Sunday, January 20, 2013

Secarik Kertas dalam Perkabungan

Cerpen Iqbal Khoirurroziqin

YANG bisa dilakukan Ros hanya diam. Ayahnya mulai dikubur dalam sebuah galian tanah, yang memanjang. Ia hanya berdiri, memandang. Beberapa orang dan sanak saudaranya mulai memindahkan jasad ayahnya, dari keranda dengan cat hijau tua yang mulai pudar. Ros tetap berdiri. Tak masuk ke liang tanah yang digali. Sementara disebelah kanannya, ibunya dan Ann, kakak Ros, menangis di balik kacamata berwarna hitam legam. Ia amati dengan seksama, orang-orang mengatur jasad ayahnya dengan balutan kafan putih, bersih.

“Maafkan aku,” katanya dalam batin. Hanya itu yang mampu dia katakan.
Jasad ayahnya telah terbaring. Kaku dan dingin. Beberapa orang lalu kembali keluar dari lubang. Satu orang menutupi jasad, dengan balok-balok kayu. Sementara dua penggali tanah, telah siap dengan pacul yang menacap pada tanah. Dua nisan pun di pampatkan dalam-dalam. Beberapa menit berselang, sedikit demi sedikit, tanah mulai terayun, tertutup, memadat. Sebuah baki berisi bunga-bunga disodorkan pada Ros, juga Ann, ibunya, dan sanak keluarga yang lain. Tangan-tangan keluarga itu mulai menggamit bunga dan di taburkan pada tanah yang menimbun.  Seorang pemuka agama dengan alunan lantang, mulai menabur wacana-wacana doa. Semua yang datang di pemakaman itu, mulai menengadahkan tangan.

“Amin…Amin,” terdengar beberapa suara dari peziarah. Tapi Ros, hanya berucap beberapa kata.

“Maafkan aku,” ujar Ros kembali.

Seluruh ritus sudah dijalankan dengan baik adanya. Satu persatu peziarah, dari relasi ayah, ibu, kakaknya, dan juga Ros sendiri, mulai meninggalkan pemakaman dengan menyalami Ros, Ann, dan ibunya. Ben, kakak keponakan Ros dari pihak ayahnya, mengajak untuk kembali pulang. Tapi menolak. Ia ingin sendiri di pemakaman itu. Ros ingin meluangkan waktu yang lebih lama. Melihat sisa-sisa tanah yang telah mengering, terpanggang sengatan panas matahari.

Paman-paman Ros, baik dari keluarga ayah maupun ibunya, mulai mencoba untuk memberi pengertian kepadanya. Namun semua itu diacuhkannya. “Aku ingin sendiri!,” teriaknya dengan mata yang tak mengeluarkan sebulir air pun. Sontak keluarga besarnya terkejut dengan sikapnya. “Biarkan Ros sendiri,” kata ibunya dengan suara yang lemah, dengan paras pucat pasi. Mendengar perkataan ibunya, keluarga besar itu pun mulai meninggalkan Ros untuk tenggelam pada kesendirian.

***

Lima belas menit sudah, semenjak keluarga besarnya meninggalkan pemakaman. Ros masih tetap berdiri. Mungkin dalam bayang-bayang seluruh keluarga Ros, akan mengatakan bahwa, anak itu masih belum mampu menerima kenyataan, sebab sang ayah telah tiada akibat serangan jantung. Tapi seorang anak yang memandang makam ayahnya tak seperti itu. Ros tak pernah menyesali siapapun dan apapun. Menurutnya, yang terjadi, pasti akan terjadi. Dan jika ada sesuatu hal yang tak mungkin terjadi, maka tak terjadi. Begitulah Ros memaknai perihal tentang nasib dan mati.

Sudah lama Ros, berdamai dengan kematian dan begitu mencintai nasib. Baginya, nasib tak harus punya hal prevalen tentang baik atau buruk. Begitu juga halnya kematian, bagi Ros, adalah konsesif yang dilakukan para manusia. Ia percaya tak ada yang bernama kematian.

“Mengapa aku harus menangis? ketika seseorang yang dekat denganku pergi tak kembali? Apakah ini semua akibat sebuah kenangan?” beranjak pada kejadian saat Lev, kawan dekat Ros, yang memperkenalkannya pada karya – karya Tolstoy, mati, akibat penyakit anorexia yang akut, berkali-kali Ros memikirkan hal-hal tersebut.

Aneh memang, tetapi itulah Ros. Pemikirannya sudah banyak di tumbuhi sebuah nama, Tolstoy, di mana ia selalu ingat apa yang pernah ditulis oleh sastrawan Rusia tersebut. Di manakah kematian? Apakah kematian itu? tak ada rasa takut karena kematian tak ada.[1]  Ros tak hanya sekadar kutip mengutip kata. Apa yang telah ditulis Tolstoy tersebut, ia mencoba menafsirkan sendiri, hingga, perlu waktu yang cukup lama untuk bersepakat dengan itu semua. Pernah suatu ketika ia mencoba untuk menunjukkan gagasannya kepada Lev, bahwa kenanganlah yang membuat setiap manusia punya sebuah dogma yang menakutkan tentang suatu hal, kematian.

***

“Maafkan aku,” katanya untuk kesekian kali, kepalanya mendongak ke atas. Dilihatnya gumpalan awan bergerak terlalu lambat dan menutupi matahari, mendung menjadi, pada saat itulah rekahan masa lampau tak mampu di tampiknya. Bara api itu masih berkobar, dari ingatan yang tak mau memudar, mungkin waktu yang akan memadamkannya.

“Kau ingin jadi sastrawan! Dasar anak tak tahu di untung, sudah kusekolahkan tinggi-tinggi. Apa untungnya jadi seorang sastrawan? Hah! Kau juga ingin ikut-ikutan seperti mereka, mencari kebebasan!” kata ayahnya dengan berkaca pinggang, lima tahun silam. Ros sebenarnya ingin sekali menjawab dan membantah pernyataan ayahnya tersebut. Namun, ia di besarkan dari keluarga yang menjunjung tinggi norma kepatuhan, tak mampu berbuat apapun, lebih baik memendam amarahnya dalam diam.
Tak hanya itu.

Suatu waktu, Ros menulis sebuah catatan harian yang ia tulis pada beberapa kertas – mungkin telah menjadi buku – yang berisikan realita-realita atas apa yang dilihatnya sehari-hari. Catatan-catatan itu ia taruh di atas sebuah meja. Sepulangnya dari berkegiatan di luar rumah, ia sudah tak menemukan lagi catatan-catatannya. Kebingungan mendera. Kamar yang rapi itu dengan sekejap berubah menjadi acak. Hingga ia menyerah. Ia coba ingat-ingat kembali. Tapi keyakinan yang bulat itu mengatakan dengan pasti, bahwa catatan-catatan itu masih berdiam di atas mejanya. Sang ibu dan Ann, menjadikan objek-objeknya, dengan di berikannya bertubi-tubi pertanyaan.

“Aku membakarnya. Tulisanmu banyak yang provokatif. Aku tak suka. Inikah cara pelampiasan sastrawan terhadap kebebasan?” ujar ayahnya, yang membuat Ros harus mematung tak berdaya.

Semenjak kejadian-kejadian tersebut, hubungannya dengan sang ayah mulai retak. Walau dalam satu atap rumah, dan komunikasi di antara keduanya pun menjadi renggang. Tak sepatah kata pun terlontar, baik dari Ros maupun ayahnya.

Ibu dan Ann, sudah berpuluh-puluh kali mencoba untuk memberikan pendekatan dalam berbagai hal kepada keduanya, namun tak satu pun hasil positif yang di dapat.

“Bagaimana pun. Dia ayah kita, Ros, cobalah berdamai dengannya,” tutur Ann kepada adiknya.

“Biarkan Ros memilih jalan hidupnya. Ros hanya titipan-Nya yang diberikan kepada kita. Lunakkan sedikit hatimu,” kata Ibunya kepada sang ayah.

Dan ibunya tentu menyadari, bahwa karakter Ros adalah karakter ayahnya sendiri. Batu!

Waktu demi waktu, Ros pun mencapai puncak matang kedewasaannya, ia sudah menemukan sebuah jalan. Ia menyadari bahwa keputusannya untuk menentang ayah adalah sebuah perjudian besar dalam hidupnya. Apa yang dikatakan ayahnya mungkin saja benar, seperti sebuah kematian, kebebasan pun punya ketakutan dalam keterbatasannya sendiri. Namun jalan hidup seringkali menjadi nuansa yang begitu mengagumkan sekaligus memilukan. Ros menyadari dan banyak belajar banyak dari kematian Lev dan karya Tolstoy, yang membuat ia yakin dengan keputusannya menjadi seorang sastrawan. Sebuah pilihan yang tak banyak orang mau mengambil.

***

Ros pun mendekati nisan dan menjongkok. Ia belai satu persatu huruf yang mengukir nama ayahnya.  Ia pandangi dengan sepuas-puasnya, sosok yang selama ini menentangnya dalam mengambil persepsi tentang masa depannya.

“Mungkin hanya ini yang aku punya, dari sekian lama kita bersama, dan aku tak mampu membuatmu bahagia,” Ia rogoh sakunya, diambilnya secarik kertas, warnanya buram tak keruan. Mulutnya kini membuka, suara rendah itu mulai melafal, sesuai teks yang tertera:
"Di muka pintu masih/bergantung tanda kabung/Seakan ia tak akan kembali/memang ia tak kembali/tapi ada yang mereka tak/mengerti – mengapa ia tinggal diam/waktu berpisah. bahkan tak/ada kesan kesedihan/ pada muka/dan mata itu, yang terus/memandang, seakan mau bilang/dengan bangga: Matiku muda…”[2]

Dan kertas itu ditaruhnya, di antara bunga-bunga yang mulai diterpa angin. Ia lalu pulang, berlalu, dan hilang. Tanpa satu air mata.

Malang, 25 Desember 2012

[1] Diambil dari karya Leo Tolstoy, Matinya Ivan Illych.
[2] Penggalan puisi Dan Kematian Makin Akrab (Sebuah Nyanyian Kabung) dari Subagio Sastrowardoyo.



Lampung Post, Minggu, 20 Januari 2013









No comments:

Post a Comment