Cerpen Fauzi B.K.
RAMADAN adalah bulan musibah, itu yang selalu ada di kitaran gerutuannya. Sejak kecil bulan yang katanya berkah ini tidak berpihak padanya. Dahulu, ia pasti tidak akan dapat tambahan penghasilan saat Ramadan hadir, lantaran warung Kang Rodi tidak buka galibnya hari biasa. Padahal dari warung itu ia sedikit banyak menggantungkan nasib. Kini, saat sudah tidak bekerja ikut Kang Rodi dan memilih menjadi pencuri, Ramadan lagi-lagi masih tidak mau berpihak.
Apa sebenarnya hebatnya bulan ini? Sering pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Toh sama saja dengan bulan lain, dalam penanggalan almanak manapun, harinya tetap tujuh dalam seminggu, siang dan malam pun sama. Yang membedakan mungkin ada ritual tak makan di kala siang menjelang, itu saja.
Padahal, jika dilihat dari kacamata seorang pencuri sepertinya, malam-malam bulan Ramadan adalah malam yang empuk menjalankan operasi mencuri. Pascaberbuka, orang-orang banyak yang berbondong-bondong ke musala atau masjid. Yang tidak suka jungkir balik dalam fana-nya rakaat tarawih bisa saja memenuhi saf mal dan pusat perbelanjaan, memburu diskon. Mendekati tengah malam mereka lekas lelap, entah kekenyangan atau kecapekan. Waktu yang empuk bukan?
Namun, segala ajian, perhitungan hari dan tanggal, jimat, mantra, bahkan kepercayaan diri untuk mencuri rasanya lenyap jika Ramadan. Mungkin ini yang menjadi alasan Kang Triman mewanti-wantinya untuk tidak mencuri di bulan Ramadan ketika mewariskan kalung berbandul tulang perawan sebagai jimat pamungkas yang ampuh untuk keselamatan mencuri. Entahlah, ia sebenarnya juga belum pernah membuktikan wanti-wanti itu.
Kadang ia berpikir untuk menabrak saja apa yang telah diwanti-wantikan Triman. Toh, ia masih sangat ingat saat memberikan ilmu-ilmu mencuri 4 tahun lalu Triman tidak menyebutkan akibat jika melanggar pantangan tersebut.
Hmm, Jangan-jangan wanti-wanti itu hanya akal-akalan Triman saja agar jatah mencurinya tidak harus terbagi. Tak ada salahnya jika mencoba untuk menebas peringatan itu. Kini Triman sudah tidak sedaerah dengannya, tentu soal jatah dan wilayah bukan hal yang perlu dipikirkan lagi. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan Lebaran. Istrinya, Srini, beserta anak-anak minta baju baru, hidangan Lebaran, dsb. Ini semua gara-gara Ramadan, tidak mungkin ada perayaan Lebaran jika tidak ada Ramadan. Musibah.
***
Rabu Pahing, malam 27 Pasa, muncul dalam oret-oretan perhitungan akhir sesuai rumus yang dipelajarinya. Sejak mempelajari dan mempaktikkannya sebelum kegiatan mencuri, perhitungan tanggal dan weton yang ia lakukan tak pernah meleset, sekalipun. Di hari yang bersandar pada perhitungan inilah ia akan mencuri, sama seperti biasanya. Waktu seminggu dari hari ini sampai hari penangalan ia gunakan untuk mencari target.
Untuk hal ini tak perlu penanggalan, baginya target yang sempurna tentu saja target dengan harta yang melimpah ruah, bertempat strategis, lemah penjagaan dan akses melarikan diri yang begitu tersedia. Terhitung hanya tiga atau empat kali ia mendapatkan target sempurna seperti itu, selebihnya yang penting banyak jarahan yang dapat dibawa adalah syarat utama, soal melarikan diri jimat dan mantra yang berbicara.
Tanggal sudah ditentukan, ada tiga target yang sudah masuk incarannya. Ketiganya berada di Jalan Berkah, kawasan perumahan orang-orang kantoran yang terletak di sebelah sungai itu. Selain tak jauh dari rumah, juga suasananya sepi, tidak ada CCTV, dan minim penjagaan, empuk.
Sekarang ini situasi makin ribet. Mencuri perlu banyak perhitungan, mulai penanggalan, survei tempat, dan kemanan lingkungan dsb. Kebanyakan rumah mewah sekarang—apalagi yang ada di kompleks perumahan bonafit—tak lagi mudah ia masuki.
Selain berpagar tinggi, sekarang ini banyak yang dijaga sekuriti. Belum lagi kamera-kamera sembunyi, anjing penjaga, juga alarm. Satpam dan sekuriti bisa saja ia sirep dan hipnosis. Namun, kamera-kamera sembunyi, alarm, dan CCTV itu tak mudah untuk ia atasi dengan jimat keberuntungan yang ia miliki, perlu butuh kehati-hatian dan kecepatan yang ekstra.
***
Malam 25 Pasa
Ia berada di tengah-tengah acara buka bersama di perumahan Jalan Berkah. Apa yang terjadi jika Triman atau kawan komplotan pencuri lain tahu ia ikut acara buka bersama? Pasti mereka akan tertawa terbahak-bahak. Persetan dengan mereka, mengikuti buka bersama ini adalah penyamaran sekaligus modus untuk membaca situasi dan rute pencuriannya di malam 27 Pasa, sekaligus memastikan rumah mana yang menjadi target utama.
“Malam lailatulkadar adalah malam seribu bulan, aktivitas yang kita lakukan pada waktu tersebut nilai pahalanya di lipat gandakan seperti melakukannya dalam tempo seribu bulan,” suara dari seseorang paruh baya yang berdiri sambil memegang mikrofon. Sesekali suara batuk menyelai isi petuah-petuahnya.
Ia terkekeh dalam hati mendengar tausiah ustaz malam itu, sayang hanya nilai yang dilipatgandakan dalam malam lailatulkadar. Jika saja wujud yang dilipatgandakan, ia akan mencuri di setiap malam bulan Ramadan, gumamnya.
***
Malam 27 Pasa
Semesta mendukung, cuaca senja ini begitu cerah. Hawa yang menyergap tidak panas pun tidak pula membuat leher bergidik dingin. Perkataan Triman dulu baiknya direvisi atau dibuang jauh dari kamus dunia mencuri, senyumnya menang.
Menjelang tengah malam, ia sudah berada dalam pagar rumah yang menjadi targetnya. Suasana amat sunyi, sang empunya rumah mungkin sudah lelap, entah kekenyangan atau letih. Jendela sisi kiri rumah menjadi pintu utamanya, hal itu sudah di rencanakan, tak sia-sia ia menyantron dan menyamar mengikuti pengajian kemarin. Dengan sedikit gerakan, jendela itu menganga, seakan mempersilakannya masuk. Srini dan anak-anak pasti bahagia, baju baru akan mereka kenakan saat Lebaran.
Tak pikir panjang, ia langsung menggeledah lemari di kanan jendela tempat ia masuk, pencahayaan dari lampu dapur yang tidak dimatikan membantunya melihat isi lemari tersebut. Tak ada apa-apa di situ, nihil. Hanya tumpukan buku dan kitab usang. Hatinya mulai gusar tak tenang, jangan sampai ia tidak mendapatkan apa-apa malam ini.
Ia beralih ke bufet di seberang lemari yang barusan ia periksa. Kegusarannya semakin menjadi. Terakhir kali ia merasakan kegusaran seperti ini kala masih menjadi pemula dalam dunia pencurian.
Ia rapal mantra penenang, meski tak dapat sepenuhnya berkonsentrasi merapalnya, ia baca saja. Berharap gusar lekas berlalu. Kaset-kaset lama, kardus gelas berdebu, cicak, kecoa, kertas-kertas yang entah apa isinya, hanya itu yang ia temui. Apa ia rumah ini tak layak dicuri? Semakin tak mendapatkan apa-apa semakin belingsatan ia mencari, tak sadar derit kursi lahir ulah langkahnya yang terburu.
Ia diam sekejap, menenangkan napasnya di pojok ruangan. Dari dalam kamar terdengar si empunya rumah terbangun. “Bu, bangun, Bu!” suara pria membangunkan Istrinya, “Dengar suara barusan enggak?”
Ranjang berderit, matilah aku, pikirnya. Segera ia komat-kamit membaca mantra penyelimur dan penyirep.
“Mau kemana, Bu?”
“Ayo dilihat, Pak. Aku kok khawatir.”
Mendengar percakapan dari dalam kamar, ia semakin cepat membaca mantra-mantranya.
“Sudahlah, Bu, mungkin cuma kucing mengejar tikus. Lagian apa yang mau di curi dari kita kalau itu memang pencuri,” bisik si suami, lirih.
“Bapak ini piye, pencuri kok dibela!”
“Bukan membela, Bu. Ini malam ke-27 Ramadan. Kalau ini malam lailatulkadar, aku enggak mau ditulis Malaikat Atid gara-gara berprasangka aneh-aneh.”
Di pojokan, kakinya mendadak lemas. Suami-istri itu masih terus berbisik-bisik di dalam kamar.
Sialan, Triman benar. Lebih sial lagi ia tak mendapatkan apa-apa. Kalaupun dapat, ia harus menanggungnya seribu bulan. Semoga Rakib mencatat kesialannya ini sebagai pahala. n
Samarinda, minggu terakhir Ramadan 1435 H.
Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014
RAMADAN adalah bulan musibah, itu yang selalu ada di kitaran gerutuannya. Sejak kecil bulan yang katanya berkah ini tidak berpihak padanya. Dahulu, ia pasti tidak akan dapat tambahan penghasilan saat Ramadan hadir, lantaran warung Kang Rodi tidak buka galibnya hari biasa. Padahal dari warung itu ia sedikit banyak menggantungkan nasib. Kini, saat sudah tidak bekerja ikut Kang Rodi dan memilih menjadi pencuri, Ramadan lagi-lagi masih tidak mau berpihak.
Apa sebenarnya hebatnya bulan ini? Sering pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Toh sama saja dengan bulan lain, dalam penanggalan almanak manapun, harinya tetap tujuh dalam seminggu, siang dan malam pun sama. Yang membedakan mungkin ada ritual tak makan di kala siang menjelang, itu saja.
Padahal, jika dilihat dari kacamata seorang pencuri sepertinya, malam-malam bulan Ramadan adalah malam yang empuk menjalankan operasi mencuri. Pascaberbuka, orang-orang banyak yang berbondong-bondong ke musala atau masjid. Yang tidak suka jungkir balik dalam fana-nya rakaat tarawih bisa saja memenuhi saf mal dan pusat perbelanjaan, memburu diskon. Mendekati tengah malam mereka lekas lelap, entah kekenyangan atau kecapekan. Waktu yang empuk bukan?
Namun, segala ajian, perhitungan hari dan tanggal, jimat, mantra, bahkan kepercayaan diri untuk mencuri rasanya lenyap jika Ramadan. Mungkin ini yang menjadi alasan Kang Triman mewanti-wantinya untuk tidak mencuri di bulan Ramadan ketika mewariskan kalung berbandul tulang perawan sebagai jimat pamungkas yang ampuh untuk keselamatan mencuri. Entahlah, ia sebenarnya juga belum pernah membuktikan wanti-wanti itu.
Kadang ia berpikir untuk menabrak saja apa yang telah diwanti-wantikan Triman. Toh, ia masih sangat ingat saat memberikan ilmu-ilmu mencuri 4 tahun lalu Triman tidak menyebutkan akibat jika melanggar pantangan tersebut.
Hmm, Jangan-jangan wanti-wanti itu hanya akal-akalan Triman saja agar jatah mencurinya tidak harus terbagi. Tak ada salahnya jika mencoba untuk menebas peringatan itu. Kini Triman sudah tidak sedaerah dengannya, tentu soal jatah dan wilayah bukan hal yang perlu dipikirkan lagi. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan Lebaran. Istrinya, Srini, beserta anak-anak minta baju baru, hidangan Lebaran, dsb. Ini semua gara-gara Ramadan, tidak mungkin ada perayaan Lebaran jika tidak ada Ramadan. Musibah.
***
Rabu Pahing, malam 27 Pasa, muncul dalam oret-oretan perhitungan akhir sesuai rumus yang dipelajarinya. Sejak mempelajari dan mempaktikkannya sebelum kegiatan mencuri, perhitungan tanggal dan weton yang ia lakukan tak pernah meleset, sekalipun. Di hari yang bersandar pada perhitungan inilah ia akan mencuri, sama seperti biasanya. Waktu seminggu dari hari ini sampai hari penangalan ia gunakan untuk mencari target.
Untuk hal ini tak perlu penanggalan, baginya target yang sempurna tentu saja target dengan harta yang melimpah ruah, bertempat strategis, lemah penjagaan dan akses melarikan diri yang begitu tersedia. Terhitung hanya tiga atau empat kali ia mendapatkan target sempurna seperti itu, selebihnya yang penting banyak jarahan yang dapat dibawa adalah syarat utama, soal melarikan diri jimat dan mantra yang berbicara.
Tanggal sudah ditentukan, ada tiga target yang sudah masuk incarannya. Ketiganya berada di Jalan Berkah, kawasan perumahan orang-orang kantoran yang terletak di sebelah sungai itu. Selain tak jauh dari rumah, juga suasananya sepi, tidak ada CCTV, dan minim penjagaan, empuk.
Sekarang ini situasi makin ribet. Mencuri perlu banyak perhitungan, mulai penanggalan, survei tempat, dan kemanan lingkungan dsb. Kebanyakan rumah mewah sekarang—apalagi yang ada di kompleks perumahan bonafit—tak lagi mudah ia masuki.
Selain berpagar tinggi, sekarang ini banyak yang dijaga sekuriti. Belum lagi kamera-kamera sembunyi, anjing penjaga, juga alarm. Satpam dan sekuriti bisa saja ia sirep dan hipnosis. Namun, kamera-kamera sembunyi, alarm, dan CCTV itu tak mudah untuk ia atasi dengan jimat keberuntungan yang ia miliki, perlu butuh kehati-hatian dan kecepatan yang ekstra.
***
Malam 25 Pasa
Ia berada di tengah-tengah acara buka bersama di perumahan Jalan Berkah. Apa yang terjadi jika Triman atau kawan komplotan pencuri lain tahu ia ikut acara buka bersama? Pasti mereka akan tertawa terbahak-bahak. Persetan dengan mereka, mengikuti buka bersama ini adalah penyamaran sekaligus modus untuk membaca situasi dan rute pencuriannya di malam 27 Pasa, sekaligus memastikan rumah mana yang menjadi target utama.
“Malam lailatulkadar adalah malam seribu bulan, aktivitas yang kita lakukan pada waktu tersebut nilai pahalanya di lipat gandakan seperti melakukannya dalam tempo seribu bulan,” suara dari seseorang paruh baya yang berdiri sambil memegang mikrofon. Sesekali suara batuk menyelai isi petuah-petuahnya.
Ia terkekeh dalam hati mendengar tausiah ustaz malam itu, sayang hanya nilai yang dilipatgandakan dalam malam lailatulkadar. Jika saja wujud yang dilipatgandakan, ia akan mencuri di setiap malam bulan Ramadan, gumamnya.
***
Malam 27 Pasa
Semesta mendukung, cuaca senja ini begitu cerah. Hawa yang menyergap tidak panas pun tidak pula membuat leher bergidik dingin. Perkataan Triman dulu baiknya direvisi atau dibuang jauh dari kamus dunia mencuri, senyumnya menang.
Menjelang tengah malam, ia sudah berada dalam pagar rumah yang menjadi targetnya. Suasana amat sunyi, sang empunya rumah mungkin sudah lelap, entah kekenyangan atau letih. Jendela sisi kiri rumah menjadi pintu utamanya, hal itu sudah di rencanakan, tak sia-sia ia menyantron dan menyamar mengikuti pengajian kemarin. Dengan sedikit gerakan, jendela itu menganga, seakan mempersilakannya masuk. Srini dan anak-anak pasti bahagia, baju baru akan mereka kenakan saat Lebaran.
Tak pikir panjang, ia langsung menggeledah lemari di kanan jendela tempat ia masuk, pencahayaan dari lampu dapur yang tidak dimatikan membantunya melihat isi lemari tersebut. Tak ada apa-apa di situ, nihil. Hanya tumpukan buku dan kitab usang. Hatinya mulai gusar tak tenang, jangan sampai ia tidak mendapatkan apa-apa malam ini.
Ia beralih ke bufet di seberang lemari yang barusan ia periksa. Kegusarannya semakin menjadi. Terakhir kali ia merasakan kegusaran seperti ini kala masih menjadi pemula dalam dunia pencurian.
Ia rapal mantra penenang, meski tak dapat sepenuhnya berkonsentrasi merapalnya, ia baca saja. Berharap gusar lekas berlalu. Kaset-kaset lama, kardus gelas berdebu, cicak, kecoa, kertas-kertas yang entah apa isinya, hanya itu yang ia temui. Apa ia rumah ini tak layak dicuri? Semakin tak mendapatkan apa-apa semakin belingsatan ia mencari, tak sadar derit kursi lahir ulah langkahnya yang terburu.
Ia diam sekejap, menenangkan napasnya di pojok ruangan. Dari dalam kamar terdengar si empunya rumah terbangun. “Bu, bangun, Bu!” suara pria membangunkan Istrinya, “Dengar suara barusan enggak?”
Ranjang berderit, matilah aku, pikirnya. Segera ia komat-kamit membaca mantra penyelimur dan penyirep.
“Mau kemana, Bu?”
“Ayo dilihat, Pak. Aku kok khawatir.”
Mendengar percakapan dari dalam kamar, ia semakin cepat membaca mantra-mantranya.
“Sudahlah, Bu, mungkin cuma kucing mengejar tikus. Lagian apa yang mau di curi dari kita kalau itu memang pencuri,” bisik si suami, lirih.
“Bapak ini piye, pencuri kok dibela!”
“Bukan membela, Bu. Ini malam ke-27 Ramadan. Kalau ini malam lailatulkadar, aku enggak mau ditulis Malaikat Atid gara-gara berprasangka aneh-aneh.”
Di pojokan, kakinya mendadak lemas. Suami-istri itu masih terus berbisik-bisik di dalam kamar.
Sialan, Triman benar. Lebih sial lagi ia tak mendapatkan apa-apa. Kalaupun dapat, ia harus menanggungnya seribu bulan. Semoga Rakib mencatat kesialannya ini sebagai pahala. n
Samarinda, minggu terakhir Ramadan 1435 H.
Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2014