Cerpen Tandi Skober
BERMULA dari iseng chatting internet, Aini (17) dan Dading (17) bersua kreatif, akrab, dan nyeleneh. Meski masih SMU, Aini mengaku mahasiswi pascasarjana (S2), sementara Dading yang juga masih SMU berpura-pura sebagai eksekutif muda yang baru saja menggondol gelar magister dari sebuah univeritas negeri.
Kebohongan identitas itu berlanjut hingga saling berkirim SMS yang sesekali saling bertukar misscall. Bahkan saling menyapa “say hello” melalui radio FM. Untuk meyakinkan true lies itu Aini kerap meminta tolong Asih (27)—mahasiswi pascasarjana—setiap kontak SMS dengan Dading. Demikian juga Dading, agar bisa diyakini bahwa dirinya adalah sosok eksekutif muda bergelar doktor, selalu meminta agar Kana (30)—eksekutif muda—mengajari teks-teks berwacana intelektual. Tak aneh apabila, pada posisi tertentu pada akhirnya interaktif SMS itu dilakukan antara Asih dan Kana.
Waktu bergulir. Interaktif SMS yang semula bernada biasa-biasa saja menjadi ajang curhat. Saat akhir pekan, misalnya, Aini dan Dadang saling meluncurkan imajinasi-imajinasi seperti layaknya remaja sedang “falling in love”. Pada malam-malam tertentu kadang ada pertengkaran SMS meski selalu berakhir untuk saling merindu.
Hingga pada titik didih kasmaran tertentu, ada hasrat yang tak cuma sekadar bertukar SMS, yang cuma memiliki mimpi dan bayang-bayang dalam kemasan imajinasi aneh, keduanya—Aini dan Dadang—bersepakat bersua sosok di sebuah kafe, Sabtu, pukul 20.00.
Di sini timbul masalah. Aini ragu. Saat temu perdana nanti, ia harus berbuat apa untuk meyakinkan Dadang bahwa dirinya bukan anak SMU, tapi seorang mahasiswi pascasarjana. Demikian juga Dadang, ia cari akal untuk meyakinkan bahwa dirinya bukan anak SMU, melainkan sosok eksekutif muda energik dan mapan.
Tak pelak, baik Aini maupun Dadang mencoba mencari trik-trik tertentu, putar otak. Terus? Apa boleh buat, lagi-lagi, untuk penampilan dan sang keyakinan itu, dua remaja itu meminta bantuan pada seniornya.
Aini, misalnya, didandani Asih. Remaja berusia 17 tahun itu diubahsuai menjadi wanita matang berusia 27. Dan Dadang dipoles Kana agar berpenampilan lebih dewasa seolah-olah berusia 30 tahun.
Aini untuk pertama kalinya mengenakan gaun malam dengan belahan dada sedikit terbuka, rambut ditata terurai dan memakai lipstik. Di depan cermin Asih tersenyum, terkagum-kagum memandangi Aini, “Kamu tidak lagi cewek SMU, Aini! Kamu benar-benar seperti bidadari cantik cerdas dan aku yakin Dadang yang eksekutif muda akan terpesona memandang kamu.”
Akan halnya Dadang berkemaja lengan panjang formal, rambut disisir rapi lurus berminyak licin. Tentu, Dadang mengenakan kacamata. Dan satu lagi, Kanu memberikan kunci mobil pribadi kepada Dadang. "Aku pinjami kamu mobil. Ini agar kamu diyakini Aini sebagai eksekutif muda! Kamu harus calm dan confident! Tatap mata Aini dengan sinar mata lembut tepat di antara dua matanya. Oke?” Dadang mengangguk.
Bersuakah mereka? Ternyata, tidak. Baik Dadang maupun Aini cuma berdiri kebingungan di depan pelataran kafe. Ada keraguan dan debaran jantung yang aneh yang membuat keduanya tidak percaya diri. Terus? Keduanya, secara bersamaan, tepat pukul 20.00, dari pelataran parkir kafe saling mengirim SMS “Sorry, aku nervous. Ragu. Sebaiknya temu kita dibatalkan!”
Hasrat untuk bersua sosok yang selalu berakhir aneh dan urung itu, berlangsung beberapa kali. Hingga sekali tempo Tuhan mempertemukan mereka melalui lomba baca puisi. Aini dari SMU 1 diutus sekolahnya untuk mengikuti lomba baca puisi. Demikian juga Dadang menjadi wakil SMU 2 untuk ikut berpartisipasi mengikuti lomba baca puisi.
Saat lomba berlangsung dan menunggu giliran manggung, Aini dan Dadang duduk berdampingan. Dan tentu saja, tidak saling kenal. Tapi saat saling bertatapan, baik Aini maupun Dadang merasakan getar-getar halus yang merambati jiwanya, agak aneh tapi nyaman. Dan keduanya saling tersenyum.
Aini tampilkan puisi—meski karya Asih—tapi diakui sebagai karya pribadinya Air Mata Mengalir di Jarimu. Sedangkan Dadang tampilkan karya Kana yang juga diakui sebagai karya dirinya berjudul Jangan Biarkan Bulan Tenggelam.
Tentu saja, puisi dua remaja itu—yang pada hakikatnya ditulis remaja dewasa itu—menjadi puisi terbaik yang memukau para dewan juri. “Puisi kontemplasi yang berlari jauh melampaui batas usia remaja tujuh belasan,” komentar ketua dewan juri.
Hingga pada hari “H” final lomba, keduanya duduk berdampingan menanti pengumuman dewan juri. Aini harap-harap cemas. Dadang berkeringat dingin. Seperti biasa, bila begini Aini mengirim SMS untuk Dadang. Demikian Dadang, ia agak gemetar memijiti HP kirim SMS ke Aini. Dan? Secara bersamaan HP Aini dan Dadang berbunyi tiitttttt! Keduanya saling tukar pandang. Aneh! Sama-sama menerima SMS. Dan lebih aneh lagi ketika kedua remaja itu dinyatakan sebagai juara bersama dalam lomba puisi.
Aini dan Dadang saling angkat toast HP tanda sukses. Dan keduanya memijiti nomor miss call. HP sama-sama berdering. Hingga? Agak ragu Aini dan Dadang mengucapkan halo melalui HP masing-masing. Terus? Mereka berpandangan. Dua pasang bola mata berpijaran.
“Kamu?” sapa Dadang dan Aini refleks.
Di posisi inilah, keduanya sadar bahwa keduanya sebenarnya telah lama akrab. Mereka dipertemukan Tuhan lewat jalur lomba baca puisi. Mereka tertawa tak sadar saling berpelukan, melepas rindu yang selama ini cuma ada dalam imajinasi aneh yang selalu memasuki ruang malamnya.
Bermula dari chatting berakhir di arena puisi, cinta remaja itu bergulir linier dan indah. Dan mengalir hingga jauh. Hingga ada keyakinan yang sulit ditepis bahwa keduanya bagaikan sekotak cokelat manis tidak tahu mana manisan gula dan mana pula cokelat! Manunggal!
Hingga, sekali tempo, selintas angin menjadi badai di tepian cinta remaja itu. Sekelompok seniman senior menghujat puisi dua remaja itu.
“Pasti ini bukan karya Aini maupun Dadang! Ini kebohongan publik!” ungkap Afrizal, seorang penyair yang kerap nongkrong di Taman Budaya,
“Ini puisi plagiat! Saatnya kita adili dua remaja itu!”
Tentu saja, hujatan itu kabar buruk bagi Aini dan Dadang. Di sekolah, keduanya dilecehkan di majalah dinding. Karikatural Aini dan Dadang terpampang di majalah dinding ditimpali teks “Bohong!” Sementara di tabloid remaja hujatan agar Aini dan Dadang diadili lewat peradilan puisi terus-menerus mengalir. Lantas Aini dan Dadang? Cuek-cuek saja. Bahkan mereka bersedia diadili para pakar puisi di republik ini.
Peradilan puisi pun digelar di sebuah ruang disponsori sebuah tabloid remaja. Aini dan Dadang duduk berdampingan menghadapi para pakar puisi yang diketuai Afrizal. Suasana ramai hiruk pikuk dipadati para kawula muda. Dan Tuhan berpihak kepada jalinan kasih sayang yang steril. Ada lintasan-lintasan imajinatif keluar dari bibir dua remaja itu dalam bentuk teks-teks kalimat amat puitis, filosofis, dan mengalir begitu bagus.
Ini membuat Afrizal dan audiens terpukau. Bahkan amat terkagum-kagum manakala Aini dan Dadang secara spontas bisa menciptakan puisi yang rumit dan menyentak kalbu. “Luar biasa!” ucap Afrizal seraya berdiri memberi aplause. Tak cuma Afrizal para remaja di ruang peradilan pun bertepuk tangan.
Afrizal melangkah mendekati kedua remaja itu, memeluk Aini dan Dadang. ”Hands have no tears to flow,” ucap Afrizal. ”Kalian adalah sepasang pengantin puisi di republik yang kering yang tidak memiliki jejak-jejak sajak memukau.”
***
Hmm, sinopsis FTV karyaku itu langsung saya kirim via e-mail ke produser sinema. “Ini cerita paling ok, loh,” tulis saya mengantar sinopsis via e-mail ke produser X, ”Andai berminat, kirim dong honorarium.“
Hmm, sinopsis yang ditulis di Semarang, Wednesday, June 12, 2002 1:15:32 PM itu, sampai sekarang Tuesday, September 13, 2013 1:00:51 AM, tidak pernah berbalas honor. Apa boleh buat saya kirim ke Lampung Post dengan pengantar surat: ”Dikmas Udo Z. Karzi, buah duren buah kedondong, ini cerpen muat dong..”
Bandung, 3 September 2013
Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
BERMULA dari iseng chatting internet, Aini (17) dan Dading (17) bersua kreatif, akrab, dan nyeleneh. Meski masih SMU, Aini mengaku mahasiswi pascasarjana (S2), sementara Dading yang juga masih SMU berpura-pura sebagai eksekutif muda yang baru saja menggondol gelar magister dari sebuah univeritas negeri.
Kebohongan identitas itu berlanjut hingga saling berkirim SMS yang sesekali saling bertukar misscall. Bahkan saling menyapa “say hello” melalui radio FM. Untuk meyakinkan true lies itu Aini kerap meminta tolong Asih (27)—mahasiswi pascasarjana—setiap kontak SMS dengan Dading. Demikian juga Dading, agar bisa diyakini bahwa dirinya adalah sosok eksekutif muda bergelar doktor, selalu meminta agar Kana (30)—eksekutif muda—mengajari teks-teks berwacana intelektual. Tak aneh apabila, pada posisi tertentu pada akhirnya interaktif SMS itu dilakukan antara Asih dan Kana.
Waktu bergulir. Interaktif SMS yang semula bernada biasa-biasa saja menjadi ajang curhat. Saat akhir pekan, misalnya, Aini dan Dadang saling meluncurkan imajinasi-imajinasi seperti layaknya remaja sedang “falling in love”. Pada malam-malam tertentu kadang ada pertengkaran SMS meski selalu berakhir untuk saling merindu.
Hingga pada titik didih kasmaran tertentu, ada hasrat yang tak cuma sekadar bertukar SMS, yang cuma memiliki mimpi dan bayang-bayang dalam kemasan imajinasi aneh, keduanya—Aini dan Dadang—bersepakat bersua sosok di sebuah kafe, Sabtu, pukul 20.00.
Di sini timbul masalah. Aini ragu. Saat temu perdana nanti, ia harus berbuat apa untuk meyakinkan Dadang bahwa dirinya bukan anak SMU, tapi seorang mahasiswi pascasarjana. Demikian juga Dadang, ia cari akal untuk meyakinkan bahwa dirinya bukan anak SMU, melainkan sosok eksekutif muda energik dan mapan.
Tak pelak, baik Aini maupun Dadang mencoba mencari trik-trik tertentu, putar otak. Terus? Apa boleh buat, lagi-lagi, untuk penampilan dan sang keyakinan itu, dua remaja itu meminta bantuan pada seniornya.
Aini, misalnya, didandani Asih. Remaja berusia 17 tahun itu diubahsuai menjadi wanita matang berusia 27. Dan Dadang dipoles Kana agar berpenampilan lebih dewasa seolah-olah berusia 30 tahun.
Aini untuk pertama kalinya mengenakan gaun malam dengan belahan dada sedikit terbuka, rambut ditata terurai dan memakai lipstik. Di depan cermin Asih tersenyum, terkagum-kagum memandangi Aini, “Kamu tidak lagi cewek SMU, Aini! Kamu benar-benar seperti bidadari cantik cerdas dan aku yakin Dadang yang eksekutif muda akan terpesona memandang kamu.”
Akan halnya Dadang berkemaja lengan panjang formal, rambut disisir rapi lurus berminyak licin. Tentu, Dadang mengenakan kacamata. Dan satu lagi, Kanu memberikan kunci mobil pribadi kepada Dadang. "Aku pinjami kamu mobil. Ini agar kamu diyakini Aini sebagai eksekutif muda! Kamu harus calm dan confident! Tatap mata Aini dengan sinar mata lembut tepat di antara dua matanya. Oke?” Dadang mengangguk.
Bersuakah mereka? Ternyata, tidak. Baik Dadang maupun Aini cuma berdiri kebingungan di depan pelataran kafe. Ada keraguan dan debaran jantung yang aneh yang membuat keduanya tidak percaya diri. Terus? Keduanya, secara bersamaan, tepat pukul 20.00, dari pelataran parkir kafe saling mengirim SMS “Sorry, aku nervous. Ragu. Sebaiknya temu kita dibatalkan!”
Hasrat untuk bersua sosok yang selalu berakhir aneh dan urung itu, berlangsung beberapa kali. Hingga sekali tempo Tuhan mempertemukan mereka melalui lomba baca puisi. Aini dari SMU 1 diutus sekolahnya untuk mengikuti lomba baca puisi. Demikian juga Dadang menjadi wakil SMU 2 untuk ikut berpartisipasi mengikuti lomba baca puisi.
Saat lomba berlangsung dan menunggu giliran manggung, Aini dan Dadang duduk berdampingan. Dan tentu saja, tidak saling kenal. Tapi saat saling bertatapan, baik Aini maupun Dadang merasakan getar-getar halus yang merambati jiwanya, agak aneh tapi nyaman. Dan keduanya saling tersenyum.
Aini tampilkan puisi—meski karya Asih—tapi diakui sebagai karya pribadinya Air Mata Mengalir di Jarimu. Sedangkan Dadang tampilkan karya Kana yang juga diakui sebagai karya dirinya berjudul Jangan Biarkan Bulan Tenggelam.
Tentu saja, puisi dua remaja itu—yang pada hakikatnya ditulis remaja dewasa itu—menjadi puisi terbaik yang memukau para dewan juri. “Puisi kontemplasi yang berlari jauh melampaui batas usia remaja tujuh belasan,” komentar ketua dewan juri.
Hingga pada hari “H” final lomba, keduanya duduk berdampingan menanti pengumuman dewan juri. Aini harap-harap cemas. Dadang berkeringat dingin. Seperti biasa, bila begini Aini mengirim SMS untuk Dadang. Demikian Dadang, ia agak gemetar memijiti HP kirim SMS ke Aini. Dan? Secara bersamaan HP Aini dan Dadang berbunyi tiitttttt! Keduanya saling tukar pandang. Aneh! Sama-sama menerima SMS. Dan lebih aneh lagi ketika kedua remaja itu dinyatakan sebagai juara bersama dalam lomba puisi.
Aini dan Dadang saling angkat toast HP tanda sukses. Dan keduanya memijiti nomor miss call. HP sama-sama berdering. Hingga? Agak ragu Aini dan Dadang mengucapkan halo melalui HP masing-masing. Terus? Mereka berpandangan. Dua pasang bola mata berpijaran.
“Kamu?” sapa Dadang dan Aini refleks.
Di posisi inilah, keduanya sadar bahwa keduanya sebenarnya telah lama akrab. Mereka dipertemukan Tuhan lewat jalur lomba baca puisi. Mereka tertawa tak sadar saling berpelukan, melepas rindu yang selama ini cuma ada dalam imajinasi aneh yang selalu memasuki ruang malamnya.
Bermula dari chatting berakhir di arena puisi, cinta remaja itu bergulir linier dan indah. Dan mengalir hingga jauh. Hingga ada keyakinan yang sulit ditepis bahwa keduanya bagaikan sekotak cokelat manis tidak tahu mana manisan gula dan mana pula cokelat! Manunggal!
Hingga, sekali tempo, selintas angin menjadi badai di tepian cinta remaja itu. Sekelompok seniman senior menghujat puisi dua remaja itu.
“Pasti ini bukan karya Aini maupun Dadang! Ini kebohongan publik!” ungkap Afrizal, seorang penyair yang kerap nongkrong di Taman Budaya,
“Ini puisi plagiat! Saatnya kita adili dua remaja itu!”
Tentu saja, hujatan itu kabar buruk bagi Aini dan Dadang. Di sekolah, keduanya dilecehkan di majalah dinding. Karikatural Aini dan Dadang terpampang di majalah dinding ditimpali teks “Bohong!” Sementara di tabloid remaja hujatan agar Aini dan Dadang diadili lewat peradilan puisi terus-menerus mengalir. Lantas Aini dan Dadang? Cuek-cuek saja. Bahkan mereka bersedia diadili para pakar puisi di republik ini.
Peradilan puisi pun digelar di sebuah ruang disponsori sebuah tabloid remaja. Aini dan Dadang duduk berdampingan menghadapi para pakar puisi yang diketuai Afrizal. Suasana ramai hiruk pikuk dipadati para kawula muda. Dan Tuhan berpihak kepada jalinan kasih sayang yang steril. Ada lintasan-lintasan imajinatif keluar dari bibir dua remaja itu dalam bentuk teks-teks kalimat amat puitis, filosofis, dan mengalir begitu bagus.
Ini membuat Afrizal dan audiens terpukau. Bahkan amat terkagum-kagum manakala Aini dan Dadang secara spontas bisa menciptakan puisi yang rumit dan menyentak kalbu. “Luar biasa!” ucap Afrizal seraya berdiri memberi aplause. Tak cuma Afrizal para remaja di ruang peradilan pun bertepuk tangan.
Afrizal melangkah mendekati kedua remaja itu, memeluk Aini dan Dadang. ”Hands have no tears to flow,” ucap Afrizal. ”Kalian adalah sepasang pengantin puisi di republik yang kering yang tidak memiliki jejak-jejak sajak memukau.”
***
Hmm, sinopsis FTV karyaku itu langsung saya kirim via e-mail ke produser sinema. “Ini cerita paling ok, loh,” tulis saya mengantar sinopsis via e-mail ke produser X, ”Andai berminat, kirim dong honorarium.“
Hmm, sinopsis yang ditulis di Semarang, Wednesday, June 12, 2002 1:15:32 PM itu, sampai sekarang Tuesday, September 13, 2013 1:00:51 AM, tidak pernah berbalas honor. Apa boleh buat saya kirim ke Lampung Post dengan pengantar surat: ”Dikmas Udo Z. Karzi, buah duren buah kedondong, ini cerpen muat dong..”
Bandung, 3 September 2013
Lampung Post, Minggu, 29 September 2013