Cerpen Alexander G.B.
SORE itu, aku melihat naga abu-abu yang keluar dari bibirmu. Menggeliat, mengibas-ngibaskan ekor, lalu melesat ke sebuah tempat yang jauh dan tinggi. Seperti dongeng tentang puyang atau sesuatu yang kau percaya sebagai muasalmu. Meski mati-matian aku mencoba membantah. Namun, telanjur kau percaya dan aku tak hendak mengusiknya.
“Jadi, salah satu telur naga itu ditetaskan di puncak Seminung. Lalu ia bertapa, berkelana dan akhirnya menjadi penguasa laut yang sakti dan pemberani,” ujarmu.
Meski demikian, aku mencoba menawarkan Adam sebagai mula kehidupan. Seperti yang disampaikan Kiai Muhtasor, guru ngaji-ku semasa aku masih tinggal di Ulubelu. Lelaki ringkih yang hampir separuh usianya dihabiskan di musala selepas menempuh pendidikan di sebuah ponpes di pulau seberang. Ia yang dengan keyakinan yang seolah tak bisa disangkal itu mengatakan Adam dan Hawa tergoda dan makan buah terlarang dan akhirnya terlempar ke dunia. Dan aku begitu saja percaya. Tak sedikit pun curiga, bahwa bisa jadi Tuhanlah (yang dengan caranya) yang telah merancang demikianlah kisah Adam-Hawa. Tanpa disadari siapa pun, sehingga (termasuk kita) telanjur menganggap itu sebagai kesalahan Adam semata. Padahal, Adam dijebak, ia masuk perangkap. Kudengar naga di kepalamu mendengus, mungkin hendak menelanku.
“Namanya Sabatang,” tegasnya.
“Bagaimana kamu bisa memercayai cerita semacam itu?” balasku.
“Memang bagimu tidak masuk akal, tapi begitulah, tapi bagiku demikianlah kebenaran.”
Lekas, kisah Seribu Satu dan Semalam (Harun dan Lautan Dongeng) Salman Rusdie mengetuk-ngetuk kepalaku. Ah, mengapa kitab itu tak kutemukan meski kepala telah lama berdenyut.
Dari tempat duduk, kau menatap langit yang tak biru. Lalu menghela napas. Aku menduga dongeng-dongeng di kepalamu turut tercemar oleh mendung yang tiba-tiba merebak itu. Kau juga menolak kuajak ke museum atau ke perpustakaan kota dengan alasan terlalu banyak fakta yang telanjur berubah sebagai fiksi di sini dan sebaliknya. Lalu kita tertawa, kembali membahas ihwal perjumpaan dan perpisahan, tentang sambal terasi dan seruit yang dulu kerap menghiasi meja makan kami.
“Ini bukan sekadar dongeng, memang tak disebutkan nama tempatnya. Tapi gunung yang dikelilingi danau itu ada. Kamu tahu Seminung kan?”
Aku mengangguk. Setelah puluhan atau ratusan perjumpaan baru sekarang kutemukan wanita yang ngotot sepertimu. Mungkin kau bosan bertahun-tahun hidup di Belanda yang selalu dituntut rasional dan serbateratur itu.
“Untuk apa lagi kau mencoba mengingat dongeng semacam itu?” tanyaku.
Kau meneguk kopi tanpa gula, mengeluarkan sebatang rokok putih lalu mengisapnya. Bulatan-bulatan kecil keluar dari bibinya. Bulatan abu-abu, yang kemudian pudar dan menyusun garis tipis. Kau kembali tersenyum. Bulatan kecil abu-abu telah kembali menjelma naga. Ia menatapku usai berputar-putar di atas meta kayu pinggir kolam, matanya memerah seolah juga meminta membantumu menyusun kisah bersama. Lalu angin yang melompati dinding pembatas kolam berpusar, dan naga itu melesat dan mendekam di kepalaku.
Kau tahu, aku sedang memikirkan hal lain, yang mungkin saja tak berkaitan dengan muasal siapa pun. Sebab, aku tak betah untuk turut menelusuri lorong-lorong masa lalu yang bagiku selalu gelap.
Sembari mengusap batu cempaka madu. Aku kembali menegaskan ada banyak hal terjadi di luar sana. Banyak orang berduyun-duyun membangun masa lalunya sendiri, memajang foto mereka di billboard-billboard. Sementara aku, dalam kerumunan itu, hanyalah sekumpulan daging yang sesekali menertawakan kisah yang mencoba mereka yakini sebagai kenyataan.
“Jadi menurutmu, kota ini juga bermula dari dongeng?”
“Barangkali, atau bisa jadi sesungguhnya kita hidup di negeri dongeng.”
“Saat ini?”
“Ya, saat ini.”
“Jadi kau pikir hidup sebatas fiksi?”
“Bisa jadi.”
“Baiklah, besok kuajak kamu menelusuri Tanjungkarang,” ujarku.
“Aku setuju,” ujarmu.
“Memang tak seindah kota-kota imajinernya Italo Calvino,”
“Aku tahu. Sekalian antar aku ke sebuah tempat ya?”
Aku mengangguk. Membayangkan kira akan menyapa sudut-sudut Tanjungkarang yang belakangan binary matanya terlihat gamang. Lalu aku berpamitan. Seorang teman lama mengirim kabar lewat pesan singkatnya, bahwa malam itu, kamu menjumpai sebuah komunitas lain di satu sudut kota ini. Sementara aku terlelap dalam kisah yang lain, hingga naga itu tiba-tiba hadir dan seolah hendak membelitku. Aku nyaris tak mampu bernapas, setelah mengapai, mengucap mantera, ayat-ayat yang diajarkan Kiai Muhtasor, mengatur napas, hingga terasa terbebas dari belitan naga yang keluar dari bibirmu. Meski risikonya, kupaksa mataku melotot hingga pagi. Terlelap sebentar, lalu dering telepon darimu membuatku kembali terjaga.
Kita kembali bertemu. Siang sangat terik. Kita jalan-jalan, kulit putihmu melegam. Tapi tak ada jalan lain untuk membangkitkan ingatan, kecuali kembali menelusuri jalan-jalan yang pernah kita lewati bukan? tanyamu dalam perjalanan. Aku sangat menghargai keseriusan dan ketulusan niatnya itu.
“Apa yang kamu lakukan selama ini?”
“Menemani Bung Joy.”
“Siapa dia?”
“Kolektor batu akik.”
Kau tertawa. Mencubit lenganku, membasahi tenggorokan dengan air mineral, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
***
Di sebuah tempat, kamu tahu, banyak orang menyambut kita dengan tatapan sinis. Aku memakluminya. Butir-butir garam keluar dari kening dan pelipismu. Kamu terlalu bersemangat ketika itu, hingga sesungguhnya, hatiku berduka sebab sesuatu yang berbeda yang berlintasan di kepala mereka.
Namun, aku tak hendak mencampuri semua itu. Aku memilih menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok di satu sudut gedung, yang kuduga sebagai salah satu mata air dongeng yang salah satunya kau ceritakan itu. Di sana kisah-kisah lain dilahirkan, diproduksi, dikemas, dan disebarkan ke seluruh pelosok negeri.
Kutatap wajah minggu yang muram di sebuah kota, yang menurutmu, orang-orang lebih suka melihat kota itu sebagai puing-puing, gedung-gedung yang tak kuasa menahan hantaman sang waktu, yang dalam istilah Salman Rusdi serupa sekumpulan hati yang patah. Mestinya kita bisa menyusun dongeng kita sendiri, ujarmu. Tapi aku masih enggan dan lebih suka bertahan di kursi plastik hijau di beranda. Angin membawakan aroma mawar dari sebuah tempat yang jauh dan lekas berlalu. Samar kudengar debur ombak dan lengking camar dari dada temanku yang saat itu termangu. Lalu jalanan kembali lengang, hari beranjak sore, dan minggu mulai berkemas.
“Sebentar lagi aku harus meninggalkan Tanjungkarang,”
“Mengapa buru-buru?”
“Dongeng-dongeng itu memanggilku,”
“Mengapa ia tak memanggilku?”
“Sebab, kamu terlalu terpukau pada Ulubelu.”
Kau tersenyum. Lalu meninggalkan satu sudut Grande yang tanpa sengaja telah mempertemukan kita, pada banyak obrolan yang gagal kita sepakati sebagai sejarah atau sekadar bumbu gelak-tawa.
Ada banyak dingin dan gigil yang hendak kau kirimkan lantaran rindu yang telanjur tertanam di satu ruang dalam diriku? Ada banyak kesedihan dan duka cita yang mesti kutanggung untuk kembali sampai kepadaku. Ada banyak dongeng yang mesti kausingkap usai pertemuan itu. Kau pukau aku lalu pergi begitu saja. Kini naga itu menyemburkan apinya kepadaku. Dan mungkin akan membakar seluruh kisah yang pernah kutuliskan.
Esoknya, selepas subuh, kau itu meninggalkan kota ini. Kau lupa membawa naga, yang kini telanjur mendekam di kepalaku yang kini sedang duduk di satu sudut kota, yang selalu gugup dan malu-malu ketika menyebutkan namanya. n
Tanjungkarang, September 2014
Lampung Post, Minggu, 30 November 2014
SORE itu, aku melihat naga abu-abu yang keluar dari bibirmu. Menggeliat, mengibas-ngibaskan ekor, lalu melesat ke sebuah tempat yang jauh dan tinggi. Seperti dongeng tentang puyang atau sesuatu yang kau percaya sebagai muasalmu. Meski mati-matian aku mencoba membantah. Namun, telanjur kau percaya dan aku tak hendak mengusiknya.
“Jadi, salah satu telur naga itu ditetaskan di puncak Seminung. Lalu ia bertapa, berkelana dan akhirnya menjadi penguasa laut yang sakti dan pemberani,” ujarmu.
Meski demikian, aku mencoba menawarkan Adam sebagai mula kehidupan. Seperti yang disampaikan Kiai Muhtasor, guru ngaji-ku semasa aku masih tinggal di Ulubelu. Lelaki ringkih yang hampir separuh usianya dihabiskan di musala selepas menempuh pendidikan di sebuah ponpes di pulau seberang. Ia yang dengan keyakinan yang seolah tak bisa disangkal itu mengatakan Adam dan Hawa tergoda dan makan buah terlarang dan akhirnya terlempar ke dunia. Dan aku begitu saja percaya. Tak sedikit pun curiga, bahwa bisa jadi Tuhanlah (yang dengan caranya) yang telah merancang demikianlah kisah Adam-Hawa. Tanpa disadari siapa pun, sehingga (termasuk kita) telanjur menganggap itu sebagai kesalahan Adam semata. Padahal, Adam dijebak, ia masuk perangkap. Kudengar naga di kepalamu mendengus, mungkin hendak menelanku.
“Namanya Sabatang,” tegasnya.
“Bagaimana kamu bisa memercayai cerita semacam itu?” balasku.
“Memang bagimu tidak masuk akal, tapi begitulah, tapi bagiku demikianlah kebenaran.”
Lekas, kisah Seribu Satu dan Semalam (Harun dan Lautan Dongeng) Salman Rusdie mengetuk-ngetuk kepalaku. Ah, mengapa kitab itu tak kutemukan meski kepala telah lama berdenyut.
Dari tempat duduk, kau menatap langit yang tak biru. Lalu menghela napas. Aku menduga dongeng-dongeng di kepalamu turut tercemar oleh mendung yang tiba-tiba merebak itu. Kau juga menolak kuajak ke museum atau ke perpustakaan kota dengan alasan terlalu banyak fakta yang telanjur berubah sebagai fiksi di sini dan sebaliknya. Lalu kita tertawa, kembali membahas ihwal perjumpaan dan perpisahan, tentang sambal terasi dan seruit yang dulu kerap menghiasi meja makan kami.
“Ini bukan sekadar dongeng, memang tak disebutkan nama tempatnya. Tapi gunung yang dikelilingi danau itu ada. Kamu tahu Seminung kan?”
Aku mengangguk. Setelah puluhan atau ratusan perjumpaan baru sekarang kutemukan wanita yang ngotot sepertimu. Mungkin kau bosan bertahun-tahun hidup di Belanda yang selalu dituntut rasional dan serbateratur itu.
“Untuk apa lagi kau mencoba mengingat dongeng semacam itu?” tanyaku.
Kau meneguk kopi tanpa gula, mengeluarkan sebatang rokok putih lalu mengisapnya. Bulatan-bulatan kecil keluar dari bibinya. Bulatan abu-abu, yang kemudian pudar dan menyusun garis tipis. Kau kembali tersenyum. Bulatan kecil abu-abu telah kembali menjelma naga. Ia menatapku usai berputar-putar di atas meta kayu pinggir kolam, matanya memerah seolah juga meminta membantumu menyusun kisah bersama. Lalu angin yang melompati dinding pembatas kolam berpusar, dan naga itu melesat dan mendekam di kepalaku.
Kau tahu, aku sedang memikirkan hal lain, yang mungkin saja tak berkaitan dengan muasal siapa pun. Sebab, aku tak betah untuk turut menelusuri lorong-lorong masa lalu yang bagiku selalu gelap.
Sembari mengusap batu cempaka madu. Aku kembali menegaskan ada banyak hal terjadi di luar sana. Banyak orang berduyun-duyun membangun masa lalunya sendiri, memajang foto mereka di billboard-billboard. Sementara aku, dalam kerumunan itu, hanyalah sekumpulan daging yang sesekali menertawakan kisah yang mencoba mereka yakini sebagai kenyataan.
“Jadi menurutmu, kota ini juga bermula dari dongeng?”
“Barangkali, atau bisa jadi sesungguhnya kita hidup di negeri dongeng.”
“Saat ini?”
“Ya, saat ini.”
“Jadi kau pikir hidup sebatas fiksi?”
“Bisa jadi.”
“Baiklah, besok kuajak kamu menelusuri Tanjungkarang,” ujarku.
“Aku setuju,” ujarmu.
“Memang tak seindah kota-kota imajinernya Italo Calvino,”
“Aku tahu. Sekalian antar aku ke sebuah tempat ya?”
Aku mengangguk. Membayangkan kira akan menyapa sudut-sudut Tanjungkarang yang belakangan binary matanya terlihat gamang. Lalu aku berpamitan. Seorang teman lama mengirim kabar lewat pesan singkatnya, bahwa malam itu, kamu menjumpai sebuah komunitas lain di satu sudut kota ini. Sementara aku terlelap dalam kisah yang lain, hingga naga itu tiba-tiba hadir dan seolah hendak membelitku. Aku nyaris tak mampu bernapas, setelah mengapai, mengucap mantera, ayat-ayat yang diajarkan Kiai Muhtasor, mengatur napas, hingga terasa terbebas dari belitan naga yang keluar dari bibirmu. Meski risikonya, kupaksa mataku melotot hingga pagi. Terlelap sebentar, lalu dering telepon darimu membuatku kembali terjaga.
Kita kembali bertemu. Siang sangat terik. Kita jalan-jalan, kulit putihmu melegam. Tapi tak ada jalan lain untuk membangkitkan ingatan, kecuali kembali menelusuri jalan-jalan yang pernah kita lewati bukan? tanyamu dalam perjalanan. Aku sangat menghargai keseriusan dan ketulusan niatnya itu.
“Apa yang kamu lakukan selama ini?”
“Menemani Bung Joy.”
“Siapa dia?”
“Kolektor batu akik.”
Kau tertawa. Mencubit lenganku, membasahi tenggorokan dengan air mineral, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
***
Di sebuah tempat, kamu tahu, banyak orang menyambut kita dengan tatapan sinis. Aku memakluminya. Butir-butir garam keluar dari kening dan pelipismu. Kamu terlalu bersemangat ketika itu, hingga sesungguhnya, hatiku berduka sebab sesuatu yang berbeda yang berlintasan di kepala mereka.
Namun, aku tak hendak mencampuri semua itu. Aku memilih menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok di satu sudut gedung, yang kuduga sebagai salah satu mata air dongeng yang salah satunya kau ceritakan itu. Di sana kisah-kisah lain dilahirkan, diproduksi, dikemas, dan disebarkan ke seluruh pelosok negeri.
Kutatap wajah minggu yang muram di sebuah kota, yang menurutmu, orang-orang lebih suka melihat kota itu sebagai puing-puing, gedung-gedung yang tak kuasa menahan hantaman sang waktu, yang dalam istilah Salman Rusdi serupa sekumpulan hati yang patah. Mestinya kita bisa menyusun dongeng kita sendiri, ujarmu. Tapi aku masih enggan dan lebih suka bertahan di kursi plastik hijau di beranda. Angin membawakan aroma mawar dari sebuah tempat yang jauh dan lekas berlalu. Samar kudengar debur ombak dan lengking camar dari dada temanku yang saat itu termangu. Lalu jalanan kembali lengang, hari beranjak sore, dan minggu mulai berkemas.
“Sebentar lagi aku harus meninggalkan Tanjungkarang,”
“Mengapa buru-buru?”
“Dongeng-dongeng itu memanggilku,”
“Mengapa ia tak memanggilku?”
“Sebab, kamu terlalu terpukau pada Ulubelu.”
Kau tersenyum. Lalu meninggalkan satu sudut Grande yang tanpa sengaja telah mempertemukan kita, pada banyak obrolan yang gagal kita sepakati sebagai sejarah atau sekadar bumbu gelak-tawa.
Ada banyak dingin dan gigil yang hendak kau kirimkan lantaran rindu yang telanjur tertanam di satu ruang dalam diriku? Ada banyak kesedihan dan duka cita yang mesti kutanggung untuk kembali sampai kepadaku. Ada banyak dongeng yang mesti kausingkap usai pertemuan itu. Kau pukau aku lalu pergi begitu saja. Kini naga itu menyemburkan apinya kepadaku. Dan mungkin akan membakar seluruh kisah yang pernah kutuliskan.
Esoknya, selepas subuh, kau itu meninggalkan kota ini. Kau lupa membawa naga, yang kini telanjur mendekam di kepalaku yang kini sedang duduk di satu sudut kota, yang selalu gugup dan malu-malu ketika menyebutkan namanya. n
Tanjungkarang, September 2014
Lampung Post, Minggu, 30 November 2014