Sunday, January 6, 2013

Warisan Kematian

Cerpen Skylashtar Maryam


DI belakang pondok Bah Imang, dua rumpun melati tumbuh subur, menguarkan bau harum meski tanah di bawahnya tidak terlalu gembur.

***

Kasihan sekali lelaki itu, pundak dan dadanya telah banyak dibebani berbagai macam luka dan peristiwa. Ingatan dan kenangan. Tentang perempuan yang sangat ia sayang. Perempuan itu adalah renjana, bumi, semesta yang ke dalamnyalah ia berpusara. Tentang jundi-jundi yang juga ia sayangi; dua orang anak yang tak pernah tahu membalas budi. Tentang kampung dan sawahnya yang kini tergenang bangunan bernama pabrik atas nama peradaban dan kemajuan ekonomi. Ekonomi kerakyatan, yang di benaknya pantas untuk dicaci, layak untuk dimaki.

Dada lelaki itu yang dulu membusung sebagai juragan  pemilik berhektar-hektar tanah dan sawah  kini terlarung. Berganti dengan lengkung punggung renta yang semakin tertelikung. Banyak beban, banyak kemalangan yang ia hadapi di setiap jejalan hidup yang menikung.

“Kasihan Bah Imang, sekarang ia begitu melarat padahal dulu ia adalah lelaki kaya raya,” bisik salah satu tetangga dengan iba.

“Ck ck ck, kalau saja aku punya istri dan anak seperti istri dan anak Bah Imang, mungkin aku akan mengejar mereka hingga ke ujung dunia untuk membalaskan dendam,” bisik tetangga yang lain, kali ini dengan amarah nyaris muntah.

“Kalau aku, mungkin sudah gila atau bunuh diri sejak semula,” bisik yang lain lagi.

“Tapi sayangnya Bah Imang orang yang baik hati, dan orang baik hati hidupnya selalu susah,” keluh salah satu tetangga.

Bah Imang, lelaki yang seringkali menjadi pembicaraan para tetangga dari masa ke masa memang salah satu penduduk Kalihurip yang paling sengsara pasca pembelian paksa dengan dalih relokasi oleh para petinggi industri. Tanah dan sawah yang ia jual untuk pembangunan pabrik memang telah menghasilkan uang bermilyar-milyar rupiah. Uang yang mungkin tidak pernah tebayangkan oleh kebanyakan orang. Tapi ya, uang sebesar itu pernah mampir di tangan Bah Imang, lelaki yang kini ambruk dihantam gelombang, dijahati Tuhan bernama uang.

Tak banyak yang ia ingat dari masa-masa di belakang karena baginya segala macam kepahitan masa lalu hanya akan membuat hidupnya sedemikian deru. Namun benak tua di balik rambut berubannya sesekali berlari, bertepi di jerjak-jerjak imaji seakan segala peristiwa naas itu baru saja terjadi.

“Sudahlah, Kang. Tak usah kita beli tanah dan sawah lagi di sini. Lebih baik kita pindah ke kota, beli rumah dan membangun toko di sana. Biar anak-anak kita yang menjaganya,” bujuk Sumi, istrinya.

“Tapi Akang ini petani, Sum. Apa jadinya kalau Akang tinggal di kota?  Ongkang-ongkang kaki?  Tidak, Akang tak akan tahan menjalani hidup seperti itu,” tolak Bah Imang.

“Mau sampai kapan Akang jadi petani?  Berlumpur-lumpur, berpanas-panas?  Isum sudah bosan hidup di sini, Kang. Isum mau seperti perempuan-perempuan di kota, pergi ke pasar swalayan, memakai perhiasan mahal. Kita sekarang orang kaya, lebih dari kaya. Untuk apa harus menerus tinggal di sini?  Di Kalihurip?  Biarlah desa ini penuh dengan pabrik,” Isum mulai membujuk lagi.

Bah Imang tetap menggeleng. Baginya, hidup adalah menyaksikan setiap benih tumbuh di tanah melalui tangannya. Hidup baginya ada di antara sawah, ladang, empang, dan segala macam yang dihadiahkan alam. Bukan rumah mewah di kota besar, bukan berbelanja di pasar swalayan, bukan hidup seperti itu yang ia inginkan.

Keinginan-keinginan selalu mendatangkan setan, memang. Bah Imang larut dan dikebiri mimpi-mimpi yang tak sanggup ia beli. Bukan, bukan mimpinya sendiri, melainkan mimpi kedua anaknya dan mimpi sang istri.
Maka, dengan berbagai cara Isum mulai menggerogoti harta suaminya, pun kedua anaknya. Entah bagaimana uang dengan cepat berpindah tangan dan semua surat-surat berharga digantinamakan. Bah Imang kemudian tak memiliki apa-apa selain hayat dikandung badan dan sehelai pakaian yang ia kenakan.
Ia adalah lelaki yang dikhianati.

Istrinya, Isum kemudian pergi melarikan diri bersama seorang lelaki. Kedua anaknya hilang, meninggalkan Bah Imang sendirian.

***

Panas menerjang, sawah terjerang siang, seorang lelaki berjalan di antara pematang. Laki-laki itu, Bah Imang yang malang gontai melangkah, matanya nyalang namun raut wajahnya tenang.

“Kasihan dia, ya. Coba lihat itu, hampir setiap hari dia berjalan-jalan di sawah, di ladang, di tegalan. Mungkin dia rindu sawah dan ladangnya dulu,” kata Solih, salah satu tetangga Bah Imang.

“Aneh, kok bisa ya dia itu begitu tenang?  Apa tidak ada niat untuk menggugat harta kekayaannya?” timpal Parta, tetangga yang lain.

“Kita sendiri tahu, Bah Imang itu jenis orang yang tak begitu peduli terhadap harta. Waktu dia belum punya uang milyaran rupiah saja, dia lebih senang membantu orang lain yang kesusahan daripada menumpuk hartanya. Iya, kan?” sahut Imran.

Solih mengangguk. “Betul juga katamu, Imran. Mungkin Bah Imang sudah puas kita berikan sebuah pondok di pinggir mushola itu.”

Dua orang lelaki di depan Solih mengangguk, mata mereka kembali menuju kepada sosok Bah Imang yang kini diterjang jarak. Sosoknya semakin menjauh kemudian hilang di ujung pesawahan.

Bah Imang sendiri terus berjalan, menuju pondoknya, pondok yang sengaja dibangun oleh para tetangga untuk tempatnya tinggal. Bah Imang tidak lagi bertani, hanya menghabiskan hari dengan mengurus mushola renta tepat di pinggir pondoknya. Baginya, harapan apa pun dalam hidup sudah sedemikian aus.

“Aku tak butuh uang,” katanya kepada orang-orang. “Uang telah banyak membuatku menderita,” tambahnya lagi.

Maka tanpa kesepakatan tertulis, tetangga sekitar pondoknya bergantian menyediakan beras dan bahan pangan untuk Bah Imang meski tanpa diminta. Bah Imang sendiri menerima kebaikan tetanga-tetangganya dengan raut biasa saja. Makan juga perkara yang tak begitu ia pikirkan. Memang, dalam hidup Bah Imang kini, tak lagi banyak hal-hal yang harus ia genapi.
   
***

Malam itu Bah Imang duduk di beranda pondoknya, menatapi raut renjana yang murung disaput mendung. Berbekal secangkir kopi dan beberapa batang rokok kretek, matanya kembali menerawang.

“Bulan itu mengingatkanku pada Sumi,” bisiknya. “Apa kabarnya dia di dalam tanah sana? Ah, mungkin sedang berbulan madu dengan lelaki lacurnya itu ditemani cacing-cacing,” ia terkekeh, meludahkan dahak berwarna kelabu ke tanah.

Angin berdesing, membawa aroma hujan. Bah Imang bergeming, tetap meminum kopi dan merokok di beranda. Ada malam yang harus ia nikmati.

“Anak-anakku yang malang,” ia berdecak. “Apakah kalian masih bisa menggunakan uang di dalam sana?” ia kembali terkekeh.

Hujan mulai berderai ketika Bah Imang berjalan mengendap, mengelilingi pondoknya. Ia berjongkok tepat di dua rumpun melati yang tumbuh begitu subur meski tanah di bawahnya tidak terlalu gembur. Cuping hidungnya mengendus, mencium-cium bau bunga bercampur malam dan hujan.

“Melati yang baik, tolong jaga istri dan anak-anakku di dalam sana. Semoga harummu yang semerbak ini bisa mengharumkan mereka yang busuk dan serakah,” bisik Bah Imang. “Hah apa? Tidak, tidak… jangan bersedih begitu. Aku memang sengaja menanam mereka bersama uang-uang itu, yaaa… supaya mereka tidak merasa kehilangan apa-apa,” Bah Imang kembali terkekeh.

Ritual sejak setahun yang lalu itu berakhir dengan hujan yang semakin deras, maka Bah Imang berjingkat kembali ke pondoknya, masih terkekeh-kekeh.

***

Hari-hari berlari seakan tak memiliki tepi. Bah Imang tetap dengan riwayatnya yang karam sementara cerita-cerita tentangnya tetap saja berkumandang dari mulut ke mulut, dari warung ke warung, dari saung ke saung. Di mata dan mulut penduduk Kalihurip, ia adalah lelaki tua yang dikhianati, dikebiri mimpi-mimpi. Lelaki baik yang hidupnya tidak beruntung karena melulu disapu mendung.

Di belakang pondok Bah Imang, dua rumpun melati tumbuh subur, menguarkan bau harum meski tanah di bawahnya tidak terlalu gembur.

Bandung, 2012


Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013

No comments:

Post a Comment