Cerpen Tarpin A. Nasri
SYUKUR bukan baru kemarin memeluk Islam dan bukan baru kemarin pula menjalankan ibadah puasa. Akan tetapi, untuk puasa tahun ini, tampaknya Syukur benar-benar ingin puasanya diterima Allah swt. Syukur menginginkan puasanya tak hanya dapat lapar dan dahaga. Tentulah sia-sia puasa yang dikerjakan sejak terbit fajar sampai matahari tenggelam kalau hanya mendapatkan lapar dan dahaga.
"Seminggu menjelang datangnya bulan suci Ramadan, saya sudah siap-siap menyongsongnya dengan riang gembira, tulus, dan ikhlas. Fisik dan mental pun sudah saya siapkan untuk menjalani serangkaian ibadah lain di bulan suci Ramadan ini, Pak Ustaz," ujarnya kepadaku.
Aku tersenyum menyambut semangat Syukur, yang selama ini orang mengenalnya sebagai bocah brengsek, anak rusak, jagoan kampung, preman desa, anak prapatan, dan ahli molimo—mabok, maling, madon. Karena Syukur mulai insaf, kampung kami jadi aman dan tenteram.
Aku juga sudah tak mendengar lagi kabar tentang kelompok Syukur yang mabuk-mabukan di poskamling, tak terdengar lagi ada pencurian, tak terlihat lagi ada orang dipalak dan tak tersiar lagi anak perawan atau janda bunting tanpa ketahuan siapa pejantannya. Pesta hajatan dengan dangdut dan organ juga sepi dari ajang mabuk-mabukan dan perkelahian dengan senjata tajam atau pecahan botol. Insafnya Syukur disambut syukur, gembira, dan terima kasih.
"Supaya puasa Mas Syukur diterima oleh Allah, tolong jauhi segala larangan Allah agar hal-hal yang membatalkan pahala puasa bisa dihindari," kataku.
"Iya, Pak Ustaz," jawabnya. "Tapi puasa yang membuahkan amal yang bisa diterima langsung oleh Allah itu berat ya, Pak Ustaz?"
"Beratnya di mana?" sambutku kalem. "Kan Mas Syukur sudah menyiapkan diri secara fisik dan mental sebelum puasa itu datang?"
"Kalau sekadar menahan makan dan minum masih bisa saya kerjakan, Pak Ustaz. Tapi..." ujarnya tak lanjut.
"Tapi apa, Mas Syukur?"
Syukur hanya tersenyum. Maka aku angkat bicara, "Setelah melaksanakan ibadah wajib, seperti sholat, atau bila tidak ada yang harus dikerjakan lagi, demi untuk menjaga lisan atau ucapan, juga menjaga telinga dan menjaga mata, sebaiknya Mas Syukur tidur saja, atau membaca Alquran."
Syukur mengangguk setuju dan aku menambahkan lagi, "Bila malam, daripada begadang di pos ronda, main gitaran, menggoda janda, dan mengencani wanita bersuami yang ditinggal merantau, lebih baik tadarus di musala atau berserah diri mohon ampunan Tuhan," kataku.
"Anu lo, Pak Ustaz. Saya kan belum bisa ngaji, Pak Ustaz?" katanya malu-malu.
"Mendengarkan orang mengaji sambil terus belajar, pahalanya sama dengan yang mengaji, sama dengan yang tadarus, sama dengan yang baca Alquran," ujarku.
Aku masih dengan sabar mendengarkan apa yang mau diomongkan Syukur.
"Satu lagi Pak Ustaz," pintanya.
"Apa?" jawabku.
"Kalau melihat wanita cantik, manis, seksi dan montok bisa membatalkan puasa ya, Pak Ustaz?"
"Tuhan memberi karunia mata kepada kita untuk melihat. Wanita yang seperti itu boleh dilihat bila tak sengaja. Yang tak boleh itu, setelah dilihat dimasukin ke hati untuk kemudian... maaf, dibayangkan bagaimana enaknya bila dinikmati. Itu yang tak boleh dan bisa membatalkan pahala puasa."
***
SEJAK itu, Syukur memang banyak berubah. Setiap datang waktu salat lima waktu aku sering ketemu di musala, dan waktu salat Jumat juga aku sering jumpa. Pas buka puasa bersama di masjid kampung, Syukur ada di sana.
Untuk tidak kembali ke masa lalunya, aku ada pemikiran untuk mengajak Syukur bekerja. Sejak kuselamatkan dari kemungkinan dihakimi dan dibakar massa ketika Syukur tertangkap tangan mencuri motor di kampung tetanggaku, Syukur memang berubah dan nurut kepadaku.
"Ini maaf lo, Mas Syukur," kataku hati-hati sekali. "Orang hidup itu tak melulu salat atau puasa lo."
"Maksudnya?" sambutnya.
"Mas Syukur kan masih muda, pasti mau nikah, pasti ingin punya baju dan sepatu baru, pasti ingin punya motor dan suatu saat Mas Syukur juga harus pisah dari orang tua kan?" ujarku.
"Semua itu benar Pak Ustaz," sambutnya.
"Jadi Mas Syukur mulai sekarang harus mulai berpikir untuk bekerja," tegasku.
"Kerja apa ya, Pak Ustaz? Saya cuma lulusan SMP," jawabnya dengan muka bingung.
Aku tersenyum. "Kalau kerja di toko material dan bangunan milik saya bagaimana?"
"Saya ini bekas orang enggak beres lo, Pas Ustaz? Apa Pak Ustaz percaya sama saya?"
"Mas Syukur menjadi orang tak beres kan dulu," jawabku. "Sekarang Mas Syukur sudah jadi orang beres kok. Percayalah."
"Tapi cap itu enggak mudah terhapus begitu saja lo, Pak Ustaz. Masyarakat belum percaya dan diam-diam masih menghukum saya dengan kecurigaan-kecurigaan mereka."
"Inilah kesempatan yang baik buat Mas Syukur untuk membuktikan diri bahwa Mas Syukur itu bisa dipercaya, tak perlu dicurigai, tak perlu dihukum diam-diam, dan yang terpenting, Mas Syukur juga bisa jadi orang baik."
Syukur diam sejenak. Ada cairan bening yang mengembang di kelopak matanya, yang kemudian berubah jadi butiran yang menggelinding membuat anak sungai di pipinya.
"Kok Pak Ustaz tak menghukum saya seperti mereka? Kok Pak Ustaz tak menghakimi saya? Kok Pak Ustaz enggak melecehkan saya? Kok Pak Ustaz tak menghina saya? Kok Pak Ustaz mempercayai saya? Kok Pak Ustaz enggak menjauhi saya? Kok Pak Ustaz tak alergi dengan saya?"
Aku tak mau menjawab pertanyaannya. Aku malah menghadiahi Syukur senyuman.
"Besok sudah bisa kerja kan, Mas Syukur?"
***
SYUKUR ternyata rajin bekerja, jujur, dan ramah melayani pembeli. Lambat laun banyak juga orang yang mulai percaya dan suka dengan pelayanannya. Syukur orangnya ringan tangan, sehingga sering dapat uang persenan dari pengembalian belanjaan.
Dua minggu setelah Syukur kerja, aku menyerahkan pengelolaan toko material dan bangunan itu kepadanya tanpa sedikit pun takut uangku sebagaian di-tilep atau dibawa lari olehnya. Benar saja, sebulan kemudian aku diserahi setumpuk uang pecahan ribuan, dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, dan dua puluh ribuan, jumlahnya berapa aku tak menghitungnya.
"Ini uang apa, Mas Syukur?" tanyaku.
"Dikasih pembeli, Pak Ustaz."
"Kok dikasihkan ke saya? Maksudnya apa ya?"
"Saya bingung uang itu milik saya atau milik toko Pak Ustaz? Saya kan sekarang kerja dengan Pak Ustaz?"
Benar kan? Aku yakin Syukur jujur dan bisa dipercaya. Akan tetapi, setelah setengah tahun Syukur kerja dan dan anak sulungku, Herlina Kusuma Wardhani, kelihatan mulai dekat dan tertarik dengan Syukur, Syukur jadi sering gelisah. Bahkan, ketika Herlina semakin terang-terangan menunjukkan minatnya, Syukur langsung minta berhenti bekerja. Karuan aku kaget.
"Kenapa minta berhenti? Apa Mas Syukur sudah dapat pekerjaan yang lebih baik dengan upah yang lebih bagus? Kalau itu alasannya, saya setuju Mas Syukur berhenti kerja di tempat saya. Bagaimana?"
"Saya enggak ada pilihan pekerjaan lain, Pak Ustaz," jawabnya. "Tapi ini semua karena saya menghormati Pak Ustaz dan keluarga. Saya enggak mau kurang ajar, dan tak mau disebut orang yang tak tahu diri, apalagi tak mengerti balas budi. Pak Ustazlah yang menyelamatkan saya dan telah meng-uwongke saya seperti ini."
"Maksudmu apa, Mas Syukur?" tanyaku.
Syukur diam sejenak. "Ini ada kaitannya dengan putri Pak Ustaz, Herlina," ujarnya dengan berat hati-hati.
"Kenapa dengan putri saya itu, Mas Syukur?" tanyaku pura-pura tak tahu.
Syukur tak menjawab, tetapi Syukur memberikan amplop kepadaku yang diambil dari saku bajunya. "Saya tak mau membalas air susu yang Pak Ustaz berikan ke saya dengan air tuba. Saya sadar dan tahu diri, saya ini bekas ahli mabuk, ahli maling, ahli madon, preman, dan sampah masyarakat. Saya enggak mau menaburkan aib ke muka Pak Ustaz dan keluarga. Herlina terlalu suci untuk saya dan saya menghormati Pak Ustaz."
***
SEJAK itu Syukur berhenti bekerja dan kudengar berhasil membeli beberapa puluh ekor kambing dari hasilnya bekerja denganku. Bahkan, kudengar dia juga berternak ikan lele, dibantu teman-teman yang dulu jadi komplotannya.
Ketika aku butuh kambing untuk kurban, aku menemuinya sekalian untuk Herlina yang begitu kuat mencintai Syukur. Ditinggal Syukur, Herlina sampai mogok makan dan mogok bicara.
Aku membeli dua ekor kambing dan dipilihkannya yang paling gemuk dan paling sehat, hanya ketika bicara harga Syukur kebingungan bukan main. "Ini kambing terbaik dan tersehat yang saya punya, Pak Ustaz. Dulu waktu saya beli kambing ini sakit-sakitan, kudisan, dan kurus dengan harga beli Rp250 ribu. Jadi, sekarang terserah Pak Ustaz mau ngasih keuntungan saya berapa? Berapa pun keuntungan untungannya saya ikhlas menerimanya, Pak Ustaz."
Aku juga sudah tahu harga kambing yang pantas dan sewajarnya itu berapa, akan tetapi urusan yang terpenting sejatinya adalah yang menyangkut Herlina. "Mas Syukur mbok sekali-kali buka puasa di rumah? Herlina memasakkan pepes ikan mas kesukaanmu lho."
Syukur diam. Wajahnya penuh warna. Ada rona bingung dan tak percaya. Akan tetapi kulihat ada sekelebat bahagia.
"Kasihan Herlina yang sudah payah-payah belanja dan sudah masak susah-susah untukmu," godaku seraya melanjutkan. "Kalau Mas Syukur tak ke rumah, nanti dia kecewa berat lo."
"Janganlah karena nila setitik dari saya, maka rusaklah susu sebelanga Pak Ustaz dan keluarga," ujar Syukur. "Dalam hal ini nama baik dan kehormatan Pak Ustaz sangat saya jaga," lanjutnya.
"Bila Mas Syukur tidak rindu kembali ke masa lalu, kupikir tak ada masalah," jawabku enteng saja.
"Kalau soal itu sih saya sedang menuju tobat yang setobat-tobatnya, Pak Ustaz," tegasnya.
"Kalau begitu tak ada masalah dong, Mas Syukur?" tantangku.
Syukur tak menjawab. Kubiarkan Syukur berpikir. Akhirnya Syukur mengajukan pertanyaan, "Boleh saya mengajukan satu pertanyaan, Pak Ustaz?"
Aku mengangguk tulus disertai senyum yang tulus, arif, dan teduh.
"Apa Pak Ustaz tidak malu, tidak merasa turun derajat dan tidak merasa kotor kehormatan dengan mengambil mantan pemabuk, bekas pemaling, dan mantan pe-madon, bekas preman, mantan orang enggak genah, bekas orang rusak, dan bekas sampah masyarakat untuk Herlina yang suci, beriman, bertakwa, dan solehah?" tanyanya.
"Herlina akan membantu menuntunmu menuju jalan yang diridai Allah, dan akan mengingatkanmu untuk tidak tergiur menapaki jalan yang dilarang Allah," ujarku.
Jika aku terharu dengan apa yang dikerjakan Syukur, itu bukan karena Syukur mencium tanganku dengan simbahan air mata haru dan bahagia, tetapi karena Syukur benar-benar telah kembali ke jalan yang benar.
DAN pada ramadan tahun ini aku telah berkenan menghadiahkan kado istimewa untuk Syukur, karena Syukur telah kembali kepada kefitrian dengan taubatan nasuha, yakni tobat yang sebenar-benarnya tobat. Untuk semua itu, aku kira Herlina pantas sekali untuk mendampingi Syukur.
Keyakinanku tak meleset secuil pun, Herlina hidupnya tenang, nyaman, damai, bahagia, dan sejahtera di tangan seorang imam dan kepala rumah tangga yang bertanggungjawab siang-malam, lahir-batin, dan dunia-akhirat, yang kemudian kutambahi namanya menjadi Muhammad Syukur Abdullah.
Lampung Timur, Agustus 2011
Lampung Post, Minggu, 28 August 2011
Sunday, August 28, 2011
Sunday, August 21, 2011
Sanca Colmar
Cerpen Tova Zen
KENANGANKU membayang saat aku duduk di bangku dipan yang reot dan beradu denting dengan keroncongan perutku ini. Lapar terus saja memilin lambung untuk segera diasupi makanan. Nasi basi yang kemarin ibu hidangkan telah kering menjadi rengginang, ampiyang, dan cengkaruk. Kurobek ingatanku saat menginjak air mata ibu di subuh hari.
Kemarin subuh aku digebuk sulur rotan. Ibuku menangis. Mataku menyalak merah. Kuinjak-injak air mata ibuku. Itu kemarin, dan sekarang aku menyesal dalam lapar.
"Ibu, aku ingin mengusap derai air matamu," bisikku lirih sambil meremas-remas dada kiriku. Rasanya jantungku sakit. Rasa sakit yang terus saja meremas jantungku dalam debar kedurhakaan. Sakit kurasakan karena aku telah menginjak air mata ibu. Bagaimana mungkin aku menghapus air mata ibu? Saat tanganku mencoba menggapai runtuhnya ceruk air mata dalam rinai tangis, justru sambaran rotan menampar pedas tangan dan punggungku hingga merah lalu menghitam.
"Bu, sudah, Bu. Ampun Bu. Aku hanya memasak daging untuk lauk Ibu...."
"Daging apa yang kau masak, Jenitri? Kenapa ada buntut ular di pawon?"
"Ular sanca lurik kembang di depan rumah, Bu."
Mata ibu tiba-tiba mendelik kejut. Nanar. Bergurat urat merah. Marah! Aku hanya gemetar di sudut pandang ibu yang terpojok. Ibu lunglai dalam deru alam bawah sadar. Pingsan.
Sekarang aku masih mengenang kubangan memori masa kecilku. Kubangan pahit rasa hidup miskin dan takhayul aneh tentang ular kesayangan ibuku itu. Lihat saja tingkah ibu yang kian hari kian terajut nostalgia bersama ular sanca yang bergelayut di dahan pohon beringin belakang gubuk rumah.
Bukan aku tak sayang pada binatang. Bukan! Bukan pula aku jijik terhadap hewan melata itu. Aku hanya pilu saat ibu bercerita bahwa ular itu adalah ular dari Colmar, kota tempat ayahku dilahirkan.
Aku benci cangkang daging yang menutupi tubuhku. Jelas sekali aku terlahir dari percampuran ras yang berbeda. Rambutku merah madu, tidak sehitam gerai rambut ibu. Mataku cokelat muda, tidak segelap iris mata ibu. Aku terkucil. Aku tersudut. Kawan-kawanku mengejek bahwa aku anak penjajah. Londo wedok.
Pernah aku menangis menggerung-gerung di bawah pohon beringin tua itu. Macam belati yang menusuk hati, saat aku diseret dalam sebuah interogasi.
"Hey!! Londo wedok! Pergilah sana dari buminya orang pribumi. Nista, aku melihat anak penjajah seperti kau."
Salah apa aku? Kenapa aku harus pergi? Lantas aku harus pergi ke mana dalam perang yang petang pun masih berkecamuk. Sebuah agresi militer brutal telah meluluhlantahkan tanah Jawa. Begitu pula hatiku yang diluluhlantahkan oleh prasangka. Barulah aku tahu, aku adalah titisan serdadu sekutu yang pernah mengawini ibu.
Aku lari ke pelosok terpencil dari kejaran orang-orang kampung. Hidupku kian menyiksa. Lapar acap meremas lambung. Sekarung beras yang ibu bawa dalam pelarian kami kini harus dimasak berkali-kali dengan sangat irit. Aku hanya memakan beberapa suap nasi tanpa seonggok lauk pun. Tubuhku jadi kurus kerontang hanya dalam hitungan bulan. Miris sekali, bahkan nasi basi bisa menjadi santap untuk esok hari.
Ibuku sakit. Ceruk matanya membiru lebam karena letihnya hidup di gubuk belantara dalam pengasingan. Jelas ibu kurang gizi dan nutrisi. Kabur dari pengasingan berarti masuk dalam perang. Agresi Militer Belanda, aku kenang peristiwa itu dalam koyak derita hidupku. Tercerai dari kaum yang bukan penjajah dan bukan pula titisan pribumi asli. Aku hidup dalam tubuh berwadak percampuran ras. Tidak cokelat dan juga tidak merah jambu dalam susunan kulit epidermisku. Siapa yang bisa mengerti isi kelamnya hatiku?
Oh! Ular. Bukan maksudku untuk berani memotong-motong tubuh panjangmu agar ibu bisa berlaukkan daging saat makan. Sungguh lezat tubuhmu saat itu. Rasa gurihmu lebih dari sekadar kaviar di atas omlet yang di suguhkan bersama Chateau Mouton Rothschild.
Tak bisa aku mengerti saat ibu sadari telah aku bakar ular sanca lurik kembang menjadi lauk bersama nasi basi. Jangan salahkan aku yang telah membunuh sanca itu. Aku hanya ingin ibu sehat. Selebihnya apa peduliku dengan hewan melata itu.
Kuremas kembali kenanganku sambil menyusuri jalanan pedestrian taman-taman khas Prancis untuk kembali terbang dan hanyut bersama ibu saat aku bunuh ular sanca itu. Musim panas di sini kadang tak bersahabat. Langit begitu pucat. Rinai hujan yang turun menambah muram. Semuram rasa hatiku yang mengenag ibu dan sanca lurik kembang itu. Di Kota Colmar ini warna-warni langit kian tak terpudarkan.
Kutarik napas dalam sambil menatap bangunan bersejarah Maison des Tates yang dibangun awal abad ke-17. Gereja-gereja tua Kota Colmar juga menambah syahdu rindunya kenangan terhadap ibu.
"Ular itu adalah pemberian ayahmu, Nak. Dulu saat ibu bertemu dengan ayahmu di hilir sungai, ayahmu menolong ibu dari belitan ular sanca. Ayahmu tembakkan pelor yang melubangi kepala ular itu hingga terkapar mati. Ayahmu lalu menangis di saat aku berterima kasih atas pertolongannya dengan tutur bahasaku yang tak mungkin ia mengerti karena ia adalah serdadu sekutu."
"Lalu kenapa ayah menangis, Bu?" tanyaku ringan sambil mengusap rinai air mata ibu yang bergelimangan di pipinya. Ibu mengecup pipi gembil merah jambuku, sambil mengelus pundakku yang memar akibat sabetan sulur rotan.
"Ayahmu menyesal, Nak."
"Kenapa ayah mesti menyesal menolong ibu?"
"Ayahmu menyesal telah membunuh ular sanca itu. Aku melihatnya gemetar saat memegang senapan dan memuntahkan pelornya. Ayahmu memang sedadu sekutu, Nak. Tapi ia bukan tentara yang bengis menembak musuh. Ayahmu hanya seorang dokter kapal yang sedikit sekali kepahamannya tentang perang. Apalah kiasan itu semua, toh ayahmu tetaplah dipersenjatai layaknya serdadu."
"Kenapa Ibu harus marah saat aku bakar ular itu untuk lauk Ibu yang sedang sakit? Kenapa, Bu? Kenapa Ibu pukul aku dengan rotan."
Ibuku tak menjawab. Ia hanya menangis sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan jemarinya. Aku ikut menangis sambil memeluk tubuh ibuku yang kurus dan cekung. Tubuhku diapitnya, kepalaku menyeruduk di cekungan dada ibu yang kering.
"Ular yang kau bakar itu adalah ular yang ayahmu bawa dari Colmar. Ya, kota di Eropa sana, Nak. Ibu tak tahu apa itu Eropa. Ibu tahu bahwa ayahmu menyelamatkan anak ular dari induk sanca yang ia bunuh saat menolong ibu. Ayahmu mengatakan pada ibu akan berangkat ke Colmar untuk melawan Nazi di Strasbourg sambil membawa ular itu. Dalam kurun setahun ayahmu kembali lagi menemui ibu, katanya Colmar dikuasi tentara Nazi. Kau tahu, ibu sedang mengandungmu saat ayahmu kembali pada ibu. Tapi ayahmu justru tewas saat bertempur melawan tentara sipit dari Nippon. Hanya ular itu yang ibu rawat sebagai kenangan terhadap ayahmu."
Suara ibu kian lemah. Akhirnya tenaga ibu habis dan ia terdiam kembali sambil memelukku lemah. Ibu mencoba untuk berbicara tapi silir napasnya kian berat kurasakan hembusannya. Ibu memeluk tubuhku dengan lemah, dan matanya menutup untuk selama-lamanya.
Aduh ibu! Kenapa ibu tinggalkan aku. Bagaimana aku harus menganyam rajutan hidupku tanpamu. Aku hanya menangis menggerung-gerung sambil menggoyangkan tubuh mati ibuku supaya kembali hidup. Apa yang bisa kupahami dari rasa sedih yang mendalam ini? Air mataku terus membanjir keluar. Penyesalanku yang telah membunuh ular sanca terus mencabik-cabik rasa batinku. Kalau saja aku tak membunuh sanca itu untuk lauk ibu, mungkin ibu tak mati karena shock. Perihnya hatiku kini lebih perih melebihi sabetan rotan ibu. Aku benar-benar dirundung kabung. Sementara perang di luar sana terus membumbung.
Aku pergi dari belantara pengasingan dengan terseok-seok setelah mengubur jasad ibu. Bunyi desing mortir masih terus membahana di udara. Aku hanya butuh penyatuan. Aku hanya butuh belas kasih. Dan aku akan pergi ke kota ayahku di lahirkan, Colmar.
Aku memang gadis cilik yang terasing dari gilasan perseteruan dalam perang antarmanusia, yang tak bisa aku pahami dalam otak masa kecilku. Aku akan berlayar menuju Colmar bersama para warga Belanda. Memohon dengan belas kasih untuk ikut bersama mereka yang juga terusir dari negeri yang kini telah merdeka.
Hanya pola pikir yang luas mampu memiliki gaya yang mahal. Selebihnya tak. Memang benar aku punya pola pikir yang mahal dalam segala hal, baik gaya hidup maupun prinsip hidup. Akan tetapi tubuhku selalu kotor.
Namaku sekarang bukan Jenitri, tapi Sanca Colmar yang menggeliat-geliat di sudut kota sambil menikmati Bellini.
Lihatlah ibu, dulu kau adalah seorang istri simpanan yang selalu mengenang suamimu. Ayahku. Sekarang aku istri dunia malam yang menembangkan nyanyian kasih di dalam klub malam. Menggeliat bagai sanca dalam mengais anyaman hidup, sendiri tanpamu.
Aku akan menikah. Pasti. Tentu saja dengan pria penyuka ular sebagai tanda sesal jejak silamku saat membunuh sanca itu. Sekarang biarlah aku menggeliat sebagai Sanca Colmar. Aku rindu ibu. Tahukah ibu, kota ini menghasilkan banyak selai buah, keju serta anggur. Seandainya ibu hidup bersamaku, ibu akan menyecap makanan itu di kota kelahiran ayah ini. Ibu yang tenang di sana, jangan tanya pekerjaanku di sini. Jika ibu tahu, ibu pasti akan menangis dalam rinai hujan dan menggebukku dengan sabetan kilat petir.
Catatan:
Colmar: Kota kecil di Prancis sebagai penghasil anggur yang terletak 20 km dari perbatan Jerman-Prancis.
Rengginang, ampiyang, dan cengkaruk: Makanan dari nasi yang telah di keringkan kemudian digoreng, rasanya cukup renyah dari bulir-bulir nasi.
Pawon: Tungku tempat memasak dari bata/batu yang berbahan api dari kayu bakar.
Londo Wedok: Sempalan istilah orang pribumi Jawa yang menyebut perempuan keturunan Belanda/Eropa.
Strasborg: Kota di Jerman yang pernah dilalui tentara Nazi dalam menguasai Prancis dengan menuduki kota Colmar
Kaviar: Nama aslinya Khavyar berasal dari bahasa Turki, dan muncul pertama kali di Inggris tahun 1591. Disebut juga caviar, setelah orang Persia menyebutnya khag-avar yang berarti penghasil telur. Jadi, Kaviar punya artian sebagai makanan dari telur-telur ikan yang di hasilkan dari berbagai jenis ikan. Ikan penghasil telur ini disebut Sturgeon.
Chateau Mouthon Rothschild: Sejenis Wine yang dihasilkan dari tempat bernama sama yang terletak 50 km barat laut Bordeaux, Perancis.
Nippon: Bala tentara Jepang di masa Perang Dunia II
Hanya pola pikir yang luas mampu memiliki gaya yang mahal: Kutipan Stendhal, penulis Perancis (1783-1842).
Bellini: Racikan minuman Absolute Orange, Peach Liquer dan sparkling wine.
Lampung Post, Minggu, 21 Agustus 2011
KENANGANKU membayang saat aku duduk di bangku dipan yang reot dan beradu denting dengan keroncongan perutku ini. Lapar terus saja memilin lambung untuk segera diasupi makanan. Nasi basi yang kemarin ibu hidangkan telah kering menjadi rengginang, ampiyang, dan cengkaruk. Kurobek ingatanku saat menginjak air mata ibu di subuh hari.
Kemarin subuh aku digebuk sulur rotan. Ibuku menangis. Mataku menyalak merah. Kuinjak-injak air mata ibuku. Itu kemarin, dan sekarang aku menyesal dalam lapar.
"Ibu, aku ingin mengusap derai air matamu," bisikku lirih sambil meremas-remas dada kiriku. Rasanya jantungku sakit. Rasa sakit yang terus saja meremas jantungku dalam debar kedurhakaan. Sakit kurasakan karena aku telah menginjak air mata ibu. Bagaimana mungkin aku menghapus air mata ibu? Saat tanganku mencoba menggapai runtuhnya ceruk air mata dalam rinai tangis, justru sambaran rotan menampar pedas tangan dan punggungku hingga merah lalu menghitam.
"Bu, sudah, Bu. Ampun Bu. Aku hanya memasak daging untuk lauk Ibu...."
"Daging apa yang kau masak, Jenitri? Kenapa ada buntut ular di pawon?"
"Ular sanca lurik kembang di depan rumah, Bu."
Mata ibu tiba-tiba mendelik kejut. Nanar. Bergurat urat merah. Marah! Aku hanya gemetar di sudut pandang ibu yang terpojok. Ibu lunglai dalam deru alam bawah sadar. Pingsan.
Sekarang aku masih mengenang kubangan memori masa kecilku. Kubangan pahit rasa hidup miskin dan takhayul aneh tentang ular kesayangan ibuku itu. Lihat saja tingkah ibu yang kian hari kian terajut nostalgia bersama ular sanca yang bergelayut di dahan pohon beringin belakang gubuk rumah.
Bukan aku tak sayang pada binatang. Bukan! Bukan pula aku jijik terhadap hewan melata itu. Aku hanya pilu saat ibu bercerita bahwa ular itu adalah ular dari Colmar, kota tempat ayahku dilahirkan.
Aku benci cangkang daging yang menutupi tubuhku. Jelas sekali aku terlahir dari percampuran ras yang berbeda. Rambutku merah madu, tidak sehitam gerai rambut ibu. Mataku cokelat muda, tidak segelap iris mata ibu. Aku terkucil. Aku tersudut. Kawan-kawanku mengejek bahwa aku anak penjajah. Londo wedok.
Pernah aku menangis menggerung-gerung di bawah pohon beringin tua itu. Macam belati yang menusuk hati, saat aku diseret dalam sebuah interogasi.
"Hey!! Londo wedok! Pergilah sana dari buminya orang pribumi. Nista, aku melihat anak penjajah seperti kau."
Salah apa aku? Kenapa aku harus pergi? Lantas aku harus pergi ke mana dalam perang yang petang pun masih berkecamuk. Sebuah agresi militer brutal telah meluluhlantahkan tanah Jawa. Begitu pula hatiku yang diluluhlantahkan oleh prasangka. Barulah aku tahu, aku adalah titisan serdadu sekutu yang pernah mengawini ibu.
Aku lari ke pelosok terpencil dari kejaran orang-orang kampung. Hidupku kian menyiksa. Lapar acap meremas lambung. Sekarung beras yang ibu bawa dalam pelarian kami kini harus dimasak berkali-kali dengan sangat irit. Aku hanya memakan beberapa suap nasi tanpa seonggok lauk pun. Tubuhku jadi kurus kerontang hanya dalam hitungan bulan. Miris sekali, bahkan nasi basi bisa menjadi santap untuk esok hari.
Ibuku sakit. Ceruk matanya membiru lebam karena letihnya hidup di gubuk belantara dalam pengasingan. Jelas ibu kurang gizi dan nutrisi. Kabur dari pengasingan berarti masuk dalam perang. Agresi Militer Belanda, aku kenang peristiwa itu dalam koyak derita hidupku. Tercerai dari kaum yang bukan penjajah dan bukan pula titisan pribumi asli. Aku hidup dalam tubuh berwadak percampuran ras. Tidak cokelat dan juga tidak merah jambu dalam susunan kulit epidermisku. Siapa yang bisa mengerti isi kelamnya hatiku?
Oh! Ular. Bukan maksudku untuk berani memotong-motong tubuh panjangmu agar ibu bisa berlaukkan daging saat makan. Sungguh lezat tubuhmu saat itu. Rasa gurihmu lebih dari sekadar kaviar di atas omlet yang di suguhkan bersama Chateau Mouton Rothschild.
Tak bisa aku mengerti saat ibu sadari telah aku bakar ular sanca lurik kembang menjadi lauk bersama nasi basi. Jangan salahkan aku yang telah membunuh sanca itu. Aku hanya ingin ibu sehat. Selebihnya apa peduliku dengan hewan melata itu.
Kuremas kembali kenanganku sambil menyusuri jalanan pedestrian taman-taman khas Prancis untuk kembali terbang dan hanyut bersama ibu saat aku bunuh ular sanca itu. Musim panas di sini kadang tak bersahabat. Langit begitu pucat. Rinai hujan yang turun menambah muram. Semuram rasa hatiku yang mengenag ibu dan sanca lurik kembang itu. Di Kota Colmar ini warna-warni langit kian tak terpudarkan.
Kutarik napas dalam sambil menatap bangunan bersejarah Maison des Tates yang dibangun awal abad ke-17. Gereja-gereja tua Kota Colmar juga menambah syahdu rindunya kenangan terhadap ibu.
"Ular itu adalah pemberian ayahmu, Nak. Dulu saat ibu bertemu dengan ayahmu di hilir sungai, ayahmu menolong ibu dari belitan ular sanca. Ayahmu tembakkan pelor yang melubangi kepala ular itu hingga terkapar mati. Ayahmu lalu menangis di saat aku berterima kasih atas pertolongannya dengan tutur bahasaku yang tak mungkin ia mengerti karena ia adalah serdadu sekutu."
"Lalu kenapa ayah menangis, Bu?" tanyaku ringan sambil mengusap rinai air mata ibu yang bergelimangan di pipinya. Ibu mengecup pipi gembil merah jambuku, sambil mengelus pundakku yang memar akibat sabetan sulur rotan.
"Ayahmu menyesal, Nak."
"Kenapa ayah mesti menyesal menolong ibu?"
"Ayahmu menyesal telah membunuh ular sanca itu. Aku melihatnya gemetar saat memegang senapan dan memuntahkan pelornya. Ayahmu memang sedadu sekutu, Nak. Tapi ia bukan tentara yang bengis menembak musuh. Ayahmu hanya seorang dokter kapal yang sedikit sekali kepahamannya tentang perang. Apalah kiasan itu semua, toh ayahmu tetaplah dipersenjatai layaknya serdadu."
"Kenapa Ibu harus marah saat aku bakar ular itu untuk lauk Ibu yang sedang sakit? Kenapa, Bu? Kenapa Ibu pukul aku dengan rotan."
Ibuku tak menjawab. Ia hanya menangis sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan jemarinya. Aku ikut menangis sambil memeluk tubuh ibuku yang kurus dan cekung. Tubuhku diapitnya, kepalaku menyeruduk di cekungan dada ibu yang kering.
"Ular yang kau bakar itu adalah ular yang ayahmu bawa dari Colmar. Ya, kota di Eropa sana, Nak. Ibu tak tahu apa itu Eropa. Ibu tahu bahwa ayahmu menyelamatkan anak ular dari induk sanca yang ia bunuh saat menolong ibu. Ayahmu mengatakan pada ibu akan berangkat ke Colmar untuk melawan Nazi di Strasbourg sambil membawa ular itu. Dalam kurun setahun ayahmu kembali lagi menemui ibu, katanya Colmar dikuasi tentara Nazi. Kau tahu, ibu sedang mengandungmu saat ayahmu kembali pada ibu. Tapi ayahmu justru tewas saat bertempur melawan tentara sipit dari Nippon. Hanya ular itu yang ibu rawat sebagai kenangan terhadap ayahmu."
Suara ibu kian lemah. Akhirnya tenaga ibu habis dan ia terdiam kembali sambil memelukku lemah. Ibu mencoba untuk berbicara tapi silir napasnya kian berat kurasakan hembusannya. Ibu memeluk tubuhku dengan lemah, dan matanya menutup untuk selama-lamanya.
Aduh ibu! Kenapa ibu tinggalkan aku. Bagaimana aku harus menganyam rajutan hidupku tanpamu. Aku hanya menangis menggerung-gerung sambil menggoyangkan tubuh mati ibuku supaya kembali hidup. Apa yang bisa kupahami dari rasa sedih yang mendalam ini? Air mataku terus membanjir keluar. Penyesalanku yang telah membunuh ular sanca terus mencabik-cabik rasa batinku. Kalau saja aku tak membunuh sanca itu untuk lauk ibu, mungkin ibu tak mati karena shock. Perihnya hatiku kini lebih perih melebihi sabetan rotan ibu. Aku benar-benar dirundung kabung. Sementara perang di luar sana terus membumbung.
Aku pergi dari belantara pengasingan dengan terseok-seok setelah mengubur jasad ibu. Bunyi desing mortir masih terus membahana di udara. Aku hanya butuh penyatuan. Aku hanya butuh belas kasih. Dan aku akan pergi ke kota ayahku di lahirkan, Colmar.
Aku memang gadis cilik yang terasing dari gilasan perseteruan dalam perang antarmanusia, yang tak bisa aku pahami dalam otak masa kecilku. Aku akan berlayar menuju Colmar bersama para warga Belanda. Memohon dengan belas kasih untuk ikut bersama mereka yang juga terusir dari negeri yang kini telah merdeka.
Hanya pola pikir yang luas mampu memiliki gaya yang mahal. Selebihnya tak. Memang benar aku punya pola pikir yang mahal dalam segala hal, baik gaya hidup maupun prinsip hidup. Akan tetapi tubuhku selalu kotor.
Namaku sekarang bukan Jenitri, tapi Sanca Colmar yang menggeliat-geliat di sudut kota sambil menikmati Bellini.
Lihatlah ibu, dulu kau adalah seorang istri simpanan yang selalu mengenang suamimu. Ayahku. Sekarang aku istri dunia malam yang menembangkan nyanyian kasih di dalam klub malam. Menggeliat bagai sanca dalam mengais anyaman hidup, sendiri tanpamu.
Aku akan menikah. Pasti. Tentu saja dengan pria penyuka ular sebagai tanda sesal jejak silamku saat membunuh sanca itu. Sekarang biarlah aku menggeliat sebagai Sanca Colmar. Aku rindu ibu. Tahukah ibu, kota ini menghasilkan banyak selai buah, keju serta anggur. Seandainya ibu hidup bersamaku, ibu akan menyecap makanan itu di kota kelahiran ayah ini. Ibu yang tenang di sana, jangan tanya pekerjaanku di sini. Jika ibu tahu, ibu pasti akan menangis dalam rinai hujan dan menggebukku dengan sabetan kilat petir.
Catatan:
Colmar: Kota kecil di Prancis sebagai penghasil anggur yang terletak 20 km dari perbatan Jerman-Prancis.
Rengginang, ampiyang, dan cengkaruk: Makanan dari nasi yang telah di keringkan kemudian digoreng, rasanya cukup renyah dari bulir-bulir nasi.
Pawon: Tungku tempat memasak dari bata/batu yang berbahan api dari kayu bakar.
Londo Wedok: Sempalan istilah orang pribumi Jawa yang menyebut perempuan keturunan Belanda/Eropa.
Strasborg: Kota di Jerman yang pernah dilalui tentara Nazi dalam menguasai Prancis dengan menuduki kota Colmar
Kaviar: Nama aslinya Khavyar berasal dari bahasa Turki, dan muncul pertama kali di Inggris tahun 1591. Disebut juga caviar, setelah orang Persia menyebutnya khag-avar yang berarti penghasil telur. Jadi, Kaviar punya artian sebagai makanan dari telur-telur ikan yang di hasilkan dari berbagai jenis ikan. Ikan penghasil telur ini disebut Sturgeon.
Chateau Mouthon Rothschild: Sejenis Wine yang dihasilkan dari tempat bernama sama yang terletak 50 km barat laut Bordeaux, Perancis.
Nippon: Bala tentara Jepang di masa Perang Dunia II
Hanya pola pikir yang luas mampu memiliki gaya yang mahal: Kutipan Stendhal, penulis Perancis (1783-1842).
Bellini: Racikan minuman Absolute Orange, Peach Liquer dan sparkling wine.
Lampung Post, Minggu, 21 Agustus 2011
Sunday, August 14, 2011
Kenangan dalam Bus
Cerpen Raudal Tanjung Banua
AKU merantau, seolah semuanya telah menjadi lampau. Tapi tidak. Semuanya baru dimulai ketika ingatanku terasa bangkit kembali di sepanjang jalan yang kulalui. Telah aku seberangi selat dan kulewati kota-kota, dalam sebuah bus tua yang berderak sepanjang jalan, sepanjang siang dan malam. Meskipun dioper bus tiga kali, tetap bus tua juga yang akhirnya membawa diriku dari kota ke kota.
Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, hari pertama aku menginjakkan kaki di luar pulau dan hari pertama aku “resmi” menjadi perantau. Perantau pemula. Hingga bertahun-tahun kemudian, ketika sesekali kurindui kampung-halaman, kenangan itu datang bagai dihantar bus tua yang menerobos begitu saja dinding-dinding ingatanku yang rawan.
Ya, tiap kali mengingat bus yang melaju, kenanganku berebut tumbuh. Pohon-pohon yang berlarian bagai kemunculan tangan-tangan yang pernah hilang dalam lambai, walaupun kusadari hanya sesaat. Tak pernah menemani ke mana aku pergi, karena satu per satu mesti tertinggal sepanjang perjalanan— di posisinya semula berdiri.
Seperti deretan Bukit Barisan yang semula seperti hendak memintas kepergianku, tapi perlahan tertutup kabut dan senja, akhirnya lenyap saat bus memasuki perbatasan. Meluncur lebih deras di jalan lintas Sumatera. Lalu berganti pohon-pohon karet yang tegar berderet sepanjang daratan Jambi, kemudian hilang berganti hamparan lahan transmigran selepas Lahat menjelang Lampung. Ah, semua menanti, semua dilewati, begitu fana!
Aku mendesah, ingin menumpahkan keluh-kesah, tapi entah pada siapa. Ya, pada siapakah aku harus berbagi, melepas beban yang mengimpit hati? Seorang perempuan setengah baya ada di sampingku, mukanya bulat dan rambutnya tersanggul besar. Bukankah ini Mak Gaek, orang yang paling tepat kuajak berbagi?
Ya, ya, Mak Gaek, orang yang paling mengerti dan selalu membantuku dalam kesulitan. Aku ingat ketika sekolah mengadakan kemah persahabatan ke Kamang, Bukittinggi, orang tuaku tidak bisa memberi biaya berangkat. Seperti biasa, aku datangi Mak Gaek, dan hari itu juga perempuan itu memanggil tukang beruk untuk memetik kelapa di kebun, dan sekadar iuran keberangkatan cukuplah. Begitulah Mak Gaek, selalu tanggap pada kesulitanku, kadang melebihi orang tuaku sendiri. Karenanya, pada Mak Gaeklah aku selalu datang untuk setiap urusan yang kusadari tak bisa teratasi di rumah. Maklum, adik-adikku juga butuh biaya ini-itu di sekolah, dan sebagai anak tertua aku sering mengalah.
Bahkan, ketika aku mengabarkan akan pergi, meninggalkan kampung dan memutuskan diri untuk pergi merantau, kusaksikan Mak Gaek tertegun. Perlahan ia gapai pundakku, dan berkata berat, "Untuk apa wa'ang ikut merantau? Tetaplah di kampung, wa’ang tak akan mati kelaparan."
Kau mungkin menduga, betapa cengengnya perempuan itu! Sebagai seorang tua ia pasti sudah tahu bahwa usia laki-laki Minang selalu berujung pada perantauan, dan akhirnya nanti kepulangan. Setinggi-tinggi terbang bangau, kata orang. Tapi tidak bagi perempuan itu. Dua anaknya sudah ia relakan pergi, ia lepas secara baik-baik sebagai perantau, tapi sampai kini tak pernah kembali.
"Dan kini wa'ang akan pergi, Kudal? Murad pergi, Ruben pergi...Dan ayek sekarang sakit..."
Sulit menjelaskan mengapa aku akhirnya juga mesti pergi. Kalau hanya buat hidup makan-minum, tanah tempat aku dilahirkan memang masihlah setia menumbuhkan tunas yang ditugal, memancarkan air di tiap pancuran. Tapi lihatlah, mata orang-orang memancarkan api, jika masih tetap bertahan di kampung tanpa kegiatan yang jelas. Dan lagi pula, hidupku tidak akan berada dalam tempurung kampung buat selama-lamanya...
Maka segeralah aku bergegas menuruni jenjang rumah Mak Gaek. Perempuan itu menarik ujung kebaya lusuhnya dan mencelupkan ke matanya yang sebak. Pula ditimpali batuk-batuk nenek yang terbaring sakit di dalam rumah. Ingin rasanya aku berbalik, tapi tidak. Hanya dari jarak jauh aku menatap Mak Gaek.
"Lho, kenapa, Den?"
Astaga, masih saja aku merasa Mak Gaek duduk di sampingku!
"Oh, maaf, Mbok, saya hanya ingin minta balsem," cepat aku berdalih.
"Monggo, pakai saja," perempuan yang duduk di sebelahku itu menyerahkan balsem. Aku menerimanya dan mulai berpura-pura menggosok tengkuk. Kuedar pandangan ke luar jendela bus yang melaju. Tiba-tiba semua terasa beku. Pohon-pohon, tiang listrik, tambak udang dan rumah-rumah pantai utara. Aku merasa terdampar ke negeri asing. Meskipun lewat sekeping papan nama di tepi jalan aku bisa membaca—Cirebon—tetap saja udara asin bergaram membuatku canggung.
Susah-payah kualihkan kembali pandangan ke dalam bus, kepada perempuan setengah baya itu. Sungguh, aku tidak bisa berpaling!
***
SESUNGGUHNYA, perempuan setengah baya yang duduk di sampingku waktu itu, juga tampak gelisah. Entah apa yang dipikirkannya. Sekali waktu, saat aku mencuri pandang padanya, perempuan bersanggul besar itu tampak sedang mengusap pipinya yang mulai keriput. Ingin aku bertanya, lebih dari sekadar berbasa-basi meminta balsem. Tapi tak berani pula. Terlebih sejak pertama kali kulihat perempuan itu persis Mak Gaek. Dan kadang, untuk menghibur hati di perjalanan, aku betul-betul mengandaikan perempuan itu sebagai Mak Gaekku. Tak lebih tak kurang. Lumayan membuatku sedikit tenang, sebab perempuan yang menyayangiku toh ikut bersamaku di bus yang melaju...
Tapi, siapa sebenarnya perempuan ini? Aku mulai bertanya-tanya sendiri. Di mana tadi ia naik? Seingatku, kami sudah bersama sejak dari Lampung, ketika aku dioper ke bus lain di Terminal Rajabasa. Memang masih bus dari jawatan yang sama. Dan ketika di Jakarta aku dioper ke bus DAMRI lainnya, entah kebetulan atau tidak, perempuan itu juga dioper dan tetap duduk sebangku dengan diriku. Ke manakah perempuan ini menuju? Kenapa hanya sendiri? Ke mana suami, anak atau ponakannya? Padahal perjalanannya cukup jauh. Sungguh, aku ingin tahu, tapi tetap tidak berani untuk sekadar bertanya dari mana hendak ke mana kepada perempuan itu.
Bus akhirnya berhenti di sebuah rumah makan di luar kota Cirebon. Para penumpang turun, mengaso dan makan. Sopir bus yang berkeringat tampak makan lebih awal, tanpa menunggu kernetnya yang memeriksa ban dan melap kaca depan. Aku ingin makan, tapi sebenarnya belum terlalu lapar. Perjalanan telah cukup mengenyangkan mataku, dan kini aku ingin berdamai dengan perut supaya bisa sedikit berhemat di perjalanan.
Aku pesan saja mi gelas di sebuah kedai kecil di samping rumah makan. Kedai itu merangkap sebagai wartel. Di wartel itulah, dari balik kacanya yang buram, aku saksikan perempuan yang sebangku denganku itu tengah menelepon. Dan meskipun suaranya tak terdengar karena kaca kedap suara, tapi wajahnya tampak menahan tangis. Sampai akhirnya ia tampak benar-benar menangis. Siapakah yang ia telepon? Apakah yang dibicarakannya? Aku tak tahu, tapi sangat ingin tahu. Tapi bagaimana mulai bertanya padanya?
Di bus yang kembali melaju, perempuan itu masih tertunduk menyembunyikan matanya yang sembab. Saat itulah aku beranikan diri bertanya, "Ada apa, Mbok? Maaf, siapa tahu ada yang bisa saya bantu?"
Perempuan itu agak terkejut, tapi ia sembunyikan ekspresinya. Ia hanya menatap lama, dan tanpa diduga akhirnya sesungukan kembali.
"Kenapa, Mbok?" ulangku.
"Tidak apa-apa, Nak. Maafkan Si Mbok, wajah anak persis anak saya..."
"Anak, Mbok?"
"Ya. Jika ia saya jumpai, pasti sudah sebesar anak ini."
"Di mana dia sekarang, Mbok?"
"Ia pergi ke Sumantrah. Waktu itu ia baru tamat SMA. Katanya ada pekerjaan di Jambi. Hampir empat tahun ia pergi. Tak pernah pulang. Akhirnya Mbok beranikan diri mencari alamatnya, di kebun karet Muarobungo. Tapi kebun karet tempat ia dulu bekerja sudah berganti kelapa sawit dan orang di sana tak ada yang mengenalnya. Tidak mengenal anak saya. Oalah, Nak, Nak...Akhirnya, ya, saya harus kembali pulang ke Semarang..."
Aku memicingkan mata. Pedih.
"Anak mau ke mana?" perempuan itu beralih tanya.
"Ke Denpasar, Mbok."
"Melancong atau kerja?"
"Merantau," gugup aku mengucapkan kata itu. Terdengar abstrak sebenarnya. Perempuan itu diam, mengerti kegugupanku.
"Tadi barusan Si Mbok telepon keluarga di Semarang, bahwa mencari Nurdiyanto memanglah sia-sia," perempuan itu mencoba mengalihkan pembicaraan meskipun berat baginya.
Ingin aku berkata balik, bahwa wajah bulatnya sesungguhnya juga persis wajah Mak Gaekku. Tapi tidak kulakukan. Biarlah dalam hati saja aku menganggap demikian. Untuk perempuan itu, aku cukup berkata, "Kalau begitu, anggaplah saya anaknya Si Mbok yang belum pulang, walau sebatas perjalanan. Lain kali anak Mbok yang sebenarnya pasti pulang."
Perempuan itu mengusap matanya. Senyumnya sedikit mengambang. "Terima kasih, Nak," katanya. Kurasakan tangannya seperti ingin mengusap kepalaku, membayangkan anaknya lanang. Namun tertahan oleh rasa risih serta tatapan penumpang lain. Akhirnya, sepanjang jalan kami hanya saling pandang dengan menganggap bahwa kami adalah ibu-anak yang seperjalanan. Kami bisa bernapas lega dan lumayan mengurangi impitan beban di dada.
Ah, rantau, ternyata tidak selalu berujung pada kepulangan, aku menarik nafas panjang. Kurebahkan kepala di bangku bus yang berguncang. Aku ingat anak-anak Mak Gaekku di kampung, bertahun-tahun tak pernah terdengar kabarnya. Dan seperti anak Si Mbok yang malang ini juga, hampir empat tahun tiada kabar berita. Lalu, bagaimanakah diriku nanti, yang sekarang masih terombang-ambing di jalanan menuju rantauku pula? Ah, entahlah, entahlah...
Masih terus aku digedor pertanyaan tentang rantau, dan berkali-kali kutolak. Sia-sia. Maka jika pertanyaan dan gedoran itu tak tertahankan, aku akan melirik Mak Gaekku yang kini hadir di sampingku.
"Jadi, hampir empat tahun Nurdiyanto pergi...Hmm, sebenarnya untuk ukuran merantau belum terlalu lama, Mbok, hanya saja tanpa kabar berita," aku buka lagi pembicaraan, pelan-pelan. Bermaksud menghibur.
"Itulah soalnya. Kini ayahnya sakit, selalu menanyakan dia, kami harus bilang apa, coba? Saudara-saudaranya pada angkat tangan, seperti menganggap biasa kepergian Nurdiyanto. Padahal bagi Si Mbok ini kepergian tak biasa."
Aku pun ingat nenekku yang sakit di rumah gadang. Ingat ayah-ibu yang sebentar lagi juga akan merasa kehilanganku. Ingat saudara dan orang sekampung, pastilah bersikap masa bodoh atas kepergianku. Sebab, di kampungku, merantau adalah upacara biasa yang tidak akan menggugah siapa pun untuk mencari jika anak negerinya tak lagi kembali. Sialan! Aku merutuk dalam hati, merutuki tradisi kampungku sendiri yang seperti lazim membuang para penghuninya ke rantau orang. Dan sungguh tidak adil, jika ada yang berhasil, maka si perantau harus membantu kampung, tanpa kampung sendiri pernah membantu di masa-masa sulit hidup di rantau. Tak adil! Tanpa sadar, kukepalkan tanganku dan nyaris kupukulkan ke bangku bus yang berdebu. Ah, perantau pemula!
"Kenapa, Den?" kini perempuan itu balik bertanya.
Dan aku bergumam antara sedih dan malu, "Tidak apa-apa, Mbok. Anu, nenekku juga sedang sakit waktu aku memutuskan pergi..."
"O, ia pasti akan menanyakanmu, Nak."
Aku mengangguk. Menahan linangan air mata. Kini, perempuan setengah baya di sampingku ini tak hendak menahan diri. Perlahan dibekapnya bahuku, digenggamnya bagai memegang bahu anaknya sendiri. Kami bertatapan sedih. Dan terasa benar bahwa kami adalah ibu dan anak seperjalanan.
Namun, ketika bus akhirnya berhenti di Semarang, dan perempuan itu mesti pamit berdiri, saat itulah aku merasa tak bakal memiliki dirinya selamanya. Tanpa bertukar alamat, perempuan itu turun, sedang aku melanjutkan perjalanan ke sebuah pulau lagi di timur Tanah Air. Kami masih sempat saling melambaikan tangan di balik kaca bus yang retak, berdebu. Dan saat perempuan itu hilang dari pandangan, saat itulah aku tak lagi memiliki siapa-siapa.
Hanya deru bus. Klakson dan teriakan kernet. Lagu-lagu yang tak menghibur. Semuanya justru jadi pertanda bahwa aku sedang menuju ke negeri entah.
***
BERTAHUN-TAHUN kemudian, perasaan nelangsa, kehilangan dan sedih, selalu membayangiku tiap kali teringat kenangan dalam bus tua itu. Kenangan yang tak pernah mati, selalu hidup kembali tiap kali aku menyadari bahwa sudah lama aku tak pulang. Tak pernah pulang. Entah jika Lebaran tahun ini. Entah.
Catatan kosa kata Minang: Mak Gaek: bibi, dalam hal ini kakak perempuan ayah. Ayek: nenek. Tukang beruk: pawang beruk (sejenis monyet) terlatih mengambil kelapa.
Wa'ang: Kau, engkau, untuk laki-laki.
Lampung Post, 14 Agustus 2011
AKU merantau, seolah semuanya telah menjadi lampau. Tapi tidak. Semuanya baru dimulai ketika ingatanku terasa bangkit kembali di sepanjang jalan yang kulalui. Telah aku seberangi selat dan kulewati kota-kota, dalam sebuah bus tua yang berderak sepanjang jalan, sepanjang siang dan malam. Meskipun dioper bus tiga kali, tetap bus tua juga yang akhirnya membawa diriku dari kota ke kota.
Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, hari pertama aku menginjakkan kaki di luar pulau dan hari pertama aku “resmi” menjadi perantau. Perantau pemula. Hingga bertahun-tahun kemudian, ketika sesekali kurindui kampung-halaman, kenangan itu datang bagai dihantar bus tua yang menerobos begitu saja dinding-dinding ingatanku yang rawan.
Ya, tiap kali mengingat bus yang melaju, kenanganku berebut tumbuh. Pohon-pohon yang berlarian bagai kemunculan tangan-tangan yang pernah hilang dalam lambai, walaupun kusadari hanya sesaat. Tak pernah menemani ke mana aku pergi, karena satu per satu mesti tertinggal sepanjang perjalanan— di posisinya semula berdiri.
Seperti deretan Bukit Barisan yang semula seperti hendak memintas kepergianku, tapi perlahan tertutup kabut dan senja, akhirnya lenyap saat bus memasuki perbatasan. Meluncur lebih deras di jalan lintas Sumatera. Lalu berganti pohon-pohon karet yang tegar berderet sepanjang daratan Jambi, kemudian hilang berganti hamparan lahan transmigran selepas Lahat menjelang Lampung. Ah, semua menanti, semua dilewati, begitu fana!
Aku mendesah, ingin menumpahkan keluh-kesah, tapi entah pada siapa. Ya, pada siapakah aku harus berbagi, melepas beban yang mengimpit hati? Seorang perempuan setengah baya ada di sampingku, mukanya bulat dan rambutnya tersanggul besar. Bukankah ini Mak Gaek, orang yang paling tepat kuajak berbagi?
Ya, ya, Mak Gaek, orang yang paling mengerti dan selalu membantuku dalam kesulitan. Aku ingat ketika sekolah mengadakan kemah persahabatan ke Kamang, Bukittinggi, orang tuaku tidak bisa memberi biaya berangkat. Seperti biasa, aku datangi Mak Gaek, dan hari itu juga perempuan itu memanggil tukang beruk untuk memetik kelapa di kebun, dan sekadar iuran keberangkatan cukuplah. Begitulah Mak Gaek, selalu tanggap pada kesulitanku, kadang melebihi orang tuaku sendiri. Karenanya, pada Mak Gaeklah aku selalu datang untuk setiap urusan yang kusadari tak bisa teratasi di rumah. Maklum, adik-adikku juga butuh biaya ini-itu di sekolah, dan sebagai anak tertua aku sering mengalah.
Bahkan, ketika aku mengabarkan akan pergi, meninggalkan kampung dan memutuskan diri untuk pergi merantau, kusaksikan Mak Gaek tertegun. Perlahan ia gapai pundakku, dan berkata berat, "Untuk apa wa'ang ikut merantau? Tetaplah di kampung, wa’ang tak akan mati kelaparan."
Kau mungkin menduga, betapa cengengnya perempuan itu! Sebagai seorang tua ia pasti sudah tahu bahwa usia laki-laki Minang selalu berujung pada perantauan, dan akhirnya nanti kepulangan. Setinggi-tinggi terbang bangau, kata orang. Tapi tidak bagi perempuan itu. Dua anaknya sudah ia relakan pergi, ia lepas secara baik-baik sebagai perantau, tapi sampai kini tak pernah kembali.
"Dan kini wa'ang akan pergi, Kudal? Murad pergi, Ruben pergi...Dan ayek sekarang sakit..."
Sulit menjelaskan mengapa aku akhirnya juga mesti pergi. Kalau hanya buat hidup makan-minum, tanah tempat aku dilahirkan memang masihlah setia menumbuhkan tunas yang ditugal, memancarkan air di tiap pancuran. Tapi lihatlah, mata orang-orang memancarkan api, jika masih tetap bertahan di kampung tanpa kegiatan yang jelas. Dan lagi pula, hidupku tidak akan berada dalam tempurung kampung buat selama-lamanya...
Maka segeralah aku bergegas menuruni jenjang rumah Mak Gaek. Perempuan itu menarik ujung kebaya lusuhnya dan mencelupkan ke matanya yang sebak. Pula ditimpali batuk-batuk nenek yang terbaring sakit di dalam rumah. Ingin rasanya aku berbalik, tapi tidak. Hanya dari jarak jauh aku menatap Mak Gaek.
"Lho, kenapa, Den?"
Astaga, masih saja aku merasa Mak Gaek duduk di sampingku!
"Oh, maaf, Mbok, saya hanya ingin minta balsem," cepat aku berdalih.
"Monggo, pakai saja," perempuan yang duduk di sebelahku itu menyerahkan balsem. Aku menerimanya dan mulai berpura-pura menggosok tengkuk. Kuedar pandangan ke luar jendela bus yang melaju. Tiba-tiba semua terasa beku. Pohon-pohon, tiang listrik, tambak udang dan rumah-rumah pantai utara. Aku merasa terdampar ke negeri asing. Meskipun lewat sekeping papan nama di tepi jalan aku bisa membaca—Cirebon—tetap saja udara asin bergaram membuatku canggung.
Susah-payah kualihkan kembali pandangan ke dalam bus, kepada perempuan setengah baya itu. Sungguh, aku tidak bisa berpaling!
***
SESUNGGUHNYA, perempuan setengah baya yang duduk di sampingku waktu itu, juga tampak gelisah. Entah apa yang dipikirkannya. Sekali waktu, saat aku mencuri pandang padanya, perempuan bersanggul besar itu tampak sedang mengusap pipinya yang mulai keriput. Ingin aku bertanya, lebih dari sekadar berbasa-basi meminta balsem. Tapi tak berani pula. Terlebih sejak pertama kali kulihat perempuan itu persis Mak Gaek. Dan kadang, untuk menghibur hati di perjalanan, aku betul-betul mengandaikan perempuan itu sebagai Mak Gaekku. Tak lebih tak kurang. Lumayan membuatku sedikit tenang, sebab perempuan yang menyayangiku toh ikut bersamaku di bus yang melaju...
Tapi, siapa sebenarnya perempuan ini? Aku mulai bertanya-tanya sendiri. Di mana tadi ia naik? Seingatku, kami sudah bersama sejak dari Lampung, ketika aku dioper ke bus lain di Terminal Rajabasa. Memang masih bus dari jawatan yang sama. Dan ketika di Jakarta aku dioper ke bus DAMRI lainnya, entah kebetulan atau tidak, perempuan itu juga dioper dan tetap duduk sebangku dengan diriku. Ke manakah perempuan ini menuju? Kenapa hanya sendiri? Ke mana suami, anak atau ponakannya? Padahal perjalanannya cukup jauh. Sungguh, aku ingin tahu, tapi tetap tidak berani untuk sekadar bertanya dari mana hendak ke mana kepada perempuan itu.
Bus akhirnya berhenti di sebuah rumah makan di luar kota Cirebon. Para penumpang turun, mengaso dan makan. Sopir bus yang berkeringat tampak makan lebih awal, tanpa menunggu kernetnya yang memeriksa ban dan melap kaca depan. Aku ingin makan, tapi sebenarnya belum terlalu lapar. Perjalanan telah cukup mengenyangkan mataku, dan kini aku ingin berdamai dengan perut supaya bisa sedikit berhemat di perjalanan.
Aku pesan saja mi gelas di sebuah kedai kecil di samping rumah makan. Kedai itu merangkap sebagai wartel. Di wartel itulah, dari balik kacanya yang buram, aku saksikan perempuan yang sebangku denganku itu tengah menelepon. Dan meskipun suaranya tak terdengar karena kaca kedap suara, tapi wajahnya tampak menahan tangis. Sampai akhirnya ia tampak benar-benar menangis. Siapakah yang ia telepon? Apakah yang dibicarakannya? Aku tak tahu, tapi sangat ingin tahu. Tapi bagaimana mulai bertanya padanya?
Di bus yang kembali melaju, perempuan itu masih tertunduk menyembunyikan matanya yang sembab. Saat itulah aku beranikan diri bertanya, "Ada apa, Mbok? Maaf, siapa tahu ada yang bisa saya bantu?"
Perempuan itu agak terkejut, tapi ia sembunyikan ekspresinya. Ia hanya menatap lama, dan tanpa diduga akhirnya sesungukan kembali.
"Kenapa, Mbok?" ulangku.
"Tidak apa-apa, Nak. Maafkan Si Mbok, wajah anak persis anak saya..."
"Anak, Mbok?"
"Ya. Jika ia saya jumpai, pasti sudah sebesar anak ini."
"Di mana dia sekarang, Mbok?"
"Ia pergi ke Sumantrah. Waktu itu ia baru tamat SMA. Katanya ada pekerjaan di Jambi. Hampir empat tahun ia pergi. Tak pernah pulang. Akhirnya Mbok beranikan diri mencari alamatnya, di kebun karet Muarobungo. Tapi kebun karet tempat ia dulu bekerja sudah berganti kelapa sawit dan orang di sana tak ada yang mengenalnya. Tidak mengenal anak saya. Oalah, Nak, Nak...Akhirnya, ya, saya harus kembali pulang ke Semarang..."
Aku memicingkan mata. Pedih.
"Anak mau ke mana?" perempuan itu beralih tanya.
"Ke Denpasar, Mbok."
"Melancong atau kerja?"
"Merantau," gugup aku mengucapkan kata itu. Terdengar abstrak sebenarnya. Perempuan itu diam, mengerti kegugupanku.
"Tadi barusan Si Mbok telepon keluarga di Semarang, bahwa mencari Nurdiyanto memanglah sia-sia," perempuan itu mencoba mengalihkan pembicaraan meskipun berat baginya.
Ingin aku berkata balik, bahwa wajah bulatnya sesungguhnya juga persis wajah Mak Gaekku. Tapi tidak kulakukan. Biarlah dalam hati saja aku menganggap demikian. Untuk perempuan itu, aku cukup berkata, "Kalau begitu, anggaplah saya anaknya Si Mbok yang belum pulang, walau sebatas perjalanan. Lain kali anak Mbok yang sebenarnya pasti pulang."
Perempuan itu mengusap matanya. Senyumnya sedikit mengambang. "Terima kasih, Nak," katanya. Kurasakan tangannya seperti ingin mengusap kepalaku, membayangkan anaknya lanang. Namun tertahan oleh rasa risih serta tatapan penumpang lain. Akhirnya, sepanjang jalan kami hanya saling pandang dengan menganggap bahwa kami adalah ibu-anak yang seperjalanan. Kami bisa bernapas lega dan lumayan mengurangi impitan beban di dada.
Ah, rantau, ternyata tidak selalu berujung pada kepulangan, aku menarik nafas panjang. Kurebahkan kepala di bangku bus yang berguncang. Aku ingat anak-anak Mak Gaekku di kampung, bertahun-tahun tak pernah terdengar kabarnya. Dan seperti anak Si Mbok yang malang ini juga, hampir empat tahun tiada kabar berita. Lalu, bagaimanakah diriku nanti, yang sekarang masih terombang-ambing di jalanan menuju rantauku pula? Ah, entahlah, entahlah...
Masih terus aku digedor pertanyaan tentang rantau, dan berkali-kali kutolak. Sia-sia. Maka jika pertanyaan dan gedoran itu tak tertahankan, aku akan melirik Mak Gaekku yang kini hadir di sampingku.
"Jadi, hampir empat tahun Nurdiyanto pergi...Hmm, sebenarnya untuk ukuran merantau belum terlalu lama, Mbok, hanya saja tanpa kabar berita," aku buka lagi pembicaraan, pelan-pelan. Bermaksud menghibur.
"Itulah soalnya. Kini ayahnya sakit, selalu menanyakan dia, kami harus bilang apa, coba? Saudara-saudaranya pada angkat tangan, seperti menganggap biasa kepergian Nurdiyanto. Padahal bagi Si Mbok ini kepergian tak biasa."
Aku pun ingat nenekku yang sakit di rumah gadang. Ingat ayah-ibu yang sebentar lagi juga akan merasa kehilanganku. Ingat saudara dan orang sekampung, pastilah bersikap masa bodoh atas kepergianku. Sebab, di kampungku, merantau adalah upacara biasa yang tidak akan menggugah siapa pun untuk mencari jika anak negerinya tak lagi kembali. Sialan! Aku merutuk dalam hati, merutuki tradisi kampungku sendiri yang seperti lazim membuang para penghuninya ke rantau orang. Dan sungguh tidak adil, jika ada yang berhasil, maka si perantau harus membantu kampung, tanpa kampung sendiri pernah membantu di masa-masa sulit hidup di rantau. Tak adil! Tanpa sadar, kukepalkan tanganku dan nyaris kupukulkan ke bangku bus yang berdebu. Ah, perantau pemula!
"Kenapa, Den?" kini perempuan itu balik bertanya.
Dan aku bergumam antara sedih dan malu, "Tidak apa-apa, Mbok. Anu, nenekku juga sedang sakit waktu aku memutuskan pergi..."
"O, ia pasti akan menanyakanmu, Nak."
Aku mengangguk. Menahan linangan air mata. Kini, perempuan setengah baya di sampingku ini tak hendak menahan diri. Perlahan dibekapnya bahuku, digenggamnya bagai memegang bahu anaknya sendiri. Kami bertatapan sedih. Dan terasa benar bahwa kami adalah ibu dan anak seperjalanan.
Namun, ketika bus akhirnya berhenti di Semarang, dan perempuan itu mesti pamit berdiri, saat itulah aku merasa tak bakal memiliki dirinya selamanya. Tanpa bertukar alamat, perempuan itu turun, sedang aku melanjutkan perjalanan ke sebuah pulau lagi di timur Tanah Air. Kami masih sempat saling melambaikan tangan di balik kaca bus yang retak, berdebu. Dan saat perempuan itu hilang dari pandangan, saat itulah aku tak lagi memiliki siapa-siapa.
Hanya deru bus. Klakson dan teriakan kernet. Lagu-lagu yang tak menghibur. Semuanya justru jadi pertanda bahwa aku sedang menuju ke negeri entah.
***
BERTAHUN-TAHUN kemudian, perasaan nelangsa, kehilangan dan sedih, selalu membayangiku tiap kali teringat kenangan dalam bus tua itu. Kenangan yang tak pernah mati, selalu hidup kembali tiap kali aku menyadari bahwa sudah lama aku tak pulang. Tak pernah pulang. Entah jika Lebaran tahun ini. Entah.
Catatan kosa kata Minang: Mak Gaek: bibi, dalam hal ini kakak perempuan ayah. Ayek: nenek. Tukang beruk: pawang beruk (sejenis monyet) terlatih mengambil kelapa.
Wa'ang: Kau, engkau, untuk laki-laki.
Lampung Post, 14 Agustus 2011
Sunday, August 7, 2011
Ziarah Botol
Cerpen Tandi Skober
"Namaku Gusur. Emak bilang, sebenarnya sih pas lahir namaku Adhikarya. Disebabkan rumah emak dalam satu tahun digusur Pemda DKI lebih dari 13 kali, maka agar tidak gusar setiap kali ada operasi penggusuran kemiskinan, namaku diganti menjadi Gusur," ucap Gusur Adhikarya. "Itu ceritaku, bagaimana ceritamu, Stad?"
"Saya tidak punya cerita, Bos. Maklum sebagai office boy, cerita saya sudah banyak diceritain orang."
Gusur tertawa. Tentu saja tertawa terkekeh-kekeh. Sebagai bos memang kudu bisa tertawa terkekeh-kekeh, bila kagak bisa begitu, yah cuma pekerja biasa. Terlebih lagi Gusur adalah konglomerat di pusaran penerbitan media cetak. Konon, 12 dari 10 penerbitan majalah di republik Pancasila dipastikan dikelola Gusur. Disebabkan hal itulah, setiap kali tertawa, Gusur memiliki alur waktu tidak kurang dari dua menit. Tapi kali ini dipastikan alur waktu tawa Gusur lebih dari 5 menit. Tidak hanya itu, Gusur tidak hanya terkekeh-kekeh, juga berair mata, bahkan diperkirakan tertawa terkencing-kencing.
"Saya rindu emak," mendadak tawa Gusur berhenti. Matanya nyanyikan rindu hingga titik terjauh. Jemarinya melukis sepi pada permukaan air akuarium. "Ceritaku itu tidak harus ditulis sekarang. Stad bisa tulis nanti setelah kita ziarah kubur."
"Ziarah kubur?" agak ternganga mulutku.
Gusur mengangguk. Malam merangkak di beranda. Bulan bergulir di tenggorokan. Dan? Gusur alirkan kalimat aneh, "Inilah lukisan terbaik Ramadan 1432 H. Burung-burung berkicau, ikan, kura-kura berseliweran. Dalam kolam, anak-anak bercanda dan menangis. Marmut, ayam, tupai, istri, mereka bercumbu dengan rempah-rempah di dapur. Dalam sangkar merpati bertelur, dalam hati keikhlasan bertutur."
Saya tepuk tangan. "Ckckck, arif banget, Bos! Dalam sangkar merpati bertelur, dalam hati keikhlasan bertutur. Sungguh aku ikhlas jadi office boy dalam sanggar majalah Hehehe, Bos. Ga nyesel."
Gusur tersenyum. Senyum itu sudah tiga Ramadan saya nikmati. "Senyum bertasbih puisi," komentar Kiara. Senyum itulah yang membuat Erin dan Taufan meyakini majalah Hehehe akan menjadi ikon anekdot terbaik se-Asia Pasifik.
"Senyumku itu lukisan putih di atas kertas tanpa warna yang tergantung di ujung tiang bendera yang melengkung," ucap Gusur seraya membaca print out cerpen Nazar dalam Sepotong Roti karya Tandi Skober yang bakal terbit di edisi khusus saat Pemilu 2014.
Kalimat itu juga diucap ulang di ruang Peugeot 504. Roda mobil melaju deras, ziarah kubur ke Indramayu. "Ziarah adalah bersih-bersih album potret berdebu," ucap Gusur seraya mengelus satu botol besar minuman ringan yang dibeli seharga sebelas ribu rupiah di mini market samping kantor Hehehe. "Album itu, satu kali dalam satu tahun kudu dibersihkan."
Ada apa dengan botol itu, Gus? Gusur diam. Angkat bahu. Dan go! Peugeot melaju kencang. Saya tak banyak tanya soal botol itu. Sebenarnya pingin sih aku minum barang satu dua teguk itu. Tapi, selalu saja Gusur memeluk botol itu, erat-erat.
Senja menyelinap di daun kamboja ketika langkah kami menapaki perkuburan kumuh. Kian mendekati kuburan emaknya, terlihat langkah Gusur kian melemah. Tangannya masih memeluk botol itu. Matanya merayapi kuburan emaknya. Anak-anak kecil meminta botol minuman ringan berharga mahal itu. Ia tersenyum. Ia keluarkan dompet. Beberapa lembar uang puluhan ribu ia berikan ke anak-anak itu.
Kini Gusur sudah pun duduk bersimpuh di depan gundukan kuburan emaknya. Tutup botol minuman berlabel mahal itu ia buka. Ia tumpahkan isi botol itu ke gundukan kuburan emaknya. "Mak, Gusur datang. Gusur membawa satu botol minuman ringan. Gusur siram dengan air botol minuman ini ya Mak? Gusur sayang sama Emak. Bagi Gusur, Emak adalah Kakbah yang setiap saat Gusur rindu untuk menghadap Emak."
Ada apa dengan botol bermerek paling laku di dunia ini? Lagi-lagi sulit ditemukan jawabannya. Biasanya orang nyekar yah nyiramnya pakek air biasa, air bening. Ini jadi kepikiran. Tiap kali aku tanyakan ke Gusur. Bos hanya diam. Matanya menerawang ke sudut ruang. Di sana ada banyak botol minuman ringan dengan berbagai merek berjajar di atas buffet di bawah foto hitam putih emaknya itu.
Ada apa dengan botol-botol beraneka rasa itu? Erin menunduk. Ia terus menerus membaca selembar kertas print out. Aku ambil kertas itu. Aku baca. Ah! Ini bukan cerpen! Ini bukan fiksi! Aku baca tulisan itu, "Gusur diam! Diam-diam angannya berlari jauh ke belakang. Saat itu Gusur masih berusia 4 tahun. Gusur paling suka bangun sebelum subuh. Kenapa? Ia akan berlari ke atas jembatan. Duduk di buk beton jembatan kecil. Menunggu emaknya pulang kerja. Sambil menunggu, Gusur kadang terkantuk-kantuk. Tapi tetap ditahannya agar tidak tertidur. Sebab, Gusur tahu betul emaknya akan membawa satu plastik minuman berikut sedotannya. Tiap kali emaknya sodorkan plastik itu, mata Gusur berbinar-binar memandangi minuman dalam plastik itu. Tiap kali menyedot air dalam plastik itu, ia rasakan seperti ada rembulan mengalir di tenggorokan."
"Ini tulisan, Bos?" tanyaku.
Erin mengangguk. Kembali aku baca lagi, "Emak emang selalu kumpulin sisa air minuman itu dari botol-botol yang masih tersisa. Orang kaya itu kalau minum tidak pernah dihabisin. Hmm, aku pernah tanya sama emak 'Minuman apa saja yang bisa dikumpulin, Mak?’ Emak akan menjawab 'Ada Coca-Cola, ada teh botol, Pepsi, Fanta, ada Sprit, yah macam-macam lah. Daripada terbuang, yah emak tuang dalam plastik. Bisa dibawa ke rumah. Iya kan? Kamu suka minuman mahal ini kan Gusur?'"
Aku hela napas panjang. Aku ngerti. Aku memaklumi mengapa Gusur sirami kuburan emaknya dengan satu botol minuman ringan berharga mahal itu. Aku baca kembali tulisan bosku, "Ah, senangnya aku. Aku selalu mantuk-mantuk sambil menyedoti minuman itu. Pasti ini minuman orang kaya ya, Mak? Emak menjawab 'Iya, harganya saja mahal.' Aku tersenyum. 'Kerja Emak apa sih?' Hmm emak menjawab 'Sekarang masih jadi tukang cuci di warteg Kali Asat."
Sesaat aku terhenyak. Ada lintasan nestapa di ujung mataku. Tapi aku baca lagi tulisan bosku ini: "Gusur kecil manggut-manggut. Gusur sedot minuman dalam plastik yang rasanya bisa bermacam ragam. Ada rasa Sprit, ada rasa teh botol, ada rasa Coca-Cola. Dan entah apalagi. Sekali tempo, Gusur pernah nemani emaknya kerja. Oh, anak kecil itu senang bukan kepalang. Tiap kali disuruh emaknya mengambili botol, Gusur langsung lari. Langsung ambil botol-botol itu. Botol digoyang-goyang. Tiap kali isi botol masih ada, mata Gusur kecil pun berbinar-binar. "Mak, yang ini masih banyakan!" teriak Gusur. Sang Emak tersenyum. Ia elusi kepala anaknya itu. Ah! Elusan surga yang kelembutannya masih terasa hingga kini."
"Inspiring!" ucapku.
"Layak dimuat," sambung Erin.
"Hal yang sulit tentu seputar berapa harus kita bayar honorarium cerita bos itu," potong Taufan.
"Itu bukan konsumsi untuk umum," mendadak sontak Gusur Adhikarya menepuk bahuku, "Biarkan cerita itu tetap tersimpan di sebuah kamar sangat spesial di kalbuku. Kamar itu tiap kali Ramadan akan datang selalu saya buka. Saya ziarahi. Saya yakini bahwa emak masih tetap hidup. Emak masih tetap membawa satu plastik minuman aneka rasa."
Gusur menghela napas. Ia pandangi dinding ruang redaksi. Di sana ada lukisan berukuran 1 x 1,5 meter. Itu lukisan Gusur Adhikarya. Tak jelas apa yang dilukis Gusur. Yang saya ketahui ekspresi botol-botol minuman dalam lanskap warna pucat nestapa yang pedih.
Azan isya terdengar. Bos menghampiriku, "Yuk tarawih," ajak bos. Aku mengangguk. Ada dering di ponsel Gusur. Ia pijit yes. "Oh ya, bagus itu. Hmmm, paling tidak dua hingga tiga krat teh botol, dua krat Coca-Cola. Hmm ok, Fanta, bisa itu. Aqua? Bisa juga. Pokoknya semua jenis minuman harus dibeli! Kasihkan saja ke takmir Masjid Al Ikhlas. Apa? Iya Fari Aziza itu takmir masjidnya bukan Putra Gara. Iyalah tiap hari selama Ramadan 1432 H!
Bandung, 23 Juli 2011
Lampung Post, Minggu, 6 Agustus 2011
"Namaku Gusur. Emak bilang, sebenarnya sih pas lahir namaku Adhikarya. Disebabkan rumah emak dalam satu tahun digusur Pemda DKI lebih dari 13 kali, maka agar tidak gusar setiap kali ada operasi penggusuran kemiskinan, namaku diganti menjadi Gusur," ucap Gusur Adhikarya. "Itu ceritaku, bagaimana ceritamu, Stad?"
"Saya tidak punya cerita, Bos. Maklum sebagai office boy, cerita saya sudah banyak diceritain orang."
Gusur tertawa. Tentu saja tertawa terkekeh-kekeh. Sebagai bos memang kudu bisa tertawa terkekeh-kekeh, bila kagak bisa begitu, yah cuma pekerja biasa. Terlebih lagi Gusur adalah konglomerat di pusaran penerbitan media cetak. Konon, 12 dari 10 penerbitan majalah di republik Pancasila dipastikan dikelola Gusur. Disebabkan hal itulah, setiap kali tertawa, Gusur memiliki alur waktu tidak kurang dari dua menit. Tapi kali ini dipastikan alur waktu tawa Gusur lebih dari 5 menit. Tidak hanya itu, Gusur tidak hanya terkekeh-kekeh, juga berair mata, bahkan diperkirakan tertawa terkencing-kencing.
"Saya rindu emak," mendadak tawa Gusur berhenti. Matanya nyanyikan rindu hingga titik terjauh. Jemarinya melukis sepi pada permukaan air akuarium. "Ceritaku itu tidak harus ditulis sekarang. Stad bisa tulis nanti setelah kita ziarah kubur."
"Ziarah kubur?" agak ternganga mulutku.
Gusur mengangguk. Malam merangkak di beranda. Bulan bergulir di tenggorokan. Dan? Gusur alirkan kalimat aneh, "Inilah lukisan terbaik Ramadan 1432 H. Burung-burung berkicau, ikan, kura-kura berseliweran. Dalam kolam, anak-anak bercanda dan menangis. Marmut, ayam, tupai, istri, mereka bercumbu dengan rempah-rempah di dapur. Dalam sangkar merpati bertelur, dalam hati keikhlasan bertutur."
Saya tepuk tangan. "Ckckck, arif banget, Bos! Dalam sangkar merpati bertelur, dalam hati keikhlasan bertutur. Sungguh aku ikhlas jadi office boy dalam sanggar majalah Hehehe, Bos. Ga nyesel."
Gusur tersenyum. Senyum itu sudah tiga Ramadan saya nikmati. "Senyum bertasbih puisi," komentar Kiara. Senyum itulah yang membuat Erin dan Taufan meyakini majalah Hehehe akan menjadi ikon anekdot terbaik se-Asia Pasifik.
"Senyumku itu lukisan putih di atas kertas tanpa warna yang tergantung di ujung tiang bendera yang melengkung," ucap Gusur seraya membaca print out cerpen Nazar dalam Sepotong Roti karya Tandi Skober yang bakal terbit di edisi khusus saat Pemilu 2014.
Kalimat itu juga diucap ulang di ruang Peugeot 504. Roda mobil melaju deras, ziarah kubur ke Indramayu. "Ziarah adalah bersih-bersih album potret berdebu," ucap Gusur seraya mengelus satu botol besar minuman ringan yang dibeli seharga sebelas ribu rupiah di mini market samping kantor Hehehe. "Album itu, satu kali dalam satu tahun kudu dibersihkan."
Ada apa dengan botol itu, Gus? Gusur diam. Angkat bahu. Dan go! Peugeot melaju kencang. Saya tak banyak tanya soal botol itu. Sebenarnya pingin sih aku minum barang satu dua teguk itu. Tapi, selalu saja Gusur memeluk botol itu, erat-erat.
Senja menyelinap di daun kamboja ketika langkah kami menapaki perkuburan kumuh. Kian mendekati kuburan emaknya, terlihat langkah Gusur kian melemah. Tangannya masih memeluk botol itu. Matanya merayapi kuburan emaknya. Anak-anak kecil meminta botol minuman ringan berharga mahal itu. Ia tersenyum. Ia keluarkan dompet. Beberapa lembar uang puluhan ribu ia berikan ke anak-anak itu.
Kini Gusur sudah pun duduk bersimpuh di depan gundukan kuburan emaknya. Tutup botol minuman berlabel mahal itu ia buka. Ia tumpahkan isi botol itu ke gundukan kuburan emaknya. "Mak, Gusur datang. Gusur membawa satu botol minuman ringan. Gusur siram dengan air botol minuman ini ya Mak? Gusur sayang sama Emak. Bagi Gusur, Emak adalah Kakbah yang setiap saat Gusur rindu untuk menghadap Emak."
***
Ada apa dengan botol bermerek paling laku di dunia ini? Lagi-lagi sulit ditemukan jawabannya. Biasanya orang nyekar yah nyiramnya pakek air biasa, air bening. Ini jadi kepikiran. Tiap kali aku tanyakan ke Gusur. Bos hanya diam. Matanya menerawang ke sudut ruang. Di sana ada banyak botol minuman ringan dengan berbagai merek berjajar di atas buffet di bawah foto hitam putih emaknya itu.
Ada apa dengan botol-botol beraneka rasa itu? Erin menunduk. Ia terus menerus membaca selembar kertas print out. Aku ambil kertas itu. Aku baca. Ah! Ini bukan cerpen! Ini bukan fiksi! Aku baca tulisan itu, "Gusur diam! Diam-diam angannya berlari jauh ke belakang. Saat itu Gusur masih berusia 4 tahun. Gusur paling suka bangun sebelum subuh. Kenapa? Ia akan berlari ke atas jembatan. Duduk di buk beton jembatan kecil. Menunggu emaknya pulang kerja. Sambil menunggu, Gusur kadang terkantuk-kantuk. Tapi tetap ditahannya agar tidak tertidur. Sebab, Gusur tahu betul emaknya akan membawa satu plastik minuman berikut sedotannya. Tiap kali emaknya sodorkan plastik itu, mata Gusur berbinar-binar memandangi minuman dalam plastik itu. Tiap kali menyedot air dalam plastik itu, ia rasakan seperti ada rembulan mengalir di tenggorokan."
"Ini tulisan, Bos?" tanyaku.
Erin mengangguk. Kembali aku baca lagi, "Emak emang selalu kumpulin sisa air minuman itu dari botol-botol yang masih tersisa. Orang kaya itu kalau minum tidak pernah dihabisin. Hmm, aku pernah tanya sama emak 'Minuman apa saja yang bisa dikumpulin, Mak?’ Emak akan menjawab 'Ada Coca-Cola, ada teh botol, Pepsi, Fanta, ada Sprit, yah macam-macam lah. Daripada terbuang, yah emak tuang dalam plastik. Bisa dibawa ke rumah. Iya kan? Kamu suka minuman mahal ini kan Gusur?'"
Aku hela napas panjang. Aku ngerti. Aku memaklumi mengapa Gusur sirami kuburan emaknya dengan satu botol minuman ringan berharga mahal itu. Aku baca kembali tulisan bosku, "Ah, senangnya aku. Aku selalu mantuk-mantuk sambil menyedoti minuman itu. Pasti ini minuman orang kaya ya, Mak? Emak menjawab 'Iya, harganya saja mahal.' Aku tersenyum. 'Kerja Emak apa sih?' Hmm emak menjawab 'Sekarang masih jadi tukang cuci di warteg Kali Asat."
Sesaat aku terhenyak. Ada lintasan nestapa di ujung mataku. Tapi aku baca lagi tulisan bosku ini: "Gusur kecil manggut-manggut. Gusur sedot minuman dalam plastik yang rasanya bisa bermacam ragam. Ada rasa Sprit, ada rasa teh botol, ada rasa Coca-Cola. Dan entah apalagi. Sekali tempo, Gusur pernah nemani emaknya kerja. Oh, anak kecil itu senang bukan kepalang. Tiap kali disuruh emaknya mengambili botol, Gusur langsung lari. Langsung ambil botol-botol itu. Botol digoyang-goyang. Tiap kali isi botol masih ada, mata Gusur kecil pun berbinar-binar. "Mak, yang ini masih banyakan!" teriak Gusur. Sang Emak tersenyum. Ia elusi kepala anaknya itu. Ah! Elusan surga yang kelembutannya masih terasa hingga kini."
"Inspiring!" ucapku.
"Layak dimuat," sambung Erin.
"Hal yang sulit tentu seputar berapa harus kita bayar honorarium cerita bos itu," potong Taufan.
"Itu bukan konsumsi untuk umum," mendadak sontak Gusur Adhikarya menepuk bahuku, "Biarkan cerita itu tetap tersimpan di sebuah kamar sangat spesial di kalbuku. Kamar itu tiap kali Ramadan akan datang selalu saya buka. Saya ziarahi. Saya yakini bahwa emak masih tetap hidup. Emak masih tetap membawa satu plastik minuman aneka rasa."
Gusur menghela napas. Ia pandangi dinding ruang redaksi. Di sana ada lukisan berukuran 1 x 1,5 meter. Itu lukisan Gusur Adhikarya. Tak jelas apa yang dilukis Gusur. Yang saya ketahui ekspresi botol-botol minuman dalam lanskap warna pucat nestapa yang pedih.
Azan isya terdengar. Bos menghampiriku, "Yuk tarawih," ajak bos. Aku mengangguk. Ada dering di ponsel Gusur. Ia pijit yes. "Oh ya, bagus itu. Hmmm, paling tidak dua hingga tiga krat teh botol, dua krat Coca-Cola. Hmm ok, Fanta, bisa itu. Aqua? Bisa juga. Pokoknya semua jenis minuman harus dibeli! Kasihkan saja ke takmir Masjid Al Ikhlas. Apa? Iya Fari Aziza itu takmir masjidnya bukan Putra Gara. Iyalah tiap hari selama Ramadan 1432 H!
Bandung, 23 Juli 2011
Lampung Post, Minggu, 6 Agustus 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)