Cerpen Tita Tjindarbumi
Membayangkanmu menjadi selimut sekaligus kuda yang memacu kencang ranjang penuh badai para pemuja nikmat dunia, rasanya seperti sedang berada di sebuah lahan yang luas tetapi penuh sampah.
***
Doan bergidik setiap kali teringat ucapan Lani yang setajam silet. Ia tak pernah mendengar perempuan itu berucap kasar. Lani selalu berperan sebagai perempuan yang memposisikan dirinya di titik yang objektif.
Seharusnya Magi tetap menjadi perempuan yang punya arti baginya, meski tetap saja Doan tak bisa melawan kemauan iblis penggoda. Ia mencampakkan Magi di saat Magi telah benar-benar jatuh cinta padanya.
Dan gilanya ia berpindah perhatian pada perempuan lain. Perempuan yang di mata Lani, sahabatnya, adalah perempuan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai impiannya. Menjadi perempuan metropolis yang hedonis.
Perempuan itu bernama Diza. Ia bunga desa yang selalu dikerumuni kumbang-kumbang yang berebut ingin menyentuhnya. Bukan karena wajahnya yang cantik, kemolekan tubuhnya membuat liur para kumbang tumpah ruah karena birahi gelisah. Dan Diza tak menyia-nyiakan peluang itu.
Tak sulit melumpuhkan para kumbang, ia cukup menarik sudut bibirnya,mengerlingkan mata dan memberi sinyal lewat bahasa tubuh, maka segala impian bisa diraihnya. Para kumbang tak merasa keberatan memenuhi permintaan Diza, asalkan…
Betul kata Lani, suatu ketika ia akan kena batunya. Mencampakan perempuan baik demi perempuan yang membuat hatinya tak pernah tenang. Perempuan desa yang mengejar mimpinya, hidup gemerlap sebagaimana layaknya perempuan kota yang menari dalam riuhnya kaum hedonis.
“Ketika kau sedang di mabuk asrama, seperti halnya laki-laki lain, hanya melihat perempuan itu dari sisi baik. Sisi yang mungkin saja tidak bisa kau rasakan ketika kau bersama perempuan baik-baik!” ujar Lani dengan suaranya yang selalu tenang. Ia selalu saja pandai menyembunyikan gejolak jiwanya.
Doan tak ingin mengomentari ucapan Lani yang menohok dan subjektif. Meski jika direnungkan, ucapan Lani banyak benarnya. Ia tak bisa pergi bersama Magi seenaknya. Magi tak punya banyak waktu untuknya. Dia pekerja keras, mandiri dan tak suka orang lain mencampuri urusannya, meski Doan adalah kekasihnya.
“Bukan tak mau menerima uluran tanganmu, Do… beri aku kesempatan untuk menyelesaikan persoalanku sendiri,“ kata Magi, selalu, setiap kali Doan ingin membantunya.
Beda sekali dengan Diza yang selalu saja membutuhkan dirinya. Doan tak menampik, ia suka pada hampir seluruh yang ada pada diri Diza. Tubuhnya yang selalu beraroma tajam, eksotik, membangkitkan erotisme yang menggila membuat syaraf-syaraf di tubuhnya mengejang. Sementara Magi? Ia terlalu lembut untuk memakai parfum yang menggoda iman laki-laki. Bersama Magi, Doan serasa seperti laki-laki yang baru saja lari dari padepokan. Kelembutan perempuan itu membuat Doan merasa seperti ada jarak yang membuat Doan harus berpikir panjang untuk mengekspresikan rasa sayangnya pada Magi.
Bersama Magi harus diakui, Doan merasa tenang. Tetapi sungguh membosankan. Tak ada tantangan sama sekali. Beda dengan Diza yang selalu saja membuat dada Doan sering terbakar rasa cemburu. Terlalu banyak laki-laki yang mengejar perempuan itu. Dan Doan melihat bahasa tubuh Diza jelas membuka peluang bagi siapa saja. Diza butuh duit banyak untuk pergi ke salon setiap minggu. Tas branded, kaca mata, sepatu, gaun sampai parfum bermerek.
Doan mencurigai banyak laki-laki yang berada di belakang punggungnya. Laki-laki yang mendapat fasilitas sama asalkan bisa memenuhi tuntutan Diza yang tak ada habisnya. Dan…Doan mulai muak. Merasa telah salah memilih perempuan. Perempuan yang tak pernah bisa jauh dari salon dan klinik kecantikan untuk memermak dirinya agar selalu bisa tampil cantik di mata laki-laki yang diburunya untuk menjadi penyandang dana demi kepuasannya. Demi untuk mencapai mimpinya menjadi perempuan kota yang kaya raya, meski untuk semua itu ia harus pasrah membiarkan para lelaki menyusuri setiap jengkal tubuhnya yang memang aduhai karena canggihnya dunia bedah plastik.
***
Doan mengepalkan tangannya. Lani telah menyumpahinya! Omongan Lani tak hanya menyiletnya tetapi mengutuknya!
Egois memang jika menganggap ucapan Lani sebagai kutukan atau sejenisnya yang pada kenyataan memang benar terjadi.
“Tidak ada yang aneh jika tiba-tiba kamu berpaling dari Magi ke perempuan yang keluar masuk salon kecantikan itu,” kata Lani, nadanya penuh cemooh. “Lagi pula kamu memang tidak pantas untuk perempuan sebaik Magi!” lanjutnya lagi, pandangan matanya lurus menatap Doan, seperti menyambar.
“Tega sekali nyumpahin aku?!” Doan menghisap rokoknya dalam-dalam.
Jika tak malu mengakui, sebenarnya ia tak benar-benar telah mencampakan Magi begitu saja. Doan mencintai Magi. Tetapi ia laki-laki normal yang tak selalu bisa menahan gejolak.
Sebagai laki-laki yang tak mau dianggap blangsak Doan harus ekstra hati-hati setiap kali berhadapan dengan Magi.
“Bukan nyumpahin, tetapi sebagai teman aku hanya ingin menyampaikan yang sebenarnya. Apa kau tidak curiga dengan embel-embel yang melekat pada perempuan plastikmu itu?” lagi-lagi Lani bersuara tegas.
Doan meletakan rokoknya yang baru dihisapnya setengah batang.
“Maksudmu?”
Lani memandangnya tanpa kedip.
“Jangan pura-pura blo’on, Doan! Kamu pasti tahu apa yang kumaksud!”
Doan menatap Lani dengan otak yang berputar-putar mencari makna kalimat Lani yang menudingnya pura-pura.
“Bagaimana bisa kau jatuh cinta pada perempuan yang kelaur masuk klinik kecantikan untuk memermak tubuhnya agar bisa selalu kelihatan molek? Memermak wajahnya agar kelihatan cantik? Apakah kau tidak sadari kau telah menjelahi tubuh perempuan yang kau pikir itulah keindahan, padahal kau sedang bercinta dengan silikon?!”
Sepertinya Lani belum puas, ia lalu beranjak dan berjalan mendekati Doan yang sedang terpekur, tak siap dengan serangan Lani yang membuatnya terhenyak. Tak pernah menyadari bahwa kecantikan Diza hanya semu. Boleh jadi dibilang kecantikan palsu.
Dan yang paling membuat Doan tak bisa menerima kenyataan adalah darimana Diza mendapatkan semua kemewahan yang dia punya sementara ia tak bekerja, kesehariannya hanya hura-hura dan bermalas-malasan di apartemen mewahnya. Meski ia selalu bangga dengan kartu nama yang dia berikan pada orang piulihannya. Direktur perusahaan batubara, jabatannya di kartu nama itu.
“Aku tak pernah sungguh-sungguh jatuh cinta padanya,“ kata Doan.
“Lalu kau tertarik pada apanya? Labelnya yang direktur?”
Tawa Lani pecah. Memecah keriuhan sumpah serapah di dada Doan.
“Siapa yang peduli dia siapa? Yang jelas lelaki juga tak bodoh. Bukankah setiap lelaki siap menjadi pembeli?”
Buset. Tawa Lani semakin mengguncang dada Doan. Doan tahu, Lani sedang mentertawakan dirinya. Mentertawakan kebodohannya, melepas perempuan yang mandiri, memperjuangkan harga diri demi menjaga kehormatannya sebagai perempuan, bekerja keras untuk mengangkat martabat keluarga dengan menyekolahkan adik-adiknya agar bisa menjadi anak bangsa yang berpendidikan, nanum ia malah meninggalkan dan menjatuhkan pilihan pada Diza yang hanya tahu kehidupan mewah, laki-laki necis berkantong tebal, shopping, jalan-jalan ke luar negeri bersama laki-laki kaya dengan gaya elegan seakan sekretaris yang profesional. Padahal yang sebenarnya ia tak lebih hanya seorang lady escort hight class.
Diza hanya butuh limpahan materi demi eksistensi dirinya untuk tetap bisa masuk di kalangan kaum jet set. Baginya membiarkan laki-laki menelusuri tiap jengkal tubuhnya adalah salah satu rekreasi yang menghasilkan banyak duit. Bahkan dengan begitu ia bisa dengan mudah mendapatkan jabatan direktur di banyak perusahan milik para lelaki hidung belang yang tak bisa mendapatkan fantasi sex dari isteri mereka yang di ranjang hanya menyuguhkan gaya yang itu-itu saja. Membosankan.
“Coba sesekali kau survey ke pasar tradisional atau super market, tanya pada mereka, barang seperti apa yang mereka beli? Semua orang waras akan menjawab, mereka membeli barang bagus dan murah harganya,” kata Lani semakin bersemangat.
“Apa maksudmu? Masak kau samakan Diza dengan barang?”
“So…lalu apa yang ada di kepalamu? Kau masih menganggap dia bunga yang harum? Yang cantik bak pualam yang bila kesenggol kuatir jatuh atau retak?”
“Tidak segitu-gitunya juga-lah, Lan!”
“Lalu apa?!” Wajah Lani semakin serius.”Coba kau katakana, aku siap mendengarkan.”
Doan diam. Berpikir keras mencari kalimat yang tepat untuk menjawab tiap pertanyaan Lani yang membuatnya mati langkah.
“Aku tuh sedih dan prihatin jika masih ada perempuan yang salah memaknai arti kata emansipasi. Mereka menganggap untuk menjadi perempuan hebat bisa dilakukan dengan jalan pintas. Mengelabuhi laki-laki, memanfaatkan kemolekan tubuh demi memperoleh saham di berbagai perusahan. Mereka nggak sadar telah menggadaikan harga dirinya.”
“Diza belum minta saham di perusahaanku,” Doan berkilah.
“Belum… sebab kau juga ingin mengelabuhinya. Sempat terpikir olehmu untuk memanfaatkan dia untuk kepentingan usahamu juga kan?” Jawab Lani, menudingnya.
“Jangan berdalih, Do…aku tahu kau juga buaya. Itu sebabnya kau tak betah punya kekasih seperti Magi yang menolak free sex, tak membiarkanmu masuk terlalu dalam di semua urusannya. Kau merasa tak bisa menjadi pahlawan di depan Magi, kan?”
Sompret! Doan diam. Tak mau ribut sebab berdebat sampai pagi pun tak kan bisa membuat Magi kembali padanya. n
Lampung Post, Minggu, 21 April 2013
Membayangkanmu menjadi selimut sekaligus kuda yang memacu kencang ranjang penuh badai para pemuja nikmat dunia, rasanya seperti sedang berada di sebuah lahan yang luas tetapi penuh sampah.
***
Doan bergidik setiap kali teringat ucapan Lani yang setajam silet. Ia tak pernah mendengar perempuan itu berucap kasar. Lani selalu berperan sebagai perempuan yang memposisikan dirinya di titik yang objektif.
Seharusnya Magi tetap menjadi perempuan yang punya arti baginya, meski tetap saja Doan tak bisa melawan kemauan iblis penggoda. Ia mencampakkan Magi di saat Magi telah benar-benar jatuh cinta padanya.
Dan gilanya ia berpindah perhatian pada perempuan lain. Perempuan yang di mata Lani, sahabatnya, adalah perempuan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai impiannya. Menjadi perempuan metropolis yang hedonis.
Perempuan itu bernama Diza. Ia bunga desa yang selalu dikerumuni kumbang-kumbang yang berebut ingin menyentuhnya. Bukan karena wajahnya yang cantik, kemolekan tubuhnya membuat liur para kumbang tumpah ruah karena birahi gelisah. Dan Diza tak menyia-nyiakan peluang itu.
Tak sulit melumpuhkan para kumbang, ia cukup menarik sudut bibirnya,mengerlingkan mata dan memberi sinyal lewat bahasa tubuh, maka segala impian bisa diraihnya. Para kumbang tak merasa keberatan memenuhi permintaan Diza, asalkan…
Betul kata Lani, suatu ketika ia akan kena batunya. Mencampakan perempuan baik demi perempuan yang membuat hatinya tak pernah tenang. Perempuan desa yang mengejar mimpinya, hidup gemerlap sebagaimana layaknya perempuan kota yang menari dalam riuhnya kaum hedonis.
“Ketika kau sedang di mabuk asrama, seperti halnya laki-laki lain, hanya melihat perempuan itu dari sisi baik. Sisi yang mungkin saja tidak bisa kau rasakan ketika kau bersama perempuan baik-baik!” ujar Lani dengan suaranya yang selalu tenang. Ia selalu saja pandai menyembunyikan gejolak jiwanya.
Doan tak ingin mengomentari ucapan Lani yang menohok dan subjektif. Meski jika direnungkan, ucapan Lani banyak benarnya. Ia tak bisa pergi bersama Magi seenaknya. Magi tak punya banyak waktu untuknya. Dia pekerja keras, mandiri dan tak suka orang lain mencampuri urusannya, meski Doan adalah kekasihnya.
“Bukan tak mau menerima uluran tanganmu, Do… beri aku kesempatan untuk menyelesaikan persoalanku sendiri,“ kata Magi, selalu, setiap kali Doan ingin membantunya.
Beda sekali dengan Diza yang selalu saja membutuhkan dirinya. Doan tak menampik, ia suka pada hampir seluruh yang ada pada diri Diza. Tubuhnya yang selalu beraroma tajam, eksotik, membangkitkan erotisme yang menggila membuat syaraf-syaraf di tubuhnya mengejang. Sementara Magi? Ia terlalu lembut untuk memakai parfum yang menggoda iman laki-laki. Bersama Magi, Doan serasa seperti laki-laki yang baru saja lari dari padepokan. Kelembutan perempuan itu membuat Doan merasa seperti ada jarak yang membuat Doan harus berpikir panjang untuk mengekspresikan rasa sayangnya pada Magi.
Bersama Magi harus diakui, Doan merasa tenang. Tetapi sungguh membosankan. Tak ada tantangan sama sekali. Beda dengan Diza yang selalu saja membuat dada Doan sering terbakar rasa cemburu. Terlalu banyak laki-laki yang mengejar perempuan itu. Dan Doan melihat bahasa tubuh Diza jelas membuka peluang bagi siapa saja. Diza butuh duit banyak untuk pergi ke salon setiap minggu. Tas branded, kaca mata, sepatu, gaun sampai parfum bermerek.
Doan mencurigai banyak laki-laki yang berada di belakang punggungnya. Laki-laki yang mendapat fasilitas sama asalkan bisa memenuhi tuntutan Diza yang tak ada habisnya. Dan…Doan mulai muak. Merasa telah salah memilih perempuan. Perempuan yang tak pernah bisa jauh dari salon dan klinik kecantikan untuk memermak dirinya agar selalu bisa tampil cantik di mata laki-laki yang diburunya untuk menjadi penyandang dana demi kepuasannya. Demi untuk mencapai mimpinya menjadi perempuan kota yang kaya raya, meski untuk semua itu ia harus pasrah membiarkan para lelaki menyusuri setiap jengkal tubuhnya yang memang aduhai karena canggihnya dunia bedah plastik.
***
Doan mengepalkan tangannya. Lani telah menyumpahinya! Omongan Lani tak hanya menyiletnya tetapi mengutuknya!
Egois memang jika menganggap ucapan Lani sebagai kutukan atau sejenisnya yang pada kenyataan memang benar terjadi.
“Tidak ada yang aneh jika tiba-tiba kamu berpaling dari Magi ke perempuan yang keluar masuk salon kecantikan itu,” kata Lani, nadanya penuh cemooh. “Lagi pula kamu memang tidak pantas untuk perempuan sebaik Magi!” lanjutnya lagi, pandangan matanya lurus menatap Doan, seperti menyambar.
“Tega sekali nyumpahin aku?!” Doan menghisap rokoknya dalam-dalam.
Jika tak malu mengakui, sebenarnya ia tak benar-benar telah mencampakan Magi begitu saja. Doan mencintai Magi. Tetapi ia laki-laki normal yang tak selalu bisa menahan gejolak.
Sebagai laki-laki yang tak mau dianggap blangsak Doan harus ekstra hati-hati setiap kali berhadapan dengan Magi.
“Bukan nyumpahin, tetapi sebagai teman aku hanya ingin menyampaikan yang sebenarnya. Apa kau tidak curiga dengan embel-embel yang melekat pada perempuan plastikmu itu?” lagi-lagi Lani bersuara tegas.
Doan meletakan rokoknya yang baru dihisapnya setengah batang.
“Maksudmu?”
Lani memandangnya tanpa kedip.
“Jangan pura-pura blo’on, Doan! Kamu pasti tahu apa yang kumaksud!”
Doan menatap Lani dengan otak yang berputar-putar mencari makna kalimat Lani yang menudingnya pura-pura.
“Bagaimana bisa kau jatuh cinta pada perempuan yang kelaur masuk klinik kecantikan untuk memermak tubuhnya agar bisa selalu kelihatan molek? Memermak wajahnya agar kelihatan cantik? Apakah kau tidak sadari kau telah menjelahi tubuh perempuan yang kau pikir itulah keindahan, padahal kau sedang bercinta dengan silikon?!”
Sepertinya Lani belum puas, ia lalu beranjak dan berjalan mendekati Doan yang sedang terpekur, tak siap dengan serangan Lani yang membuatnya terhenyak. Tak pernah menyadari bahwa kecantikan Diza hanya semu. Boleh jadi dibilang kecantikan palsu.
Dan yang paling membuat Doan tak bisa menerima kenyataan adalah darimana Diza mendapatkan semua kemewahan yang dia punya sementara ia tak bekerja, kesehariannya hanya hura-hura dan bermalas-malasan di apartemen mewahnya. Meski ia selalu bangga dengan kartu nama yang dia berikan pada orang piulihannya. Direktur perusahaan batubara, jabatannya di kartu nama itu.
“Aku tak pernah sungguh-sungguh jatuh cinta padanya,“ kata Doan.
“Lalu kau tertarik pada apanya? Labelnya yang direktur?”
Tawa Lani pecah. Memecah keriuhan sumpah serapah di dada Doan.
“Siapa yang peduli dia siapa? Yang jelas lelaki juga tak bodoh. Bukankah setiap lelaki siap menjadi pembeli?”
Buset. Tawa Lani semakin mengguncang dada Doan. Doan tahu, Lani sedang mentertawakan dirinya. Mentertawakan kebodohannya, melepas perempuan yang mandiri, memperjuangkan harga diri demi menjaga kehormatannya sebagai perempuan, bekerja keras untuk mengangkat martabat keluarga dengan menyekolahkan adik-adiknya agar bisa menjadi anak bangsa yang berpendidikan, nanum ia malah meninggalkan dan menjatuhkan pilihan pada Diza yang hanya tahu kehidupan mewah, laki-laki necis berkantong tebal, shopping, jalan-jalan ke luar negeri bersama laki-laki kaya dengan gaya elegan seakan sekretaris yang profesional. Padahal yang sebenarnya ia tak lebih hanya seorang lady escort hight class.
Diza hanya butuh limpahan materi demi eksistensi dirinya untuk tetap bisa masuk di kalangan kaum jet set. Baginya membiarkan laki-laki menelusuri tiap jengkal tubuhnya adalah salah satu rekreasi yang menghasilkan banyak duit. Bahkan dengan begitu ia bisa dengan mudah mendapatkan jabatan direktur di banyak perusahan milik para lelaki hidung belang yang tak bisa mendapatkan fantasi sex dari isteri mereka yang di ranjang hanya menyuguhkan gaya yang itu-itu saja. Membosankan.
“Coba sesekali kau survey ke pasar tradisional atau super market, tanya pada mereka, barang seperti apa yang mereka beli? Semua orang waras akan menjawab, mereka membeli barang bagus dan murah harganya,” kata Lani semakin bersemangat.
“Apa maksudmu? Masak kau samakan Diza dengan barang?”
“So…lalu apa yang ada di kepalamu? Kau masih menganggap dia bunga yang harum? Yang cantik bak pualam yang bila kesenggol kuatir jatuh atau retak?”
“Tidak segitu-gitunya juga-lah, Lan!”
“Lalu apa?!” Wajah Lani semakin serius.”Coba kau katakana, aku siap mendengarkan.”
Doan diam. Berpikir keras mencari kalimat yang tepat untuk menjawab tiap pertanyaan Lani yang membuatnya mati langkah.
“Aku tuh sedih dan prihatin jika masih ada perempuan yang salah memaknai arti kata emansipasi. Mereka menganggap untuk menjadi perempuan hebat bisa dilakukan dengan jalan pintas. Mengelabuhi laki-laki, memanfaatkan kemolekan tubuh demi memperoleh saham di berbagai perusahan. Mereka nggak sadar telah menggadaikan harga dirinya.”
“Diza belum minta saham di perusahaanku,” Doan berkilah.
“Belum… sebab kau juga ingin mengelabuhinya. Sempat terpikir olehmu untuk memanfaatkan dia untuk kepentingan usahamu juga kan?” Jawab Lani, menudingnya.
“Jangan berdalih, Do…aku tahu kau juga buaya. Itu sebabnya kau tak betah punya kekasih seperti Magi yang menolak free sex, tak membiarkanmu masuk terlalu dalam di semua urusannya. Kau merasa tak bisa menjadi pahlawan di depan Magi, kan?”
Sompret! Doan diam. Tak mau ribut sebab berdebat sampai pagi pun tak kan bisa membuat Magi kembali padanya. n
Lampung Post, Minggu, 21 April 2013
No comments:
Post a Comment