Sunday, April 7, 2013

Ampun, Njaluk Urip

Cerpen Tandi Skober


SEKOBER, Indramayu, Oktober 1965. Bulan sabit memanjat langit. Tak jua Mardi menutup mata. Bocah bersarung motip penganjang itu gelisah di atas amben. Sejak magrib, tak satupun lampu sentir dinyalakan. Tentara ada di mana-mana. Ketakutan bertebaran. Wong Sekober lebih banyak masuk kandang, membuka telinga lebar-lebar.

Memang, beberapa bulan terakhir susah sekali mencari minyak tanah. Dua hingga tiga kali, Mardi pernah ikut antri membeli minyak tanah di alun-alun depan pendopo kabupaten. Sambil memegangi karcis minyak tanah, Mardi melihat ayahnya membersihkan drum band di alun-alun kabupaten. Itu drum band milik Babah Krupuk. Itu pula yang membuat ayahnya kelak membawa pulang beberapa kilogram beras bulgur, gula, kopi dan teh.

“Babah Krupuk itu seperti malaikat penyelamat penderita ya ayah?”tanya Mardi.

“Wah ya memang begitu,” ucap ayahnya bernama Cacam seraya mengisap rokok klepas-klepus, “Babah itu kaya. Kaya raya.”

“Seperti lagu Indonesia Raya ya ayah?”

“Bisa dibilang begitu itu. Sewaktu kamu disunat, Babah Krupuk nyumbang uang untuk nanggap wayang klitik.”

Hmm, Mardi tersenyum. Ia ingat, usai dikhitan, dituntun ayahnya menuju rumah Babah Krupuk. Ia berjalan tertatih-tatih sambil membawa sapu. Kata emaknya, selama kemaluannya masih belum sembuh dilarang melangkahi cabe, lidi, bawang atau paku. Itu agar luka khitanan cepet sembuh. Makanya sambil jalan ngegang Mardi menyapu terlebih dahulu jalan yang akan dilewatinya. Kemaluan Mardi yang diperban itu disanggah dengan batok kelapa yang masih bersabut. Itu perlu. Bila tidak maka kemaluannya yang diperban itu akan nempel di paha. Bila sudah begitu, maka rasa sakitnya jadi nyut-nyutan.

Ternyata Babah Krupuk tidak mau menerima tamu. “Jangan sekarang, Mang. Ada tamu hebat. Tamu politik. Politik hebat,” sergah centeng itu.

“Aku hanya mau mengucapkan terima kasih. Berkat Babah Krupuk anakku bisa disunat.”

“Ya sudah. Nanti tak kasih tahu sama Babah Krupuk.”

“Tapi babah pernah janji mau kasih kopiah dan sarung untuk Mardi,” kembali Cacam berkata.

Matanya merayapi ruang kantor Babah Krupuk yang luas itu. Ia melihat asbak dipenuhi puntungan rokok. Ia juga saksikan Babah Krupuk terlihat terlibat pembicaraan serius dengan orang-orang politik Jakarta itu. Cacam tahu orang politik Jakartaan itu orang-orang penting. Kenapa? Mobil Jeep yang diparkir di halaman rumah Babah Krupuk sangat mengkilap.

Demikian juga, Mardi. Dilihatnya kipas angin di atas ruangan kantor berputar pelan. Tampak Babah Krupuk berdiri menuju papan tulis. Terlihat kesal. Tapi ditulisnya banyak huruf China yang tidak dimengerti Mardi. Tapi Mardi lebih suka melihat apa yang terhidang di meja tamu. Kenapa? Di atas meja makan terhidang dodol Kweh Ci Ho. Itu dodol mahal. Hanya orang-orang penting dan kaya raya saja yang diberi hidangan  dodol Kweh Ci Ho. Sekali tempo, bertepatan dengan Hari Raya China, Mardi pernah merasakan secuil dodol Kweh Ci Ho. “Wahhh, enaknya ngga ketulungan. Edan tenan! Enak tenan,” ucap Mardi saat itu sambil menjilati sisa dodol di jemarinya.

Tapi itulah, itu! Malam ini, ada banyak pertanyaan berseliweran di kepala Mardi.  Kenapa babah Krupuk jadi mayat. Kenapa  mayat Babah Krupuk itu tersangkut di besi kaki jembatan welanda. Kenapa babah yang punya mesin diesel listrik itu, mayatnya hanya bercahayakan rembulan kuning yang bergerak memanjat langit. Kenapa kepala Babah Krupuk itu nyaris putus, padahal punya banyak centeng dan pengawal. Ke manapun Babah pergi dipastikan selalu dikawal  dua hingga lima centeng. Mardi juga tidak mengeri, kenapa kematian Babah Krupuk nyaris seperti kematian seekor ayam. Padahal dia itu baik sekali. Semua anak-anak Sekober yang dikhitan pasti disumbang Babah berupa panggang bekakak ayam.

“Ndak usah dipikirkan. Sudah kamu cepat tidur. Besok kamu ndak usah main-main di sungai lagi. Jaman lagi mangmung,” ucap kakek Mardi bernama Wanda.

Jaman mangmung? Ini juga hal yang tidak dimengerti Mardi. Juga sulit dicerna otak Mardi, ketika ayahnya saling berbisik dengan kakeknya.

“Tidak mungkin mayat itu dibiarkan begitu saja. Harus dikubur.”bisik Cacam, “Saya sudah membuat lubang kuburan di pemakaman Sindang.”

“Kamu tidak takut tentara?” tanya Kek Wanda,” Bisa saja mereka mengira kamu ini baperki simpatisan pki.”

Cacam diam.

“Sudah aku bilang jangan ikut-ikutan politik drum band Babah Krupuk. Lah malah kamu koq paling suka main drum band. Lah, malah kamu mau kuburkan mayat Babah Krupuk.”

“Babah Krupuk itu baik.”

“Siapa bilang Babah Krupuk itu buruk?”

“Hal itulah yang membuat Babah Krupuk akan aku kubur di tempat yang baik. Manusia mati yah di dalam tanah bukan nyangkut di atas jembatan Welanda.”

Kek Wanda diam. Melalui kisi-kisi jendela ia melihat bulan sabit memanjat langit. Tapi pada detik yang ke sekian, Kek Wanda terkesiap. Ia melihat cahaya bulan sabit itu berwarna merah. Asap putih mengepul diiringi histeria amarah yang muncrat-mucrat. Mereka membawa golok, pedang, pisau dan menyeret pria berdarah-darah dengan tali tambang. Tidak jelas apakah pria berkalung tambang itu sudah tewas atau belum. Yang jelas, amarah massa itu kini bergerak mendekati rumah Kek Wanda. Yang lebih jelas lagi, ada banyak tentara mengikuti gerakan massa itu.
Kek Wanda sadar! Massa itu mencari ayah Mardi bernama Cacam. Massa itu akan mengikat Cacam dengan tali tambang dan menyeretnya hingga ke tanggul sungai Cimanuk. Usai itu, nasib anaknya tidak mustahil bernasib sama dengan Babah Krupuk. Satu ayunan pedang akan  memenggal kepala Cacam.

Kek Wanda pucat.

Tubuh Cacam gemetar. Keringat dingin mengucur. Demam. Dan? Perut Cacam melilit-lilit menahan ketakutan yang tidak bisa ia taklukan. Massa beraroma asap obor terus bergerak mengepung rumah Kek Wanda. Memang rumah Kek Wanda sudah terkepung.

Dari kisi jendela Mardi melihat semua itu. Ia saksikan ayahnya diseret keluar. Ia lihat rambut ayahnya dijambak. Ia lihat ayahnya duduk ngelemprak menghadapi kerumuman massa. Ia dengar ratapan ayahnya, “Ampun njaluk urip. Aku sudah sunat. Aku Islam. Aku bukan pki.”

Tapi? Ratapan itu tertelan hingar bingar histeria amarah massa. Mardi memejamkan mata saat  ayahnya diikat, diseret, dipukuli! Tapi Mardi tidak bisa menutup telinganya. Ia dengar ratapan sang ayah yang terus menerus, terus-terusan, makin lama, makin jauh “Ampun njaluk urip. Aku sudah sunat. Aku Islam. Aku bukan pki.”

Bandung, Wednesday, March 27, 2013


Lampung Post, Minggu, 7 April 2013

No comments:

Post a Comment