Cerpen Beni Setia
HANYA kala terlelap aku kembali ke tempat itu, tapi tak setiap terlelap dibawa ke tempat itu—sesekali saja. Mungkin selama ini hanya beberapa kali. Setelah di satu senja aku terpukau oleh pemandangan sunyi saat hari mulai teduh meski orang-orang masih abai dalam rumah. Tak gegas ambil mandi sore—mungkin, dengan penghasilan yang dimiliki, belum memutuskan makan malam di mana. Mereka nyaman berumah, tidak perlu tergesa ke luar rumah, seakan tidak ada kesulitan menjelang malam ketika siang berlalu. Mapan. Benarkah begitu? Apa itu di Bandung? Tahun berapa?
Kini, tak teringat aku mau ke mana? Ke pertigaan Gatot Subroto, yang bertanda monumen tank itu atau lebih ke sana lagi untuk berhenti di mulut gang, lantas masuk ke perkampungan padat? Kini, tidak merasa pulang dari bepergian atau akan bertamu pada seseorang. Bahkan, aku tidak merasa dari tempat itu, tidak merasa si dari sekitar tempat itu, dan, karena itu, tidak merasa akan ke sana dan dari sana—atau situ. Seperti tersihir, atau dikutuk, aku sendiri dalam angkutan umum, terkantuk-kantuk dengan sopir abai mengendarai—tak dikejar setoran, tidak bernafsu mencari penumpang, dan (sepertinya) akan kembali ke garasi untuk bayar setoran ke juragan.
Abai mendengarkan calung Darso dari kaset, ikut bersenandung dengan aksen sangat Sunda: mengimla lirik lagu agak ngeres—melupakan calon penumpang pinggir jalan. Abai. Tak peduli—padahal aku telah dibawa dari Kebonkalapa. Mengherankan.
Karena itu: apa aku ada, apa aku disadarinya sebagai subjek bernyawa berkehendak?
***
AKU tak berasal dari saat ini—mungkin juga bukan dari masa lampau yang jelas, sehingga bisa memiliki masa datang yang pasti. Aku seperti ceruk gaib. Yang tak bisa ditandai, bahkan mustahil bisa diraba dalam remang lengkung kabin dengan matahari terang di barat dan menimbulkan bayang yang memanjang ke timur, ke arah angkutan itu menggelundung abai. Sesuatu yang mendadak hadir ketika angkutan menyeberang dari Terminal Kebonkalapa, memburu sisi kiri, melaju lurus ke utara—abai pada lerotan mobil berebut melaju di perempatan dan pertigaan, abai pada calon penumpang yang mencegat agar secepatnya berada di rumah—, membelok ke kanan di perempatan, dan melambat seperti berdarmawisata di sepanjang sisi selatan alun-alun.
Lurus. Tidak peduli pada calon penumpang yang mungkin menunggu di teduh beringin, di trotoar sempit berpagar tinggi dari kompleks kabupaten di seberang, dan tak terburu ketika memotong perempatan menuju tepian pusat pertokoan tempat orang mencegar angkutan. Sopir yang abai. Menyenandungkan lagu Darso dari kaset, yang suaranya disalurkan stereo mobil seadanya—dalam volume lembut. Tak tergesa. Apa limit setoran telah dikuasai? Apa sisa penghasilan hari ini sudah cukup untuk dibawa santai main catur, merokok, dan minum kopi di gardu ronda RW nanti malam—bahkan sebetulnya besok bisa santai tak narik—? Aku ingin mengajaknya bicara tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.
Aku diam. Duduk di tepi batas kabin penumpang dan pengemudi, menghadap ke pintu menyesap angin dari pintu kabin penumpang dan jendela kabin pengemudi. Aku terpejam. Menghirup puisi jelang senja, dengan si seluruh panas matahari siang yang dicecap bumi mulai dilepas pelan-pelan—amat prosaik. Aku menonton bayang makin panjang, berusaha buat semakin panjang lagi—sebelum terang hilang, lantas orang dan toko-toko menyalakan lampu, serta PKL-PKL berteriak atau membunyikan lagu-lagu buat memancing orang ke luar rumah, buat serentak menolak kuasa kelam. Tapi masih berapa jam lagi? Bukankah itu harus diawali dengan kumandang teriakan azan yang nyaris serentak di mana-mana?
Mobil melata karena jalan miring menuju sosok jembatan sambil merambat naik sampai ke perempatan belakang Savoy Homan. Aku menelan ludah—jemu serta sunyi.
Dan dalam terang siang yang meregang mau redup itu, sisi utara jembatan itu, pas di tengah-tengah susunan tiang, palang dan ujung melengkung jembatan, yang sebagian telah merah berkarat itu: termangu menatap arus muncul dari kolong jembatan Asia-Afrika—setelah Cikapundung berkelok sepanjang sisi kantor PLN. Aku tidak melihat wajahnya, aku cuma melihat punggungnya, dengan ujung kaos berjuntai di atas jins dengan ikat pinggang kulit tiga jari. Ber-sneaker, berambut menjuntai di atas kerah—dua tangan di palang jembatan: kaos lengan panjang.
***
TEPI Cikapundung hanya si tembok beton, fondasi untuk rumah yang dibangun tepat di tepi sungai—kecuali sebagian sisi barat yang melandai dan disesaki perdu liar. Ada pohon Cangkudu dekat jalan di lahan yang ditelantarkan. Tinggi, rimbun, serta banyak menjatuhkan buahnya yang memutih lunak berbintil bagaikan nanas. Buah-buah itu pecah di aspal, di trotoar, serta di tanah di balik tembok tiga per empat meter dan jalinan belah ketupat kawat setinggi satu setengah. Memuncratkan kandungan air dan getah yang mengeluarkan rasa tidak enak. Mungkin juga itu yang menyebabkan tak ada kios si penjaja di sana. Meski tak ada kaitannya, ada fakta lain: di seberang sungai deretan toko tak pernah buka, sedang di seberang ada warung nasi yang sunyi dengan, terbenam, percetakan yang merana.
Tempat sunyi—bagian kota yang ditinggalkan. Jalur rutin matahari melata sesuai jadwal, tempat kendaraan bergegas meninggalkan penumpang naik terakhir sebelum memburu perempatan—lalu belok ke kiri—, di mana pada tanggal-tanggal tertentu jadi tempat si orang masa lalu ambil pensiun—pasar kaget yang menjajakan mainan kanak-kanak. Dan entah kenapa, aku menyetop angkutan, turun dengan santai—tanpa bayar. Balik ke jembatan. Merokok di sisinya sambil memperhatikan palung. Di mana pulau-pulau organik dari dedaunan hanyut tersangkut di batu atau batang terbenam—sambil menyauk sampah plastik—menjanjikan kedangkalan akibat endapan. Jadi tak ada yang harus dikuatirkan—selain sulit naik bila terjerunuk ke palung dangkal.
***
MATAHARI membakar sisi kiri wajah. Aku bisu serta terus merokok—sesekali terlirik si lelaki itu fokus pada arus. Memainkan rokok yang tak nikmat karena semua asap segera dilarikan angin yang melaju dari kolong jembatan di hadapan dan jepitan tepian berjulangan beton. Aku berpikir: kenapa harus turun, kenapa harus mendekati, dan termangu di sisinya? Bukankah ia memang punya kegelisahan dan aku tak gelisah sedikit pun? Selain—rasanya—, semacam kebingungan: kenapa ada di sisi, kenapa naik angkutan entah ke mana, serta kenapa turun di sini hanya karena melihatnya termangu tanpa sedikit pun terlihat bingung? Aku berdehem. Melirik. Tersirap—saat menenggok—: karena aku seperti melihat ke cermin.
”Aku masih menunggu.”
”Ya—kau juga terus mengunjungi, mengingatkan.”
”Bener? Kau telah melupakan…”
”Tidak. Tempat ini selalu memanggil, membelit, dan bagai jangkar: menarik aku untuk balik, loncat, dan menyelam di tempat itu. Ke sana naskah itu dibuang kan?”
”Aku sering datang, ya? Menghantui dan meneror. Mungkin bosan menunggu di sini karena kau tak pernah kembali, tidak pernah kembali naik bemo lewat sini. Turun belakang Homan, jalan di gang samping, lalu menyeberang untuk, naik ke lantai dua koran sana. Atau terus sampai monumen tank di Gatot Subroto, lalu menelusuri gang, menyeberang, dan jalan sepanjang sempadan sungai yang arusnya menderas laju—ke Kosambi… Kau ke mana saja?”
Pertanyaan itu menderas, jadi arus yang menemukan celah, menggangsirnya jadi liang, jeram di mana kesadaran waktu serta kenangan ambruk. Aku, dulu, sering lewat di sini, ngambil honor tulisan di sana, sebelum sama sekali tak bisa menulis dan tidak pernah dapat honor lagi. Membenamkan naskah dan kliping, sebelum naik kereta arah timur, serta jadi kuli—menikah, punya anak, serta tetap hidup terbata. Aku memejam. Aku janji tak akan kembali, tak akan menulis lagi. Bersumpah jadi manusia biasa dan melulu memikirkan penghasilan. Dan sejak itu aku tak berasal dari saat ini, sekaligus aku tidak berasal dari tempat ini, sehingga saat semua terlihat serta seperti bisa diraba: tak terhubungkan dan punya ikatan.
Aku seperti angin berembus melintasi semua—masa kini, masa lalu, meski tuna kejelasan tentang masa depan—, tanpa terkait integratif dengan semuanya. Ngambang. Mungkin bersigesekan tapi tidak bersentuhan, karena dibungkus dengan plastik tebal, kenyal, dan berlapis. Tapi kenapa aku dipaksa ke sini dengan berkali-kali dipanggil—oleh diri sendiri—, diajak masuk ke dalam penampakan sangat riil? Padahal amat tidak berdaya—dengan berkeras: tak berasal dari sini dan dari saat ini. Dan kini, apakah aku masih hidup atau telah lama mati? Aku melirik. Si bayangan di cermin itu beku. n
Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2014
HANYA kala terlelap aku kembali ke tempat itu, tapi tak setiap terlelap dibawa ke tempat itu—sesekali saja. Mungkin selama ini hanya beberapa kali. Setelah di satu senja aku terpukau oleh pemandangan sunyi saat hari mulai teduh meski orang-orang masih abai dalam rumah. Tak gegas ambil mandi sore—mungkin, dengan penghasilan yang dimiliki, belum memutuskan makan malam di mana. Mereka nyaman berumah, tidak perlu tergesa ke luar rumah, seakan tidak ada kesulitan menjelang malam ketika siang berlalu. Mapan. Benarkah begitu? Apa itu di Bandung? Tahun berapa?
Kini, tak teringat aku mau ke mana? Ke pertigaan Gatot Subroto, yang bertanda monumen tank itu atau lebih ke sana lagi untuk berhenti di mulut gang, lantas masuk ke perkampungan padat? Kini, tidak merasa pulang dari bepergian atau akan bertamu pada seseorang. Bahkan, aku tidak merasa dari tempat itu, tidak merasa si dari sekitar tempat itu, dan, karena itu, tidak merasa akan ke sana dan dari sana—atau situ. Seperti tersihir, atau dikutuk, aku sendiri dalam angkutan umum, terkantuk-kantuk dengan sopir abai mengendarai—tak dikejar setoran, tidak bernafsu mencari penumpang, dan (sepertinya) akan kembali ke garasi untuk bayar setoran ke juragan.
Abai mendengarkan calung Darso dari kaset, ikut bersenandung dengan aksen sangat Sunda: mengimla lirik lagu agak ngeres—melupakan calon penumpang pinggir jalan. Abai. Tak peduli—padahal aku telah dibawa dari Kebonkalapa. Mengherankan.
Karena itu: apa aku ada, apa aku disadarinya sebagai subjek bernyawa berkehendak?
***
AKU tak berasal dari saat ini—mungkin juga bukan dari masa lampau yang jelas, sehingga bisa memiliki masa datang yang pasti. Aku seperti ceruk gaib. Yang tak bisa ditandai, bahkan mustahil bisa diraba dalam remang lengkung kabin dengan matahari terang di barat dan menimbulkan bayang yang memanjang ke timur, ke arah angkutan itu menggelundung abai. Sesuatu yang mendadak hadir ketika angkutan menyeberang dari Terminal Kebonkalapa, memburu sisi kiri, melaju lurus ke utara—abai pada lerotan mobil berebut melaju di perempatan dan pertigaan, abai pada calon penumpang yang mencegat agar secepatnya berada di rumah—, membelok ke kanan di perempatan, dan melambat seperti berdarmawisata di sepanjang sisi selatan alun-alun.
Lurus. Tidak peduli pada calon penumpang yang mungkin menunggu di teduh beringin, di trotoar sempit berpagar tinggi dari kompleks kabupaten di seberang, dan tak terburu ketika memotong perempatan menuju tepian pusat pertokoan tempat orang mencegar angkutan. Sopir yang abai. Menyenandungkan lagu Darso dari kaset, yang suaranya disalurkan stereo mobil seadanya—dalam volume lembut. Tak tergesa. Apa limit setoran telah dikuasai? Apa sisa penghasilan hari ini sudah cukup untuk dibawa santai main catur, merokok, dan minum kopi di gardu ronda RW nanti malam—bahkan sebetulnya besok bisa santai tak narik—? Aku ingin mengajaknya bicara tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.
Aku diam. Duduk di tepi batas kabin penumpang dan pengemudi, menghadap ke pintu menyesap angin dari pintu kabin penumpang dan jendela kabin pengemudi. Aku terpejam. Menghirup puisi jelang senja, dengan si seluruh panas matahari siang yang dicecap bumi mulai dilepas pelan-pelan—amat prosaik. Aku menonton bayang makin panjang, berusaha buat semakin panjang lagi—sebelum terang hilang, lantas orang dan toko-toko menyalakan lampu, serta PKL-PKL berteriak atau membunyikan lagu-lagu buat memancing orang ke luar rumah, buat serentak menolak kuasa kelam. Tapi masih berapa jam lagi? Bukankah itu harus diawali dengan kumandang teriakan azan yang nyaris serentak di mana-mana?
Mobil melata karena jalan miring menuju sosok jembatan sambil merambat naik sampai ke perempatan belakang Savoy Homan. Aku menelan ludah—jemu serta sunyi.
Dan dalam terang siang yang meregang mau redup itu, sisi utara jembatan itu, pas di tengah-tengah susunan tiang, palang dan ujung melengkung jembatan, yang sebagian telah merah berkarat itu: termangu menatap arus muncul dari kolong jembatan Asia-Afrika—setelah Cikapundung berkelok sepanjang sisi kantor PLN. Aku tidak melihat wajahnya, aku cuma melihat punggungnya, dengan ujung kaos berjuntai di atas jins dengan ikat pinggang kulit tiga jari. Ber-sneaker, berambut menjuntai di atas kerah—dua tangan di palang jembatan: kaos lengan panjang.
***
TEPI Cikapundung hanya si tembok beton, fondasi untuk rumah yang dibangun tepat di tepi sungai—kecuali sebagian sisi barat yang melandai dan disesaki perdu liar. Ada pohon Cangkudu dekat jalan di lahan yang ditelantarkan. Tinggi, rimbun, serta banyak menjatuhkan buahnya yang memutih lunak berbintil bagaikan nanas. Buah-buah itu pecah di aspal, di trotoar, serta di tanah di balik tembok tiga per empat meter dan jalinan belah ketupat kawat setinggi satu setengah. Memuncratkan kandungan air dan getah yang mengeluarkan rasa tidak enak. Mungkin juga itu yang menyebabkan tak ada kios si penjaja di sana. Meski tak ada kaitannya, ada fakta lain: di seberang sungai deretan toko tak pernah buka, sedang di seberang ada warung nasi yang sunyi dengan, terbenam, percetakan yang merana.
Tempat sunyi—bagian kota yang ditinggalkan. Jalur rutin matahari melata sesuai jadwal, tempat kendaraan bergegas meninggalkan penumpang naik terakhir sebelum memburu perempatan—lalu belok ke kiri—, di mana pada tanggal-tanggal tertentu jadi tempat si orang masa lalu ambil pensiun—pasar kaget yang menjajakan mainan kanak-kanak. Dan entah kenapa, aku menyetop angkutan, turun dengan santai—tanpa bayar. Balik ke jembatan. Merokok di sisinya sambil memperhatikan palung. Di mana pulau-pulau organik dari dedaunan hanyut tersangkut di batu atau batang terbenam—sambil menyauk sampah plastik—menjanjikan kedangkalan akibat endapan. Jadi tak ada yang harus dikuatirkan—selain sulit naik bila terjerunuk ke palung dangkal.
***
MATAHARI membakar sisi kiri wajah. Aku bisu serta terus merokok—sesekali terlirik si lelaki itu fokus pada arus. Memainkan rokok yang tak nikmat karena semua asap segera dilarikan angin yang melaju dari kolong jembatan di hadapan dan jepitan tepian berjulangan beton. Aku berpikir: kenapa harus turun, kenapa harus mendekati, dan termangu di sisinya? Bukankah ia memang punya kegelisahan dan aku tak gelisah sedikit pun? Selain—rasanya—, semacam kebingungan: kenapa ada di sisi, kenapa naik angkutan entah ke mana, serta kenapa turun di sini hanya karena melihatnya termangu tanpa sedikit pun terlihat bingung? Aku berdehem. Melirik. Tersirap—saat menenggok—: karena aku seperti melihat ke cermin.
”Aku masih menunggu.”
”Ya—kau juga terus mengunjungi, mengingatkan.”
”Bener? Kau telah melupakan…”
”Tidak. Tempat ini selalu memanggil, membelit, dan bagai jangkar: menarik aku untuk balik, loncat, dan menyelam di tempat itu. Ke sana naskah itu dibuang kan?”
”Aku sering datang, ya? Menghantui dan meneror. Mungkin bosan menunggu di sini karena kau tak pernah kembali, tidak pernah kembali naik bemo lewat sini. Turun belakang Homan, jalan di gang samping, lalu menyeberang untuk, naik ke lantai dua koran sana. Atau terus sampai monumen tank di Gatot Subroto, lalu menelusuri gang, menyeberang, dan jalan sepanjang sempadan sungai yang arusnya menderas laju—ke Kosambi… Kau ke mana saja?”
Pertanyaan itu menderas, jadi arus yang menemukan celah, menggangsirnya jadi liang, jeram di mana kesadaran waktu serta kenangan ambruk. Aku, dulu, sering lewat di sini, ngambil honor tulisan di sana, sebelum sama sekali tak bisa menulis dan tidak pernah dapat honor lagi. Membenamkan naskah dan kliping, sebelum naik kereta arah timur, serta jadi kuli—menikah, punya anak, serta tetap hidup terbata. Aku memejam. Aku janji tak akan kembali, tak akan menulis lagi. Bersumpah jadi manusia biasa dan melulu memikirkan penghasilan. Dan sejak itu aku tak berasal dari saat ini, sekaligus aku tidak berasal dari tempat ini, sehingga saat semua terlihat serta seperti bisa diraba: tak terhubungkan dan punya ikatan.
Aku seperti angin berembus melintasi semua—masa kini, masa lalu, meski tuna kejelasan tentang masa depan—, tanpa terkait integratif dengan semuanya. Ngambang. Mungkin bersigesekan tapi tidak bersentuhan, karena dibungkus dengan plastik tebal, kenyal, dan berlapis. Tapi kenapa aku dipaksa ke sini dengan berkali-kali dipanggil—oleh diri sendiri—, diajak masuk ke dalam penampakan sangat riil? Padahal amat tidak berdaya—dengan berkeras: tak berasal dari sini dan dari saat ini. Dan kini, apakah aku masih hidup atau telah lama mati? Aku melirik. Si bayangan di cermin itu beku. n
Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment