Cerpen Yetti A.KA
KAU tidak tahu harus pulang ke mana seolah-olah kautak punya rumah. Tidak punya kamar dengan dua daun jendela yang lebar. Tidak punya halaman belakang tempat kau berdiri lama-lama menatap serumpun bambu hias. Tidak punya seseorang yang mencemaskan dan menunggumu. Apa kau pernah merasa begitu?
Sekarang dia sedang merasakannya.
Dia tentu saja punya rumah. Punya kamar yang berjendela lebar di mana serangga sering keluar masuk bila sedang terbuka. Punya halaman belakang tempat dia mengamati rumpun bambu yang dia tanam sendiri setahun lalu. Di rumah itu tentu juga ada suami yang sedang menunggu.
Ponselnya terus berbunyi—puluhan panggilan dan pesan pendek—karena lelaki itu pasti cemas, sebelumnya dia tidak pernah pulang terlambat. Atau paling tidak dia selalu mengabari jika ada lembur di kantor atau pergi makan sushi bersama teman-temannya—satu-satunya yang bisa dia perjuangkan dari sekian banyak hal yang ingin dia lakukan selain urusan kerja.
Martin, suaminya, mungkin saja sekarang ini tengah menghubungi semua teman-teman dia lalu bertambah cemas karena tidak satu orangpun yang tahu di mana keberadaannya, tidak satu orang pun mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Seperti juga dia tidak benar-benar mengerti apa yang membuatnya merasa tidak punya rumah dan tak tahu harus pulang ke mana.
Dia memang punya rumah yang lain lagi, selain rumah yang ia tempati bersama Martin. Rumah orang tuanya. Rumah itu ramai sekali. Bapak, Ibu, Kakak, dan ponakan-ponakan yang lucu. Tapi ia bahkan sulit melangkah ke sana. Hatinya justru hambar membayangkan berada di antara keriuhan suara anak-anak. Di antara kebahagian yang bisa jadi malah menyudutkan dia. Membuat dia merasa berada di tempat yang salah. Terkucil dengan rasa sepi yang membingungkan, lalu mengacaukan kegembiraan orang-orang di sekitarnya karena pasti Ibu orang pertama yang menyadari ada sesuatu yang salah dan tidak biasa.
Ponselnya terus-menerus berbunyi. Dia menduga, selain Martin, sekarang teman-teman turut mencoba menghubungi, juga Bapak atau Ibu atau Kakak. Martin sudah berhasil membuat panik banyak orang. Dia mendengus kecil. Dia bisa mengabaikan Martin atau teman-temannya. Tapi Bapak dan Ibu? Dia kirim pesan pendek pada Bapak, mengabarkan kalau dirinya baik-baik saja, hanya sedang ingin sendiri, dan nanti akan pulang (meski dia sendiri tidak yakin pulang ke mana sebab ia benar-benar merasa tidak punya rumah). Setelah pesan itu terkirim, ponsel dia matikan.
***
Dia berpikir ingin ke taman kota saja. Ah, tidak, desahnya cepat. Taman itu tempat orang pacaran di malam hari. Dia pasti risih berada di sana seorang diri. Halte? Dia juga mulai tidak menyukai halte yang bau pesing. Malam-malam banyak pemuda tanggung duduk dan mabuk di sana, kemudian kencing sembarangan. Laut? Tempat itu biasanya mampu mengembalikan perasaan gembira, udara asin yang lengket di kulit, bau amis yang khas—menerbangkan dia ke masa kecil yang riang. Dia berlari-lari sepanjang pantai, hanya bermain-main dan tertawa saja (dan seandainya dia pernah menangis, itu adalah tangis anak kecil yang minta perhatian bukan karena penderitaan). Dia bermain pasir, membuat boneka. Dia terkikik ketika air laut menyambar boneka pasirnya. Dan kakaknya berkomentar, Kau aneh sekali, seharusnya kau tidak tertawa tapi sedih.
Dia bertanya-tanya terus: Kenapa aku harus bersedih?
Kakaknya tidak pernah mau membahas lagi dan sering marah-marah atau gusar atau membentaknya. Dan kemudian Ibu yang diam-diam berbisik padanya, Kakak hanya cemburu padamu karena tidak bisa membuat boneka pasir sebagus milikmu. Dia tidak percaya kata-kata Ibu, namun setidaknya dia tidak perlu bertanya lagi.
Dia sudah tidak ingin pergi ke laut. Dia memilih duduk di trotoar di bawah lampu jalan yang dikerubungi sungsulung—jenis serangga yang juga menyukai cahaya tapi memiliki tubuh jauh lebih kecil dari laron—seperti seseorang yang hidup sendirian dalam kota yang ramai; orang-orang lewat. Kendaraan yang bising. Tapi ia benar-benar merasa sendirian.
***
Dia memang sendirian. Sudah lama sekali dia merasa tidak punya siapa-siapa. Dia hidup dengan pikiran-pikirannya sendiri. Dengan perasaan-perasaan yang berubah-ubah. Dengan kekacauan emosi yang tidak pernah bisa dia bicarakan pada orang lain.
Martin selalu ada untuknya, memang. Lelaki yang menikah dengannya tiga tahun lalu. Lelaki yang sesekali memberinya kejutan kecil. Lelaki yang romantis, meski tidak pernah mengajaknya jalan-jalan lagi setelah setahun menikah. Lelaki itu berkali-kali berkata tidak bisa kehilangan dia.
Tapi sesekali aku mau mencair, lesap, hilang! Pikiran itu datang berulang kali. Lebih sering datang ketika dia sedang marah. Atau ketika dia begitu tidak tahan berhadapan dengan Martin yang mencintainya dengan amat nyinyir. Berlebihan. Egois. Berkuasa. Memaksanya kembali merasakan kejadian-kejadian ketika dia berhadapan dengan kakaknya yang judes. Kakak yang mengekang, yang tidak memberi kesempatan padanya untuk menjadi diri sendiri, menyukai apa yang dia inginkan. Atau Ibu yang membandingkan-bandingkan dia dan Kakak. Kakak pintar. Kakak suka membantu Ibu. Kakak tidak pernah membuat kecewa Bapak. Kakak yang ketika berumur enam tahun sudah bisa menceritakan cita-citanya dengan rinci dan memikat. Kakak yang dipuji semua orang.
Dia juga pintar, tentu saja, tapi dia tidak sepintar kakak. Ketika ditanya apa cita-citanya, dia menjawab: ingin bisa menggambar sebagus Om Adit. Om Adit itu adik Bapak. Pernah kuliah seni rupa, dan tidak pernah tamat. Bapak melarang dia terlalu dekat dengan Om Adit. Tidak punya masa depan, kata Bapak, nanti kamu ikut-ikutan.
Dia memang jarang membantu Ibu, sebab dia tidak suka lama-lama berada di dekat Ibu yang pemurung. Ibu yang jarang tertawa. Jarang bicara. Jarang menunjukkan seperti apa perasaannya kecuali dengan cara menangis. Dia tidak suka Ibu yang menangis. Dia mau Ibu yang sering tertawa. Ibu yang bisa marah dengan bicara meluap-luap sebagaimana Tante Rosa, pacar Om Adit jika mereka sedang ribut dan kebetulan dia menguping dari balik dinding.
Sungguh, dia ingin tubuh Ibu tidak diam saja sepanjang hidupnya. Dia mau melihat tubuh Ibu berteriak, memberontak. Tubuh Ibu yang berlari-lari, melayang, serupa kapuk randu yang memesona.
Namun kenyataannya dia justru mirip sekali dengan Ibu setelah dia menikah. Perempuan yang tidak berkata-kata, tidak berteriak. Perempuan yang menyimpan semua di hatinya seolah-olah dia takut dengan perasaan dan pikirannya sendiri.
Dia telah melepaskan semua yang diinginkan.
Dia tidak jadi seorang pelukis seperti Om Adit. Itu tentu Bapak yang menggagalkannya. Mungkin juga karena dia tidak terlalu keras berusaha. Dia tidak sekuat yang dia pikirkan. Berbeda sekali dengan Om Adit yang bahkan berani keluar dari rumah saat Kakek tidak suka pilihan hidupnya. Sedangkan dia mudah sekali ditundukkan. Bapak memberinya satu pilihan. Dia menerima.
Ketika menikah dengan Martin, banyak hal lain lagi yang dia lepaskan. Satu demi satu dia kehilangan bagian-bagian yang dia sukai. Martin tidak membiarkan dia pergi liburan sendirian, padahal sesekali dia mau duduk di laut seorang diri. Martin mengatur jam berapa dia mesti di rumah. Minta dia tidak terlalu akrab dengan sejumlah temannya. Dia tidak mau diperlakukan begitu, akan tetapi dia tidak punya suara. Karena itu mungkin saja Martin menganggap semua baik-baik saja dan merasa heran kenapa hari ini dia tidak pulang hingga malam. Semua memang baik-baik saja. Mereka tidak bertengkar. Tadi pagi sebelum berangkat kerja malah mereka masih sempat membicarakan kapan akan pergi ke dokter kandungan untuk konsultasi, mengingat Martin sudah tidak sabar ingin punya momongan.
***
Dia mendongak ke atas. Melihat sungsulung makin banyak, bergerombol di sekitar bola lampu. Hatinya meriap. Serupa bayi yang menggeliat. Ia terharu. Atau perasaan yang tiba-tiba ingin membuatnya menangis, tapi bukan karena rasa sedih.
Sudah lama sekali dia tidak lagi tergugah oleh sesuatu di sekitarnya. Dia terlalu sibuk mengurus Martin. Memenuhi semua yang diinginkannya. Menjaga perasaannya sebaik mungkin agar dia baik-baik saja. Agar dia tidak merasa sebagai lelaki yang kalah.
Martin itu cuma terlalu mencintaimu, kata Ibu suatu hari.
Dia menakutkan, Ibu, katanya mirip seseorang tengah sekarat. Suaranya pendek-pendek dan gemetar.
Kau membesar-besarkan, Ibu menggenggam tangannya, seolah-olah Ibu ingin memberikan kesabarannya yang besar pada dia.
Berhari-hari dia menatapku, tidak bicara, benar-benar hanya menatapku karena aku pulang sedikit terlambat. Dia menuduhku bertemu mantan pacar di suatu tempat. Dia curiga aku akan meninggalkannya. Matanya melucuti pertahananku. Melumpuhkan syaraf-syarafku, membuatku ketakutan setengah mati.
Ibu mendesah, dan berujar, dia mencintaimu dan cemas dengan apa yang dipikirkannya tentangmu. Semua lelaki begitu.
Semua lelaki. Dia tertawa sumbang mengingat kalimat Ibu.
Sudah hampir pukul sebelas malam. Jalan masih ramai, namun mulai menakutkan. Dia belum tahu juga akan pulang ke mana. Semua jalan di depannya, tertutup. Tidak memberikan padanya kemungkinan-kemungkinan, selain duduk diam di tempat dia sekarang. Padahal, kalau bisa, tentu saja dia ingin berlari lebih jauh. Meninggalkan Martin. Meninggalkan rumah mereka yang mungil dan cantik. Mencari tempat pulang yang benar-benar ia inginkan.
Ah, pernahkah kau tidak tahu harus pulang ke mana seolah-olah kautak punya rumah? n
Jalan Enam Mei, 2013
buat Anggun Prameswari
Lampung Post, Minggu, 28 April 2013
KAU tidak tahu harus pulang ke mana seolah-olah kautak punya rumah. Tidak punya kamar dengan dua daun jendela yang lebar. Tidak punya halaman belakang tempat kau berdiri lama-lama menatap serumpun bambu hias. Tidak punya seseorang yang mencemaskan dan menunggumu. Apa kau pernah merasa begitu?
Sekarang dia sedang merasakannya.
Dia tentu saja punya rumah. Punya kamar yang berjendela lebar di mana serangga sering keluar masuk bila sedang terbuka. Punya halaman belakang tempat dia mengamati rumpun bambu yang dia tanam sendiri setahun lalu. Di rumah itu tentu juga ada suami yang sedang menunggu.
Ponselnya terus berbunyi—puluhan panggilan dan pesan pendek—karena lelaki itu pasti cemas, sebelumnya dia tidak pernah pulang terlambat. Atau paling tidak dia selalu mengabari jika ada lembur di kantor atau pergi makan sushi bersama teman-temannya—satu-satunya yang bisa dia perjuangkan dari sekian banyak hal yang ingin dia lakukan selain urusan kerja.
Martin, suaminya, mungkin saja sekarang ini tengah menghubungi semua teman-teman dia lalu bertambah cemas karena tidak satu orangpun yang tahu di mana keberadaannya, tidak satu orang pun mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Seperti juga dia tidak benar-benar mengerti apa yang membuatnya merasa tidak punya rumah dan tak tahu harus pulang ke mana.
Dia memang punya rumah yang lain lagi, selain rumah yang ia tempati bersama Martin. Rumah orang tuanya. Rumah itu ramai sekali. Bapak, Ibu, Kakak, dan ponakan-ponakan yang lucu. Tapi ia bahkan sulit melangkah ke sana. Hatinya justru hambar membayangkan berada di antara keriuhan suara anak-anak. Di antara kebahagian yang bisa jadi malah menyudutkan dia. Membuat dia merasa berada di tempat yang salah. Terkucil dengan rasa sepi yang membingungkan, lalu mengacaukan kegembiraan orang-orang di sekitarnya karena pasti Ibu orang pertama yang menyadari ada sesuatu yang salah dan tidak biasa.
Ponselnya terus-menerus berbunyi. Dia menduga, selain Martin, sekarang teman-teman turut mencoba menghubungi, juga Bapak atau Ibu atau Kakak. Martin sudah berhasil membuat panik banyak orang. Dia mendengus kecil. Dia bisa mengabaikan Martin atau teman-temannya. Tapi Bapak dan Ibu? Dia kirim pesan pendek pada Bapak, mengabarkan kalau dirinya baik-baik saja, hanya sedang ingin sendiri, dan nanti akan pulang (meski dia sendiri tidak yakin pulang ke mana sebab ia benar-benar merasa tidak punya rumah). Setelah pesan itu terkirim, ponsel dia matikan.
***
Dia berpikir ingin ke taman kota saja. Ah, tidak, desahnya cepat. Taman itu tempat orang pacaran di malam hari. Dia pasti risih berada di sana seorang diri. Halte? Dia juga mulai tidak menyukai halte yang bau pesing. Malam-malam banyak pemuda tanggung duduk dan mabuk di sana, kemudian kencing sembarangan. Laut? Tempat itu biasanya mampu mengembalikan perasaan gembira, udara asin yang lengket di kulit, bau amis yang khas—menerbangkan dia ke masa kecil yang riang. Dia berlari-lari sepanjang pantai, hanya bermain-main dan tertawa saja (dan seandainya dia pernah menangis, itu adalah tangis anak kecil yang minta perhatian bukan karena penderitaan). Dia bermain pasir, membuat boneka. Dia terkikik ketika air laut menyambar boneka pasirnya. Dan kakaknya berkomentar, Kau aneh sekali, seharusnya kau tidak tertawa tapi sedih.
Dia bertanya-tanya terus: Kenapa aku harus bersedih?
Kakaknya tidak pernah mau membahas lagi dan sering marah-marah atau gusar atau membentaknya. Dan kemudian Ibu yang diam-diam berbisik padanya, Kakak hanya cemburu padamu karena tidak bisa membuat boneka pasir sebagus milikmu. Dia tidak percaya kata-kata Ibu, namun setidaknya dia tidak perlu bertanya lagi.
Dia sudah tidak ingin pergi ke laut. Dia memilih duduk di trotoar di bawah lampu jalan yang dikerubungi sungsulung—jenis serangga yang juga menyukai cahaya tapi memiliki tubuh jauh lebih kecil dari laron—seperti seseorang yang hidup sendirian dalam kota yang ramai; orang-orang lewat. Kendaraan yang bising. Tapi ia benar-benar merasa sendirian.
***
Dia memang sendirian. Sudah lama sekali dia merasa tidak punya siapa-siapa. Dia hidup dengan pikiran-pikirannya sendiri. Dengan perasaan-perasaan yang berubah-ubah. Dengan kekacauan emosi yang tidak pernah bisa dia bicarakan pada orang lain.
Martin selalu ada untuknya, memang. Lelaki yang menikah dengannya tiga tahun lalu. Lelaki yang sesekali memberinya kejutan kecil. Lelaki yang romantis, meski tidak pernah mengajaknya jalan-jalan lagi setelah setahun menikah. Lelaki itu berkali-kali berkata tidak bisa kehilangan dia.
Tapi sesekali aku mau mencair, lesap, hilang! Pikiran itu datang berulang kali. Lebih sering datang ketika dia sedang marah. Atau ketika dia begitu tidak tahan berhadapan dengan Martin yang mencintainya dengan amat nyinyir. Berlebihan. Egois. Berkuasa. Memaksanya kembali merasakan kejadian-kejadian ketika dia berhadapan dengan kakaknya yang judes. Kakak yang mengekang, yang tidak memberi kesempatan padanya untuk menjadi diri sendiri, menyukai apa yang dia inginkan. Atau Ibu yang membandingkan-bandingkan dia dan Kakak. Kakak pintar. Kakak suka membantu Ibu. Kakak tidak pernah membuat kecewa Bapak. Kakak yang ketika berumur enam tahun sudah bisa menceritakan cita-citanya dengan rinci dan memikat. Kakak yang dipuji semua orang.
Dia juga pintar, tentu saja, tapi dia tidak sepintar kakak. Ketika ditanya apa cita-citanya, dia menjawab: ingin bisa menggambar sebagus Om Adit. Om Adit itu adik Bapak. Pernah kuliah seni rupa, dan tidak pernah tamat. Bapak melarang dia terlalu dekat dengan Om Adit. Tidak punya masa depan, kata Bapak, nanti kamu ikut-ikutan.
Dia memang jarang membantu Ibu, sebab dia tidak suka lama-lama berada di dekat Ibu yang pemurung. Ibu yang jarang tertawa. Jarang bicara. Jarang menunjukkan seperti apa perasaannya kecuali dengan cara menangis. Dia tidak suka Ibu yang menangis. Dia mau Ibu yang sering tertawa. Ibu yang bisa marah dengan bicara meluap-luap sebagaimana Tante Rosa, pacar Om Adit jika mereka sedang ribut dan kebetulan dia menguping dari balik dinding.
Sungguh, dia ingin tubuh Ibu tidak diam saja sepanjang hidupnya. Dia mau melihat tubuh Ibu berteriak, memberontak. Tubuh Ibu yang berlari-lari, melayang, serupa kapuk randu yang memesona.
Namun kenyataannya dia justru mirip sekali dengan Ibu setelah dia menikah. Perempuan yang tidak berkata-kata, tidak berteriak. Perempuan yang menyimpan semua di hatinya seolah-olah dia takut dengan perasaan dan pikirannya sendiri.
Dia telah melepaskan semua yang diinginkan.
Dia tidak jadi seorang pelukis seperti Om Adit. Itu tentu Bapak yang menggagalkannya. Mungkin juga karena dia tidak terlalu keras berusaha. Dia tidak sekuat yang dia pikirkan. Berbeda sekali dengan Om Adit yang bahkan berani keluar dari rumah saat Kakek tidak suka pilihan hidupnya. Sedangkan dia mudah sekali ditundukkan. Bapak memberinya satu pilihan. Dia menerima.
Ketika menikah dengan Martin, banyak hal lain lagi yang dia lepaskan. Satu demi satu dia kehilangan bagian-bagian yang dia sukai. Martin tidak membiarkan dia pergi liburan sendirian, padahal sesekali dia mau duduk di laut seorang diri. Martin mengatur jam berapa dia mesti di rumah. Minta dia tidak terlalu akrab dengan sejumlah temannya. Dia tidak mau diperlakukan begitu, akan tetapi dia tidak punya suara. Karena itu mungkin saja Martin menganggap semua baik-baik saja dan merasa heran kenapa hari ini dia tidak pulang hingga malam. Semua memang baik-baik saja. Mereka tidak bertengkar. Tadi pagi sebelum berangkat kerja malah mereka masih sempat membicarakan kapan akan pergi ke dokter kandungan untuk konsultasi, mengingat Martin sudah tidak sabar ingin punya momongan.
***
Dia mendongak ke atas. Melihat sungsulung makin banyak, bergerombol di sekitar bola lampu. Hatinya meriap. Serupa bayi yang menggeliat. Ia terharu. Atau perasaan yang tiba-tiba ingin membuatnya menangis, tapi bukan karena rasa sedih.
Sudah lama sekali dia tidak lagi tergugah oleh sesuatu di sekitarnya. Dia terlalu sibuk mengurus Martin. Memenuhi semua yang diinginkannya. Menjaga perasaannya sebaik mungkin agar dia baik-baik saja. Agar dia tidak merasa sebagai lelaki yang kalah.
Martin itu cuma terlalu mencintaimu, kata Ibu suatu hari.
Dia menakutkan, Ibu, katanya mirip seseorang tengah sekarat. Suaranya pendek-pendek dan gemetar.
Kau membesar-besarkan, Ibu menggenggam tangannya, seolah-olah Ibu ingin memberikan kesabarannya yang besar pada dia.
Berhari-hari dia menatapku, tidak bicara, benar-benar hanya menatapku karena aku pulang sedikit terlambat. Dia menuduhku bertemu mantan pacar di suatu tempat. Dia curiga aku akan meninggalkannya. Matanya melucuti pertahananku. Melumpuhkan syaraf-syarafku, membuatku ketakutan setengah mati.
Ibu mendesah, dan berujar, dia mencintaimu dan cemas dengan apa yang dipikirkannya tentangmu. Semua lelaki begitu.
Semua lelaki. Dia tertawa sumbang mengingat kalimat Ibu.
Sudah hampir pukul sebelas malam. Jalan masih ramai, namun mulai menakutkan. Dia belum tahu juga akan pulang ke mana. Semua jalan di depannya, tertutup. Tidak memberikan padanya kemungkinan-kemungkinan, selain duduk diam di tempat dia sekarang. Padahal, kalau bisa, tentu saja dia ingin berlari lebih jauh. Meninggalkan Martin. Meninggalkan rumah mereka yang mungil dan cantik. Mencari tempat pulang yang benar-benar ia inginkan.
Ah, pernahkah kau tidak tahu harus pulang ke mana seolah-olah kautak punya rumah? n
Jalan Enam Mei, 2013
buat Anggun Prameswari
Lampung Post, Minggu, 28 April 2013