Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
Barat dan Timur Jauh
Masa Lalu dan Masa ini
SATU
PEPOHONAN tak berdaun, batang-batang hitam terpeta lumut perak-hijau, reranting mereka terentang, serupa jejari kurus para penyihir. Salju menumpuki kota, mengubahnya menjadi bebukitan putih tak berpenghuni. Kanal dan cabang-cabang Wyre dan Lune membeku. Di dalam sungai kristal, ikan-ikan terperangkap, mati.
Petani mengalami gagal panen. Hutan tidak lagi menyediakan kayu bakar. Leret rumah-rumah batu tua retak berlubang. Pakaian yang compang. Roti dan sup hangat di atas meja membatu dalam bayangan. Jejaring laba-laba memenuhi baskom cuci piring dan rak kayu tua. Ini musim dingin yang panjang. Musim dingin yang tidak akan pernah berakhir.
DUA
KENDI liat milik ibu pecah di lantai rumah, tanpa menumpahkan setetes air, hanya kering dan laba-laba abu-abu yang tadi bersembunyi di dalamnya. Laba-laba berlari miring, menghilang di celah dinding jalinan daun kelapa kering.
Ibu berduka melepas kepergianku. Aku dan tiga kawan mendaki gunung, berjalan di satu sisi bumi yang hangus. Angin kering berkesiur, meratapi kematian dedaunan. Debu panas, retak tanah, bau kulit terbakar, kulit manusia. Kami bertelanjang kaki. Jejak kami menandai gurun merah. Bayangan kami membekas siluet hitam, semakin memanjang, dan kemudian menghilang ke balik senja. Ayah berjalan di sisiku. Dia berjalan dengan wajah bersalah, tanpa air mata, hanya wajah yang berjelaga.
Tenggorokanku perih, haus. Aku menjilat keringat asin yang menetes dari hidung. Aku terus berjalan, menginjak semak-semak kering, duri. Darah di kaki.
"Apakah kita akan bertemu lagi?" Ayah bertanya.
"Jika kita masih hidup, tentu saja," jawabku.
"Kau adalah harapan," Ayah tersenyum lemah. "Pergi sejauh kau bisa. Pergi. Karena hanya kematian menunggumu di sini."
"Bukankah kematian juga yang menungguku di ujung lain? Di penghujung senja?"
Ayah terdiam, senyumnya menjelma bulan sabit, lalu di langit gemintang bertaburan.
Aku mendongak dan berdoa "Langit, bawalah hujan."
Tapi hanya ada bintang yang berkedip-kedip. Pada mereka, aku bertanya, "Bintang, di manakah hujan? Pintalah awan gelap menutupi kalian barang sekejap. Kami perlu hujan."
Bintang-bintang berkelap-kelip. Kedip-kedip-kedip.
*** ***
*** ***
Ular mendesis dari bawah bebatuan.
"Ular panggang. Adakah liur kalian menetes, teman? Nyalakan api. Kita makan enak malam ini. Esok pagi, laut menunggu."
TIGA
"LIHAT, Daddy. Orang-orang itu sangat kurus."
"Ya, manis. Sekarang makanlah dulu. Matikan televisi itu dan duduk di sini.''
"Daddy, apakah mereka lapar?"
"Ya, sayang."
"Bisakah kita memberi mereka makanan?"
"Kita telah memberi mereka, little princess. Dua poundsterling setiap bulan."
"Tapi kenapa mereka masih kurus?"
"Sudahlah. Jangan berbicara saat makan, love. Selesaikan makanmu, setelah itu kita pergi melihat bintang."
EMPAT
SEBUAH kapal dagang besi besar. Di dalamnya ada ratusan peti kemas kayu.
"Mari kita menyelinap dan bersembunyi. Jangan bergerak, apalagi berbicara. Setelah laut, kita akan sampai di ujung lain dunia. Di sana ada ladang kentang, jagung, dan wortel. Rumput hijau membentang, sungai berkelok-kelok tenang. Sapi dan domba merumput dan tidur dengan perut kenyang. Dan di hutan, beri hitam dan beri biru tumbuh liar. Apel dan pir jatuh ke tanah, membusuk.
Mereka memiliki panen yang berlimpah. Selain itu, ada ratusan kapal dagang seperti ini, yang berlayar dari setiap sudut dunia, menyeberangi berbagai lautan, membawa makanan ke sana. Kita tidak akan pernah pernah kelaparan lagi. Kemudian, kita akan kembali ke rumah suatu hari. Kita akan membawa makanan untuk ibu dan ayah, bayi-bayi kehausan. Oleh karena itu, jangan bergerak, teman-teman, apalagi berbicara. Setelah lautan, kita akan tiba."
Udara di dalam peti kayu terasa basah oleh asin keringat. Kami tidak tahu apakah siang atau malam hari, di mana berada, tidak bisa menghitung hari dan bahkan tidak bisa melihat tangan sendiri, kaki. Teramat pekat dan kami mati rasa.
Kemudian, dari luar peti, kami mendengar ledakan memekakan telinga. Kapal bergoyang, peti bergeser.
"Apa yang terjadi?! Apakah kita sudah sampai?"
"Ssshh, tetap tenang."
"Aaaaaghhh!"
"Jangan berteriak."
"Ada sesuatu melukai punggungku!"
"Tolong diam. Gigit bibirmu. Atau kita semua akan ketahuan."
"Terlalu sakit. Sakit sekali. Aaaagh ... tolong!"
Kami mendengar langkah kaki di luar. Pintu peti dibuka. Lalu ada silau cahaya, siluet manusia.
"Saya menemukan penyelundup di kotak pojok!"
Siluet-siluet mendekat, berkacak pinggang.
"Kita apakan mereka?"
"Ada yang terluka. Tolong!"
Tidak ada jawaban. Mereka tidak mengerti. Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda.
Ada ledakan lain. Kapal bergoyang lebih kuat. Siluet tampak menari, menjaga diri mereka dari jatuh. Kemudian sirene alarm meraung. Siluet-siluet pergi. Mereka berlari. Mereka meninggalkan kami.
"Apa yang terjadi?"
"Apakah kita akan mati?"
"Aku mau muntah."
LIMA
Langit
*** *** ***
Matahari *** *** Bulan
*** ***
"Apakah itu bintang, Daddy? Apakah itu bulan? Bukankah hari masih siang? Atau di tempat ini, siang dan malam, serta perbedaan ruang dan waktu, berkumpul di langit luas?"
ENAM
"JANGAN mati di sini, putriku. Jangan mati. Terus bergerak. Kita hampir sampai, River Lune hanya selangkah lagi," Ma memegang tanganku.
"Lihat Ma, ada mayat beku di bangku."
"Terus berjalan, love."
"Ma, ia terlihat seperti manusia salju."
"Jangan pernah berhenti. Terus bergerak. Jika tidak, kau akan membeku.”
Bayangan gelap mendekat dari balik pepohonan tak berdaun. Seorang wanita tua, kurus, bungkuk dan lemah, jubah hitamnya lusuh-compang. Ada rantai besi mengikat pergelangan kakinya. Dia bergerak perlahan ke bangku, berusaha menyeret mayat.
"Ball!” ia berteriak.
Seekor anjing hitam besar dengan gigi tajam muncul entah dari mana. Anjing itu menggigit kaki mayat dengan giginya, menyeretnya ke balik pepohonan. Wanita itu berpaling kepada kami. Satu matanya lebih besar dari yang lain. Wajahnya keriput, penuh kerut-merut. Kami membeku. Ma meremas tanganku erat-erat. Kemudian wanita itu berbalik, mengikuti anjingnya. Mereka terus berjalan menuju Gallows Hill, sebuah bukit pucat yang dikelilingi oleh kabut. Dari jauh kami bisa mendengar dia menggumam mantra.
Double, double toil and trouble;
Fire burn and caldron bubble.1/
"Ma, apakah dia seorang penyihir?" bisikku.
"There’s no such thing as witches, dear. Jika ada, mereka pasti akan membuang semua dingin, salju dan slug dari kota ini."
"Mungkinkah penyihir yang menciptakan semua dingin, salju dan slug, Ma?"
"Teruslah bergerak."
"Tapi salju sangat tebal, Ma. Sulit untukku berjalan. Kakiku berat. Aku lelah."
"Terus bergerak, sweet pea. Kita akan mencapai sungai dan bertemu ayahmu yang kembali dari berlayar. Dia membawa gula dan makanan."
"Aku tidak bisa berjalan lagi, Ma."
"Jangan menyerah."
"Apakah benar ayah akan datang, Ma?"
"Ya, dia akan datang. Mereka kembali dari Semarang, membawa makanan dan gula. Wennington membawa mereka pulang."
"Bagaimana jika ayah tidak datang?"
"Teruslah bergerak."
"Jika dia tidak datang, Ma, apa yang akan terjadi pada kita?"
"Kita akan pergi. Kita akan pergi bersama kapal-kapal yang sudah disiapkan oleh Ratu."
"Ke mana kita akan pergi, Ma?"
Serpihan salju putih berputar dalam embusan angin. Kakiku sakit. "Ma, ke mana kita pergi bersama kapal-kapal?"
"Kita akan mengikuti bintang. Kita akan menuju matahari, karena hanya kematian menanti kita di sini Kita akan berlayar ke benua lain. Di sana mereka memiliki panen yang berlimpah. Kamu bisa makan apa pun yang kamu suka. Ada ... "
"Ma, kenapa kau berhenti? Ma, teruslah bercerita. Aku ingin mendengarmu, Ma. Ma, jangan hanya berdiri di sana. Ma ...."
Angin dingin berputar-putar, menghembus beku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Kami telah tiba di tepi Lune, tapi tidak ada Wennington, atau kapal-kapal Ratu. Hanya bayangan bintang berkelap-kelip di air sungai yang beku.
"Apakah itu bintang, Ma? Apakah itu bulan? Bukankah hari masih siang? Atau di tempat ini, di langit, siang dan malam, beda jarak ruang dan waktu, berkumpul jadi satu? "
TUJUH
"IBU, lihat! Orang-orang itu mati beku!"
"Matikan televisi. Makanlah dulu, Nak."
"Kasihan sekali. Bisakah kita membantu mereka?"
"Kita telah membantu mereka. Kita telah mengisi kapal mereka dengan rempah-rempah, gula, gas alam, kayu dan buah-buahan."
"Tapi mengapa mereka membeku sampai mati di tepi sungai? Di bangku-bangku taman?"
"Bahkan di negeri subur ini, bayi mengalami kekurangan gizi dan orang-orang yang mati kelaparan, sayang."
"Mengapa begitu, Ibu?"
"Bila dewasa nanti, kamu akan tahu mengapa."
"Apakah itu sebuah misteri?"
"Ya. Sekarang habiskan nasi. Lalu kita bisa pergi ke pantai."
Laut
***— — —***
Mercusuar ***— — —*** S.V Wennington
***— — —***
“Apakah langit yang kita lihat sebenarnya adalah laut, Ibu? Apa itu cahaya mercusuar dan bukan matahari? Apakah bulan sesungguhnya adalah lampu kapal? Apa bintang-bintang itu permintaan bantuan? Lihatlah, Ibu, mereka berkelap-kelip, kedip-kedip-kedip, mengirimkan kita kode Morse.”
Lancaster, 2012
1/ Dari ‘Macbeth’, oleh William Shakespeare.
Lampung Post, Minggu, 18 Mei 2014
Barat dan Timur Jauh
Masa Lalu dan Masa ini
SATU
PEPOHONAN tak berdaun, batang-batang hitam terpeta lumut perak-hijau, reranting mereka terentang, serupa jejari kurus para penyihir. Salju menumpuki kota, mengubahnya menjadi bebukitan putih tak berpenghuni. Kanal dan cabang-cabang Wyre dan Lune membeku. Di dalam sungai kristal, ikan-ikan terperangkap, mati.
Petani mengalami gagal panen. Hutan tidak lagi menyediakan kayu bakar. Leret rumah-rumah batu tua retak berlubang. Pakaian yang compang. Roti dan sup hangat di atas meja membatu dalam bayangan. Jejaring laba-laba memenuhi baskom cuci piring dan rak kayu tua. Ini musim dingin yang panjang. Musim dingin yang tidak akan pernah berakhir.
DUA
KENDI liat milik ibu pecah di lantai rumah, tanpa menumpahkan setetes air, hanya kering dan laba-laba abu-abu yang tadi bersembunyi di dalamnya. Laba-laba berlari miring, menghilang di celah dinding jalinan daun kelapa kering.
Ibu berduka melepas kepergianku. Aku dan tiga kawan mendaki gunung, berjalan di satu sisi bumi yang hangus. Angin kering berkesiur, meratapi kematian dedaunan. Debu panas, retak tanah, bau kulit terbakar, kulit manusia. Kami bertelanjang kaki. Jejak kami menandai gurun merah. Bayangan kami membekas siluet hitam, semakin memanjang, dan kemudian menghilang ke balik senja. Ayah berjalan di sisiku. Dia berjalan dengan wajah bersalah, tanpa air mata, hanya wajah yang berjelaga.
Tenggorokanku perih, haus. Aku menjilat keringat asin yang menetes dari hidung. Aku terus berjalan, menginjak semak-semak kering, duri. Darah di kaki.
"Apakah kita akan bertemu lagi?" Ayah bertanya.
"Jika kita masih hidup, tentu saja," jawabku.
"Kau adalah harapan," Ayah tersenyum lemah. "Pergi sejauh kau bisa. Pergi. Karena hanya kematian menunggumu di sini."
"Bukankah kematian juga yang menungguku di ujung lain? Di penghujung senja?"
Ayah terdiam, senyumnya menjelma bulan sabit, lalu di langit gemintang bertaburan.
Aku mendongak dan berdoa "Langit, bawalah hujan."
Tapi hanya ada bintang yang berkedip-kedip. Pada mereka, aku bertanya, "Bintang, di manakah hujan? Pintalah awan gelap menutupi kalian barang sekejap. Kami perlu hujan."
Bintang-bintang berkelap-kelip. Kedip-kedip-kedip.
*** ***
*** ***
Ular mendesis dari bawah bebatuan.
"Ular panggang. Adakah liur kalian menetes, teman? Nyalakan api. Kita makan enak malam ini. Esok pagi, laut menunggu."
TIGA
"LIHAT, Daddy. Orang-orang itu sangat kurus."
"Ya, manis. Sekarang makanlah dulu. Matikan televisi itu dan duduk di sini.''
"Daddy, apakah mereka lapar?"
"Ya, sayang."
"Bisakah kita memberi mereka makanan?"
"Kita telah memberi mereka, little princess. Dua poundsterling setiap bulan."
"Tapi kenapa mereka masih kurus?"
"Sudahlah. Jangan berbicara saat makan, love. Selesaikan makanmu, setelah itu kita pergi melihat bintang."
EMPAT
SEBUAH kapal dagang besi besar. Di dalamnya ada ratusan peti kemas kayu.
"Mari kita menyelinap dan bersembunyi. Jangan bergerak, apalagi berbicara. Setelah laut, kita akan sampai di ujung lain dunia. Di sana ada ladang kentang, jagung, dan wortel. Rumput hijau membentang, sungai berkelok-kelok tenang. Sapi dan domba merumput dan tidur dengan perut kenyang. Dan di hutan, beri hitam dan beri biru tumbuh liar. Apel dan pir jatuh ke tanah, membusuk.
Mereka memiliki panen yang berlimpah. Selain itu, ada ratusan kapal dagang seperti ini, yang berlayar dari setiap sudut dunia, menyeberangi berbagai lautan, membawa makanan ke sana. Kita tidak akan pernah pernah kelaparan lagi. Kemudian, kita akan kembali ke rumah suatu hari. Kita akan membawa makanan untuk ibu dan ayah, bayi-bayi kehausan. Oleh karena itu, jangan bergerak, teman-teman, apalagi berbicara. Setelah lautan, kita akan tiba."
Udara di dalam peti kayu terasa basah oleh asin keringat. Kami tidak tahu apakah siang atau malam hari, di mana berada, tidak bisa menghitung hari dan bahkan tidak bisa melihat tangan sendiri, kaki. Teramat pekat dan kami mati rasa.
Kemudian, dari luar peti, kami mendengar ledakan memekakan telinga. Kapal bergoyang, peti bergeser.
"Apa yang terjadi?! Apakah kita sudah sampai?"
"Ssshh, tetap tenang."
"Aaaaaghhh!"
"Jangan berteriak."
"Ada sesuatu melukai punggungku!"
"Tolong diam. Gigit bibirmu. Atau kita semua akan ketahuan."
"Terlalu sakit. Sakit sekali. Aaaagh ... tolong!"
Kami mendengar langkah kaki di luar. Pintu peti dibuka. Lalu ada silau cahaya, siluet manusia.
"Saya menemukan penyelundup di kotak pojok!"
Siluet-siluet mendekat, berkacak pinggang.
"Kita apakan mereka?"
"Ada yang terluka. Tolong!"
Tidak ada jawaban. Mereka tidak mengerti. Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda.
Ada ledakan lain. Kapal bergoyang lebih kuat. Siluet tampak menari, menjaga diri mereka dari jatuh. Kemudian sirene alarm meraung. Siluet-siluet pergi. Mereka berlari. Mereka meninggalkan kami.
"Apa yang terjadi?"
"Apakah kita akan mati?"
"Aku mau muntah."
LIMA
Langit
*** *** ***
Matahari *** *** Bulan
*** ***
"Apakah itu bintang, Daddy? Apakah itu bulan? Bukankah hari masih siang? Atau di tempat ini, siang dan malam, serta perbedaan ruang dan waktu, berkumpul di langit luas?"
ENAM
"JANGAN mati di sini, putriku. Jangan mati. Terus bergerak. Kita hampir sampai, River Lune hanya selangkah lagi," Ma memegang tanganku.
"Lihat Ma, ada mayat beku di bangku."
"Terus berjalan, love."
"Ma, ia terlihat seperti manusia salju."
"Jangan pernah berhenti. Terus bergerak. Jika tidak, kau akan membeku.”
Bayangan gelap mendekat dari balik pepohonan tak berdaun. Seorang wanita tua, kurus, bungkuk dan lemah, jubah hitamnya lusuh-compang. Ada rantai besi mengikat pergelangan kakinya. Dia bergerak perlahan ke bangku, berusaha menyeret mayat.
"Ball!” ia berteriak.
Seekor anjing hitam besar dengan gigi tajam muncul entah dari mana. Anjing itu menggigit kaki mayat dengan giginya, menyeretnya ke balik pepohonan. Wanita itu berpaling kepada kami. Satu matanya lebih besar dari yang lain. Wajahnya keriput, penuh kerut-merut. Kami membeku. Ma meremas tanganku erat-erat. Kemudian wanita itu berbalik, mengikuti anjingnya. Mereka terus berjalan menuju Gallows Hill, sebuah bukit pucat yang dikelilingi oleh kabut. Dari jauh kami bisa mendengar dia menggumam mantra.
Double, double toil and trouble;
Fire burn and caldron bubble.1/
"Ma, apakah dia seorang penyihir?" bisikku.
"There’s no such thing as witches, dear. Jika ada, mereka pasti akan membuang semua dingin, salju dan slug dari kota ini."
"Mungkinkah penyihir yang menciptakan semua dingin, salju dan slug, Ma?"
"Teruslah bergerak."
"Tapi salju sangat tebal, Ma. Sulit untukku berjalan. Kakiku berat. Aku lelah."
"Terus bergerak, sweet pea. Kita akan mencapai sungai dan bertemu ayahmu yang kembali dari berlayar. Dia membawa gula dan makanan."
"Aku tidak bisa berjalan lagi, Ma."
"Jangan menyerah."
"Apakah benar ayah akan datang, Ma?"
"Ya, dia akan datang. Mereka kembali dari Semarang, membawa makanan dan gula. Wennington membawa mereka pulang."
"Bagaimana jika ayah tidak datang?"
"Teruslah bergerak."
"Jika dia tidak datang, Ma, apa yang akan terjadi pada kita?"
"Kita akan pergi. Kita akan pergi bersama kapal-kapal yang sudah disiapkan oleh Ratu."
"Ke mana kita akan pergi, Ma?"
Serpihan salju putih berputar dalam embusan angin. Kakiku sakit. "Ma, ke mana kita pergi bersama kapal-kapal?"
"Kita akan mengikuti bintang. Kita akan menuju matahari, karena hanya kematian menanti kita di sini Kita akan berlayar ke benua lain. Di sana mereka memiliki panen yang berlimpah. Kamu bisa makan apa pun yang kamu suka. Ada ... "
"Ma, kenapa kau berhenti? Ma, teruslah bercerita. Aku ingin mendengarmu, Ma. Ma, jangan hanya berdiri di sana. Ma ...."
Angin dingin berputar-putar, menghembus beku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Kami telah tiba di tepi Lune, tapi tidak ada Wennington, atau kapal-kapal Ratu. Hanya bayangan bintang berkelap-kelip di air sungai yang beku.
"Apakah itu bintang, Ma? Apakah itu bulan? Bukankah hari masih siang? Atau di tempat ini, di langit, siang dan malam, beda jarak ruang dan waktu, berkumpul jadi satu? "
TUJUH
"IBU, lihat! Orang-orang itu mati beku!"
"Matikan televisi. Makanlah dulu, Nak."
"Kasihan sekali. Bisakah kita membantu mereka?"
"Kita telah membantu mereka. Kita telah mengisi kapal mereka dengan rempah-rempah, gula, gas alam, kayu dan buah-buahan."
"Tapi mengapa mereka membeku sampai mati di tepi sungai? Di bangku-bangku taman?"
"Bahkan di negeri subur ini, bayi mengalami kekurangan gizi dan orang-orang yang mati kelaparan, sayang."
"Mengapa begitu, Ibu?"
"Bila dewasa nanti, kamu akan tahu mengapa."
"Apakah itu sebuah misteri?"
"Ya. Sekarang habiskan nasi. Lalu kita bisa pergi ke pantai."
Laut
***— — —***
Mercusuar ***— — —*** S.V Wennington
***— — —***
“Apakah langit yang kita lihat sebenarnya adalah laut, Ibu? Apa itu cahaya mercusuar dan bukan matahari? Apakah bulan sesungguhnya adalah lampu kapal? Apa bintang-bintang itu permintaan bantuan? Lihatlah, Ibu, mereka berkelap-kelip, kedip-kedip-kedip, mengirimkan kita kode Morse.”
Lancaster, 2012
1/ Dari ‘Macbeth’, oleh William Shakespeare.
Lampung Post, Minggu, 18 Mei 2014