Cerpen Aris Kurniawan
DIA berjalan tergesa. Sebelah tangannya menjinjing sepatu hak tinggi. Sementara tangan satunya sibuk menyeka airmata yang tampaknya mengucur deras membasahi pipinya yang disaput bedak tipis. Dalam beberapa detik dia menatapku. Ada debaran lembut di dadaku kala mata kami bersirobok. Aku tertegun beberapa saat, melihat langkahnya yang makin cepat dan hampir berlari. Kakinya yang putih lentik tampak tersaruk menapaki permukaan jalan berkerikil. Aku langsung berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah, lantas memanggil adikku yang tampaknya baru bangun dan tengah berancang-ancang berangkat ke sekolah.
“Pardi! Pardi!” seruku, nyaring.
Pardi terlonjak keheranan, menatapku, lantas tanpa menyahut tergopoh mengampiriku dengan wajah bersungut-sungut.
“Bukankah itu Marto?” kataku mengarahkan pandangan mata kepada orang yang berjalan terburu yang kini makin menjauh dan hanya terlihat punggungnya.
“Ya, Mba Marti. Pasti dia menangis. Biasa, paling habis bertengkar lagi dengan pacarnya,” sahut Pardi tanpa memperhatikan ekspresi wajahku.
“Marti?”
“Ya, Marto teman kakak dulu. Sekarang jadi Mba Marti. Rumahnya yang besar di ujung jalan sana,” kata Pardi seraya ngeloyor, meneruskan kesibukan memasukkan buku ke dalam tas, mengenakan sepatu, lantas bergegas menghidupkan mesin motor. Tahun depan Pardi lulus SMA.
Sepeninggal Pardi rumah kembali sepi. Ibu setengah jam sebelumnya pamit ke pasar untuk belanja menyiapkan masakan kesukaanku seperti ia janjikan semalam.
Hanya mereka berdua yang tinggal rumah ini sejak ayah meninggal dan dua orang kakak perempuanku menikah dan pergi mengikuti suami mereka, masing-masing di Semarang dan Pekalongan. Minggu depan baru mau pada datang. Aku melangkah kembali ke teras menuju pekarangan depan, meneruskan rencana semula menjenguk tetangga kiri kanan lantas menjorok jambu air dan mangga manalagi tapi dengan pikiran tertuju pada rumah besar di ujung jalan yang dikatakan Pardi sebagai rumah Marto.
Dua hari yang lalu aku melihat rumah besar itu dari dalam taksi yang mengantarku pulang. Rumah itu memang tampak besar dan megah di antara rumah-rumah lainnya di kampung ini. Terdiri dari dua lantai, dengan bagian bawah dijadikan toko dan salon di masing-masing sayapnya. Halaman samping kanan terdapat taman yang dibangun dengan selera cukup berkelas. Ada kolam kecil yang di tengah-tengahnya berdiri patung anak kecil yang tengah kencing.
Banyak sekali perubahan di kampung ini setelah hampir delapan tahun kutinggalkan. Tapi keberadaan rumah besar itu sangat mencolok. Waktu aku meninggalkan kampung ini untuk melanjutkan kuliah di Bandung, lahan di atas rumah besar itu masih berupa kebun pisang dengan sebuah gardu pos kamling di pojok sebelah kanan. Itulah gardu tempat anak-anak muda yang kebanyakan pengangguran nongkrong, main gaple atau gitar-gitaran sampai jauh malam. Aku lupa siapa pemilik kebun pisang itu. Tapi yang jelas bukan milik orang tua Marto.
Marto, gumamku. Ada yang menggeliat di ruang benakku. Lantas ingatanku terjajar ke belakang. Menemukan sorot mata yang sekilas tadi. Sorot mata yang pernah begitu akrab lantaran kami pernah satu bangku waktu di sekolah dasar, SMP, bahkan sampai SMA. Tubuh Marto yang kurus dan lemah dengan gerak geriknya yang lembut membuatnya sering diledek teman-teman di sekolah maupun di lingkungan rumah.
“Marto wandu*, Marto wandu,” begitu mereka mengolok-olok Marto.
Hanya linangan air mata membasahi pipi Marto menerima olok-olokan yang menyakitkan itu. Aku tak mampu membela Marto meskipun ingin. Pernah sekali ketika aku mencoba membelanya, mereka makin jadi mengolok-olok dan mengejekku sebagai pacar Marto. Aku hanya bisa menahan kejengkelan sekaligus iba di dada kecilku, melihat Marto makin selalu terlihat murung, pendiam, dan menarik diri dari pergaulan teman-teman sebaya. Kondisi ini bahkan pernah membuat Marto berkeinginan keluar dari sekolah. Hampir seminggu Marto absen. Setelah kubujuk dan berjanji menemaninya Marto akhirnya mau kembali sekolah. Terus terang, aku beruntung juga dekat dengan Marto. Otaknya yang lebih encer dari otakku kerap memberiku contekan.
“Kamu naksir Marto ya Kris? Hahhahah Krisno pacarnya Marto wandu hahahha...” olok-olokan itu mengiang begitu jelas di gendang kuping seperti aku baru mendengarnya kemarin.
Lulus SMP kami diterima melanjutkan ke SMA favorit di kota kecamatan. Gerak gerik Marto yang gemulai memang tak berubah, malah makin terlihat lembut. Sehingga Marto tetap menerima olok-olokan meski tidak sekerap di sekolah dasar dan SMP. Tapi aku mulai berani terang-terangan membelanya. Sikapku menyebabkan Marto selalu ingin dekat denganku. Tak jarang aku main dan nginap di rumah Marto yang kecil dan berdinding gebyok. Ibunya, seorang janda, membuka warung kecil-kecilan untuk menghidupi mereka. Ia tampak senang Marto punya teman sebaya. Setiap aku datang ia menyuguhiku bermacam jajanan pasar.
“Mereka semua jahat, Kris,” gumam Marto lirih, setiap menerima olok-olok, bikin trenyuh.
Saban pagi Marto selalu nyamper ke rumahku untuk berangkat bareng ke sekolah. Aku menggonceng Marto. Sambil duduk terguncang guncang di goncengan Marto sesekali bicara mengungkapkan perasaannya yang sedih. Kadang Marto memegang pinggangku dari belakang.
“Untunglah ada teman seperti kamu, Kris. Kamu baik, beda dengan mereka,” kata Marto.
“Kamu harus berani melawan mereka. Jangan diam saja kalo mereka mengolok-olok,” kataku.
“Mana mungkin aku berani, Kris, tubuhku kurus. Lagi pula mereka banyakan, bisa-bisa aku dikeroyok,” keluh Marto sedikit manja seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya.
“Kamu nggak malu berteman denganku, Kris?”
“Kenapa malu?”
“Nanti kamu diolok-olok.”
“Berani mengolok-olok aku tonjok,” kataku, heroik.
Marto tertawa riang. Tangannya makin erat mencengkeran pinggangku. Aku gembira mendengarnya tertawa seperti itu. Kami kerap berkeliling-keliling kebun jati sepulang sekolah. Aku yang lebih sering mengayuh sepeda. Kalau haus kami istirahat duduk di bawah pohon jati yang paling besar dan kukuh sambil minum es kelapa. Kadang sampai maghrib baru kami pulang. Selain di kebun jati tempat favorit kami adalah bantaran sungai Cisanggarung yang membelah propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kami duduk di tembok beton yang dibangun untuk menahan arus sungai supaya tidak menggerus daratan. Kami ngobrol sambil memandang orang-orang mencuci dan mandi telanjang di bawah sana. Tampak pula orang mendayung sampan.
“Kamu punya pacar, Kris?” suara Marto hampir lenyap tertelan hembusan angin.
Di sini anginnya sangat kencang, menerbangkan uap air dan aroma segar tanaman perdu yang khas. Kawanan capung mencari perlindungan di batang batang pohon waluh.
Aku menggeleng.
“Kamu nggak naksir Liana?”
Nama yang disebut Marto adalah idola di sekolah kami. Selain berkulit putih dan berhidung mancung, anak kepala sekolah kami itu merupakan saingan kuat Marto dalam pelajaran matematika dan bahasa Inggris.
“Siapa yang tidak naksir Liana? Semua anak lelaki pasti menjadikan Liana bahan khalayan mereka saat tidur. Berkhayal mencium bibir Liana,” kataku sambil membayangkan bibir ranum Liana. Aku tak punya nyali menyatakan perasaan suka pada Liana lantaran rangkingku tiga tingkat di bawah Liana.
“Pasti dia mau sama kamu, Kris, kalau kamu berani menyatakan. Kamu kan ganteng.”
Aku tertawa. Marto terus menatapku. “Kamu makin kelihatan ganteng kalau ketawa seperti itu, Kris.”
Aku agak tersipu dipuji serupa itu. Entah mengapa aku kemudian jadi selalu ingin terlihat rapi di depan Marto.
Aku melanjutkan kuliah berkat beasiswa. Marto pun mendapat beasiswa, namun aku tak tahu kabarnya melanjutkan ke mana. Sejak itu kami kehilangan kontak. Selama kuliah di Bandung aku hanya pulang dua kali. Ayah dan ibu yang kerap menjenguk ke kosanku di Bandung. Aku tak pernah bertanya tentang Marto kepada mereka. Begitu lulus aku langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Beberapa kali pindah kerja sebelum akhirnya dikirim ke kantor pusat di Denhag, Belanda. Aku makin jarang pulang. Hampir tujuh tahun aku tak menginjak kampung halaman.
Bahkan aku tak menghadiri pemakaman ayah.
Denhag, meski tak seramai New York atau London, adalah kota kosmopolitan. Di sana aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai bangsa. Salah satu yang paling dekat adalah Jim. Kami tinggal sekamar di apartemen. Pria peranakan China ini mengingatkanku pada Marto. Raut mukanya, gerak geriknya. Hanya kulitnya jauh lebih putih dan bersih. Sebelum aku terbang ke tanah air, Jim berkali-kali mengingatkan aku segera kembali dua hari sebelum masa cutiku habis, tepat sehari setelah Natal. Kamu sedang dipromosikan naik level, kata Jim. Jadi, tidak boleh telat.
Bunyi pintu pagar dibuka menyadarkanku. Ibu pulang dari pasar dengan belanjaan banyak sekali seperti mau menggelar hajatan atawa mau buka toko. Meski sudah tua ibu masih terlihat gesit membawa barang belanjaan. Aku segera menghambur membantu membawakan belanjaan ibu.
“Banyak sekali belanjanya bu.”
“Sekalian, Kris. Supaya tidak bolak balik ke pasar lagi sebulan,” ujar ibu sambil menyeka keringat di pelipisnya.
“Tadi waktu mau berangkat ibu ketemu Marti, eh Marto. Masih ingat kan? Teman kamu dulu,” kata ibu tanpa menghentikan kesibukan memasukkan sayur, buah, dan bermacam makanan kaleng ke dalam lemari es.
Aku pura-pura mengabaikan kata-kata perempuan yang melahirkanku itu, tapi mengharapkan melanjutkan cerita pertemuannya dengan Marto. Aku begitu digelayuti keingin tahuan yang besar tentang kabar Marto. Ibu bilang Marto makin cantik. Bahkan lebih canti dari Lilis, perempuan paling cantik di kampung ini yang kata ibu sering menanyakan kepulanganku.
Ibu bercerita, ketika aku berangkat ke Bandung. Beberapa hari kemudian Marto juga berangkat ke Surabaya. Dia tidak melanjutkan kuliah. Entah kerja apa di sana. Mungkin kerja di salon, kata ibu. Apa lagi? Selain memasak dan menjahit baju, Marto dulu memang gemar memotong rambut. Seperti diriku, Marto jarang pulang. Meski begitu ia tak pernah telat mengirimi ibunya uang saban bulan. Dari uang kiriman itu ibunya bisa membangun rumah dan membeli tanah di ujung jalan itu.
Ketika pulang tiga tahun kemudian, Marto membuat orang sekampung terperangah. Marto bukan hanya berubah wujud menjadi Marti yang cantik sekali tapi dia juga pulang membawa pacarnya, seorang pria bule. Selain menjenguk ibunya, kepulangan Marto adalah untuk membangun rumah.
“Terus pacar bulenya itu?” kejarku begitu bersemangat, seperti mendapat kejutan.
“Katanya sih mati kecelakaan. Marto mendapatkan uang asuransi kematiannya,” kata ibu mengakhiri ceritanya.
Dibantu tetangga sebelah ibu mulai sibuk mengiris bawang, dan meracik bumbu lainnya. Padahal aku masih penasaran siapa pacar Marto yang membuat dia pagi-pagi menangis. Entah mengapa aku enggan bertanya lagi. Mungkin aku harus mencari sendiri informasi ini. Tapi kepada siapa? Yang jelas Pardi bukan orang yang tepat kujadikan sumber informasi yang kubutuhkan.
Tengah malam ketika sebagian orang sudah tertidur, didorong rasa penasaran dan disertai sedikit semangat menjadi detektif aku mengintai rumah itu dari jarak beberapa meter. Aku menghentikan gerobak bakso yang lewat dan memesan semangkuk. Sambil pura-pura makan bakso aku mengawasi rumah Marto, sepi. Seseorang baru saja menutup rolling door toko, sementara lampu di ruangan salon masih menyala terang. Marti tampak sedang duduk di meja kasir, bercakap-cakap dengan seseorang entah siapa. Mungkin pegawai salon. Tak lama kemudian pegawai salon keluar, pulang. Marto kulihat bangkit dari duduk dan bersiap menutup salon.
Sambil menahan debaran aneh, pelan-pelan aku berjalan ke arah Marti. Rupanya dia melihat kedatanganku. Tangannya yang hendak menutup gorden, terhenti. Dia memandangku yang makin mendekat. Marto memang telah sempurna menjelma jadi perempuan. Di bawah lampu seratus watt ia tampak begitu anggun, lebih cantik dibanding waktu kulihat pagi tadi. Dia mengenakan gaun terusan motif batik mega mendung dari jenis bahan lembut dan jatuh ke kulit memperlihatkan bentuk tubuhnya ramping molek.
“Marto,” panggilku, lirih.
“Krisno?” dia tertegun memandangku agak nanar. Aku ingat, terakhir kali sebelum pulang dari tembok beton sungai Cisanggarung menjelang lulus sekolah, dia menangis. Dalam gerimis aku mendengar suaranya lirih mengatakan betapa ia selau ingin bersama-sama denganku.
“Kapan pulang dari Belanda, Kris?” suara Marto tertahan. Dia menghambur hendak memelukku, tapi aku tahan. Kami berpandangan dalam jarak beberapa senti. Entah berapa lama kami berpandangan ketika sekonyong konyong Pardi muncul dari ruangan sebelah salon. n
Relung malam Pondok Pinang, Februari 2013.
catatan
* wandu = banci
Lampung Post, Minggu, 14 April 2013
DIA berjalan tergesa. Sebelah tangannya menjinjing sepatu hak tinggi. Sementara tangan satunya sibuk menyeka airmata yang tampaknya mengucur deras membasahi pipinya yang disaput bedak tipis. Dalam beberapa detik dia menatapku. Ada debaran lembut di dadaku kala mata kami bersirobok. Aku tertegun beberapa saat, melihat langkahnya yang makin cepat dan hampir berlari. Kakinya yang putih lentik tampak tersaruk menapaki permukaan jalan berkerikil. Aku langsung berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah, lantas memanggil adikku yang tampaknya baru bangun dan tengah berancang-ancang berangkat ke sekolah.
“Pardi! Pardi!” seruku, nyaring.
Pardi terlonjak keheranan, menatapku, lantas tanpa menyahut tergopoh mengampiriku dengan wajah bersungut-sungut.
“Bukankah itu Marto?” kataku mengarahkan pandangan mata kepada orang yang berjalan terburu yang kini makin menjauh dan hanya terlihat punggungnya.
“Ya, Mba Marti. Pasti dia menangis. Biasa, paling habis bertengkar lagi dengan pacarnya,” sahut Pardi tanpa memperhatikan ekspresi wajahku.
“Marti?”
“Ya, Marto teman kakak dulu. Sekarang jadi Mba Marti. Rumahnya yang besar di ujung jalan sana,” kata Pardi seraya ngeloyor, meneruskan kesibukan memasukkan buku ke dalam tas, mengenakan sepatu, lantas bergegas menghidupkan mesin motor. Tahun depan Pardi lulus SMA.
Sepeninggal Pardi rumah kembali sepi. Ibu setengah jam sebelumnya pamit ke pasar untuk belanja menyiapkan masakan kesukaanku seperti ia janjikan semalam.
Hanya mereka berdua yang tinggal rumah ini sejak ayah meninggal dan dua orang kakak perempuanku menikah dan pergi mengikuti suami mereka, masing-masing di Semarang dan Pekalongan. Minggu depan baru mau pada datang. Aku melangkah kembali ke teras menuju pekarangan depan, meneruskan rencana semula menjenguk tetangga kiri kanan lantas menjorok jambu air dan mangga manalagi tapi dengan pikiran tertuju pada rumah besar di ujung jalan yang dikatakan Pardi sebagai rumah Marto.
Dua hari yang lalu aku melihat rumah besar itu dari dalam taksi yang mengantarku pulang. Rumah itu memang tampak besar dan megah di antara rumah-rumah lainnya di kampung ini. Terdiri dari dua lantai, dengan bagian bawah dijadikan toko dan salon di masing-masing sayapnya. Halaman samping kanan terdapat taman yang dibangun dengan selera cukup berkelas. Ada kolam kecil yang di tengah-tengahnya berdiri patung anak kecil yang tengah kencing.
Banyak sekali perubahan di kampung ini setelah hampir delapan tahun kutinggalkan. Tapi keberadaan rumah besar itu sangat mencolok. Waktu aku meninggalkan kampung ini untuk melanjutkan kuliah di Bandung, lahan di atas rumah besar itu masih berupa kebun pisang dengan sebuah gardu pos kamling di pojok sebelah kanan. Itulah gardu tempat anak-anak muda yang kebanyakan pengangguran nongkrong, main gaple atau gitar-gitaran sampai jauh malam. Aku lupa siapa pemilik kebun pisang itu. Tapi yang jelas bukan milik orang tua Marto.
Marto, gumamku. Ada yang menggeliat di ruang benakku. Lantas ingatanku terjajar ke belakang. Menemukan sorot mata yang sekilas tadi. Sorot mata yang pernah begitu akrab lantaran kami pernah satu bangku waktu di sekolah dasar, SMP, bahkan sampai SMA. Tubuh Marto yang kurus dan lemah dengan gerak geriknya yang lembut membuatnya sering diledek teman-teman di sekolah maupun di lingkungan rumah.
“Marto wandu*, Marto wandu,” begitu mereka mengolok-olok Marto.
Hanya linangan air mata membasahi pipi Marto menerima olok-olokan yang menyakitkan itu. Aku tak mampu membela Marto meskipun ingin. Pernah sekali ketika aku mencoba membelanya, mereka makin jadi mengolok-olok dan mengejekku sebagai pacar Marto. Aku hanya bisa menahan kejengkelan sekaligus iba di dada kecilku, melihat Marto makin selalu terlihat murung, pendiam, dan menarik diri dari pergaulan teman-teman sebaya. Kondisi ini bahkan pernah membuat Marto berkeinginan keluar dari sekolah. Hampir seminggu Marto absen. Setelah kubujuk dan berjanji menemaninya Marto akhirnya mau kembali sekolah. Terus terang, aku beruntung juga dekat dengan Marto. Otaknya yang lebih encer dari otakku kerap memberiku contekan.
“Kamu naksir Marto ya Kris? Hahhahah Krisno pacarnya Marto wandu hahahha...” olok-olokan itu mengiang begitu jelas di gendang kuping seperti aku baru mendengarnya kemarin.
Lulus SMP kami diterima melanjutkan ke SMA favorit di kota kecamatan. Gerak gerik Marto yang gemulai memang tak berubah, malah makin terlihat lembut. Sehingga Marto tetap menerima olok-olokan meski tidak sekerap di sekolah dasar dan SMP. Tapi aku mulai berani terang-terangan membelanya. Sikapku menyebabkan Marto selalu ingin dekat denganku. Tak jarang aku main dan nginap di rumah Marto yang kecil dan berdinding gebyok. Ibunya, seorang janda, membuka warung kecil-kecilan untuk menghidupi mereka. Ia tampak senang Marto punya teman sebaya. Setiap aku datang ia menyuguhiku bermacam jajanan pasar.
“Mereka semua jahat, Kris,” gumam Marto lirih, setiap menerima olok-olok, bikin trenyuh.
Saban pagi Marto selalu nyamper ke rumahku untuk berangkat bareng ke sekolah. Aku menggonceng Marto. Sambil duduk terguncang guncang di goncengan Marto sesekali bicara mengungkapkan perasaannya yang sedih. Kadang Marto memegang pinggangku dari belakang.
“Untunglah ada teman seperti kamu, Kris. Kamu baik, beda dengan mereka,” kata Marto.
“Kamu harus berani melawan mereka. Jangan diam saja kalo mereka mengolok-olok,” kataku.
“Mana mungkin aku berani, Kris, tubuhku kurus. Lagi pula mereka banyakan, bisa-bisa aku dikeroyok,” keluh Marto sedikit manja seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya.
“Kamu nggak malu berteman denganku, Kris?”
“Kenapa malu?”
“Nanti kamu diolok-olok.”
“Berani mengolok-olok aku tonjok,” kataku, heroik.
Marto tertawa riang. Tangannya makin erat mencengkeran pinggangku. Aku gembira mendengarnya tertawa seperti itu. Kami kerap berkeliling-keliling kebun jati sepulang sekolah. Aku yang lebih sering mengayuh sepeda. Kalau haus kami istirahat duduk di bawah pohon jati yang paling besar dan kukuh sambil minum es kelapa. Kadang sampai maghrib baru kami pulang. Selain di kebun jati tempat favorit kami adalah bantaran sungai Cisanggarung yang membelah propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kami duduk di tembok beton yang dibangun untuk menahan arus sungai supaya tidak menggerus daratan. Kami ngobrol sambil memandang orang-orang mencuci dan mandi telanjang di bawah sana. Tampak pula orang mendayung sampan.
“Kamu punya pacar, Kris?” suara Marto hampir lenyap tertelan hembusan angin.
Di sini anginnya sangat kencang, menerbangkan uap air dan aroma segar tanaman perdu yang khas. Kawanan capung mencari perlindungan di batang batang pohon waluh.
Aku menggeleng.
“Kamu nggak naksir Liana?”
Nama yang disebut Marto adalah idola di sekolah kami. Selain berkulit putih dan berhidung mancung, anak kepala sekolah kami itu merupakan saingan kuat Marto dalam pelajaran matematika dan bahasa Inggris.
“Siapa yang tidak naksir Liana? Semua anak lelaki pasti menjadikan Liana bahan khalayan mereka saat tidur. Berkhayal mencium bibir Liana,” kataku sambil membayangkan bibir ranum Liana. Aku tak punya nyali menyatakan perasaan suka pada Liana lantaran rangkingku tiga tingkat di bawah Liana.
“Pasti dia mau sama kamu, Kris, kalau kamu berani menyatakan. Kamu kan ganteng.”
Aku tertawa. Marto terus menatapku. “Kamu makin kelihatan ganteng kalau ketawa seperti itu, Kris.”
Aku agak tersipu dipuji serupa itu. Entah mengapa aku kemudian jadi selalu ingin terlihat rapi di depan Marto.
Aku melanjutkan kuliah berkat beasiswa. Marto pun mendapat beasiswa, namun aku tak tahu kabarnya melanjutkan ke mana. Sejak itu kami kehilangan kontak. Selama kuliah di Bandung aku hanya pulang dua kali. Ayah dan ibu yang kerap menjenguk ke kosanku di Bandung. Aku tak pernah bertanya tentang Marto kepada mereka. Begitu lulus aku langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Beberapa kali pindah kerja sebelum akhirnya dikirim ke kantor pusat di Denhag, Belanda. Aku makin jarang pulang. Hampir tujuh tahun aku tak menginjak kampung halaman.
Bahkan aku tak menghadiri pemakaman ayah.
Denhag, meski tak seramai New York atau London, adalah kota kosmopolitan. Di sana aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai bangsa. Salah satu yang paling dekat adalah Jim. Kami tinggal sekamar di apartemen. Pria peranakan China ini mengingatkanku pada Marto. Raut mukanya, gerak geriknya. Hanya kulitnya jauh lebih putih dan bersih. Sebelum aku terbang ke tanah air, Jim berkali-kali mengingatkan aku segera kembali dua hari sebelum masa cutiku habis, tepat sehari setelah Natal. Kamu sedang dipromosikan naik level, kata Jim. Jadi, tidak boleh telat.
Bunyi pintu pagar dibuka menyadarkanku. Ibu pulang dari pasar dengan belanjaan banyak sekali seperti mau menggelar hajatan atawa mau buka toko. Meski sudah tua ibu masih terlihat gesit membawa barang belanjaan. Aku segera menghambur membantu membawakan belanjaan ibu.
“Banyak sekali belanjanya bu.”
“Sekalian, Kris. Supaya tidak bolak balik ke pasar lagi sebulan,” ujar ibu sambil menyeka keringat di pelipisnya.
“Tadi waktu mau berangkat ibu ketemu Marti, eh Marto. Masih ingat kan? Teman kamu dulu,” kata ibu tanpa menghentikan kesibukan memasukkan sayur, buah, dan bermacam makanan kaleng ke dalam lemari es.
Aku pura-pura mengabaikan kata-kata perempuan yang melahirkanku itu, tapi mengharapkan melanjutkan cerita pertemuannya dengan Marto. Aku begitu digelayuti keingin tahuan yang besar tentang kabar Marto. Ibu bilang Marto makin cantik. Bahkan lebih canti dari Lilis, perempuan paling cantik di kampung ini yang kata ibu sering menanyakan kepulanganku.
Ibu bercerita, ketika aku berangkat ke Bandung. Beberapa hari kemudian Marto juga berangkat ke Surabaya. Dia tidak melanjutkan kuliah. Entah kerja apa di sana. Mungkin kerja di salon, kata ibu. Apa lagi? Selain memasak dan menjahit baju, Marto dulu memang gemar memotong rambut. Seperti diriku, Marto jarang pulang. Meski begitu ia tak pernah telat mengirimi ibunya uang saban bulan. Dari uang kiriman itu ibunya bisa membangun rumah dan membeli tanah di ujung jalan itu.
Ketika pulang tiga tahun kemudian, Marto membuat orang sekampung terperangah. Marto bukan hanya berubah wujud menjadi Marti yang cantik sekali tapi dia juga pulang membawa pacarnya, seorang pria bule. Selain menjenguk ibunya, kepulangan Marto adalah untuk membangun rumah.
“Terus pacar bulenya itu?” kejarku begitu bersemangat, seperti mendapat kejutan.
“Katanya sih mati kecelakaan. Marto mendapatkan uang asuransi kematiannya,” kata ibu mengakhiri ceritanya.
Dibantu tetangga sebelah ibu mulai sibuk mengiris bawang, dan meracik bumbu lainnya. Padahal aku masih penasaran siapa pacar Marto yang membuat dia pagi-pagi menangis. Entah mengapa aku enggan bertanya lagi. Mungkin aku harus mencari sendiri informasi ini. Tapi kepada siapa? Yang jelas Pardi bukan orang yang tepat kujadikan sumber informasi yang kubutuhkan.
Tengah malam ketika sebagian orang sudah tertidur, didorong rasa penasaran dan disertai sedikit semangat menjadi detektif aku mengintai rumah itu dari jarak beberapa meter. Aku menghentikan gerobak bakso yang lewat dan memesan semangkuk. Sambil pura-pura makan bakso aku mengawasi rumah Marto, sepi. Seseorang baru saja menutup rolling door toko, sementara lampu di ruangan salon masih menyala terang. Marti tampak sedang duduk di meja kasir, bercakap-cakap dengan seseorang entah siapa. Mungkin pegawai salon. Tak lama kemudian pegawai salon keluar, pulang. Marto kulihat bangkit dari duduk dan bersiap menutup salon.
Sambil menahan debaran aneh, pelan-pelan aku berjalan ke arah Marti. Rupanya dia melihat kedatanganku. Tangannya yang hendak menutup gorden, terhenti. Dia memandangku yang makin mendekat. Marto memang telah sempurna menjelma jadi perempuan. Di bawah lampu seratus watt ia tampak begitu anggun, lebih cantik dibanding waktu kulihat pagi tadi. Dia mengenakan gaun terusan motif batik mega mendung dari jenis bahan lembut dan jatuh ke kulit memperlihatkan bentuk tubuhnya ramping molek.
“Marto,” panggilku, lirih.
“Krisno?” dia tertegun memandangku agak nanar. Aku ingat, terakhir kali sebelum pulang dari tembok beton sungai Cisanggarung menjelang lulus sekolah, dia menangis. Dalam gerimis aku mendengar suaranya lirih mengatakan betapa ia selau ingin bersama-sama denganku.
“Kapan pulang dari Belanda, Kris?” suara Marto tertahan. Dia menghambur hendak memelukku, tapi aku tahan. Kami berpandangan dalam jarak beberapa senti. Entah berapa lama kami berpandangan ketika sekonyong konyong Pardi muncul dari ruangan sebelah salon. n
Relung malam Pondok Pinang, Februari 2013.
catatan
* wandu = banci
Lampung Post, Minggu, 14 April 2013
No comments:
Post a Comment