Sunday, September 1, 2013

Orang-Orang Tanjungkarang

Cerpen Alex R. Nainggolan


SIMAKLAH orang-orang Tanjungkarang, yang kerap gundah, menelusuri jalan-jalannya. Sepanjang lorong kota yang ramai, tapi terasa asing. Orang-orang yang selalu singgah, untuk merapikan bayang-bayang dirinya. Barangkali, kau akan menemukan riwayat dirimu sendiri, yang gemar memainkan masa lalu. Mengingat kenangan tak berbatas. Di jalan-jalan protokol yang akhir-akhir ini sering macet, mereka selalu di sana, berjalan, entah untuk apa. Mungkin ingin memotret berbagai realitas yang terasa panas. Barangkali ingin menghayutkan impian yang terus berbinar.

Aku mengenal mereka, sebagian pernah kutemui wajah-wajahnya di suatu tempat. Sebagian lagi kujumpai sebagai orang yang asing, baru pertama kali bertemu. Tetapi orang-orang Tanjungkarang, bukan pelamun yang parah. Mereka memang selalu terkesiap dengan sesuatu yang baru, tetapi tidak lama. Dengan cepat mereka menyadari bahwa mereka harus menemukan tempat yang baru lagi, yang lebih memukau. Demikian seterusnya. Dan di malam hari, mereka senantiasa mabuk dan takjub pada pijar lampu yang melulu berbinar. Di sini, cuma ada gedung-gedung yang terkurung. Sisa sejarah, di mana bangunannya beranjak dari tataran masa lalu yang datar. Sisa gundah, di mana kau akan memaku kenangan-kenangan lalu.
Dan, Tanjungkarang terus saja berbuah. Orang-orang ingin memetiknya, ingin membelahnya, seperti ketika kau dapati buah apel yang ranum di tanganmu. Kelak akan ada mata pisau yang membagi sama rata. Di Tanjungkarang, kau akan beranjak, mengikuti rutinitas yang makin koyak. Di sebuah kota, yang semestinya bisa kau tafsirkan sebagai semangat untuk perjalanan langkahmu ke depan.

Lihatlah orang-orang Tanjungkarang, yang gemar mengulum diri mereka sendiri. Perempuan-perempuan muda yang terus berjalan, mengikuti rel nasib, seperti menghidupkan tungku api, mencatat pengembaraan jauh yang makin tak bertepi. Maka kau akan mudah terhipnosis ketika melalui ruas-ruas jalannya. Sebagian orang yang begitu kau kenal, seperti dirimu di masa silam. Setiap sudut kelokan seperti menawarkan keajaiban, yang bagi sebagian orang, mampu melerai kesedihan. Sehabis ini kita akan menempuh setiap depa kota, sendirian, berusaha untuk memahami takdir yang sebagian terasa getir. Sebagaimana sinar matahari yang berkali-kali jatuh, memasuki ruas jalan. Di mana kau temui para pedagang, senyum perempuan menawarkan pakaian, para gelandangan yang menyemai harapan. Kau dapat melihat dari sinar mata mereka, yang tak bisa disembunyikan ke dalam ceruk yang jauh.

Seperti juga, ketika kau berkenalan dengan perempuan, pada saat kau sedang berjalan sendirian di kota ini. Kau mengingat, ia begitu gemar menuturkan dirinya sendiri, mengguratkan alamat, serta biografi diri yang tak mampu kau bantah. Lalu kau seperti menemukan keasingan yang datang dengan tiba-tiba, menyergap, tanpa bisa kau usir jauh-jauh. Kau melihat di tubuh perempuan yang baru saja kau kenal, tumbuh sayap. Katanya, perempuan itu ingin pergi jauh. Ke suatu tempat.
Di Tanjungkarang, kau seperti tersentak dengan berbagai rupa, warna-warni pandangan yang melebihi kilau sihir. Mendadak kau menjadi melankolis, seperti para pejalan kaki itu, yang menuju sebuah tempat, yang tak pernah direncanakan sebelumnya. Di Tanjungkarang, orang-orang melipat seluruh karat. Orang-orang yang merenangi dirinya masing-masing, tak sempat berbagi. Tetapi kau selalu merasakan keriangan setiap bertemu orang-orang Tanjungkarang.

Kemudian, kau menggoyangkan badanmu, mencoba mengguncangkan tubuhmu bahwa kau sedang tidak bermimpi. Bahwa kau tengah berada di sebuah kota. Kau seakan terlecut pada sebuah kenyataan, betapa kota ini menawarkan mantra yang berupa. Kemilau sihir yang hadir dari rerapat gedung, wajah orang-orang, atau lalu-lalang kendaraan.

*

Bagimu, terkadang, sebuah kota memang menyebalkan. Kau merasa kota selalu menawarkan ruang baru, yang menelisipkan rongga, seperti kau rasakan pembuluh dirimu yang patah. Tetapi di Tanjungkarang, segalanya jadi berbeda. Ya, meskipun sekali-dua kali kau menemukan cucupan kebencian baru. Kau dapat menebak, menerka, bagaimana mata orang-orang berubah jadi pisau yang berkilat. Kau dapat merasakan dengan seluruh impuls getar saraf, jika di antara orang-orang akan menusuk tubuhmu, hingga kau berlumur darah. Tetapi kehidupan acap menawarkan dua sisi mata uang, kau tak bisa dengan segera menebak tentang seseorang, apakah dia bajingan, atau orang biasa. Kau tak bisa menerka seseorang lewat tabiatnya, apakah ia baik hati, atau jahat.

Maka kau menerima segalanya dengan hati yang lapang. Mengingat wajah orang-orang Tanjungkarang, yang pernah dikenal atau belum. Kau seperti dihadapi dengan beribu sengat perasaan, hal-hal yang gampang buat dirimu jadi periang, pemuram, perenung. Kau seperti menyematkan alamat, suatu tempat yang pernah kau ingat, tentang orang-orang itu. Ah, berapa banyak wajah yang sebenarnya kau kenal, untuk kemudian menghilang?
Kemudian, kau akan bergegas dengan cepat. Melangkahkan kaki tergesa. Bukan karena hujan akan turun, bukan karena sinar matahari teramat terik. Namun, kau ingin melampaui orang-orang Tanjungkarang, kau ingin melewati mereka. Kau ingin mengamati dengan sekilas dan cepat wajah-wajah yang melahirkan muara pertanyaan baru bagi dirimu. Sekejap, kau ingat Freud, yang sering menghubungkan pribadi seseorang dengan raut wajahnya. Meskipun kau disentakkan berbagai kenyataan yang tunas, bahwa wajah seseorang kerap menipu. Melulu kau tertipu, ketika kau mengenal seseorang yang ternyata seorang bajingan. Walaupun berkali-kali kau menyelidiki seseorang yang kau kenal, meneliti asal-usul serta riwayatnya. Tetapi kau selalu saja tertipu.

                *

Lihatlah orang-orang Tanjungkarang, yang begitu gaduh. Menempuh semua keluh. Di sini, kau akan mendapati kota yang menjentikkan berbagai harapan. Kau merasakan masa lalu dengan segera hidup, untuk kemudian tercincang kembali. Orang-orang Tanjungkarang, sebagaimana sebuah waktu akan terus berputar. Melewati jalan-jalan protokol, stasiun kereta yang demam kenangan, pusat-pusat keramaian yang menjelma jadi lingkaran.

“Jadi kita akan ke kota lagi?” tanya seseorang.

“Ya, kenapa? Apakah itu merupakan kejanggalan bagi dirimu?”

“Apa yang akan kau cari di kota?”

Pertanyaan itu mengapung, seperti pelampung. Kau seperti terjebak di tengah lautan yang penuh ombak. Mengambang di tengah pengembaraanmu. Sesekali kau ingin mencari tempat berlabuh, di mana kau bisa mendaratkan tubuh lelahmu dari pengembaraan itu. Barangkali sebuah rumah dengan kamar yang rapi, tempat tidur yang hangat, di mana kau bisa membaringkan penatmu barang sejenak. Lalu, kau membayangkan kota ini sebelumnya. Hutan-hutan yang rapat. Pohon-pohon yang besar, dengan dedaunan yang menutupi setiap jengkal. Kegelapan. Kau membayangkan bagaimana pohon-pohon itu tumbuh.

“Kita sudah tiba di kota. Ayo, turun! Sekarang kita akan berjalan,” seru seseorang.

Lalu mereka pun berjalan. Mereka, para pendatang baru di kota ini, mulai melangkahkan kaki. Seakan kepingin menetaskan kerinduan pada kota. Mengintip di tempat-tempat keramaian. Mencumbui wajah orang-orang. Tetapi mereka tersengat dalam kenyataan, bahwa mereka juga berbaur dengan orang-orang itu. Mereka harus mengakui kenyataan, jika diri mereka telah menjadi orang-orang Tanjungkarang. Kelak, mereka akan memberitahukan segalanya. Menuliskannya menjadi sebuah cerita yang akan dibaca anak-cucu. Mereka terus berjalan, sebagaimana dirimu. Terus melalui genang jalan, mengurai kegundahan yang beranak-pinak di dalam dada.

Dan lusinan kabar baru hinggap lagi. Kabar-kabar yang tak pernah ditebak sebelumnya. Seperti juga mereka lalui jalanan sepanjang Tanjungkarang, dengan penuh kehati-hatian. Seperti juga dirimu yang mencoba menempuh jalan kota ini. Sendirian, penuh kehati-hatian, memahami dirimu sendiri. Mungkin, mereka juga dirimu ingin menyusun semua belulang ingatan. Pijakan-pijakan dalam dirimu yang tertahan, merapatkan sejumlah kesangsian yang lama berlalu.

Begitulah, kau mengenang Tanjungkarang. Kau mencoba mengingat-ingat sejumlah kota lainnya. Kota yang selalu tumbuh dari pusat peradaban dunia. Kau ingat Kota Roma yang didirikan dua saudara kembar: Romus dan Romulus. Tetapi di antara keduanya malah saling membunuh. Tinggal Romus sendiri. Roma yang bermula dari kota para perampok. Apakah seperti juga Tanjungkarang? Kau tak tahu. Atau ketika kau melintasi jalan Tanjungkarang sembari mengingat salah seorang kaisar Roma, Nero, yang membakar kota jadi terang-benderang hanya untuk mencipta sebuah puisi.
Bayangan kota lainnya hadir dalam ingatanmu, tentang Jakarta yang porak-poranda jadi lautan api di bulan Mei 1998, yang mengunyah dirimu pada sebuah lagu Bandung Lautan Api. Ah, betapa segalanya layak dikenang. Lidah-lidah api yang terus menjilat, seperti mencipta gambar datar, tentang tipografi sebuah kota.

Dan kau ibaratkan Tanjungkarang seperti seorang perempuan. Yang terus saja tersenyum, untuk meredakan kebimbanganmu. Perempuan yang menculik seluruh ingatanmu pada sebuah cinta yang makin tersia-sia. Seperti juga mereka, para pendatang baru, yang menguliti sudut Tanjungkarang. Mungkin, dirimu dan mereka akan bertemu di sebuah tempat. Sembari bersama-sama memandang Tanjungkarang dari kejauhan.

*

Simaklah orang-orang Tanjungkarang, yang selalu merawat impiannya. Di setiap kelok jalan, melangkahkan kaki seperti meraba kemurungan. Semacam sedih yang diawetkan di dalam toples kaca. Dan, aku, barangkali juga kamu memandangnya dari luar. n

Bandar Lampung, Tupai 40, 2004
Poris Plawad, Edelweis, 2013


Lampung Post, Minggu, 1 September 2013


No comments:

Post a Comment