Sunday, September 22, 2013

Abnormaphobia

Cerpen Sungging Raga


LELAKI itu baru saja duduk di ruang konsultasinya ketika tampak sosok seorang wanita muda di balik pintu kaca.

“Hm, semoga hari ini aku tidak mendapatkan klien yang aneh, cukup kemarin saja aku bertemu dengan seseorang yang takut dengan bayangannya sendiri,” ucap lelaki itu dalam hati. Ia lantas membuka pintu, mempersilakan si wanita duduk, dan seperti biasa, ia memulai dengan kalimat yang sama:

"Selamat pagi, hari yang indah untuk berbagi perasaan pada orang lain. Jadi, apa keluhan Anda?” Ia bertanya sambil tersenyum, sementara wanita itu masih terlihat mencemaskan.

“Saya benar-benar takut,” jawab wanita itu.

“Takut apa?”

“Saya takut tidak bisa merasakan ketakutan lagi sama sekali.”

Lelaki itu langsung heran, sebenarnya ia ingin menggaruk-garuk kepalanya, tetapi itu bukan hal yang biasa dilakukan oleh seorang psikiater.

“Takut tidak bisa merasakan ketakutan lagi?” tanya lelaki itu.

“Benar. Ini membuat saya cemas, sampai-sampai beberapa hari terakhir ini saya susah tidur.”

“Bisa Anda ceritakan lebih detail contoh-contohnya?”

Maka lelaki itu menyimak baik-baik ketika wanita itu mulai bercerita dengan wajah yang pucat:

Pada suatu pagi, wanita itu bangun tidur dalam keadaan tidak takut kepada hal apa pun. Ia langsung menyadarinya ketika melihat seekor kecoa hinggap di hidungnya, seekor kecoa yang benar-benar kecoa, bukan jelmaan siapa-siapa. Biasanya, setiap melihat kecoa di mana pun dan kapan pun, ia akan langsung melompat, menjerit, dan berlari menyelamatkan diri ke tempat yang steril. Namun, pagi itu berbeda, ketika sepasang matanya melihat kecoa sedang hinggap di hidungnya, ia justru memungut kecoa itu dan langsung mengunyahnya begitu saja, tanpa rasa takut sama sekali.

"Kecoa itu Anda makan?” tanya si lelaki psikiater.

“Iya. Rasanya seperti tempe bacem.”

“Hm. Silakan dilanjutkan.”

Kemudian wanita itu bercerita tentang interaksinya dengan anjing tetangga yang bernama Balaidos. Sudah bertahun-tahun Balaidos mengganggu hari-hari wanita itu. Ia tak habis pikir bagaimana tetangganya begitu sabar merawat seekor anjing yang suka menyalak pada siapa pun dalam radius sepuluh meter. Setiap pagi dan sore, wanita itu akan dikecam rasa takut ketika melintas di halaman rumah tetangganya, ia bahkan sering berlari karena tak tahan mendengar suara anjing apalagi melihat bagaimana mulut anjing itu menganga dan menampakkan lidah terjulur. Karena anjing itu pula, wanita itu enggan menyapa tetangganya.

Namun, tidak untuk pagi itu, ketika ia keluar rumah dan melihat anjing itu sedang kencing di pagar, wanita itu langsung mendekatinya, lalu meninju wajah anjing itu sebanyak tiga kali sampai pingsan. Tetangganya ikut pingsan karena tak percaya saat melihat apa yang dilakukannya...
Lelaki itu mulai mencatat beberapa ucapan si wanita. Suasana di ruang konsultasi itu beranjak serius.

“Selain anjing dan kecoa, ada keanehan apa lagi?” tanya si psikiater.

“Hm, apa, ya? Biasanya saya takut mengenang sesuatu, tapi sekarang saya suka mengingat hal-hal yang telah berlalu.”

“Bukan. Maksud saya, selain hal-hal yang melankolis.”

Wanita itu kemudian bercerita bagaimana ia sudah tidak takut ketinggian, tidak takut naik roller coaster, tidak lagi menderita claustrophobia, ia juga tidak takut dimarahi bos tempatnya bekerja kalau datang terlambat, tidak takut ditilang polisi, tidak takut kegemukan, dan tidak takut kesepian.

“Wah, kompleks sekali.” Lelaki itu mengangguk-angguk.

“Jadi, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan untuk mengembalikan rasa takut saya. Semua keanehan ini membuat saya takut. Saya benar-benar takut tak bisa merasakan ketakutan selamanya.”

“Sebentar, sebentar, saya juga bingung.”

Wanita itu menghela napas, “Saya datang kemari bukan untuk melihat Anda bingung. Kalau Anda bingung, seharusnya Anda tidak jadi psikiater."

“Lo, satu hal yang harus Nona tahu, sebenarnya saya sendiri bingung kenapa saya jadi psikiater, dulu saya bercita-cita jadi masinis.”

“Sewaktu mendaftar di jurusan psikologi Anda belum merasa bingung?”

“Nah, itulah masalahnya, saya bingung kenapa dulu saya tidak bingung ketika memilih jurusan ini. Lagi pula saya lulus biasa-biasa saja.”

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Lelaki itu merasa takjub pada klien wanita yang mungkin cocok jadi istrinya ini.

“Begini saja, Nona... Ah, saya bahkan belum kenal nama Anda?”

“Saya Nalea. Nalea Mendieta.”

“Hm, ya, ya. Nona Nalea. Boleh tahu pekerjaannya?”

“Saya bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan seluler. Kadang juga bekerja sampingan sebagai tokoh cerita pendek.”

“O.. Begitu. Sudah menikah?”

“Belum.”

“Wah kebetulan.”

“Jadi bagaimana solusinya?”

“Em. Begini. Saya rasa, satu-satunya hal yang bisa mengembalikan rasa takut Anda adalah dengan menghadapi ketakutan terbesar.”

“Ketakutan terbesar?”

“Benar.” Lelaki itu tersenyum cerah.

“Apa itu? Jangan bilang itu sesuatu yang sangat rumit seperti istilah-istilah psikologi.”

“O, tentu tidak. Yang saya maksudkan adalah, kematian.”

“Kematian?”

“Ya. Saya sarankan, coba Anda menyeberang di Jalan Kaliurang. Anda tahu jalan itu, kan? Itu jalan yang nyaris mustahil dilalui penyeberang jalan karena semua pengendaranya adalah pembalap. Jadi, coba Anda menyeberang di jalan itu. Kalau Anda takut, berarti Anda sembuh.”

Wanita itu seperti langsung menemukan cahaya harapan yang gemilang.

“Sepertinya menarik. Benar-benar ide brilian. Saya akan melakukannya siang ini juga,” katanya.

Ia berterima kasih sebanyak mungkin, memberikan sebuah amplop, dan mohon pamit.

***

Keesokan harinya, lelaki itu duduk santai di ruang konsultasinya sambil mendengarkan lagu-lagu Ensiferum dari earphone, Mark Toivonen tengah memainkan distorsi maksimal lagu Deathbringer From The Sky ketika wanita itu tampak dari balik pintu kaca. Buru-buru psikiater itu bangkit, melepas earphone yang masih mendengungkan musik, dan membuka pintu.

“Wah, ternyata Nona Nalea. Silakan masuk.”

Wanita itu masuk dan duduk di kursi yang sama seperti kemarin.

“Hari yang indah untuk mendengarkan lagu-lagu kenangan. Ngomong-ngomong, bagaimana menyeberang jalannya? Sukses?”

Wanita itu mengangguk. “Iya. Sekarang saya sudah bisa merasakan ketakutan lagi, ternyata menyeberang jalan Kaliurang itu memang mengerikan sekali.”

“Nah. Saya bilang juga apa, pasti Nona takut menyeberang di jalan itu. Artinya Nona sudah sembuh karena berhasil mengembalikan ketakutan terhadap sesuatu. Selamat atas kesembuhan ini, tapi tak usah terlalu memuji saya, saya hanya membantu sekadarnya, sudah kewajiban saya untuk membantu meringankan masalah setiap orang, termasuk Nona Nalea yang cantik dan kebetulan...”

“Tapi,” Wanita itu memotong, “Ada satu penyakit baru yang menimpa saya, yang saya harap Anda bisa menolong untuk menyembuhkannya sekali lagi.”
“Penyakit baru?”

“Benar. Untuk itulah saya datang kemari.”

“Boleh saja. Apa itu?”

“Begini. Biarpun saya sudah merasa takut ketika hendak menyeberang, tetapi kemarin, saya telanjur melangkah ke tengah jalan Kaliurang yang sangat ramai itu.”

“Hah? Lalu?”

Wanita itu sedikit memajukan tubuhnya mendekati sang psikiater, lalu ia berbisik: “Jadi, bisakah Anda menyembuhkan kematian saya?” n

Yogyakarta, 2013


Lampung Post, Minggu, 22 September 2013

No comments:

Post a Comment