Cerpen Aris Kurniawan
JADE belum mati. Dia hanya tak mau bertemu denganmu. Harimau dalam tubuhnya akan mengaum mendadak, haus darah, ingin menerkam, jika mengingatmu. Tak bisa dibayangkan bila bertemu. Dia terbang menyeberangi benua untuk membunuhmu dalam kepala dan aliran darahnya; menjinakkan harimau dalam tubuhnya. Di pulau terindah di dunia ini dia menemukannya. Dia melukis saban pagi. Saban sore. Saban malam. Dia melukis perjalanan yang ditempuhnya, orang-orang yang dijumpainya, pohon-pohon yang pernah menaungi tubuhnya, kereta api, bis, pesawat…
Warna-warna kelam mendominasi lukisan-lukisannya. Aku menduga itulah warna yang tepat buat membenam sepenggal kisah hidupnya yang pedih. Langit kusam. Lautan suram. Hutan-hutan, bebungaan, taman-taman, bahkan matahari tak ada yang memancarkan warna cerah di atas kanvasnya. Sungguh, lukisan-lukisan yang menjalarkan gelisah pada perasaan siapa pun yang menatapnya, sama seperti pelukisnya. Seakan Jade sengaja menjalarkan rasa gelisahnya pada orang-orang. Kini aku tahu ada orang yang memelihara kegelisahan.
Tak mudah memahami perempuan. Tapi Jade jauh lebih rumit lagi. Setidaknya buatku. Hampir setahun aku mengenalnya, tapi hanya sebagian kecil saja riwayat hidupnya yang bisa kuendus melalui sepatah dua patah kata yang meluncur dari bibirnya yang juga kelam oleh timbunan nikotin. Selain warna-warna kelam, itulah satu-satunya fakta yang dapat kutelusuri untuk menemukan jejak masa lalunya.
Aku tak pernah bertemu dengan Jade sebelumnya. Mungkin saja dia pernah berkeliaran di pantai itu, atau keluyuran di sepanjang jalan, keluar masuk toko buku, toko kaset, nongkrong di kafe, toko cenderamata, yang bertebaran di kota wisata ini. Dan tentu sangat mungkin dia pernah masuk ke toko bunga tempatku bekerja, membeli bunga. Pernah bertanya padaku tentang mawar, anyelir, teratai, kenanga…tapi aku tak mengingatnya. Banyak sekali pengunjung toko bunga. Aku tak mungkin mengingatnya satu persatu. Jade tidak memiliki banyak ciri khas yang menonjol pada tampilan fisiknya. Rambut keriting panjang keemasan. Sepasang matanya dalam dan berkantung. Tulang pipinya tinggi seperti struktur wajah model yang kerap kaulihat di majalah. Ada tato salib di punggung telapak tangannya yang pucat. Gelang dengan bermacam jenis dan bahan di kedua pergelangan tangannya yang kurus, mungkin agak sedikit membedakannya dari pengunjung lain. Tapi itu tak akan mampu kutengarai di tengah keramaian kota dan kesibukanku melayani sekian banyak pembeli bunga.
Aku baru dapat mengingatnya setelah dua kali mengantarkan bunga pesanannya pada suatu sore yang tidak terlalu cerah. Wajah Jade yang murung saat melihat kedatanganku.
“Terima kasih,” hanya itu yang diucapkannya dengan intonasi terdengar datar dan kaku. Pada kedatanganku yang kedua, pada pekan berikutnya, dia menawariku minum teh yang rupanya sudah disiapkannya sebelum aku datang. Tentu aku enggan menampik. Aku menghirup teh dengan sedikit gugup sembari melihatnya melukis. Ditangannya kuas itu bagai lidah yang menari-nari di permukaan kanvas. Dia memindahkan objek bunga ke dalam kanvas.
“Kamu suka lukisan ini,” tanyanya ketika memergoki aku menatap lukisannya dengan seakan-akan serius.
“Ya, aku suka lukisan bunga,” sahutku sekenanya.
“Kamu bekerja di toko bunga itu?”
“Ya…,” aku kebingungan harus menyebut apa di depan namanya.
“Saya Jade. Panggil Jade saja.”
“Sudiarja,” sebutku, “orang biasa memanggilku Arja”
Sejak itu aku rutin mengantar bunga pesanannya. Dia memesan semua jenis bunga yang ada di tokoku. Tapi yang lebih sering adalah bunga mawar. Semua bunga-bunga itu hanya untuk dilukisnya. Setelah itu dia buang di tong sampah yang selalu tersedia di studionya di lantai dua. Meski tanpa percakapan panjang dan seru, diam-diam kami merasa saling dekat satu sama lain. Dekat dalam keasingan kami masing-masing. Tapi aku tahu ada perasaan bahagia saat berada di rumahnya, berada di dekat Jade. Kurasa dia sepantar bibiku. Hampir saban minggu aku datang mengantar bunga pesanannya dan melihatnya melukis. Aku jadi hapal gerakan-gerakannya kala melukis. Dan aku mulai menyukai lukisan. Aku selalu mengantar bunga lebih banyak dari yang dia pesan.
Jade tinggal sendirian di rumah itu. Dia beli dari seorang petani. Rumah itu menghadap hamparan persawahan yang berundak-undak. Sementara halaman belakangnya, menghadang hutan kecil yang rimbun. Tampak biru kala menjelang malam. Aku kerap membayangkan betapa sepi hidup tanpa teman kecuali lukisan. Setiap aku datang mengantarkan bunga ia selalu tengah melukis. Tangannya tampak belepotan cat. Kadang warna cat menodai tangkai cangkir teh yang selalu disuguhkannya padaku. Dia berjalan tenang menyambut dengan ekspresi yang tak pernah berubah. Sekali dia pernah memberiku tisu untuk menyeka keringat di wajahku. Ini pun dilakukannya tanpa kata-kata. Maka tak kutepiskan jauh keinginan bertanya apakah dia tidak merasa sepi dan bosan sendirian. Jade membagi rumahnya menjadi lima ruangan. Dua ruangan di lantai dua dan tiga ruangan di lantai bawah. Kamar tidur dan studio tempatnya melukis di lantai dua. Ada perpustakaan di lantai satu, dua ruangan lainnya dibiarkan kosong membentang. Tampak tenang dan menyenangkan.
Jade pernah memintaku jadi model lukisannya. Dia mengarahkan aku duduk sejauh dua meter dari kanvas.
“Lepas topimu, Arja.”
“Begini, Jade?” kataku, kikuk.
“Santailah,” ujarnya mengarahkanku.
Suatu hari, tiga bulan sejak pertemuan pertama kami, Jade memintaku menemaninya pergi ke pantai, mengunjungi candi, melihat-lihat pura dari jarak dekat, menyusuri toko-toko cenderamata. Dia suka duduk berlama-lama menghadap pantai dengan mata mengerjap-ngerjap resah. Membiarkan aku dalam kebisuan. Seharian kami melakukan perjalanan, tapi hanya beberapa kalimat meloncat dari mulutnya untuk hal-hal yang mendesak. Misalnya meminta pertimbanganku saat memilih tas rajut di Pasar Seni Sukawati.
Sesampai di rumah, setelah agak lama tertegun menatap lukisan yang baru diselesaikannya kemarin, untuk pertama kalinya dia bilang tentang harimau di dalam tubuhnya, yang akan mendadak mengaum, haus darah, jika mengingatmu.
“Siapa dia Jade? Apakah dia musuhmu?” begitulah aku bertanya dengan sedikit ragu-ragu. Waktu itu aku mengira ia akan menguak riwayat masa lalunya. Ternyata perkiraanku meleset. Dia hanya mengatakan, “Seseorang dari masa laluku. Kau tak akan mengerti, Arja.”
Aku mengurungkan niat bertanya lebih lanjut. Karena aku melihat dia tak menginginkan itu. Tapi tak ada yang bisa mengekang pikiranku untuk mulai menerka-nerka bahwa dia memendam dendam yang besar pada seseorang. Sebuah dendam karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Selebihnya situasi tidak berubah. Kembali ke semula. Tak ada percakapan panjang. Hanya bahasa yang diantarkan lewat gerak tubuh kami masing-masing. Bahkan sampai sejauh itu dia tak pernah memanggil namaku secara lengkap. Aku pun hanya memanggilnya Jade. Karena hanya nama depannya itu yang aku tahu. Huruf F di belakangnya aku tak tahu kependekan dari apa. Mungkin Foster, atau Fitzgerald, atau Fonda. Semua hanya perkiraan saja.
Seperti biasa dia mengucapkan terima kasih dan senyum sekadarnya sebelum aku meninggalkan rumahnya. Dia menatapku dengan semacam permintaan maaf karena tak membagi masa lalunya padaku. Apakah karena aku baru tujuh belas tahun? Tapi sejak perjalanan itu aku diburu keinginan untuk mengetahui seseorang itu sekalipun tak tahu apa yang akan aku lakukan nanti jika mengetahui seseorang itu. Aku tak tahu harus merasa lega atau sebaliknya saat tak lama berselang, akhirnya dia menceritakannya.
“Aku mencintai dia sebesar cinta dia padaku. Tapi pada saat bersamaan harimau dalam tubuhku mengaum, ingin menerkam dan mencabik dirinya. Itu yang menyebabkan aku di sini,” bisiknya.
“Dia kekasih gelap ibuku.” Sorot matanya terluka.
“Jade,” ucapku. Aku mencoba memahami kalimatnya yang membingungkan.
“Aku tak bisa mencintai siapa pun selain dia,” desisnya.
Aku mendengar nada bersalah pada kalimat itu. Ribuan pertanyaan berdesakan di kepalaku. Aku pikir hebat sekali kamu. Mampu menerbitkan dua perasaan saling berlawanan pada saat bersamaan dalam benak Jade.
Dua minggu aku absen mengantar bunga ke rumahnya. Beberapa kali Jade menelpon ke toko, menanyakan bunga pesanannya. Aku selalu menjawab habis. Aku menunggu dia mengundangku. Aku ingin datang bukan sebagai pengantar bunga. Aku ingin datang sebagai diriku sendiri. Tapi tak ada telepon untuk itu. Jade hanya menginginkan bunga, seorang pengantar bunga yang dengan sukarela memperhatikanya melukis. Betapa menyedihkan.
“Kamu sakit, Arja?” tanyanya ketika aku muncul lagi mengantarkan bunga.
“Aku baik-baik saja, Jade. Kuharap kamu juga. Bisa melupakan seseorang itu.”
Jade menatapku sebentar. Lalu meneruskan kegiatannya melukis. Sementara dadaku dipenuhi gemuruh kekecewaan. Aku tak menyentuh teh yang dihidangkannya. Aku merasa harimau dalam tubuh Jade kini tumbuh pula di tubuhku. Ingin menerkammu. Apakah kamu telah memperlakukan Jade seperti dia memperlakukan aku? Sekuat daya aku menjinakkan harimau di tubuhku.
“Siapa lelaki itu, Jade? Katakan padaku. Biar kucekik dia” kataku dengan nada tinggi, yang bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya. Sesuatu meliuk di udara basah. Kusadari ini mungkin hari yang salah. Aku rasa harimau dalam tubuhku tak mampu kujinakkan. Melontarkanku dari dadaku sendiri. Aku merenggut bahu Jade.
“Siapa laki-laki itu?”
“Apa yang kamu lakukan, Arja!” Jade meronta, gemetar. “Kamu mabuk?” masih sempat kudengar kalimat itu, sebelum aku berhasil menikam harimau di tubuhku, lantas pergi berlari.
Jade mengejarku sampai pintu. Tapi dia tidak memanggilku. Harimau dalam tubuhku meronta-ronta, dia mengajakku kembali ke rumah Jade. Merobeknya. Tapi kaki-kaki kurusku terus berlari seperti terbang. Pohon-pohon menjadi saksi kejadian menyedihkan itu. Udara bagai penuh debu yang bikin sesak napasku.
Jade belum mati. Dia hanya tak ingin bertemu denganmu. Suatu sore, sepekan setelah peristiwa itu dia menemuiku di toko bunga. Meski tanpa kata-kata, aku tahu Jade ingin mengucapkan pamit padaku. Jade pergi untuk membunuh harimau dalam tubuhnya. Dia bilang kamu telah datang di pulau ini untuk mencarinya. Sekarang, seperti yang kamu lihat, rumah ini kosong. Dan maaf, aku tak bisa menjinakkan harimau di tubuhku. Berbaringlah sementara di ruangan studio ini. Nikmati lukisan-lukisan yang ada di sini. Biarkan kusiapkan liang untukmu di belakang rumah. Santai saja. Kamu masih punya cukup waktu.
Denpasar-Jakarta Desember 2012
Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012
JADE belum mati. Dia hanya tak mau bertemu denganmu. Harimau dalam tubuhnya akan mengaum mendadak, haus darah, ingin menerkam, jika mengingatmu. Tak bisa dibayangkan bila bertemu. Dia terbang menyeberangi benua untuk membunuhmu dalam kepala dan aliran darahnya; menjinakkan harimau dalam tubuhnya. Di pulau terindah di dunia ini dia menemukannya. Dia melukis saban pagi. Saban sore. Saban malam. Dia melukis perjalanan yang ditempuhnya, orang-orang yang dijumpainya, pohon-pohon yang pernah menaungi tubuhnya, kereta api, bis, pesawat…
Warna-warna kelam mendominasi lukisan-lukisannya. Aku menduga itulah warna yang tepat buat membenam sepenggal kisah hidupnya yang pedih. Langit kusam. Lautan suram. Hutan-hutan, bebungaan, taman-taman, bahkan matahari tak ada yang memancarkan warna cerah di atas kanvasnya. Sungguh, lukisan-lukisan yang menjalarkan gelisah pada perasaan siapa pun yang menatapnya, sama seperti pelukisnya. Seakan Jade sengaja menjalarkan rasa gelisahnya pada orang-orang. Kini aku tahu ada orang yang memelihara kegelisahan.
Tak mudah memahami perempuan. Tapi Jade jauh lebih rumit lagi. Setidaknya buatku. Hampir setahun aku mengenalnya, tapi hanya sebagian kecil saja riwayat hidupnya yang bisa kuendus melalui sepatah dua patah kata yang meluncur dari bibirnya yang juga kelam oleh timbunan nikotin. Selain warna-warna kelam, itulah satu-satunya fakta yang dapat kutelusuri untuk menemukan jejak masa lalunya.
Aku tak pernah bertemu dengan Jade sebelumnya. Mungkin saja dia pernah berkeliaran di pantai itu, atau keluyuran di sepanjang jalan, keluar masuk toko buku, toko kaset, nongkrong di kafe, toko cenderamata, yang bertebaran di kota wisata ini. Dan tentu sangat mungkin dia pernah masuk ke toko bunga tempatku bekerja, membeli bunga. Pernah bertanya padaku tentang mawar, anyelir, teratai, kenanga…tapi aku tak mengingatnya. Banyak sekali pengunjung toko bunga. Aku tak mungkin mengingatnya satu persatu. Jade tidak memiliki banyak ciri khas yang menonjol pada tampilan fisiknya. Rambut keriting panjang keemasan. Sepasang matanya dalam dan berkantung. Tulang pipinya tinggi seperti struktur wajah model yang kerap kaulihat di majalah. Ada tato salib di punggung telapak tangannya yang pucat. Gelang dengan bermacam jenis dan bahan di kedua pergelangan tangannya yang kurus, mungkin agak sedikit membedakannya dari pengunjung lain. Tapi itu tak akan mampu kutengarai di tengah keramaian kota dan kesibukanku melayani sekian banyak pembeli bunga.
Aku baru dapat mengingatnya setelah dua kali mengantarkan bunga pesanannya pada suatu sore yang tidak terlalu cerah. Wajah Jade yang murung saat melihat kedatanganku.
“Terima kasih,” hanya itu yang diucapkannya dengan intonasi terdengar datar dan kaku. Pada kedatanganku yang kedua, pada pekan berikutnya, dia menawariku minum teh yang rupanya sudah disiapkannya sebelum aku datang. Tentu aku enggan menampik. Aku menghirup teh dengan sedikit gugup sembari melihatnya melukis. Ditangannya kuas itu bagai lidah yang menari-nari di permukaan kanvas. Dia memindahkan objek bunga ke dalam kanvas.
“Kamu suka lukisan ini,” tanyanya ketika memergoki aku menatap lukisannya dengan seakan-akan serius.
“Ya, aku suka lukisan bunga,” sahutku sekenanya.
“Kamu bekerja di toko bunga itu?”
“Ya…,” aku kebingungan harus menyebut apa di depan namanya.
“Saya Jade. Panggil Jade saja.”
“Sudiarja,” sebutku, “orang biasa memanggilku Arja”
Sejak itu aku rutin mengantar bunga pesanannya. Dia memesan semua jenis bunga yang ada di tokoku. Tapi yang lebih sering adalah bunga mawar. Semua bunga-bunga itu hanya untuk dilukisnya. Setelah itu dia buang di tong sampah yang selalu tersedia di studionya di lantai dua. Meski tanpa percakapan panjang dan seru, diam-diam kami merasa saling dekat satu sama lain. Dekat dalam keasingan kami masing-masing. Tapi aku tahu ada perasaan bahagia saat berada di rumahnya, berada di dekat Jade. Kurasa dia sepantar bibiku. Hampir saban minggu aku datang mengantar bunga pesanannya dan melihatnya melukis. Aku jadi hapal gerakan-gerakannya kala melukis. Dan aku mulai menyukai lukisan. Aku selalu mengantar bunga lebih banyak dari yang dia pesan.
Jade tinggal sendirian di rumah itu. Dia beli dari seorang petani. Rumah itu menghadap hamparan persawahan yang berundak-undak. Sementara halaman belakangnya, menghadang hutan kecil yang rimbun. Tampak biru kala menjelang malam. Aku kerap membayangkan betapa sepi hidup tanpa teman kecuali lukisan. Setiap aku datang mengantarkan bunga ia selalu tengah melukis. Tangannya tampak belepotan cat. Kadang warna cat menodai tangkai cangkir teh yang selalu disuguhkannya padaku. Dia berjalan tenang menyambut dengan ekspresi yang tak pernah berubah. Sekali dia pernah memberiku tisu untuk menyeka keringat di wajahku. Ini pun dilakukannya tanpa kata-kata. Maka tak kutepiskan jauh keinginan bertanya apakah dia tidak merasa sepi dan bosan sendirian. Jade membagi rumahnya menjadi lima ruangan. Dua ruangan di lantai dua dan tiga ruangan di lantai bawah. Kamar tidur dan studio tempatnya melukis di lantai dua. Ada perpustakaan di lantai satu, dua ruangan lainnya dibiarkan kosong membentang. Tampak tenang dan menyenangkan.
Jade pernah memintaku jadi model lukisannya. Dia mengarahkan aku duduk sejauh dua meter dari kanvas.
“Lepas topimu, Arja.”
“Begini, Jade?” kataku, kikuk.
“Santailah,” ujarnya mengarahkanku.
Suatu hari, tiga bulan sejak pertemuan pertama kami, Jade memintaku menemaninya pergi ke pantai, mengunjungi candi, melihat-lihat pura dari jarak dekat, menyusuri toko-toko cenderamata. Dia suka duduk berlama-lama menghadap pantai dengan mata mengerjap-ngerjap resah. Membiarkan aku dalam kebisuan. Seharian kami melakukan perjalanan, tapi hanya beberapa kalimat meloncat dari mulutnya untuk hal-hal yang mendesak. Misalnya meminta pertimbanganku saat memilih tas rajut di Pasar Seni Sukawati.
Sesampai di rumah, setelah agak lama tertegun menatap lukisan yang baru diselesaikannya kemarin, untuk pertama kalinya dia bilang tentang harimau di dalam tubuhnya, yang akan mendadak mengaum, haus darah, jika mengingatmu.
“Siapa dia Jade? Apakah dia musuhmu?” begitulah aku bertanya dengan sedikit ragu-ragu. Waktu itu aku mengira ia akan menguak riwayat masa lalunya. Ternyata perkiraanku meleset. Dia hanya mengatakan, “Seseorang dari masa laluku. Kau tak akan mengerti, Arja.”
Aku mengurungkan niat bertanya lebih lanjut. Karena aku melihat dia tak menginginkan itu. Tapi tak ada yang bisa mengekang pikiranku untuk mulai menerka-nerka bahwa dia memendam dendam yang besar pada seseorang. Sebuah dendam karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Selebihnya situasi tidak berubah. Kembali ke semula. Tak ada percakapan panjang. Hanya bahasa yang diantarkan lewat gerak tubuh kami masing-masing. Bahkan sampai sejauh itu dia tak pernah memanggil namaku secara lengkap. Aku pun hanya memanggilnya Jade. Karena hanya nama depannya itu yang aku tahu. Huruf F di belakangnya aku tak tahu kependekan dari apa. Mungkin Foster, atau Fitzgerald, atau Fonda. Semua hanya perkiraan saja.
Seperti biasa dia mengucapkan terima kasih dan senyum sekadarnya sebelum aku meninggalkan rumahnya. Dia menatapku dengan semacam permintaan maaf karena tak membagi masa lalunya padaku. Apakah karena aku baru tujuh belas tahun? Tapi sejak perjalanan itu aku diburu keinginan untuk mengetahui seseorang itu sekalipun tak tahu apa yang akan aku lakukan nanti jika mengetahui seseorang itu. Aku tak tahu harus merasa lega atau sebaliknya saat tak lama berselang, akhirnya dia menceritakannya.
“Aku mencintai dia sebesar cinta dia padaku. Tapi pada saat bersamaan harimau dalam tubuhku mengaum, ingin menerkam dan mencabik dirinya. Itu yang menyebabkan aku di sini,” bisiknya.
“Dia kekasih gelap ibuku.” Sorot matanya terluka.
“Jade,” ucapku. Aku mencoba memahami kalimatnya yang membingungkan.
“Aku tak bisa mencintai siapa pun selain dia,” desisnya.
Aku mendengar nada bersalah pada kalimat itu. Ribuan pertanyaan berdesakan di kepalaku. Aku pikir hebat sekali kamu. Mampu menerbitkan dua perasaan saling berlawanan pada saat bersamaan dalam benak Jade.
Dua minggu aku absen mengantar bunga ke rumahnya. Beberapa kali Jade menelpon ke toko, menanyakan bunga pesanannya. Aku selalu menjawab habis. Aku menunggu dia mengundangku. Aku ingin datang bukan sebagai pengantar bunga. Aku ingin datang sebagai diriku sendiri. Tapi tak ada telepon untuk itu. Jade hanya menginginkan bunga, seorang pengantar bunga yang dengan sukarela memperhatikanya melukis. Betapa menyedihkan.
“Kamu sakit, Arja?” tanyanya ketika aku muncul lagi mengantarkan bunga.
“Aku baik-baik saja, Jade. Kuharap kamu juga. Bisa melupakan seseorang itu.”
Jade menatapku sebentar. Lalu meneruskan kegiatannya melukis. Sementara dadaku dipenuhi gemuruh kekecewaan. Aku tak menyentuh teh yang dihidangkannya. Aku merasa harimau dalam tubuh Jade kini tumbuh pula di tubuhku. Ingin menerkammu. Apakah kamu telah memperlakukan Jade seperti dia memperlakukan aku? Sekuat daya aku menjinakkan harimau di tubuhku.
“Siapa lelaki itu, Jade? Katakan padaku. Biar kucekik dia” kataku dengan nada tinggi, yang bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya. Sesuatu meliuk di udara basah. Kusadari ini mungkin hari yang salah. Aku rasa harimau dalam tubuhku tak mampu kujinakkan. Melontarkanku dari dadaku sendiri. Aku merenggut bahu Jade.
“Siapa laki-laki itu?”
“Apa yang kamu lakukan, Arja!” Jade meronta, gemetar. “Kamu mabuk?” masih sempat kudengar kalimat itu, sebelum aku berhasil menikam harimau di tubuhku, lantas pergi berlari.
Jade mengejarku sampai pintu. Tapi dia tidak memanggilku. Harimau dalam tubuhku meronta-ronta, dia mengajakku kembali ke rumah Jade. Merobeknya. Tapi kaki-kaki kurusku terus berlari seperti terbang. Pohon-pohon menjadi saksi kejadian menyedihkan itu. Udara bagai penuh debu yang bikin sesak napasku.
Jade belum mati. Dia hanya tak ingin bertemu denganmu. Suatu sore, sepekan setelah peristiwa itu dia menemuiku di toko bunga. Meski tanpa kata-kata, aku tahu Jade ingin mengucapkan pamit padaku. Jade pergi untuk membunuh harimau dalam tubuhnya. Dia bilang kamu telah datang di pulau ini untuk mencarinya. Sekarang, seperti yang kamu lihat, rumah ini kosong. Dan maaf, aku tak bisa menjinakkan harimau di tubuhku. Berbaringlah sementara di ruangan studio ini. Nikmati lukisan-lukisan yang ada di sini. Biarkan kusiapkan liang untukmu di belakang rumah. Santai saja. Kamu masih punya cukup waktu.
Denpasar-Jakarta Desember 2012
Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012