Sunday, August 10, 2014

Adenita

Cerpen Yuli Nugrahani

SEHARUSNYA dia sudah ada di rumah dan tidak perlu kedinginan gelisah di teras rumah kosong tanpa tahu kapan bisa melanjutkan perjalanan tanpa basah kuyup. Walau rumahnya selalu sepi tidak kenal waktu, sering membuatnya salah tingkah tak tahu apa yang harus dibuatnya seorang diri, tetap saja rumah itu lebih nyaman daripada teras ini. Jauh lebih nyaman apalagi dalam hujan deras semacam ini.

Rumahnya masih di ketinggian sana, di ujung jalan setapak yang terjangkau hanya dengan jalan kaki. Bukit-bukit sudah membuatnya menjadi tempat paling indah yang pernah dihuninya. Tapi sayang, untuk menjangkaunya dia harus menitipkan motor dan mobil kesayangannya di halaman samping toko Cik Lien. Motor dan mobil mustahil bisa melewati jalan menanjak menuju rumah itu.

Karena itu pula, tadi dia tertahan banyak menit oleh Cik Lien yang bercerita tentang anaknya yang tinggal di Taichung. Ah, Cik Lien sudah baik hati menampung mobil dan motornya, tentu tak enak jika menolak mendengar cerita-cerita penuh kegembiraan itu. Dia bisa pamit ketika bunyi guruh sudah dua kali terdengar di kejauhan sehingga Cik Lien rela hati melepaskannya setelah menambah nasehat ini itu untuk hari lamarannya besok.

Dia beruntung mendapatkan rumah itu setahun lalu. Itu rumah idaman. Indah di tengah alam. Tidak terlalu besar sehingga tak akan merepotkan siapa pun yang mengurusnya, tetapi juga cukup lapang bagi tamu-tamu keluarga yang ingin menginap. Yang agak merepotkan memang jalan setapak dengan kemiringan antara 20 dan 45 derajat untuk sampai di rumah itu. Orang-orang tertentu pasti akan mengeluh sebelum sampai di rumahnya.

Sebenarnya lokasi rumah itu tidak terlalu jauh dari jalan raya. Dari toko Cik Lien di pinggir jalan membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke atas. Setengah perjalanan yang dilalui adalah permukiman penduduk yang padat. Setengah perjalanan berikutnya, setelah pohon waru besar yang di musim hujan selalu dipenuhi ulat bulu, hanya ada satu rumah kosong bekas milik juragan tahu yang sekarang tak ditempati lagi. Selebihnya kebun cokelat tak terurus berseling dengan semak-semak walikukun.

Persis setelah melewati pohon waru itulah hujan deras menggila memaksanya lari ke emper rumah kosong dan berteduh di situ. Dia merutuk dirinya sendiri karena meninggalkan payungnya di dalam mobil. Dia membawa baju batik yang akan dipakainya besok dalam tasnya dan dia tak mau memakai batik itu dalam kondisi basah, maka dia memutuskan berteduh sebentar di rumah kosong itu. Jika nanti tinggal gerimis saja dia akan melanjutkan perjalanan tanpa membuat isi tasnya basah.

Rumah kosong itu tampak masih kukuh. Seluruh kusennya masih jelas bercat cokelat tua. Beberapa bagian memang mengelupas, tapi secara keseluruhan rumah itu tampak kukuh berdiri di antara hijau perkebunan. Untung saja pintu pagarnya tidak pernah dikunci sehingga dia bisa masuk tanpa kesulitan.

Ketika dia sedang gelisah merasakan hujan sekaligus berpikir tentang segala acara besok yang akan mempertemukan keluarga besarnya dengan keluarga besar calon istrinya, suatu gerakan muncul dari jalan bawah. Payung jingga bergerak pelan. Lalu seorang lelaki tua kelihatan tubuhnya samar-samar terselubung hujan berjalan ke arahnya, tepatnya ke rumah kosong. Lelaki itu masuk halaman dan mengucapkan salam.

“Saya mencari Adenita. Apakah ada?”

“Maaf, Pak. Saya hanya menumpang berteduh di rumah ini. Namun, setahuku rumah ini kosong tidak ada penghuninya. Dan penghuni lama saya kenal tidak ada yang bernama Adenita.”

“Tapi ini rumahnya. Adenita tinggal di sini dari dulu.”

“Mungkin Bapak salah alamat. Ini rumah kosong dan tidak ada yang bernama Adenta di sini.”

“Pasti kau yang salah.”

Lelaki itu melangkah ke pintu rumah. Diketuknya rumah itu berkali-kali setelah dia memencet bel yang tidak berbunyi, dan memang pasti tidak akan berbunyi karena rumah itu tak punya sambungan listrik lagi. Beberapa saat dia menunggu suatu reaksi atas tindakannya, lalu bapak itu mulai berteriak.

“Adenita! Adenita! Kau di dalam?”

Kali ini ketukan lelaki tua itu menjadi gedoran. Dia mendekati mencoba menenangkan lelaki itu.

“Maaf, Pak. Seperti kubilang, rumah ini kosong. Sudah lebih dari setahun rumah ini tidak berpenghuni. Jika Bapak mau tahu siapa yang dulu menempatinya, Bapak bisa pergi ke sebelah pasar, tempat Pak Krodi. Mereka sekeluargalah yang dulu menempati rumah itu. Mungkin Adenita yang Bapak maksud masih keluarga dari mereka.”

Bapak itu memandangnya.

“Kau kira aku ini orang pikun yang salah alamat? Kau kira aku tidak kenal Adenita sehingga lupa di mana rumahnya?”

“Tapi memang perkataanku itu benar, Pak. Sampai capai pun tak akan ada orang yang keluar dari rumah ini.”

Bapak itu terlihat membalikkan badan dan melanjutkan mengetuk dan mengguncang pintu sambil berteriak. Suaranya masih terdengar menggelegar parau di tengah hujan deras ini.

Dia ingin sekali menandaskan lagi soal rumah kosong, tapi diputuskan untuk tidak mengatakan apa pun. Dibiarkan saja lelaki itu mengetuk dan berteriak. Dia menggeser dirinya agak menjauh supaya tidak ada lagi kontak dengan lelaki itu.

Beberapa saat kemudian dia hanyut dalam lamunan akan hari esok. Dia akan melakukan prosesi lamaran. Itu adalah hari yang ditunggunya. Akhirnya dia akan bersanding dengan pujaan hati yang sudah dipacarinya tiga tahun terakhir. Akhirnya dia akan mempunyai teman menyenangkan untuk segala kegiatan di rumah gunungnya. Kegelisahan memang tak terelakkan jika mengingat hari besok karena dia ingin semuanya sempurna. Pikiran itu membuatnya meremas tas kantung kain. Di dalamnya ada baju batik yang baru diambilnya dari penjahit. Batik motif daun berwarna merah marun, senada dengan kebaya kekasihnya untuk hari istimewa besok.

“Adenita...”

Dia melirik arah suara. Bapak itu kini mengelesot di depan pintu. Merintih dan menangis. Dia tak lagi meneriakkan nama itu, berganti dengan suara lemah putus asa.

“Kenapa kau tidak membukakan pintu untukku. Adenita, Adenita...”

Dia mendekat kembali. Kali ini dia tak mengatakan apa pun. Biar saja Si Bapak merasakan apa yang dirasakannya. Toh percuma saja dia menjelaskan kalau rumah itu kosong. Si Bapak masih saja kukuh pada pendapatnya. Sebagai gantinya dia mengelus lengan Bapak tua itu dengan ringan.

“Adenita itu siapa, Pak? Putri Bapak? Teman? Istri?”

Mata lelaki tua itu kelabu kosong menatap sesuatu tanpa fokus. Dia tidak bisa menangkap manik mata Bapak itu dalam pandangan. Bapak itu terus menggeleng-geleng, lalu dengan lemah berdiri.

“Ya, mungkin kau benar. Aku salah alamat.”

Awalnya dia ingin menduga kalau Bapak ini kurang waras atau sedikit gila. Tapi pernyataan terakhir ini membuatnya yakin kalau Bapak berpayung jingga ini orang kebanyakan saja. Mungkin menjadi sedikit aneh karena kebetulan sedang bersedih mencari Adenita, entah siapa pun perempuan itu.

“Aku permisi. Maaf telah mengganggumu.”

Bapak itu membuka payungnya dan berjalan melintasi halaman. Di pintu pagar Si Bapak membelok ke kiri, ke arah atas. Dia berteriak mengingatkan karena siapa tahu Bapak itu salah jalan.

“Pak, tidak ada lagi rumah lain di atas kecuali rumahku! Di sana tak ada yang bernama Adenita. Aku tinggal seorang diri. Pak, kau salah arah!”

Bapak itu memandang ke teras sekilas sambil mengernyitkan sepasang alisnya. Bibirnya komat-kamit tanpa bisa ditangkap sepatah kata pun. Sepertinya teriakan itu tak ada gunanya. Segera saja tubuh lelaki itu lenyap dalam derasnya hujan dan remangnya senja. Bapak itu berjalan pelahan ke atas melalui jalan setapak, arah rumahnya.

Hingga hujan tinggal gerimis Bapak itu tak juga kelihatan turun. Tidak ada jalan lain untuk kembali ke jalan raya kecuali jalan setapak ini. Setengah berlari dia menerobos gerimis. Dia ingin segera pulang untuk istirahat, sekaligus untuk meluapkan rasa penasarannya pada Bapak tua itu. Apakah Bapak itu mampir di rumahnya? Sangat masuk akal karena itulah satu-satunya rumah di ujung jalan setapak.

Dekat pohon ketepeng, rumahnya sudah terlihat. Tampak gelap gulita karena lampu-lampu belum dinyalakan. Tapi sepintas pandang bisa diyakini bahwa tidak ada orang di sekitar rumahnya. Jadi ke mana Bapak berpayung jingga itu pergi? Dia masuk ke rumah setelah terlebih dahulu mengamati sekitar rumah. Tak ada tanda-tanda terasnya dimasuki oleh orang lain selain dirinya.

Saat pintu rumah mulai dipalangnya dari dalam, hujan kembali deras. Pikirannya tak bisa dilepas dari bayangan Bapak berpayung itu. Kekhawatiran tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Jangan-jangan Bapak itu tersesat? Atau terjatuh? Siapa yang akan menolongnya dalam gulita dan hujan deras seperti ini?

Dia mulai menyesal tidak bertanya nama dan alamat Bapak tua itu. Satu-satunya yang dikenalnya adalah nama perempuan yang disebut Bapak itu beberapa kali. Adenita. Adenita. Adenita, siapa dia? Tak ada petunjuk apa pun selain itu.

Penasaran dan kegelisahan menyeruak bersamaan dalam tubuhnya sepanjang malam. Pikirannya menyeberang ke segala arah. Seluruh rencana lamaran berselang-seling dengan bayangan Bapak berpayung jingga dan nama Adenita. Di luar hujan deras berdentang-dentang menimpa seng atap rumah. Harusnya pagi segera datang. Dia tak sedikit pun bisa memejamkan mata.  n


Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment