Cerpen Pay Jarot Sujarwo
Perempuan itu menggenggam belati. Matanya yang tajam sudah lebih dulu menikam dada lelaki. Napasnya terengah-engah. Tak kuat lagi menahan amarah. Entah sudah berapa kali, lelaki yang katanya mencintainya itu, meminta maaf sebab berselingkuh.
"Yang lalu bisa kumaafkan, tapi kali ini kau akan kubunuh." Perempuan itu nyalang. Lelaki tak melawan, saat belati menghujam hingga menghentikan detak jantungnya. Sekarang. Tangan perempuan itu berlumur darah. Darah yang sarat dendam.
***
Dia menutup jendela Window Explorer dari situs sebuah koran nasional yang terbit di negaranya. Seperti biasanya, setiap Minggu tiba, setelah bangun tidur dan menyeduh secangkir Espresso, dia menyalakan laptop dan mulai mengakses website media cetak di Indonesia.
"Hmm. Selingkuh lagi." Dia bergumam setelah selesai membaca sebuah cerpen minggu ini. Sampai hari ini, pikirnya, tema selingkuh masih saja laku untuk dipublikasikan. Atau barangkali selingkuh dalam kehidupan nyata memang memiliki kekuatan luar biasa untuk membuat para penulis memfiksikannya? Atau bisa juga para penulis itu memang gemar berselingkuh? Dia tak mau ambil pusing dengan perkara itu. Tapi mengenai cerpen-cerpen selingkuh, dari banyak cerpen yang telah dia baca, dia tetap punya satu nama idola. Agus Noor. Menurut dia, Agus Noor adalah cerpenis yang paling berhasil jika menuliskan perselingkuhan. Selingkuh Itu Indah adalah buku kumpulan cerpen favoritnya. Dia tidak pernah sekolah di Fakultas Sastra. Dia bukan pula kritikus sastra. Bukan pula pemerhati atau sekadar pengamat sastra. Dia hanya suka membaca sastra. Sewaktu dia kuliah, sempat pula menulis beberapa karya sastra di koran. Tapi tak terlalu banyak tulisan sastranya yang terbit dan kejadian itu sudah terlalu lama.
Selepas kuliah, hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh perjalanan. Meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta. Kurang lebih setahun di Jakarta, pindah ke Bogor, lalu Bandung. Kemudian pulang ke tanah kelahiran, Kalimantan. Di kalimantan, dia mulai jarang menulis sastra. Barangkali iklim menulis sastra di daerahnya waktu itu tidak seramai di Yogyakarta. Lagi pula dia tak punya teman yang bisa diajak bercakap-cakap soal sastra. Buku-buku sastra jarang ada. Internet waktu itu masih jadi barang mewah. Hanya satu dua warung internet di tengah kota. Kalaupun dia menghabiskan waktu di internet, betapa jarang dia membuka situs-situs sastra. Sekali dua memang dia membaca puisi T.S. Pinang, Hasan Aspahani, Saut Situmorang di internet. Juga ada orang-orang yang berkelahi di internet meributkan perkara sastra cyber dan sastra koran. Untuk urusan ini dia tidak mau ikut-ikutan. Dia tak suka berkelahi. Ah, kejadian itu sudah begitu lama.
Tak seperti sekarang. Internet ada di mana-mana. Orang-orang bisa setiap hari mentahbiskan diri mereka sebagai sastrawan. Tak bisa jadi sastrawan buku, jadi sastrawan koran. Gagal jadi sastrawan koran, jadi sastrawan blog. Tak bisa jadi sastrawan blog, jadi sastrawan Facebook. Hari ini begitu mudah.
Untuk menjaga proses kreatifnya, dia menulis catatan harian. Dia juga mengakrabi anak-anak remaja dan memotivasi mereka untuk gemar membaca dan menulis. Beberapa bagian catatan hariannya dia terbitkan jadi buku. Dia terbitkan sendiri. Dia sebar luaskan sendiri.
Lebih dari lima tahun dia di Kalimantan. Dia merasa tidak boleh lebih lama lagi berada di kampung halaman. Dia merasa harus kembali berjalan. Bukankah sejak lahir dia sudah dididik untuk menjadi pejalan? Dia ingat petuah bapaknya di hari pertamanya masuk SD, "Jika kau merasa sudah cukup berada di dalam kelas, keluarlah, berjalanlah sejauh mungkin. Sebab, di tempat-tempat yang jauh itu, kau akan banyak menemukan hal baru."
Dia kembali memutuskan untuk berjalan. Ke tempat yang sangat jauh. Menyebrangi banyak pulau, bahkan menyeberangi benua. Dari Asia ke Eropa, dari kampung kecil di Kalimantan, menuju kota besar bernama Sofia, ibu kota Bulgaria.
***
Musim dingin di Sofia baru saja berakhir. Hari itu langit cerah. Matahari menjadikan tumpukan salju mencair. Orang-orang memilih berada di luar rumah. Bertemu dengan sahabat, atau sekadar menghangatkan diri di pinggiran boulevard. Beberapa laki-laki terlihat mengerumuni dua orang pemain catur jalanan. Cericit burung di pepohonan kering menjadi isyarat bahwa musim semi telah datang. Musim yang dinanti-nantikan siapa saja. Musim yang penuh gairah.
Setelah dua jam berjalan kaki di bawah hangat matahari, dia memutuskan untuk mampir di National Art Gallery yang terletak di tengah kota Sofia. Di tempat itu sedang berlangsung pameran fotografi dari para fotografer Timur Tengah. Foto-foto itu terlihat begitu cantik. Tapi dia tidak terlalu tertarik. Temanya tentang perang. Ada senjata, darah, tangis anak-anak dan wanita. Dia tidak habis pikir, kenapa orang-orang suka memamerkan kekerasan seperti ini.
Hanya sebentar dia di dalam National Art Gallery. Dia memutuskan untuk keluar, menuju The Garden of Grand Hotel Sofia yang lokasinya tepat berada di depan galeri. Taman kota ini adalah salah satu taman kota yang paling sering dikunjungi saat matahari sedang cerah di Kota Sofia. Hari itu garden terlihat begitu ramai. Semua bangku penuh diisi orang-orang. Puluhan burung dara berkerumun di depan seorang tua yang tak henti melemparkan remah roti. Beberapa turis sibuk memotret. Sepasang remaja asyik berciuman. Di tempat itu, semua orang punya dunia mereka sendiri-sendiri.
Setelah tak menemukan bangku yang kosong, dia menghampiri seorang perempuan yang sedang asyik membaca. Perempuan itu hanya sendiri, masih ada celah untuknya duduk di bangku itu.
"Permisi, tak ada lagi bangku yang kosong. Boleh aku duduk di sini?" Dia menyapa. Perempuan menghentikan membaca sebentar. Setelah menatap wajahnya beberapa detik, perempuan itu menggeser pantatnya sedikit.
"Silakan," kata perempuan.
"Terima kasih." Dia duduk. Mengeluarkan sebuah buku. Tapi baru saja dia akan membaca, perempuan di sebelahnya bersuara, "Apakah kau dari Asia?"
"Ya," dia menjawab singkat, kembali mereka saling tatap.
"Tepatnya dari mana?"
"Borneo."
"Really? Borneo adalah negeri yang jauh sekali."
"Ya. Sangat jauh. Kau tau tentang Borneo?"
"Aku tau. Kakakku beberapa kali ke Borneo." Perempuan itu begitu bersemangat.
"Selain hutan tropis, Borneo juga dilewati garis equator."
"Ya. Aku juga mendengar tentang itu. Pasti di sana sangat panas. Aku akan senang menghabiskan waktu berlama-lama di tepi pantai Borneo. Di tempatmu ada pantai?"
"Tentu saja. Tiga jam dari pusat kota."
Lalu mereka saling berjabat. Dia menyebutkan namanya. Perempuan itu juga.
"Kalau asalmu dari mana?" dia balik bertanya.
"Aku asli Sofia. Kota tua yang ribuan tahun tak akan pernah lekang sebab orang-orangnya begitu rapi merawat sejarah."
Lalu kedua orang itu saling bercerita. Mereka terlihat akrab seperti sudah lama saling kenal. Dia bercerita tentang Kalimantan dengan ratusan anak-anak sungai. Garis khatulistiwa. Hutan-hutan tropis. Dan juga sejarah kelam tentang fasisme yang dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat 1).
Sementara perempuan itu bercerita tentang Sofia dari masa ribuan tahun sebelum Masehi, sampai hari ini. Pertama kali, ribuan tahun lalu, daerah ini diduduki Suku Thrakian Serdi, kemudian kedatangan Alexander Agung yang membuat Sofia dikuasai Romawi dan menjadi pusat administrasi daerah. Peperangan demi peperangan terjadi, hingga kemudian kota ini menjadi daerah kekuasaan kekaisaran Byzantium selama ratusan tahun sekaligus pertanda kejayaan Kristen di wilayah ini. Namun, perang tak pernah selesai. Tahun 1382, Sofia ditaklukkan pasukan Islam dari Turki di bawah bendera Ottoman Empire dan kemudian menduduki Bulgaria lebih dari 500 tahun. Tahun 1878 pasukan Rusia membebaskan Bulgaria dari tentara Ottoman yang berdampak hingga hari ini betapa banyaknya orang-orang Bulgaria menyimpan simpati mendalam kepada orang-orang Rusia 2).
"Tapi simpati tersebut ternyata tak juga mampu membebaskan seluruh penderitaan masyarakat Bulgaria." Perempuan itu menghentikan ceritanya. Diam sejenak, lalu lanjut bercerita, "Aku sedih, karena setelah Sofia dibebaskan Rusia, negara ini kemudian berkembang menjadi negara komunis. Bermula dari The Kingdom of Bulgaria yang berdiri tahun 1908, kerajaan ini sepenuhnya mengabdi kepada segala kehendak Rusia. Aku adalah generasi yang dibesarkan oleh peraturan-peraturan komunisme. Di masa itu, tak banyak yang bisa kami lakukan. Semuanya serbaterbatas."
"Tapi bukankah sekarang Bulgaria tak lagi berada dalam sistem komunisme?"
"Ya, sekarang kami sudah sedikit terbuka. Bahkan belum lama ini kami sudah tergabung dalam Uni Eropa, yang kata banyak orang ini adalah harapan baru bagi Bulgaria. Padahal menurutku, sampai hari ini, secara ekonomi, kami masih sangat terjajah."
Percakapan mereka terhenti sebab sayup-sayup terdengar suara musik perkusi dari halaman gedung National Theater Ivan Vazov yang tak jauh dari garden.
"Kau suka perkusi?" tanya perempuan itu.
"Sangat."
"Aku juga."
"Mari kita ke sana."
Kedua orang itu beranjak menuju asal suara. Di halaman gedung, lima remaja beraksi. Seorang memetik gitar, tiga orang menabuh jimbe, seorang lagi memainkan tamborin. Kelima remaja itu serta merta menghentikan langkah orang-orang yang berjalan. Orang-orang tak hanya melihat dan mendengarkan. Satu per satu kaki mereka bergoyang. Satu per satu tangan mereka bertepuk.
"Kau mau ikut berdansa?" Dia terkejut, sebab perempuan itu tiba-tiba menarik tangannya.
"Tidak. Aku tidak terlalu percaya diri. Kau sajalah, biar aku memotret." Dia menolak. Perempuan itu melepaskan tangannya. Lalu maju sendirian.
Dia kemudian mengambil kamera. Menembakkan lensanya ke wajah perempuan itu, ke arah orang-orang yang bergoyang, juga ke arah pemain musik. Tapi baru tiga kali jepret, tiba-tiba dia berhenti. Matanya mengarah ke para pemain perkusi. Tapi tatapannya kosong. Tiba-tiba kepalanya dirasuki kenangan. Suara-suara jimbe yang ditabuh Serikat Pengamen Indonesia di lembah UGM hari minggu pagi, waktu itu dia pernah ikut membaca puisi di sana. Petikan gitar dari Untung Basuki, waktu itu dia pernah mengantarkan bekas kekasihnya ikut latihan menyanyikan lagu-lagu puisi. Gemulai penari di Pendopo Agung Tamansiswa.
Kenangan-kenangan itu menyergap. Tiba-tiba dia rindu teman-teman lama. Menghabiskan malam bersama di bawah beringin Paku. Makan di angkringan depan kampus yang dibayar setelah mengambil honor puisi atau cerpen yang terbit. Wajah-wajah yang tak hirau dengan lapar demi menemukan diksi yang paling seksi.
Dia terdiam. Dadanya bergemuruh dengan kenangan beberapa tahun silam.
***
Setelah menyeruput, dia menyalakan rokoknya. Kembali diletakkan jemarinya di tuts laptop. Membuka situs jaringan sosial. Facebook. Betapa senangnya dia bertemu teman-teman lama. Teman-teman yang rajin ke loper-loper koran setiap minggu pagi. Hasta Indriyana, si penyair muda. Di facebook dia juga bertemu dengan Teguh Winarsho A.S., yang dulunya hampir setiap minggu cerpennya ada di koran. Dia juga bertemu Satmoko Budi Santoso, Sapardi Djoko Damono. Orang-orang ini sering menjadi inspirasi dia waktu rajin-rajinnya menulis sastra di semester-semester awal perkuliahaan. Bahkan dia bertemu dengan Agus Noor, cerpenis idolanya, yang betapa piawainya mem-fiksikan perselingkuhan.
Entah kenapa tiba-tiba dia kembali ingin menulis sastra. Barangkali karena rindu, betapa ingin dia menulis dan dibaca teman-teman lamanya.
Di hari yang lain, ketika gerimis pertama musim semi jatuh di Kota Sofia, lewat internet dia bercakap-cakap dengan teman. Dari teman ini dia mendapat beberapa e-mail redaktur sastra koran di negaranya. Kemudian kepada salah satu redaktur dia menulis:
Mas, bagaimana kabar di Indonesia? Sungguh saya teramat rindu. Berikut ini saya kirimkan sebuah cerpen, semoga bisa terbit di surat kabarmu. Maafkan aku, jika ceritanya bukan soal perselingkuhan.
Sofia, Maret 2010
1) Peristiwa Mandor: Pembantaian besar-besaran yang dilakukan fasisme Jepang saat berada di Kalimantan Barat (1942-1945). Pada saat itu dikenal juga dengan istilah pembunuhan satu generasi Kalbar, kerabat kerajaan, para cendikia, sampai ke rakyat kecil tewas dibunuh. Salah satu data menyebutkan 21.037 orang menjadi korban.
2) Baca juga http://www.sofia-life.com/sofia/history
Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012
No comments:
Post a Comment