Sunday, November 25, 2012

Cincin Hujan

Cerpen Arman A.Z.


Kisah 1


AKSA dan Mayang terjebak di ruang tunggu bandara. Hujan pagi itu membuat penerbangan mereka delay. Duduk di bangku panjang, sepasang suami istri itu leluasa mengamati orang-orang hilir mudik. Aksa menangkupkan tangan kirinya ke tangan kiri Mayang yang mendekap tas jinjing di pangkuan. Mayang yang tersipu, sepintas melirik tahi lalat di bawah mata kiri Aksa. Ada benda bergesekan dalam genggaman mereka: sepasang cincin kawin berhias batu permata.

Percakapan Aksa dan Maya terputus oleh gerutu seorang ibu tambun berdandan menor yang berdiri gelisah tak jauh dari tempat mereka duduk. Ini bukan melatih kesabaran, ini tentang konsumen yang dirugikan, protes ibu itu pada petugas yang berdiri salah tingkah di pintu keberangkatan. Seorang pria tua menimpali, menuding pemerintah yang tak peduli pada penumpang yang terlantar karena pesawat telat berangkat.

"Mereka tak bisa bercanda dengan waktu..." desis Aksa. Mayang tersenyum sambil mencubit paha Aksa. "Menurutmu, apa yang menggerakkan mereka kemari?!" sambung Aksa.

"Ya, urusan mereka masing-masing." jawab Mayang. Aksa menggeleng, "Ada yang lebih dari itu..." sahutnya. Mayang menengok. Dahinya berkerut.

"Ini yang menggerakkan mereka," jelas Aksa sembari menggesek-gesekkan jempol dan telunjuk kanannya. Sepasang alis Mayang naik, seperti tak sepakat dengan kalimat suaminya.

"Jadi, kita pun ada di sini karena diatur uang?"

Aksa menjawab dengan senyum, lalu mengalihkan topik percakapan seraya menatap wajah istrinya, "Sudah lama kita tak pergi berdua seperti ini. Tiap rencana liburan sering gagal." Jauh hari mereka menyusun rencana pelesiran ke Bali, merayakan selusin tahun usia pernikahan.

"Kau kelewat sibuk dengan kerjaan. Pulang saat anak-anak sudah tidur. Bangun ketika mereka sudah pergi sekolah. Anak-anak lebih akrab dengan sopir dan pembantu. Kita mirip orang asing yang tinggal serumah," sindir Mayang. Barusan tadi, tanpa disuruh Aksa, Mayang menelepon ke rumah. Memastikan lewat ibunya bahwa ketiga anaknya berangkat sekolah.

"Kau juga sibuk bisnis dan arisan dengan teman-temanmu," dalih Aksa.

Diam. Waktu menitik seperti butir-butir air hujan yang gamang di telapak dedaunan sebelum luruh ke tanah.

Maya mendengus kesal. "Sudah setengah jam hujan reda. Tapi kenapa belum juga ada panggilan untuk berangkat?"

Aksa menghela napas. "Iya. Capek juga jadi manusia di ruang tunggu."


Kisah 2

SIANG mendung di kafe terbuka tepi pantai yang sepi pengunjung. Wara duduk di pojok ruangan, terhalang deretan pot gantung dengan bunga pelastik berjuntai-juntai. Ditemani sekaleng bir dingin dan sebungkus rokok di meja. Gelisah menunggu pria bertahi lalat di bawah mata kiri itu. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, berharap rinai tak segera menjelma hujan lebat.

Berbinar matanya memergoki Aksa berjalan tergesa di pedestrian. Seraya menarik bangku di depan Wara dan mendudukinya, dia minta maaf karena terlambat datang. Dia sempat nyasar sebelum bertanya pada pemilik warung tentang lokasi kafe itu, tempat mereka janji bertemu. "Menunggumu tak pernah membosankan," kata Wara singkat, mengobati rasa bersalah Aksa.

Ketika Aksa menyampaikan rencana liburan ke Bali bersama istrinya, mereka sepakat bertemu di tempat yang sama. Demikianlah, Wara lebih dulu datang dan menyewa kamar hotel tak jauh dari cottage tempat Aksa dan istrinya menginap.

"Orang Romawi zaman dulu memakai cincin kawin di jari tengah tangan kiri. Konon, mereka percaya ada pembuluh darah yang mengalir lewat jari itu, langsung ke hati," kata Wara usai melirik cincin kawin di jari manis Aksa.

"Kau kelewat banyak baca buku," sindir Aksa.

"Buku itu jendela dunia."

"Resletingmu juga jendela dunia," gurau Aksa.

"Dasar cabul..."

Wara mengeluhkan istrinya yang cerewetnya akut. Sejak tiba di sini, sudah puluhan kali dia menelepon, memastikan semuanya baik-baik saja. Kesehatan, makan, pakaian, sampai oleh-oleh untuk anak-anak. Ingin rasanya Wara membuang ponsel yang dirasanya jadi semacam teror.

"Kita bakal sulit bertemu seperti ini. Beberapa teman kantorku tampaknya mengendus hubungan kita."

"Siapa? Hati-hatilah. Jangan sampai reputasiku hancur."

"Tenang saja. Jangan panik. Bukan cuma kamu, karierku pun akan habis."

"Bisa kamu selesaikan?"

"Mudah-mudahan."

"Harus dipastikan!"

"Yakinlah, semua akan beres. Makin terancam, kan makin menggairahkan," timpal Aksa dengan senyum penuh makna.

Ah, selain tempat dan waktu, cinta pun bisa melepas jangkar pada orang yang tak tepat. Begitulah Aksa dan Wara.

"Hujan sudah reda. Mau ke kamar hotelku?"

"Itu yang kutunggu. Semoga hujan lebat."

"Jika Mayang mencari?"

"Sudah kumatikan ponsel. Kalau dia curiga, cuaca bisa dijadikan kambing hitam."

"Benar katamu, tempat ini menyimpan gairah. Sudah lama aku menginginkan suasana seperti ini. Bercinta di hotel tepi pantai, dengan jendela terbuka, ditemani debur ombak dan rintih hujan..."

"Sstt, jangan kuat-kuat. Kita buktikan saja siapa yang lebih kuda dari kuda..."

"Dasar kamu, kuda liar..."


Kisah 3

DARI jendela yang separuh terbuka, Lala termangu menatap lantun gerimis. Gadis berhidung bangir itu suka suasana saat gerimis tiba. Romantis. Mistis. Iramanya menjelma nyanyian pilu di batin Lala. Tetesnya yang jatuh di genangan air mencipta lingkaran-lingkaran serupa cincin yang membesar menyebar lalu raib.

Dia teringat ibunya. Sebelum berangkat, beliau sempat berpetuah. Meski diucapkan secara tersirat, namun Lala paham maksudnya: Ibu meminta Lala segera menemukan pendamping hidup. Lala nyengir kuda menanggapinya. Bagi Lala, pernikahan hanya ihwal secarik kertas, juga status yang tak penting. Ada orang yang hidup normal, banyak juga yang berantakan. Lala hanya ingin bahagia dengan versinya sendiri.

Rokok putih terjepit di sela jemari kirinya. Dia abaikan abu yang jatuh ke lantai yang licin bersih. Lala menginap tak jauh dari tempat Mayang menginap. Pagi tadi sendirian dinikmatinya sarapan, lalu melewati waktu bercanda bersama anjing-anjing kecil di tepi pantai. Dia bayangkan ada anjing bersemayam dalam dirinya. Lambat laun dia paham, ada naluri anjing dalam tubuh semua orang.

"Apa yang ada di benakmu tentang Desember?" gamang tanya Lala. Perempuan yang duduk di tepi ranjang menatap televisi, mengalihkan pandangnya ke jendela.

"Ulang tahun pernikahanku. Itu yang membawaku kemari," jawab Mayang.

"Tak ada yang lebih indah dari itu?" kejar Lala. Mayang sudah menduga, pertanyaan itu akan disusul dengan pertanyaan berikutnya. Mayang memilih diam.

"Aku sudah terbiasa menikmati sakit ini sendirian," sambung Lala sejurus kemudian.

Mayang enggan berdebat lebih jauh dengan Lala. Ini tentang kesepian dan hasrat wanita. Baginya, bertemu dengan Lala sudah cukup membahagiakan.

"Kubayangkan kita menyusuri pedestrian sepanjang pantai ini. Menikmati malam bertabur bintang di sebuah cafe terbuka. Ditemani lagu-lagu romantis dan lilin kecil yang menari di tengah meja..." suara Lala mengambang.

Selain tempat dan waktu, cinta pun bisa jatuh pada orang yang salah. Mayang dan suaminya sepakat hari ini mereka bebas pergi sendirian. Saat kembali ke hotel, mereka akan saling cerita bagaimana mereka mengisi waktu sendirian sepanjang hari itu. Mayang tak risau. Dia selalu dapat nilai bagus waktu pelajaran mengarang dulu. Lala tersenyum mendengar cerita Mayang.

Cuaca dingin dari luar jendela memaksa Lala beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan ke tepi ranjang. Duduk di samping Mayang. "Kapan kita bertiga seranjang. Aku, kau, dan suamimu. Bercinta sampai pagi," usul Lala dengan tatapan nakal, disusul tawa langu.

"Gila!"

Mayang hendak pulang. Lala mencegah. Gerimis masih mengalun di luar. "Tak apa. Sudah lama aku tak berjalan di bawah gerimis." Dihampiri dan diciumnya tengkuk Lala, sambil berkata "Jaga dirimu, Sayang."

Tangan kiri Mayang telah menyentuh gagang pintu ketika Lala mengejutkan, "Selalu ada yang terlupakan..." Mayang menunda langkah. Menoleh ke belakang. Mata Lala mengantar Mayang ke atas ranjang. Mayang terkejut teringat sesuatu. Bergegas dia mencari benda mungil itu di balik selimut yang masih acak-acakan. Mengenakannya kembali di jari manis tangan kiri.

"Melepas cincin nikah sebelum bercinta, bukan berarti melupakannya, apalagi meninggalkannya."

Usai cincin itu telah terpasang di jari manis, ada yang berkelebat dalam benak Mayang. Benda mungil itu tak lagi berkilau. Dia selalu cuai menyepuhnya.

"Kabari aku jika kamu sudah pulang. Siapa tahu aku bisa menjemputmu, kemudian menemaniku ke toko emas..." kata Mayang sembari melanjutkan langkah ke pintu keluar. Mimik wajah Lala bertanya untuk apa.

"Menyepuh cincin ini, agar berkilau kembali..." sahut Mayang.


Kisah 4

"CUACA kok kayak kuda liar, susah diterka maunya...," celetuk Aksa. Di ruang tunggu bandara, dalam perjalanan pulang, ia kembali mengeluhkan penerbangan yang tertunda karena gerimis.

"Sabarlah..." imbau Mayang. Tatapannya tak sengaja membentur tahi lalat di bawah mata kiri suaminya. Menghilangkan jenuh, Aksa iseng menggumamkan siapa di antara orang yang lalu lalang di sekitar mereka yang akan duduk dekat pintu darurat pesawat.

"Lo, apa urusannya dengan pintu darurat?"

"Bisa menyelamatkan banyak orang."

"Ah, zaman sekarang, orang cari selamat masing-masing."

Giliran Mayang mengajak Aksa bertaruh. Siapa yang akan duduk di bangku pesawat bersama mereka. Aksa menerka lelaki. Mayang menebak perempuan. Mereka serempak tersenyum. Siapa pun yang melihat mereka di ruang tunggu bandara itu, tentu menduga mereka pasangan yang romantis dan bahagia. Sebuah rumah tangga yang utuh. Bukan sepasang suami istri yang sedang menipu diri sendiri.

Tangan kiri Aksa menggenggam tangan kiri Mayang. Menyentuh dan meraba cincin yang melingkar di jemari itu. Orang Romawi zaman dulu memakai cincin kawin di jari tengah tangan kiri, kata Aksa. Mereka percaya ada pembuluh darah yang mengalir lewat jari itu langsung ke hati. Mayang nyengir dan meledeknya sok tahu.

"Selusin tahun cincin ini melingkari jari manis kita. Seperti jimat, cincin ini membuatku kebal dari segala godaan," teduh mata Aksa menatap Mayang.

"Gombal," rajuk Mayang.

Dalam benak Aksa, dibayangkannya Wara pulang sendirian nanti sore. Sementara Mayang berpikir entah bagaimana ujung kisahnya dengan Lala.

"Gerimis begitu liris. Mungkin, di suatu tempat, ada yang sedang merangkai kalimat-kalimat romantis..."

"Atau... Meneguk bir dingin..."

Aksa dan Mayang bertatapan, tersenyum langu, lalu melengoskan pandang; menepis kelebat bayang seseorang benak masing-masing. Banyak yang terdengar dan terlihat seperti cinta, padahal omong kosong belaka. Aksa meremas jemari Mayang. Sepasang suami istri itu merasakan cincin kawin yang saling bergesekan. Rasa ngilunya menjangkau hati masing masing. Gerimis telah beranak pinak.

"Lucu ya, hujan menemani kita saat pergi dan pulang..."

Bandar Lampung, 2011


Lampung Post, Minggu, 25 November 2012

Sunday, November 18, 2012

Istri yang Terpilih

Cerpen Tarpin A. Nasri 


DALAM urusan memilih jodoh, Prawiro Satrio Karto Subagyo?Papaku, dan Endang Dyah Sulastri Rahayuningsih?Mamaku, benar-benar menempatkan bibit, bebet, dan bobot, menjadi acuan utama, sehingga ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Marina Zaraswati, Papa dan Mamaku yang masih berdarah biru itu langsung melakukan litsus dan hasilnya langsung disampaikan, ?Jika kamu berkeras untuk menikah dengannya, menikahlah dan itu artinya kamu tidak perlu lagi doa dan restu dari kedua orang tuamu,? kata Papa yang dijunjung tinggi oleh Mamaku.

Hal itu terjadi ketika aku bilang sejujurnya tentang Marina, ?Aku kenal Marina di sebuah klub malam secara tak sengaja, dan asal Marina dari keluarga kaya yang berantakan. Marina korban perceraian kedua orang tuanya sehingga Marina boleh dibilang produk wanita kota yang bebas bergaul atau salah urus, akan tetapi kini Marina telah kembali ke jalan yang lurus dan aku yakin Marina telah bertobat dengan sungguh-sungguh, maka aku ingin menikahinya lahir-batin.?

"Sudah berasal dari keluarga yang berantakan, calon istrimu itu rusak pula tampaknya," kata Mama dengan sangat kecut dan sinis sekali.

"Dia bekas bintang wanita malam, juara dugem, jago narkoba dan ratu seks bebas, Mam," tambah Dimas Ario Jayaningrat?adikku, mengompori Papa dan Mama.

"Apa di kolong jagat raya ini sudah tidak ada wanita lain yang pantas, layak dan terhormat untuk jadi menantuku, Joko?" tanya Papa dengan nada jauh sekali dari ramah. Apalagi wajahnya!

"Tak terbayang jika cicit-cicitku harus lahir dari wanita hina dan nista seperti itu," timbrung Ijjah Siti Kulsum, nenekku.

"Mau jadi apa nanti cicit-cicitku, Tarub?" tambah Amran Halim Karto Subagyo-kakekku. "Ini aib, noda dan najis untuk keluarga!" protes kakek.

Dalam "sidang paripurna" keluarga itu, semua tak ada yang setuju aku menyunting Marina. Akan tetapi semakin ditentang begitu, niatku semakin bulat menjadikan Marina sebagai Belahan Jiwaku. Aku yakin?bahkan haqul yaqin?Marina bisa menjadi istri yang salihah! ?Lihatlah buktinya nanti,? ujarku dalam hati.

***

KETIKA niat itu aku bicarakan dari hati ke hati dengan Marina, aku melihat ketabahan Marina yang luar biasa, dan aku juga melihat kehancuran Marina yang sangat dahsyat bila Marina tidak jadi kuselamatkan. Aku ingat pertanyaan Marina kala itu, "Apakah wanita bekas sampah dan kotor sepertiku tidak bisa atau haram menjadi perhiasan rumah tangga yang indah, Mas? Apakah terlarang bagiku untuk menjadi seorang wanita salihah, Mas?"

Aku menggeleng dengan mantap.

"Aku sudah memastikan keluarga besar Mas pasti akan menolak mantan wanita yang hina, penuh noda, nista, dan najis sepertiku," ujar Marina dengan tegar. "Dan ini jauh-jauh hari sudah kusampaikan kepada Mas, akan tetapi Mas selalu bilang 'Mas siap melawan gempuran badai', bahkan demi niat Mas untuk menyuntingku, Mas juga bilang 'Mas siap jika harus menebusnya dengan dibuang dari keluarga sekalipun'," lanjutnya dengan tenang.

Aku mengangguk dengan mantap sekali, lalu kuraih jemari tangan Marina, kuremas dengan lembut dan mesra, kemudian kubawa kedua tangan yang tergenggam itu ke hidungku, dan aku menciumnya dengan cinta selembut sutra, dengan kasih semanis madu dan dengan sayang yang tulus dan ikhlas seputih kapas.

"Mas tak akan mundur selangkah pun dari semua ini, Rin," tegasku setegar gunung batu.

"Apakah Mas siap sengsara dengan terbuang dari keluarga, lalu menikah dan hidup tanpa restu dari kedua orang tua Mas?" tanya Marina kembali.

"Aku tidak hanya siap, Rin," jawabku dengan mantap seliat kayu. "Akan tetapi aku juga tidak takut hidup denganmu. Tuhan bersama kita dan pasti Beliau menolong kita. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Rin," lanjutku.

Marina menjatuhkan kepalanya di dadaku. Setelah kuelus kepalanya, tangisnya pecah. Baju dan dadaku tersiram air matanya yang deras mengalir. "Bukan dikarenakan kecantikanmu yang selangit dan mengguncangkan hati, bukan disebabkan keseksianmu yang bisa merontokan kesetiaan laki-laki, serta bukan juga tergiur kekayaanmu yang membuatku bertekad untuk menyuntingmu sekuat apapun rentetan badai yang pasti menggulung dan menghempasku, akan tetapi niatmu untuk tobat nasuha dan menjadi wanita salihah yang membuatku tak rela jika engkau harus kembali jadi kembang utama wanita malam, kembali jadi anak emas narkoba dan kembali jadi primadona kesayangan belantara seks bebas," tegasku.

Marina jatuh terkulai di pangkuanku, dan itu kutangkap sebagai perlambang hidup dan matinya telah bulat diserahkan kepadaku.

***

AKHIRNYA aku menikahi marina dan kami langsung hidup mandiri. Aku tak lagi dapat bantuan keuangan dari keluargaku, dan aku pun tidak lagi kerja di perusahaan keluargaku. Aku kerja di perusahaan orang lain. Untuk menutupi kebutuhan hidup kami di awal pernikahan, Marina--dengan tabungannya yang segunung dan aliran dana dari Bapak dan Ibunya yang deras--berperan sekali dalam mengepulkan asap dapur dan menggelindingkan roda rumah tangga kami.

Untungnya posisiku di kantor juga dari waktu ke waktu bergerak sangat bagus. Akan tetapi, sungguh bukan hanya karena itu yang membuatku layak bahagia, bersyukur, dan berterima kasih kepada Tuhan. Tekad Marina yang istikamah untuk menjadikan dirinya sebagai wanita salihahlah yang memikatku untuk siap menangkis setiap badai yang datang mendera, utamanya badai yang datang dari tiga dunia yang pernah menjadikan Marina sebagai wanita yang memiliki kelas sangat istimewa. Di dunia malam: siapa yang tak kenal Marina? Di ranah narkotika: siapa yang tak tahu Marina? Di belantara seks bebas papan atas: siapa yang tak memuja Marina?

Di rumah Marina tidak bersedia mempekerjakan pembantu. ?Demi aku, Mas saja bersedia terbuang dari keluarga, masak aku dalam melayani semua kebutuhanmu harus dibantu pembantu,? katanya. ?Selagi aku masih bisa, biarlah semuanya kukerjakan sendiri, Mas. Melayani dan berbakti kepada suami buatku kini adalah suatu anugerah dan kehormatan, serta kewajiban dan ibadah!? lanjutnya dengan mantap.

"Apa tidak ingin bekerja dan tidak jenuh di rumah, Rin?" tanyaku sambil mencium keningnya dan membetulkan jilbab indahnya.

"Selain melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah, kan masih banyak ibadah lainnya yang bisa aku kerjakan untuk membuang jenuh, Mas," jawabnya. "Aku total memilih jadi ibu rumah tangga agar aku bisa seratus persen mengabdikan diriku kepada suami," lanjutnya.

Aku mendengar baik-baik setiap untaian kata curahan hati Marina.

"Masa laluku yang hitam dan kelam di dunia malam dan narkotika, serta penambang dosa di lembah nista, kemudian dientaskan oleh Mas menjadi istri yang terhormat, rasanya tak cukup kubalas dengan pengabdianku 1 x 24 jam kepadamu, Mas?"

Kuraih bahu Marina lalu kurebahkan kepalanya di lekuk leherku. "Tidak segitunya kali," godaku kepadanya sambil kucium pipinya. "Tetaplah melangkah di jalan lurus untuk masa depan dan anak-anak kita kelak, Sayang," lanjutku.

"Apa pun yang Mas perintahkan asal itu tidak melanggar larangan agama, undang-undang, peraturan, etika, norma dan yang lainnya, dengan tulus dan ikhlas pasti kukerjakan meski harus bertaruh dengan nyawaku?" sambutnya.

"Hehehe. Maksudnya apa dan ke mana nih? Kok sampai harus bertaruh dengan nyawa segala, Kasih?" tanyaku.

Marina mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Aku tadi ke Dr. Mirna Astuti, Sp.O.G., katanya aku mulai hamil, Mas?" lanjutnya dengan lembut, mesra dan penuh syukur.

Karena aku tak kuat menahan bahagia dan syukur, refleks aku bopong Marina, dan aku melakukannya dengan menari dan berterima kasih tiada henti. "Terima kasih untuk anugerah yang terindah ini, ya Allah," ujarku. Habis itu kami berdua bersujud syukur untuk karunia dan anugerah yang tiada ternilai harganya ini.

***

DARI buah cinta kami lahirlah Laras Ayu Kembang Ati, yang pada suatu acara di sekolah anakku lima tahun kemudian menyedot perhatian seorang Bapak yang memberikan bantuan beasiswa untuk siswa teladan di sekolahnya. Orang tua itu jatuh hati pada darah dagingku dan Marina.

Penampilan Laras yang cantik, bersih, sopan, rendah hati, memikat dan cerdas mengantarkan pertemuan antara orang tua/wali murid dengan sang donatur, yang tidak lain dari Papaku. Kami berpelukan, bertangisan dan ketika seminggu kemudian Papa-Mama ke rumah, Laras dengan tiada keraguan sedikit pun diakui dan diterima sebagai cucunya. "Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah," ujar kami dalam sebuah sujud syukur.

"Mana istrimu, Joko?" tanya Papa dengan wajah dan mata yang memancarkan kebahagiaan.

"Iya mana menantu Mama, Nak?" sambung Mama tak kalah gembira dan syukur dengan Papa.

Ketika aku mencari-cari Marina ke segala arah, Marina muncul. "Saya di sini, Mas, Papa, Mama. Assalamualaikum?" jawabnya dengan sopan dan penuh hormat.

Kami sungguh terhipnosis melihat penampilan Marina yang sempurna sebagai wanita muslimah.

"Marina di awal hidupnya memang pekat melakukan amalan-amalan penduduk neraka, akan tetapi dan insya Allah setelah itu ia bisa dan biasa melakukan amalan-amalan penduduk surga," pujiku dengan tulus. "Dialah yang menjadikan rumah ini sebagai firdaus. Oleh karena dia, saya lebih betah di rumah dibandingkan berada di mana pun," lanjutku. "Karena di rumah ini ada Marina, istri saya yang terpilih, Papa, Mama," tegasku.

Kulihat Papa dan Mama membiarkan tangannya dicium Marina dan Laras, bahkan beberapa kali kulihat Marina dan Laras dipeluk dengan hangat dan mesra oleh Papa dan Mama.

"Kamu tidak salah pilih, Joko," aku Papa lembut sambil senyum tulus.

"Iya, Nak," timpal Mama. "Kami yang selama ini salah lihat, dan terlalu cepat memutuskan," lanjutnya. "Sekarang tidak ada lagi dinding pemisah di antara kita," lanjut Mama lagi.

"Semua ini karena Mas Joko Tarub Umbaran yang sukses melintasi rentetan dan menangkis gempuran badai, sampai Laras lahir, besar, serta ketemu dengan kakek dan neneknya," ujar Marina dengan sinar mata lembut dan penuh cinta yang diarahkan kepadaku.

Sejak itu setiap akhir pekan jika tidak Papa dan Mamaku yang melewatkannya di rumah kami, kamilah yang menghabiskan akhir minggu di rumah Papa dan Mamaku, dan Marina?juga Laras?selalu jadi bintang karena kesalihanan dan keagungan budinya.

Marina yang telah berhasil menjadi sebaik-baiknya perhiasan rumah tangga, juga membuat kakek dan nenekku selalu minta dilayani dan diurusi olehnya, dan Marina menyambutnya dengan tulus dan ikhlas untuk ibadah sehingga Marina melakukannya dengan cinta sebening embun, mengerjakannya dengan kasih seanggun gunung dan menunaikannya dengan sayang seputih salju.

Braja Mulia-Braja Selebah-Lamtim, Agustus 2012


Lampung Post, Minggu, 18 November 2012          

Sunday, November 11, 2012

Bau Busuk dalam Sumur

Cerpen Fandrik Ahmad


DI korneanya, makanan yang tersaji di atas lincak kosong tanpa rasa. Nyeri pada bagian paha kiri telah meraibkan selera makannya. Sedikit-sedikit meringis, menggeliat, dan beringsut membetulkan posisi duduk agar terhindar dari rasa sakit, kram dan kesemutan. Betapa setiap gerakan itu tercermin sebuah alamat seseorang yang bosan menjalani hidup.

“Dimakan, Pak, mumpung masih hangat. Kapan mau sembuh kalau terus-terusan begitu,” tegur Misnatun, duduk di sampingnya. Sambal terasi sisa kemarin pagi yang sudah digoreng kembali disodorkannya.

“Taruh saja di situ. Belum lapar,” tukasnya. Salim tak berminat kendati di atas lincak tergeletak terong rebus—yang paling disukai—menggoda. Ikan asin pun gagal memancing lidahnya.

Salim berdiri. Langkahnya lambat. Tertatih-tatih ke beranda. Istrinya lesu di atas lincak. Seakan ada semacam tumpukan ulat yang sedang berpesta di dalam luka yang terus membengkak itu. Ketika pintu dibuka, secarik cahaya melabrak pahanya. Hangat. Hangat sekali. Barulah Salim sadar kalaulah matahari sudah cukup tinggi untuk dikatakan pagi.

Tangannya mengepal bersandar pada pilar bambu. Kedua alisnya mengerut, membentuk semacam kepak sayap burung elang yang tengah menemukan mangsa. Angin bertiup cukup kencang. Kepulan debu memanjang. Bergoyang-goyang. Menutup sebagian pandangannya. Daun-daun terlihat meranggas. Bertahan agar tak lepas dari tangkainya. Cericit burung hanya terdengar sekejap pada saat matahari belum tiba. 
Sudah menjadi keputusannya kalau Parjo akan dicoret dari daftar teman kerjanya. Toh, kehilangan Parjo bukan perkara memusingkan. Masih ada Dulla, Comper, Sadden, atau yang lain yang pasti mau bila diajaknya bekerja. Intinya bukan dengan Parjo…!

Salim menyelonjorkan kaki. Pahanya dipanggangkan pada terik yang berhasil menembusi beranda. Umpatan kerap tumpah ketika ember usang berisi parang tumpul yang digunakan untuk merapikan tepian sumur menusuk lamunannya. Ya, musibah itu tak mungkin, tak akan, dan tak pasti terjadi bila tangan lelaki hitam dan dekil itu cekatan meraih ember selepas menyudahi menggali sumur suatu hari, milik nyai Tomang. Akibat kelalaiannya, jadilah ember itu nyemplung kembali pada kedalaman sumur yang sudah hampir mencapai enam meter itu. Sialnya, ujung parang menancap dan menimbulkan histeris sesaat sebelum raib karena tak sadarkan diri.

Warga kampung dan yang setetanggaan dengannya sangat menyayangkan peristiwa itu. Pasalnya, mereka kini diselimuti perasaan cemas. Takut Salim tak mau lagi menggali sumur. Beberapa kali Salim melontarkan pernyataan tak ingin lagi menggali sumur kepada setiap warga yang datang membesuknya. Siapa nanti yang akan memberikan pasokan kebutuhan air bila Salim menjadi trauma dan tak mau lagi menggali sumur. Tak terbayang susahnya mencari air. Bila kemarau, ketergantungan kepada sumur sangatlah besar. Hanya sumur yang tak pernah susut kendati harus membuat lagi, lagi, dan lagi, bila sudah tandas.

Betapa pekerjaan yang semula dipandang sebelah mata kini bisa mengundang ketakutan. Ketergantungan pada Salim sangatlah besar. Tak terhitung seberapa banyak jasanya. Lebih banyak ketimbang lembaran kertas yang didapat dari hasil nyata atas jasanya. Satu sumur yang biasa dikerjakan dalam tempo seminggu cuma bisa dihargai antara 150 sampai 200 ribu rupiah. Itu pun seperempatnya masih dibagikan kepada tukang arit tanah galian. Tak ada yang mau mengambil alih pekerjaan itu tersebab upah tak sebanding dengan pekerjaan. Bila ada, mereka cuma bersedia menjadi tukang arit tanah galian. Tak ada yang berani turun dan mengeruk tanah sedalam mungkin sampai memuncratkan air. Lebih baik bekerja ke luar negeri ketimbang menggali sumur, begitulah kata sebagian besar warga.

Berkat dirinya, warga di kampung itu teringankan dari derita kemarau berkepanjangan. Tangannya seperti sebuah sumber yang memancarkan air. Yang menyelamatkan kampung dari kekeringan. Apabila salah satu dari mereka ada yang kebetulan tengah lewat di dekat sumur Nyai Tomang, tak lupa mereka meninggalkan umpatan kepada Parjo. Mengumpat apa saja yang bisa diumpat: memperkarakannya kepada yang berwajib, mendapat balasan yang serupa, mengasingkan atau mengusirnya dari kampung, sampai ada yang berani mengancam akan membunuhnya apabila Salim betul-betul tak mau lagi menggali Sumur.

“Parjo harus bertanggungjawab,” kata salah seorang warga.

“Mau bertanggungjawab bagaimana? Ya, namanya sudah apes,” yang satunya bersikap pasrah.  

“Kamu mau menggantikan kang Salim? Jadi tukang gali sumur?”

“Lha. Kok, jadi saya.”

“Makanya, pikirkan bila kang Salim tak mau menggali sumur. Siapa yang akan menggantikannya. Tak ada sumur. Tak ada air. Kampung ini akan mati!”

Kalajengking seperti baru saja menyengat bokongnya. Air mukanya menjadi keruh. Lamunannya membuat sketsa sejarah kampung yang dilanda kekeringan dan kelaparan hanya karena tukang gali sumur. Sebuah kampung yang melantunkan orkestra memilukan: kemerisik angin, desis kelaparan, dan lenguhan ternak yang memanjang. Terbayang kerabat dan tetangga menekankan kedua tangan di atas perut. Seperti sakratul maut, mereka merintih sampai ada yang menjerit sebelum berdamai dalam sebuah tidur panjang.

“Kamu benar. Parjo harus bertanggungjawab. Paksa dia menjadi pengganti kang Salim.” Lelaki itu pun terhasut.

Kebencian terhadap Parjo bertumpuk di dalam sumur itu. Menggantikan air yang gagal menggenang. Seperti sebuah gaung, darimanapun berteriak, gemanya akan sampai ke gendang telinga Parjo. Parjo tak tinggal diam. Ia mesti mencari perlindungan. Siapa tahu gaung itu akan bersambut menerkam dirinya.

Parjo mencari kuasa hukum yang bisa melindungi dan memberikan keadilan untuk dirinya. Toh, peristiwa itu terjadi bukan karena kehendaknya. Parjo mencoba bertamu ke rumah Ke Ramuk. Baginya, Ke Ramuk memiliki payung hukum negara. Bukankah kepala kampung juga pejabat pemerintah kendati cuma sekelas kampung, pikirnya. Ke Ramuk menyambut Parjo dengan muka Berat. Bibirnya ditarik separuh. Sepertinya lelaki tambun itu sudah mengetahui maksud kedatangannya. Parjo dipersilakan duduk.

“Tolong saya, Pak. Ancaman kepada saya semakin banyak,” jelas Parjo.

“Ancaman yang bagaimana?” Tenang Ke Ramuk bertanya. Wajahnya disetel supaya terlihat berwibawa.

“Pokoknya banyak. Ada yang ingin mengusir saya. Ada yang ingin membakar rumah saya. Ada juga yang mengatakan ingin membuat paha saya bengkak seperti kang Salim. Bahkan ada yang ingin membunuh saya,” jelasnya dengan nada yang sangat yakin dan melas.

“Begitukah? Hem…” Muka sinis tak bisa disembunyikan oleh Ke Ramuk.

“Ya, Pak,” tegasnya.

Sejenak keduanya terjebak diam. Parjo tak sabar menunggu ucapan Ke Ramuk yang selanjutnya.

“Kenapa kamu ke sini?”

“Saya mau meminta keadilan, Pak.”

“Lha, Kok ke saya? Memangnya saya polisi? Satpam? Atau tentara?”

“Selain pada bapak, saya harus meminta kepada siapa lagi. Bapak kan kepala kampung,” tegasnya.

“Tunggu dulu. Kalau urusan kampung, baru ke saya. Ini urusanmu,” pungkasnya tenang.

“Semua orang mengancam saya. Bukankah ini sudah menjadi urusan kampung? Ya, bapak wajib menolong saya.” Parjo mulai jengkel. Ia merasa dipermainkan.

“Ya, kamu pindah saja dari kampung ini. Selesai.”

“Bapak mengusir saya?”

“Tidak”

“Terus?”

“Apanya yang terus?”

“Siapa yang akan mencarikan emak uang?”

“Suruh saja melepas jandanya. Atau, saja sekalian bawa pergi.”

“Bapak ngawur!” Parjo mendorong cepat kursi duduknya ke belakang. Ia berlalu dengan langkah cepat namun berat.

“Ketimbang digebuki banyak orang!” teriak kepala kampung. Jelas suara itu ditangkap. Parjo tak mempedulikan. Sebagai orang kecil, betapa ia merasa kesulitan mencari keadilan di kampungnya sendiri.

Parjo tak tahu lagi harus berbuat apa. Ditatapnya perempuan tua yang tengah berdiri di depan pintu menunggu kedatangannya. Jelas sekali kerutan wajahnya di bawah lampu dop 5 watt di atas pintu itu. Melihat wajah anaknya yang redup, tak banyak yang dikatakan oleh perempuan itu kecuali memeluknya. Erat. Hangat.

Malam semakin larut tanpa dekapan sepotong bulan. Lampu dop tetap menyala membagi sinarnya ke beranda dan ruang dalam. Warga menyemut ke rumah Parjo. Mereka membawa parang, golok, celurit, pentungan, pikulan, gentong dan benda apa saja yang bisa menggebuk si empu rumah itu. Sementara di tangan kiri mereka memegang satu benda yang sama, obor.

“Penduduk kampung mendatangi rumah Parjo, Pak. Mereka membakar rumahnya,” lapor istrinya panik.

Sontak Salim bergegas ke beranda, mendongakkan kepala. Dari arah barat, kobaran api membubung tinggi. Salim merasa kalau kemarahan warga tersebab dirinya yang tak mau lagi menggali sumur. Satu sisi ia merasakan sebuah kebanggaan akan keberhargaan dirinya. Namun, itu hanya secuil ketimbang rasa ibanya. Bagaimanapun Parjo adalah orang yang kerap meyepuh peluh bersamanya. Menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok bersama. Makan ketela pohon yang dipanggang yang menghadirkan tawa ketika mendapati arang kulit ketela menempel di gigi. Dan, kenangan itu berjejak pada setiap langkah menuju kobaran itu.

“Terlambat, Pak,” teriak istrinya. Salim tak peduli. Ia terus melangkah. Akhirnya, Misnatun menjinjing sampirnya setinggi lutut dan bergegas membuntuti suaminya.

Kini Salim menatap sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Api yang sangat besar begitu nyata di matanya. Umpatan warga yang menyaksikan turut melumat rumah yang sebagian besar dibangun menggunakan bambu itu. Letupan mengerikan. Salim menggigit bibir sebelum menggeram. Matanya berubah basah. Di depannya, seorang perempuan tua menjerit-jerit seperti seorang yang kesurupan.

“Rasakan! Dasar pembawa sial!”  

“Mampus!”

Salim berusaha sekuat mungkin memegang emak Parjo yang berusaha keras ingin masuk ke dalam rumahnya. Di tengah ketidakpercayaan kenapa warga melakukan perbuatan senekat itu, yang ingin dilihatnya adalah Parjo. Ke mana anak itu? Kenapa hanya emaknya? Tak selamatkah dirinya? Oh, tidak. Semoga terjadi sesuatu apa pun dengannya, harap Salim. Matanya tak lebih panas dari api di depannya.

Kabar tentang Parjo baru tercium keesokan hari setelah pihak yang berwajib memastikan tidak ada korban jiwa dalam aksi pembakaran itu. Amarah warga belum reda tersebab sasaran utama raib entah ke mana. Namun, mereka lebih fokus membujuk Salim agar bersedia menggali sumur kembali. Apa jadinya jika tak ada yang mau menjadi tukang gali sumur. Ironis bila kampung dikenang sejarah hanya gara-gara tukang gali sumur. Sudah berulang kali Salim kedatangan tamu. Dan jawaban yang keluar tetap sama. Tidak!

Melalui kesepakatan bersama, kepala kampung membentuk kelompok penggali sumur. Suka tidak suka, bila sudah ditunjuk, maka harus bersedia. Warga bersepakat akan meneruskan sumur milik Nyai Tomang yang belum selesai. Setidaknya ada lima orang setiap hari yang harus bersedia menggali sumur. Yang bertugas di hari itu segera menjalankan tugasnya. Sampai di dekat sumur, mereka mencium bau yang janggal. Busuk. Ternyata, di dalam sumur itu, seonggok mayat tergeletak. Diangkatnya mayat itu beramai-ramai. Sebagian sisi kiri tubuhnya, dari kaki sampai kepala sudah melepuh dimakan ulat. Mereka berkesimpulan kalau posisi mayat ketika ditemukan menelungkup ke samping. Dan, mereka mengenalinya: Parjo.

Kematian Parjo seperti menjadi sebuah kutukan. Setiap kali menggali sumur, mereka hanya mentok pada kedalaman yang tak lebih dari sembilan meter. Macam-macam yang dirasakan si penggali sumur: gelap, pengap, menggigil, serta mencium bau bangkai.

Satu persatu sumur yang tersisa tandas. Kering. Namun, tak ada lagi yang berani menggali sumur. Kepala kampung kembali mengumpulkan para warga. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua harus berkumpul. Lelaki tambun itu akan mengajak mereka, bersama-sama mendatangi rumah Salim untuk bersedia menggali sumur. Dengan cara apa pun. n

Jember, 22 September 2012


Lampung Post, Minggu, 11 November 2012

Sunday, November 4, 2012

Selawat Kelahiran

Cerpen S.W. Teofani


KAU makna tak terkata yang hadir pada musim umbi bertunas. Menguncupkan harapan penghuni bentala yang mulai lelah pada kemarau. Hadirmu berbarengan dengan rintik hujan pertama yang menghidupkan kembali bumi yang mati. Semoga begitu pulalah artimu bagi kehidupan, sebagai yang dinanti, yang diharap.

Sebelum kututupkan sehelai benang pun pada tubuhmu, ingin aku bersyahadah pada pesan Ilahiyat yang menyertaimu. Begitu polosnya kau bermula, penuh dengan magis ketuhanan, kuharap begitulah kembalimu. Ada percik cemburu karena waktu telah menggulungku dan melolosi kefitrahan yang dititipkan Yang Satu. Adalah titik demi titik suci itu terpercik nokhtah, hingga putihnya tak menjadi pendar lagi.

Kini warna itu semakin kusam. Setiap kucoba menyucikannya, terciprat lembar-lembar hidupku oleh percikan air suci yang beradu debu. Akankah kukembali seperti saat kubermula? Semoga kau jalan lurus yang menuntunku kembali pada awal yang bening. Hingga kutemui jalan kembali pada Mahahening pada suatu masa yang pasti.

Sebelum kusematkan sebentuk penanda pada seluruhmu. Aku tak ingin menghapus tanda abadi yang dianugerahkan Penguasa Tanda. Dia yang telah memberimu seluruh kasih dengan tanda cinta yang diabadikan pada binar matamu pun senyum yang akan kau tebarkan pada setiap makhluk. Sebagai penyampai dari rekah hatimu yang lebih lapang dari sahara. Lalu kau akan piawai membaca setiap tanda yang ada pada dirimu pun semesta. Dan tak perlu lagi kutambahkan tanda selain sebentuk nama.

Kelak kau yang akan menjadikan tanda itu mewangi atau tak lebih sebuah panggilan. Pada lakumu, penanda itu akan menjadi abadi atau sekejab melintas bumi. Adalah nama-nama yang dipanggil begitu lama, bahkan hingga jasadnya tak lagi ada. Tapi tak sedikit pula nama yang hanya berkelebat seumur hanyat, lalu padam bersama jasad.

Hari ini kau adalah keajaiban mungil dengan makna tak tepermanai. Hadirmu menyesap seluruh keluh yang tercipta mengiringi kau mengada. Kau penebus segala letih dan perih-yang tak untuk diratapi. Sakit itu, keluh itu, serupa biru muda merah jambu yang mengharu-birukan penyambutan untukmu. Sebab, memeluk alam rahim menjadi kebahagiaan yang disangsangkan Pencipta pada tiap-tiap ibu. Sebentuk amanah yang tak dipercayakan pada keperkasaan pun kegagahan, tapi kesabaran dan ketabahan yang panjang.

Aku tak menghamparkan permadani pun singgasana untukmu, hanyalah sehelai kain cinta yang tak pernah habis meski segala benang di bumi tak dipintal lagi. Aku tak menyiapkan upacara agung pada hadirmu, yang disaksikan para resi pun para ratu, hanya senarai doa yang tak bisa digantikan meski kau wasilahkan pada para wali.

Kau tak lahir dari perempuan nariswari yang membuatmu beruntung menjadi raja di setiap bumi yang kau huni. Kau juga tak ditakdirkan hadir dari trah kekuasaan yang membuat jarimu berharga sebelum mengerti arti harga. Dengan itu, semoga kau tahu makna menjadi, kau paham arti bersungguh, pun kesabaran yang hanya disangsangkan pada ketekunan panjang. Aku perempuan biasa yang menempa setiap yang mungkin dengan godam juang, maka kau yang akan menjadikanku nariswari atau kesahajaan abadi. Tapi Cintaku, tak ada yang kupinta darimu, hadirmu adalah segala yang disebut pinta. Kau melampaui ingin pun puja yang kutitipkan pada desau kemarau.

Muhyal Qulubku?, sesahaja apa pun perempuan yang melahirkamu, adalah keinginnan untuk menghantarkanmu pada tempat terbaik. Hari ini masih bisa kuhangatkan tubuhmu dengan peluk yang lebih hangat dari sinar mentari pagi. Tapi esok, kau adalah busur dengan lesap tak tertangkap pandangku. Maka kan kujaga gandewa waktu yang akan menghantarkamu pada zaman yang tak sama. Suatu hari akan kuhantarkan dirimu pada tangan yang lebih suci. Tangan-tangan teguh yang mampu menempa busur-busur zaman pada tumpu yang seharusnya. Hingga kau tak menjadi anak panah yang terpelanting pada tempat yang tak dikehendaki.

Suatu ketika, kan kupertemukan dirimu pada para penjaga. Manusia yang dipilih Sang Maha untuk merawikan kalam-Nya. Mereka para pemelihara yang dijaga lembar-lembar suci. Aku akan menyerahkan dengan rela pada saat bulan sabit belum menjadi purnama. Bukan karena kulelah menjagamu. Jika karena itu, tak lagi pantas manusia menyebutku ibu.

Semesta ini begitu luas, Sayang. Aku tak sanggup menuntunmu dari satu benua ke samudera lainnya. Adalah manusia lain yang jauh lebih tahu dariku. Kepadanyalah harus kau cecap pengetahuan itu. Sedang gugusan ilmu melampai luas buana, pengetahuanku tak sejumput pun dari adanya. Maka kutitipkan dirimu pada mutiara yang lebih nyala, pada padi yang lebih bernas. Dan kepada para penjaga kalam-Nya, kan kau temui nyala cahaya abadi yang lebih pendar dari purnama.

Suatu ketika kau akan kembali, merindui sosok yang tak muda lagi. Tapi kasihku selalu muda, cintaku selalu baru. Aku akan menanyaimu, adakah kau rasa cukup dengan ilmu yang dapat? Dan kuharap kau gelengkan kepala, karena ilmu begitu luas, dan waktu manusia hanya sejumput kesempatan yang tak cukup untuk mewadahinya.

Qulubku?sebelum kau mendaki gunung, adalah tapak yang satu. Sebelum tapak itu, adalah kau terjatuh, adalah rangkak juga tangismu sebagai penanda sebelum kau mengenal kata pun sanggup mengucapkannya. Dan tangis itu akan menyertai setiap hidup manusia. Dia adalah penyampai pesan Ilahiah yang hanya pecah pada kekalahan pun ketakberdayaan. Maka menangislah, dia adalah suara kejujuran yang memanggil hati semesta pada massa kau ditimang. Tapi tinggalkan tangis itu, saat Tuhan memberimu kemampuan lain padamu.

Kita bukan manusia-manusia yang termaktub dalam Kalam. Hanya sisa-sisa zaman yang coba mengais rida Tuhan. Maka jalan bukanlah jalur lempang tanpa tikungan. Kita akan melampauinya, dengan jerih yang masih tersisa. Maka masih ada asa untuk belajar pada ketabahan Siti Hajar saat seorang saja di padang pasir mengharap mata air. Karena kita dipercaya mengada sebagai penanda ada harapan di sana, untuk kembali dengan muka yang berseri. Maka teruslah kau baca Kalam itu, yang akan menunjungmu apa-apa yang tak kau tahu.

Hari ini, sebelum kukeringkan darah pada tubuhku pun tubuhmu, dengarkan panggilan yang lebih merdu dari requiem di kastil-kastil purba. Bersaksilah sebelum kau saksikan kesaksian yang lain. Adalah yang Mahabesar yang akan menaungi seluruh waktu kita. Dia yang menguasai hidup dan mati manusia. Dari-Nya kita bermula, dan kepada-Nya kita akan menyerahkan kembali seluruh yang diberikannya-Nya. Tiadalah selain Dia yang mengatur hidup kita, yang menguasai alam raya, juga tiap-tiap hewan melata yang ada di ceruk maya pada. Sempurnakan kesaksianmu duhai, Cintaku. Jaga kesaksian itu hingga tak lagi ada denyut di nadimu.

Tak akan kuangkat kau dari tempat tibamu. Dengarkanlah suara itu, yang mengajakmu bersyahadah pada manusia agung yang menjadi pilihan Rabb-mu. Dia manusia yang termaktub pada lembar suci, yang akan memberi pertolongan pada pengikutnya di hari saat manusia tak bisa saling menolong. Maka ikutilah dia, yang membawamu pada keselamatan.

Duhai makhluk suci? Ikutilah ajakan untuk menyembah Tuhanmu. Ajakan yang akan bergaung pada seluruh waktu yang dipinjamkan padamu. Maka kan kau tuai kemenangan dalam hidupmu. Anakku, itulah suara kesaksian pertama yang kau dengar dari laki-laki muasalmu. Jadikan pewarna darah yang mengalir di tubuhmu, hadirkan pada setiap tarikan nafasmu.

Kini kusimak tangismu, penanda kehidupan, pecah menembus hening malam. Aku tahu, kau belum mengenal irama, tapi rima yang kau perdengarkan melampaui pesona canang. Aku tak akan memeluk untuk mendiamkanmu, hingga kau redakan suara magismu. Kan kusimak baik-baik rautmu yang penuh keajaiban, dengan pesona Ilahiyat tak terbantah. Perlahan tangis itu reda, hingga kau diam gematar. Tangan mungilmu membuka genggam dengan sangat pelan. Matamu mencari cahaya. Bibirmu memanggil sumber kehidupan. Adalah aku tak sabar merengkuhmu, mendekapmu pada detak jantung yang akan selalu mengeja namamu. n


Lampung Post, Minggu, 4 November 2012