Cerpen Otang K. Baddy
SEJAK sebelum tiga dekade ini tak sedikit pun tebersit jika kehidupan kami semua bisa terperangkap di jalanan berlumpur. Yang tak cuma sekadar kotor, basah dan lembap, tapi kadang gelap dan dingin. Menggigil dan bulu-bulu pun merinding.
Mungkin sebelum tiga dasawarsa itu kami belum dewasa sehingga segala langkah perjalanan hidup senantiasa diasuh oleh ibu. Tidur dan bangun selalu dikawal ibu. Tidur ditidurkan, bangun dibangunkan. Mandi dimandikan, makan disuapkan. Bermain dan bepergian senantiasa dikawal. Jadi segalanya terjamin selamat.
Seiring dengan bertambahnya usia, baik itu usia hidup dan kehidupan, ibu kami meninggal dengan satu pesan, “Awas, hati-hatilah dalam melangkah, jangan sampai terperosok dalam lumpur,” ujarnya beberapa menit sebelum meninggalkan kami selamanya.
“Jangan khawatir, Bu. Percayalah pada kami, sebab kami kini sudah mulai dewasa!” begitulah kami menandaskan dengan nada sepele demi menyenangkan kepergiannya yang semula tampak cemas. Kami pun mengaku dewasa.
Kami pun merasa tak perlu dan tak butuh diberondong nasihat lagi, terlebih dalam masalah melangkah atau pun berjalan. Toh kami semua sudah punya prinsip dan jalur masing-masing, bahwa untuk menyambung hidup perlu adaptasi dengan lingkungan dan pandai menyesuaikan zaman.
Namun, setelah semuanya jatuh pada keluh atau igauan, pesan-pesan yang sering terucap dari ibu selalu mengusik hati kami yang labil. “Di jalanan berbatu putih ini rukun-rukunlah kalian semua. Jika merasa gamang dan takut jatuh, peganglah tongkat biar teguh,” katanya dulu ketika kami belajar berjalan menapaki hidup. Kami pun saat itu tak lepas dari yang namanya tongkat. Baik menanjak atau pun menurun, perjalanan terus tapaki dengan tabah. Kami tak pernah oleng apalagi terjatuh, kendati sepanjang perjalanan tak hentinya ditempa angin yang hendak menjatuhkan.
Ah, betapa senangnya saat itu.
Tapi sejak kepergian ibu, segala nasihat atau isyarat, tak satu pun yang kami gubris. Terlebih setelah dusun kami dan sudut-sudut petani terancam pelebaran kota. Berhektare tanaman berbunga dan kehijauan daun terancam punah. Wangi kembang yang mekar, harum tanah gembur sisa hujan semalam, kini tak kami temukan lagi. Area tanaman berbunga serta tanah-tanah gembur kini lumat tertimpa sampah plastik dan tembok beton.
Begitu pun dalam hal jalan, kini sudah jauh bergeser. Sejujurnya kami tak mampu menolak tatkala pertama jalan berbatu putih itu tiba-tiba akan digantikan dengan aspal yang hitam. Juga saat itu tak gubris ketika ada lelucon yang menafsirkan kata “aspal” itu adalah keaslian palsu dan “hitam” berarti gelap. Rasanya tak perlu lelucon itu kami dengar. Namanya juga lelucon, jika pun umpama mengena, semua itu bukan semata-mata perkataan bijak. Tapi lebih kepada “kirata” alias dikira-kira tapi nyata. Maka kami abaikan sepenuh jiwa.
Setelah jalanan hitam itu dibangun ke segala arah dan sudut kampung, kami semua membuang tongkat. Kami semua membuang tradisi. Kalau sebelumnya berjalan itu beriringan dan bergandengan tangan kini semuanya berlari bak suatu balapan. Tak jarang kami pun saling menyalip dan saling jegal satu sama lainnya. Sampai pada waktu tertentu kadang saling membunuh. Membunuh nyawa maupun karakter.
***
JALANAN itu memang terus ramai dan memikat. Betapa tidak, bagi kami dan orang-orang yang tergesa cukup menempuh jalan pintas ini. Jalanan yang lengang berbatu dan berlumut untuk sementara kami tinggalkan. Sebab yang kami cari selama ini berupa perhiasan barang-barang antik demi menyemarakkan kota kami yang kian berkembang. Karenanya, harus serbacepat dan tergesa, sebab kalau tidak, segalanya akan tertinggal. Begitulah naluri kami.
“Marilah akang-akang yang ganteng dan kalem, pilihlah jalur kami!” kata para perempuan-perempuan cantik di jalanan itu. Kendati bibir dan alis mereka bergincu, tak mengurangi daya tarik untuk merengkuhnya. Sebaliknya, kami makin gila, seluruh indera telah kami gadaikan untuknya.
Perempuan-perempuan di gerbang di jalanan itu bukan para ibu bagi anaknya, pun bukan para istri dari suaminya. Mereka jauh terbalik dengan sosok ibu kami. Sebab yang kami lihat mereka tak satu pun yang membawa anak juga tak seorang pun yang bersama suami. Mereka itu perempuan liar bak ular. Tentu saja sebagai makhluk yang gila kami pun sangat cocok untuk memilikinya.
“Kami tercipta hanya untukmu, Kang,” katanya lembut. Sejuta pesona pun ia tawarkan pada kelelakian kami. Akhirnya kami pun berebutan untuk merangkulnya, untuk mengoleksinya. Hingga jatuh kesepakatan bersama bahwa inilah sebenarnya yang kita sebut barang antik. Inilah sebenarnya yang harus kita buru!
“Dunia ini tak akan sempurna jika tanpa adanya perempuan!” begitulah kami berkata pijak. Dengannya kami pun jadi merasa terhormat karena mampu mengantongi barang-barang berharga itu. Hingga melengganglah kami ke puncak kekuasaan.
Sebagai pemangku negeri kami pun peduli akar rumput. Demi wujud nyata kami segera turun ke bawah, terutama ke daerah-daerah pariwisata yang kubangun atas kebijakan kami. Namun, alangkah terkejutnya ketika jalanan yang kami lewati itu berlumpur. Celakanya lelumpur itu begitu tebal, melebihi sawah bajakan.
‘Selamat Datang di Negeri Lumpur!’ Satu spanduk besar menyambut kedatangan rombongan kami sebagai penguasa. Terpampang di atas di gerbang wisata itu dengan tampilan wajah figur kami yang ramah. Di tepi kiri-kanan, para kolega atau pun para jelata tampak hormat dan menahan napas. Tanpa pembangkang, semunya menyembah kami.
Selepas gerbang kami menemukan beragam pengemis. Ada perseorangan, kelompok, atau komunitas. Mereka, kalau tak menadahkan tangan, cukup memasang kantong jaring sebagai penampung sedekah kami. Seraya melambai, kami taburkan receh untuknya. Namun, mereka tampak antipati dengan tindakkan kami. Wajah-wajah mereka tampak cemberut, mungkin apa yang kami berikan tak sepadan.
Sebenarnya bukan tak mau memberi yang lebih, tapi ini demi mengimbangi jumlah pengemis yang tak ada hentinya di jalanan berlumpur itu. Bahkan, kami lewati nyaris tanpa ujung. Sementara kendaraan yang kami tumpangi semakin ringkih, pekat merayap. Hingga tanpa kami duga terperosok dalam kubangan yang dalam.
Dalam keterpurukan itu tebersit pikiran yang nyaris brilian, “Pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya adalah pemerintah, maka apa pun yang terjadi di negara itu akibat perilaku para pemimpin yang sah di negera itu. Sebab, pemerintahlah yang bisa mereka situasi. Mau aman atau kacau, tergantung kemauan.”
Menyadari semuanya, dengan suara meringik dan merunguk kami pun manangis. Sementara para pengemis itu tertawa, sebelum kemudian beringas memburu kami yang berloncatan bertampang cecurut dan monyet. n
Pangandaran, September 2013
Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
SEJAK sebelum tiga dekade ini tak sedikit pun tebersit jika kehidupan kami semua bisa terperangkap di jalanan berlumpur. Yang tak cuma sekadar kotor, basah dan lembap, tapi kadang gelap dan dingin. Menggigil dan bulu-bulu pun merinding.
Mungkin sebelum tiga dasawarsa itu kami belum dewasa sehingga segala langkah perjalanan hidup senantiasa diasuh oleh ibu. Tidur dan bangun selalu dikawal ibu. Tidur ditidurkan, bangun dibangunkan. Mandi dimandikan, makan disuapkan. Bermain dan bepergian senantiasa dikawal. Jadi segalanya terjamin selamat.
Seiring dengan bertambahnya usia, baik itu usia hidup dan kehidupan, ibu kami meninggal dengan satu pesan, “Awas, hati-hatilah dalam melangkah, jangan sampai terperosok dalam lumpur,” ujarnya beberapa menit sebelum meninggalkan kami selamanya.
“Jangan khawatir, Bu. Percayalah pada kami, sebab kami kini sudah mulai dewasa!” begitulah kami menandaskan dengan nada sepele demi menyenangkan kepergiannya yang semula tampak cemas. Kami pun mengaku dewasa.
Kami pun merasa tak perlu dan tak butuh diberondong nasihat lagi, terlebih dalam masalah melangkah atau pun berjalan. Toh kami semua sudah punya prinsip dan jalur masing-masing, bahwa untuk menyambung hidup perlu adaptasi dengan lingkungan dan pandai menyesuaikan zaman.
Namun, setelah semuanya jatuh pada keluh atau igauan, pesan-pesan yang sering terucap dari ibu selalu mengusik hati kami yang labil. “Di jalanan berbatu putih ini rukun-rukunlah kalian semua. Jika merasa gamang dan takut jatuh, peganglah tongkat biar teguh,” katanya dulu ketika kami belajar berjalan menapaki hidup. Kami pun saat itu tak lepas dari yang namanya tongkat. Baik menanjak atau pun menurun, perjalanan terus tapaki dengan tabah. Kami tak pernah oleng apalagi terjatuh, kendati sepanjang perjalanan tak hentinya ditempa angin yang hendak menjatuhkan.
Ah, betapa senangnya saat itu.
Tapi sejak kepergian ibu, segala nasihat atau isyarat, tak satu pun yang kami gubris. Terlebih setelah dusun kami dan sudut-sudut petani terancam pelebaran kota. Berhektare tanaman berbunga dan kehijauan daun terancam punah. Wangi kembang yang mekar, harum tanah gembur sisa hujan semalam, kini tak kami temukan lagi. Area tanaman berbunga serta tanah-tanah gembur kini lumat tertimpa sampah plastik dan tembok beton.
Begitu pun dalam hal jalan, kini sudah jauh bergeser. Sejujurnya kami tak mampu menolak tatkala pertama jalan berbatu putih itu tiba-tiba akan digantikan dengan aspal yang hitam. Juga saat itu tak gubris ketika ada lelucon yang menafsirkan kata “aspal” itu adalah keaslian palsu dan “hitam” berarti gelap. Rasanya tak perlu lelucon itu kami dengar. Namanya juga lelucon, jika pun umpama mengena, semua itu bukan semata-mata perkataan bijak. Tapi lebih kepada “kirata” alias dikira-kira tapi nyata. Maka kami abaikan sepenuh jiwa.
Setelah jalanan hitam itu dibangun ke segala arah dan sudut kampung, kami semua membuang tongkat. Kami semua membuang tradisi. Kalau sebelumnya berjalan itu beriringan dan bergandengan tangan kini semuanya berlari bak suatu balapan. Tak jarang kami pun saling menyalip dan saling jegal satu sama lainnya. Sampai pada waktu tertentu kadang saling membunuh. Membunuh nyawa maupun karakter.
***
JALANAN itu memang terus ramai dan memikat. Betapa tidak, bagi kami dan orang-orang yang tergesa cukup menempuh jalan pintas ini. Jalanan yang lengang berbatu dan berlumut untuk sementara kami tinggalkan. Sebab yang kami cari selama ini berupa perhiasan barang-barang antik demi menyemarakkan kota kami yang kian berkembang. Karenanya, harus serbacepat dan tergesa, sebab kalau tidak, segalanya akan tertinggal. Begitulah naluri kami.
“Marilah akang-akang yang ganteng dan kalem, pilihlah jalur kami!” kata para perempuan-perempuan cantik di jalanan itu. Kendati bibir dan alis mereka bergincu, tak mengurangi daya tarik untuk merengkuhnya. Sebaliknya, kami makin gila, seluruh indera telah kami gadaikan untuknya.
Perempuan-perempuan di gerbang di jalanan itu bukan para ibu bagi anaknya, pun bukan para istri dari suaminya. Mereka jauh terbalik dengan sosok ibu kami. Sebab yang kami lihat mereka tak satu pun yang membawa anak juga tak seorang pun yang bersama suami. Mereka itu perempuan liar bak ular. Tentu saja sebagai makhluk yang gila kami pun sangat cocok untuk memilikinya.
“Kami tercipta hanya untukmu, Kang,” katanya lembut. Sejuta pesona pun ia tawarkan pada kelelakian kami. Akhirnya kami pun berebutan untuk merangkulnya, untuk mengoleksinya. Hingga jatuh kesepakatan bersama bahwa inilah sebenarnya yang kita sebut barang antik. Inilah sebenarnya yang harus kita buru!
“Dunia ini tak akan sempurna jika tanpa adanya perempuan!” begitulah kami berkata pijak. Dengannya kami pun jadi merasa terhormat karena mampu mengantongi barang-barang berharga itu. Hingga melengganglah kami ke puncak kekuasaan.
Sebagai pemangku negeri kami pun peduli akar rumput. Demi wujud nyata kami segera turun ke bawah, terutama ke daerah-daerah pariwisata yang kubangun atas kebijakan kami. Namun, alangkah terkejutnya ketika jalanan yang kami lewati itu berlumpur. Celakanya lelumpur itu begitu tebal, melebihi sawah bajakan.
‘Selamat Datang di Negeri Lumpur!’ Satu spanduk besar menyambut kedatangan rombongan kami sebagai penguasa. Terpampang di atas di gerbang wisata itu dengan tampilan wajah figur kami yang ramah. Di tepi kiri-kanan, para kolega atau pun para jelata tampak hormat dan menahan napas. Tanpa pembangkang, semunya menyembah kami.
Selepas gerbang kami menemukan beragam pengemis. Ada perseorangan, kelompok, atau komunitas. Mereka, kalau tak menadahkan tangan, cukup memasang kantong jaring sebagai penampung sedekah kami. Seraya melambai, kami taburkan receh untuknya. Namun, mereka tampak antipati dengan tindakkan kami. Wajah-wajah mereka tampak cemberut, mungkin apa yang kami berikan tak sepadan.
Sebenarnya bukan tak mau memberi yang lebih, tapi ini demi mengimbangi jumlah pengemis yang tak ada hentinya di jalanan berlumpur itu. Bahkan, kami lewati nyaris tanpa ujung. Sementara kendaraan yang kami tumpangi semakin ringkih, pekat merayap. Hingga tanpa kami duga terperosok dalam kubangan yang dalam.
Dalam keterpurukan itu tebersit pikiran yang nyaris brilian, “Pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya adalah pemerintah, maka apa pun yang terjadi di negara itu akibat perilaku para pemimpin yang sah di negera itu. Sebab, pemerintahlah yang bisa mereka situasi. Mau aman atau kacau, tergantung kemauan.”
Menyadari semuanya, dengan suara meringik dan merunguk kami pun manangis. Sementara para pengemis itu tertawa, sebelum kemudian beringas memburu kami yang berloncatan bertampang cecurut dan monyet. n
Pangandaran, September 2013
Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013