan gerimis. Dan, penonton juga tak terusik beranjak dari tempat duduknya. Ini berarti mereka sangat menghargai kesenian tradisional," katanya menyakinkan anggotanya.
"Saya bersyukur kepada Allah. Pementasan ini sukses," kata Ndoro Kimpul bersemangat.
Esoknya, anggota wayang orang dari Padepokan Seni Cipta Budaya meninggalkan Desa Ngaglik.
Kembali ke Desa Tutup Ngisor yang tetap tenteram. Tak pernah berkecamuk percikan pertikaian dan kembali berkesenian. Pola hidup dan tata cara berkesenian kental warga Dusun Tutup Ngisor.
Pandangan hidup tercermin dari pentas wayang mereka. Tak ada tokoh yang mati. Warga Dusun Tutup Ngisor menyiasati bahwa kekalahan tidak harus berakhir dengan kematian. Maka, perang antar-Pandawa dan Kurawa dalam Perang Bharatayudha tak pernah mereka pentaskan. Alasannya, mereka adalah bersaudara. Jadi, dicarikan lakon yang baik tanpa harus ada adegan permusuhan, apalagi pembunuhan.
Selain itu, keluarga Padepokan Seni Cipta Budaya tak pernah menggambarkan atau menampilkan tokoh-tokoh wayang yang bernasib tragis. Namun, khusus pada adegan Perang Kembang antara Cakil dan Arjuna, tokoh Cakil tetap dimatikan. Alasannya, Cakil melambangkan hawa nafsu angkara murka. Nafsu angkara murka itu wajib dibunuh dalam sanubari.
"Saya sangat bangga dengan Romo Sindul yang rela menyerahkan tanahnya kepada Desa Tutup Ngisor untuk berkesenian--cara berkesenian mereka bukan bertumpu pada uang, melainkan jaringan alam semesta," tambah Raden Sangkur.
Selama 24 jam, mereka menyatukan hidup dalam seni. Selagi pentas, kendati tak dilihat orang mereka tak kecewa. Wayang orang yang begitu dicintainya, menjadi suluh bagi barometer kekuatan budaya mereka. Mengaktualisasikan dirinya, mengajar nilai adiluhung dengan pentas cerita soal budaya.
Mereka tidak pernah pesimitis. Kendati wayang orang dianggap tidak punya masa depan. Karena itu, tiap kali mereka ditanya, raut ketidakyakinan akan kembalinya masa keemasan wayang orang selalu muncul pada wajah-wajah mereka. Ketidakyakinan itu bukan tanpa dasar. Selama pertunjukan di desa lain, kadangkala hanya beberapa pementasan saja yang dipadati penonton.
Berkesenian laku wajib bagi warga. Maka, tak heran bila wayang orang tersebut sering diundang di luar daerah. Mereka yang mengundang kendati tak jarang tidak dibayar. Jika mereka memberi, ya diterima. Kalaupun tidak, ya tidak jadi apa. Pemberian itu biasanya dibelikan alat-alat. Sisanya dibagi rata sesama pemain.
Kenyataannya, permintaan untuk pentas datang silih berganti. Pantaslah di papan yang tergantung di tempat latihan, tertulis jadwal pentas di daerah lain. Kalau dapat sisa pentas lumayan. Sekitar Rp3.500 untuk menambah beli makanan anak-anak.
"Coba, saudara bayangkan. Apa yang ada di luar sekeliling kita. Selalu gemuruh ramai orang saling fitnah-menfitnah, baku hantam, bahkan bunuh-membunuh," kata Ndoro Kimpul ketika latihan rutin setiap malam Minggu.
"Tapi, di desa kita tidak pernah terjadi percikan pertikaian," kata Ndoro Kimpul lagi.
Bahkan, sewaktu Bapak Raden Sangkur, lurah Desa Ngaglik memberi sambutan selalu memuji. "Saya bangga terhadap warga Tutup Ngisor yang unik. Konon, rasa iri atau persaingan tak sehat, jauh dari batin mereka. Tabu berselisih antartetangga," kata Raden Sangkur yang hadir juga pada acara tersebut.
Mereka pun asyik ngobrol, dari kesenian hingga persoalan masalah bangsa ini. Di tengah era globalisasi dan informasi, mereka lebih menyukai pementasan musik rock ataupun dangdut.
Mereka harus tabah ditonton barisan kursi kosong. Tapi mereka yakin, jumlah penonton memang bukan satu-satunya ukuran untuk menilai eksistensi sebuah kesenian.
Mereka selalu memegang pameo sesepuh yang mahir mendalang Sastroprawiro. "Bila kesenian lahir dari hati nurani, senimannyalah yang menentukan estetik seni itu, bukan penonton ataupun siapa saja."
Memang patut disayangkan, kalau dalam pementasan hanya ditonton segelintir orang. Namun yang menjadi pertanyaan mereka, apa sebetulnya yang membuat jenis kesenian adiluhung ini ditinggalkan penontonnya. Padahal, wayang tak hanya ngudal belulang, tapi juga sarat filsafat dan penuh keindahan. Dialognya kental, humornya cerdas, dan igelan wayangnya sangat indah dan menghibur. Wayang juga lambang sekaligus bayangan dari realita semesta, ajarannya dikutip tiap hari.
Sekaligus wayang orang menjadi seni marginal. Yang kini sepertinya menjadi kekuatiran banyak seniman. Karena sudah jadi kenyataan, wayang orang dipinggirkan. Sehingga tak jarang grup wayang orang legendaris kalau mengadakan pertunjukkan seperti amal gratis. Namun, mereka tak pernah meminta. “Ora ilok. Wong cilik kuwi prasasat kandang langit kemul mega. Tapi barang siapa menguasai bibit, dia akan menguasai kehidupan," ujar Ndoro Kimpul perlahan.
Lampung Post, Minggu, 28 Maret 2010
No comments:
Post a Comment