Cerpen Raudal Tanjung Banua
TAK ada pembunuhan di sini. Tak ada pembantaian.1) Semua mengalir mengikuti garis takdir. Tuhan memberi semua lebih dari yang diharapkan siapa pun, bahkan oleh si empunya nasib.
Nasib? Tak seorang pun tahu jalan nasib.
Ketika Orde Baru sedang jaya, ia jadi simpatisan diam-diam sebuah partai politik, sambil mengurus sepetak sempit ladang jeruk. Ketika Orde Baru di ambang bangkrut, ia terang-terangan mengaku sebagai anggota partai yang ditindas. Meski partai itu sendiri mengalami pecah kongsi, kemaruk, berkat politik belah bambu militer dan laskar terakhir Orde Baru, ia tak acuh. Ketika hantu krismon merangkak di Latin dan Asia, lalu membesar liar di negerinya, ia tak mampu beli pupuk, kecuali setekong dua-tekong beras plus kerupuk, tapi toh ia menolak ikut antre menerima sembako murah, malah memilih merutuk dan mengutuk sehingga orang-orang menoleh kepadanya.2)
Ketika El Nino ikut pula masuk langit berita, ia mendapatkan buah jeruknya mulai berulat persis kekuasaan yang membusuk. Ketika nasi bungkus dibagikan dan proyek Padat Karya dipadatkan, ia pun menolak ikut, malah dengan gagah memilih menjadi tukang ojek dengan motor butut yang sebelumnya ia pakai ke ladang membawa pupuk kandang. Ketika orang-orang berani turun ke jalan, ia jadikan pos ronda tempatnya mangkal sebagai posko siaga, entah siaga apa. Bendera partainya dalam lambang baru dipasangnya besar-besar, berdampingan dengan bendera merah-putih, bahkan mengalahkan ukuran pos ronda, sehingga jika kedua bendera itu berkibar serentak orang akan melihat seakan pos ronda itu akan dibawa terbang sepasang sayap raksasa ke langit harapan.
Ketika koor reformasi menggema di langit yang biru, ia kuat-kuat menginjak tanah yang waktu itu mulai basah, sebagian oleh keringat, sebagian oleh darah, dan sebagian lagi memang karena musim hujan sudah tiba. El Nino pergi, dan ia nyaris mendapat si cantik Nina, mahasiswi aktivis yang kemudian juga pergi sebab tahu ia sudah punya Atikah Bandriah dengan dua anak remaja, Budi dan Azizi. Nasib belum berpihak padanya.
Ketika pemilu pertama era reformasi hendak digelar, ia terjaring tangan panjang partainya yang sedang mengadakan konsolidasi. Nasib baik mulai meliriknya. Mula-mula ia terpilih jadi ketua pengurus anak cabang di kecamatan, secara aklamasi, terutama karena memang tak ada lagi figur yang paling heboh dan berani selain dia di kecamatan itu. Tak berapa lama, dalam kongres daerah, ia terpilih jadi Ketua di tingkat kabupaten. Ketika pemilu raya sekaligus memilih anggota legislatif dalam satu paket, tentu saja ia maju bukan di nomor sepatu. Beruntung pula ijazah yang ia peroleh dari lima tahun kuliah di kota provinsi tidaklah lusuh sebab disimpan baik-baik di balik plastik laminating, bebas kepinding, belum sekalipun ia jejalkan ke kantor-kantor partikulir dan tong sampah pemerintah. Dan saat ia gunakan pertama kali sebagai syarat caleg cap "nomor jadi", benar-benar membuatnya jadi anggota Dewan di kabupatennya yang merana, persis kerut kulit jeruk dimakan ulat.
Tapi ia tak ciut, sebab di luar dugaan, anggota Dewan yang terpilih mayoritas berasal dari partainya. Padahal, selama bertahun-tahun partainya bagai terkubur humus dan serakan daun-daun, tak seorang pun sudi berhimpun jadi anggota. Ajaib, ketika kini partainya bangkit, entah dari mana datangnya, banyak orang menumpang bersamanya. Tak apa. Situasi memang berbalik. Terimalah dengan rida. Dan ia segera berbenah di dalam gedung dewan yang tua dan berlumut, bertahun-tahun tak pernah tersentuh kuas dan cat. Sekarang ia dan anggota Dewan lainnya yang terhormat, era paling mutakhir dari demokrasi negara ketiga, bersiap mewarnai gedung itu dengan bendera partai aneka warna dan nama-nama. Warna-warni. Ramai sekali. Melebihi pelangi. Meski memang, warna partai Tokoh Kita3) yang paling mencolok. Membuatnya seakan tak percaya bahwa kekuasaan yang lepas dari tampuknya jatuh persis menimpa dirinya!
Pernah ia bermimpi seolah sedang tertidur di bawah pohon jeruk. Sebuah jeruk busuk jatuh menghempas wajahnya hingga matanya terpercik perih air asam—serasa gas air mata dilepaskan polisi anti huru-hara di perempatan kota kecilnya. Tapi itulah yang terjadi. "Jeruk dan kekuasaan punya mikrofonnya sendiri, mikrofon yang akan sama-sama jatuh jika tripotnya membungkuk, condong ke arah massa," seseorang seperti alien—makhluk langit—bicara padanya dalam tidur itu. Ia tergeragap. Kata makhluk itu lagi, "Einsten merumuskan hukum vertikal gravitasi di bawah pohon apel, tapi sebenarnya ada hukum melingkar gravitasi. Kau bisa dapatkan dari amsal buah jeruk. Karena buah jerukmu busuk, yang ada ialah ulat. Tak ada obat dan pupuk, tak ada pasar dan tawar-menawar, tak ada jual-beli, akibatnya sebuah siklus terputus yang akan merenggut buah lebih besar: kekuasaan!"
***
WAKTU ia terbangun, makhluk aneh berkepala gundul itu sudah tak ada, sebaliknya ia benar-benar mendapati buah ranum kekuasaan sebagaimana dikatakan si alien. Lihatlah, dirinya tersandar gagah di kursinya, di ruang sidang yang sudah sepi dan kosong. Tak ada lagi gema suara-suara dan perdebatan. Jelas, tak seorang pun yang berani lancang membangunkannya, sekalipun dengan lembut dan sopan, sebab semua tahu belaka betapa payah ia bekerja hari-hari terakhir ini. Hari-hari yang menentukan warna cat dan gema mikrofon di gedung Dewan itu.
Semua mahfum betapa ia telah berjuang dimasa-masa sulit: mengumpulkan satu-dua kawan untuk berani menyatakan diri. Di antaranya, menyablon kaos yang biasa mereka pakai ke ladang dengan lambang partai yang saat itu antara ada dan tiada, ditambah sedikit kata-kata, "Ada atau Tiada, Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata." Telah ia kibarkan bendera di pos ronda. Telah ia dirikan pos siaga. Meski memang tak kelewat tegang, tak perlu menderap langkah, apalagi berdarah-darah. Semua dilakukannya dengan santai, kadang sambil cengengesan dan tertawa-tawa. Iseng, kata sebagian orang. Tapi apakah yang tidak berbahaya disaat buah kekuasaan sedang ranum di batang-batangnya yang baja? Apakah ada alasan lain jika bukan berani, saat tampuk kekuasaan hendak lapuk lalu dijaga laskar terakhir dengan separuh kantuk? Tak ada. Bahkan tindakan iseng pun hampir sebuah subversi!4)
Maka, apa pun kata orang, Tokoh Kita membuktikan tidak semua keisengan sia-sia. Telah ia lalui hari kemarin dengan segala rutuk dan geramnya. Merana. Kini, waktu tak membiarkannya berlama-lama jadi semerana jeruk busuk sehingga dalam pemilihan ketua Dewan, ia terpilih bulat-bulat jadi ketua, bersaing sedikit ketat dengan anggota dari partai lain yang sedang dihujat sana-sini, dan karenanya sang pesaing agak kurang percaya diri. Sedang ia tak perlu malu-malu kucing karena sejarah masa lalu membuktikan ia kucing sejati di antara tikus dan kelinci.
Selesai? Soal nasib tak ada yang selesai, bahkan ketika kelak tubuhmu dikubur, nasib baik akan tetap menyertai orang-orang yang dekat dengan dirimu. Maka begitulah, dalam pemilu periode berikutnya, ia melenggang maju dicalonkan partainya sebagai bupati. Tanpa pembunuhan apalagi pembantaian, ia terpilih dengan suara terbanyak, dan suara-suara lain dibuat ciut, kalah nyali. Maka ia dilantik sebagai bupati dengan terlebih dulu diarak pakai gerobak dan pedati, penuh berisi buah-buah tanda kemakmuran. Berhiaskan bunga-bunga simbol perdamaian.
Dalam hitungan hari, ia segera meluncurkan gerakan swasembada jeruk dan program "Jeruk untuk Semua". Menurutnya, jika sebuah propinsi di timur tanah air berhasil dengan tanaman jagung, maka ia berpikir daerahnya bisa bangkit dengan jeruk. Sedangkan "Jeruk untuk Semua" merupakan program bagi-bagi jeruk di setiap rumah, supaya anak-anak tidak kekurangan vitamin C, dan bagi orang tua, setelah merasakan manisnya jeruk, diharapkan segera membuka kebun jeruk pula. Uniknya, ia pun mencoba memberdayakan tupai sebagai ternak unggulan lewat anjuran mencari bibit terbaik dengan menangkap tupai hidup-hidup di pohon kelapa. Ini segera mengantarnya meraih penghargaan inspiratif dari istana negara, dan tentu saja catatan dari museum rekor sebagai terobosan paling nyeleneh di negeri pulau kelapa. Saat diwawancarai, dengan rendah hati ia malah berkampanye bahwa kebijakannya itu bernilai ganda: tupai terusir dari kelapa, hati tupai baik untuk penyakit asma.
Prestasi demi prestasi sukses ia tuai, termasuk penghargaan dari sebuah lembaga sosial-politik yang mencatatnya sebagai "Tokoh Politik Lokal Bebas Konflik". Tapi bukan penghargaan itu benar yang membuatnya tersanjung, melainkan perempuan pemilik lembaga itu membuatnya beruntung. Ya, pemilik lembaga itu tak lain Nina Asmarina, mantan aktivis yang pernah dekat dengan dia saat demo kecil-kecilan di perempatan kota kecilnya. Seajaib nasibnya dalam dunia politik, seperti itu pula nasibnya dalam dunia perkawinan. Tanpa ribut-ribut, ia nikahi Nina Asmarina secara siri dan gadis itu pun ingin. Habis perkara. Bahkan istri pertamanya tak mungkin mungkir akan sunah nabi, meski syarat berbuat adil, entahlah. Maka benarlah ia menjelma tokoh politik bebas konflik di dunia yang sesungguhnya penuh konflik.
***
WAKTU berputar segan di ubun-ubun mereka yang lamban, banyak tidur dan mengantuk. Tapi alangkah cepat menggasing mereka yang sulit tidur sebab segalanya mesti diatur. Mereka pun berjalan, dan terantuk. Tapi selalu tangan tuhan terulur, lewat tangan-tangan dewan yang merumuskan undang-undang dan aturan. Anggota dewan adalah wakil tuhan di bumi, jika kau percaya suara rakyat adalah suara tuhan—sebab bukankah rakyat, kita semua, yang memilih anggota Dewan?
Begitulah sebab-musabab dan tali-temali nasib bekerja. Ketika masa jabatan Tokoh Kita sebagai bupati berakhir, undang-undang memberinya keleluasaan untuk maju kedua kali. Ia maju lebih percaya diri, bahkan hampir-hampir tak merasa perlu berkampanye seperti tukang obat di pasar, cukup keliling membagikan bibit jeruk yang khusus didatangkan dari Kalimantan. Tak perlu mencincang lawan, membanting mikrofon atau menjilat pantat rakyat. Ia hanya merasa perlu mengganti pasangan wakilnya, dari Subandi menjadi Amzori Rifai, masih sepupu, sebagaimana kepala dinas banyak dari kalangan sepupunya sebab itu modal merawat kekuasaan.
Ketika masa kekuasaannya untuk kedua kali hampir habis, dan undang-undang yang manis dan sopan melarangnya mencalonkan diri kembali, tak ada yang perlu dicemaskan. Nasib masih akan bekerja. Undang-undang toh tak pernah menutup kesempatan setiap warga negara untuk berkuasa. Tak ada larangan kalau ia maju di daerah lain. Dan karena undang-undang kekuasaan begitu manis dan sopan, ia bisa saja maju di kabupaten tetangga, daerah asal istrinya. Namun, rekomendasi partainya tak kalah manis, sedang rumput tetangga yang sehijau kulit mangga, biarlah untuk sang istri. Ia toh tak perlu neko-neko ketika tangan panjang partainya—kini mulai tambun dan berlemak—menggamitnya untuk bertarung di tingkat provinsi, walau jabatannya masih bersisa separuh masa.
Diolah intuisi keisengannya yang sudah teruji, ia buat move sebagai calon gubernur yang mendapat dukungan penuh lembaga survei, tapi di saat yang tepat ia menelikung secara dramatik: ia putuskan untuk maju sebagai wakil pasangan gubernur saja. Bukan tanpa alasan. Ia dan partainya tahu belaka bahwa meski partainya mayoritas di dewan propinsi, tak ada jaminan para anggota Dewan akan langsung memilih dia. Waktu itu pemilihan masih dilakukan oleh anggota Dewan dengan pola voting rahasia sehingga siapa jamin anggota itu tak membelot mengingat banyak di antara mereka penumpang gelap? Jika sampai ia kalah di tengah mayoritas anggotanya, tentu akan berbahaya dan meruntuhkan reputasi partai dan dirinya sendiri. Maka, alon-alon kelakon selalu lebih baik, percayalah.
Tanpa perlu meledak-ledak, majulah ia mendampingi seorang calon yang ambisius—jauh dari kesan iseng—sehingga kelak di kemudian hari dengan sedikit keisengan saja Tokoh Kita pasti akan memetik buahnya. Ya, ya, wakil itu adalah sebaik-baiknya modal untuk maju jadi orang nomor satu dalam pemilihan berikutnya. Dan atas nama nasib baik dan rakyat banyak, pasangan itu menanglah.
***
NASIB mengalir seperti air pelimbahan, meluap di kali dangkal, seperti air hujan di cucuran atap, ke mana lagi mengalir kalau tidak di bawah kaki keluarga yang seakan milik kekal kekuasaan? Siapa lagi yang hendak ia basuh jika bukan kepala orang-orang terdekat, seolah mengusapnya dengan tongkat keajaiban?
Begitulah, istri tercinta Tokoh Kita maju sebagai calon bupati mengincar kursi yang ditinggalkannya. Sementara istrinya yang kedua, Nina Asmarina tak berselang lama maju pula sebagai wakil wali kota di sebuah kota pelabuhan yang selalu tampak seperti orang meringis—sarat beban—jika dilihat dari laut. Anak Tokoh Kita, Ir. Budi Kelana Jauhkali juga terjun ke politik, tak kepalang tanggung, perlahan tapi pasti di internal partai, Budi digadang-gadang sebagai calon sekjen lokal masa depan, dan tentu saja lebih dulu memetik bintang di bangku Dewan daerah.
Sementara drg. Azizi Makronah, si bungsu yang pandai merayu, resmi dipinang putra politikus tua kawakan—dengan perayaan tujuh hari tujuh malam—sehingga membuhul dinasti lokal dan nasional, pelan-pelan. Pesta pun berlanjut. Pesta demokrasi tahun berikut, mengantar Azizi yang manis dan selalu tampak seperti perawan suci, sebagai anggota Dewan. Tak sekadar memenuhi kuota perempuan. Azizi dikenal santun, persis saat ia praktek di klinik gigi membujuk pasiennya yang menggigil seperti rakyat menunggu mukjizat kebijakan. Klinik yang sebentar lagi akan menjelma rumah sakit swasta pertama di kota kelahirannya yang kini ranum belaka, seperti buah jeruk marabahan dalam masa panennya yang terbaik.
Demikianlah, tak perlu waktu lama menunggu pohon keajaiban nasib tumbuh dan berbuah. Sewindu sehat, satu dasawarsa sempurna. Selewat itu, tinggal menjaga akar dan sulur-sulurnya, berjalinan mencari akar dan sulur lain di tanah basah. Kini kita punya dinasti lokal yang sambung-menyambung, berjajar pulau demi pulau, dalam naungan undang-undang yang manis dan sopan, tak perlu ada pembantaian.
Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini, dalam tidur yang singkat dan sulit terpejam, makhluk serupa alien itu sering kali merasuk ke dalam mimpi-mimpi siang-malam Tokoh Kita. Konon, menurut staf ahlinya yang tak perlu disebutkan nama—sebab kesaksian ini bersifat rahasia—tuannya itu sering tergeragap bangun, basah keringat, ngungun seperti lanun terkepung kapal patroli.
Perlahan, setelah diambilkan air putih, sang tuan akan bercerita bahwa mimpi yang sama datang lagi. Katanya, makhluk gundul serupa alien itu, selalu, antara takjub dan gemetar, berkata padanya, "Ampun, Tuan, Ampun, Tuan...."
Ketika staf yang sebelumnya berprofesi sebagai wartawan lokal itu diminta mencatat ucapan si alien—untuk analisis mistik-politik—si staf agak kebingungan. Maka ia menulisnya campur aduk. Kadang "Ampun, Tuan," kadang "Ampuntuan".
Menurut Anda, apakah ada bedanya?
Rumahlebah Yogyakarta, Mei-Juni 2011
Catatan Kaki:
1 Pada hari Senin, 23 November 2009, terjadi pembantaian paling brutal dalam politik lokal Filipina. Sebanyak 57 orang tewas, 27 orang di antaranya wartawan dan 15 orang merupakan pengemudi motor atau mobil yang kebetulan lewat di tempat kejadian, di kawasan peternakan terpencil, Provinsi Maguindano. Korban terbesar adalah klan Ismael Mangudadatu, seorang calon gubernur yang sengaja mengutus istri dan keluarganya untuk mendaftarkan dirinya ke komisi pemilihan umum setempat. Mangudadatu tidak berangkat, lantaran mendapat ancaman pembunuhan dari klan Amputuan. Klan Amputuan merupakan kroni anak-beranak yang berkuasa di hampir semua kawasan Manguindano, mulai sebagai walikota hingga gubernur. Pembantaian dilakukan karena Ismael Mangudadatu berani bersaing dengan patahana Andal Amputuan Senior sebagai calon gubernur Provinsi Manguindano (Kompas, 28 November 2009). Sebagian media menulis nama klan Amputuan, sebagian lagi Ampatuan. Tapi menurut Anda, apakah ada bedanya?
2 Pola peringkasan waktu (flash-time) seperti ini sengaja diadopsi dari teknik Iwan Simatupang dalam pembukaan Ziarah (1969)—lantaran betapa silih-bergantinya peristiwa dalam waktu singkat.
3 Tokoh ala Iwan Simatupang yang bernilai representatif.
4 Judul buku cerpen Kuntowijoyo (1999), yang menurut Wan Anwar (2007) berhasil membaurkan mitos dan realitas, termasuk mitos dan realitas politik
Lampung Post, Minggu, 29 Januari 2012
Sunday, January 29, 2012
Sunday, January 22, 2012
Sofia, Cerpen tentang Selingkuh, dan Kenangan
Cerpen Pay Jarot Sujarwo
Perempuan itu menggenggam belati. Matanya yang tajam sudah lebih dulu menikam dada lelaki. Napasnya terengah-engah. Tak kuat lagi menahan amarah. Entah sudah berapa kali, lelaki yang katanya mencintainya itu, meminta maaf sebab berselingkuh.
"Yang lalu bisa kumaafkan, tapi kali ini kau akan kubunuh." Perempuan itu nyalang. Lelaki tak melawan, saat belati menghujam hingga menghentikan detak jantungnya. Sekarang. Tangan perempuan itu berlumur darah. Darah yang sarat dendam.
***
Dia menutup jendela Window Explorer dari situs sebuah koran nasional yang terbit di negaranya. Seperti biasanya, setiap Minggu tiba, setelah bangun tidur dan menyeduh secangkir Espresso, dia menyalakan laptop dan mulai mengakses website media cetak di Indonesia.
"Hmm. Selingkuh lagi." Dia bergumam setelah selesai membaca sebuah cerpen minggu ini. Sampai hari ini, pikirnya, tema selingkuh masih saja laku untuk dipublikasikan. Atau barangkali selingkuh dalam kehidupan nyata memang memiliki kekuatan luar biasa untuk membuat para penulis memfiksikannya? Atau bisa juga para penulis itu memang gemar berselingkuh? Dia tak mau ambil pusing dengan perkara itu. Tapi mengenai cerpen-cerpen selingkuh, dari banyak cerpen yang telah dia baca, dia tetap punya satu nama idola. Agus Noor. Menurut dia, Agus Noor adalah cerpenis yang paling berhasil jika menuliskan perselingkuhan. Selingkuh Itu Indah adalah buku kumpulan cerpen favoritnya. Dia tidak pernah sekolah di Fakultas Sastra. Dia bukan pula kritikus sastra. Bukan pula pemerhati atau sekadar pengamat sastra. Dia hanya suka membaca sastra. Sewaktu dia kuliah, sempat pula menulis beberapa karya sastra di koran. Tapi tak terlalu banyak tulisan sastranya yang terbit dan kejadian itu sudah terlalu lama.
Selepas kuliah, hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh perjalanan. Meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta. Kurang lebih setahun di Jakarta, pindah ke Bogor, lalu Bandung. Kemudian pulang ke tanah kelahiran, Kalimantan. Di kalimantan, dia mulai jarang menulis sastra. Barangkali iklim menulis sastra di daerahnya waktu itu tidak seramai di Yogyakarta. Lagi pula dia tak punya teman yang bisa diajak bercakap-cakap soal sastra. Buku-buku sastra jarang ada. Internet waktu itu masih jadi barang mewah. Hanya satu dua warung internet di tengah kota. Kalaupun dia menghabiskan waktu di internet, betapa jarang dia membuka situs-situs sastra. Sekali dua memang dia membaca puisi T.S. Pinang, Hasan Aspahani, Saut Situmorang di internet. Juga ada orang-orang yang berkelahi di internet meributkan perkara sastra cyber dan sastra koran. Untuk urusan ini dia tidak mau ikut-ikutan. Dia tak suka berkelahi. Ah, kejadian itu sudah begitu lama.
Tak seperti sekarang. Internet ada di mana-mana. Orang-orang bisa setiap hari mentahbiskan diri mereka sebagai sastrawan. Tak bisa jadi sastrawan buku, jadi sastrawan koran. Gagal jadi sastrawan koran, jadi sastrawan blog. Tak bisa jadi sastrawan blog, jadi sastrawan Facebook. Hari ini begitu mudah.
Untuk menjaga proses kreatifnya, dia menulis catatan harian. Dia juga mengakrabi anak-anak remaja dan memotivasi mereka untuk gemar membaca dan menulis. Beberapa bagian catatan hariannya dia terbitkan jadi buku. Dia terbitkan sendiri. Dia sebar luaskan sendiri.
Lebih dari lima tahun dia di Kalimantan. Dia merasa tidak boleh lebih lama lagi berada di kampung halaman. Dia merasa harus kembali berjalan. Bukankah sejak lahir dia sudah dididik untuk menjadi pejalan? Dia ingat petuah bapaknya di hari pertamanya masuk SD, "Jika kau merasa sudah cukup berada di dalam kelas, keluarlah, berjalanlah sejauh mungkin. Sebab, di tempat-tempat yang jauh itu, kau akan banyak menemukan hal baru."
Dia kembali memutuskan untuk berjalan. Ke tempat yang sangat jauh. Menyebrangi banyak pulau, bahkan menyeberangi benua. Dari Asia ke Eropa, dari kampung kecil di Kalimantan, menuju kota besar bernama Sofia, ibu kota Bulgaria.
***
Musim dingin di Sofia baru saja berakhir. Hari itu langit cerah. Matahari menjadikan tumpukan salju mencair. Orang-orang memilih berada di luar rumah. Bertemu dengan sahabat, atau sekadar menghangatkan diri di pinggiran boulevard. Beberapa laki-laki terlihat mengerumuni dua orang pemain catur jalanan. Cericit burung di pepohonan kering menjadi isyarat bahwa musim semi telah datang. Musim yang dinanti-nantikan siapa saja. Musim yang penuh gairah.
Setelah dua jam berjalan kaki di bawah hangat matahari, dia memutuskan untuk mampir di National Art Gallery yang terletak di tengah kota Sofia. Di tempat itu sedang berlangsung pameran fotografi dari para fotografer Timur Tengah. Foto-foto itu terlihat begitu cantik. Tapi dia tidak terlalu tertarik. Temanya tentang perang. Ada senjata, darah, tangis anak-anak dan wanita. Dia tidak habis pikir, kenapa orang-orang suka memamerkan kekerasan seperti ini.
Hanya sebentar dia di dalam National Art Gallery. Dia memutuskan untuk keluar, menuju The Garden of Grand Hotel Sofia yang lokasinya tepat berada di depan galeri. Taman kota ini adalah salah satu taman kota yang paling sering dikunjungi saat matahari sedang cerah di Kota Sofia. Hari itu garden terlihat begitu ramai. Semua bangku penuh diisi orang-orang. Puluhan burung dara berkerumun di depan seorang tua yang tak henti melemparkan remah roti. Beberapa turis sibuk memotret. Sepasang remaja asyik berciuman. Di tempat itu, semua orang punya dunia mereka sendiri-sendiri.
Setelah tak menemukan bangku yang kosong, dia menghampiri seorang perempuan yang sedang asyik membaca. Perempuan itu hanya sendiri, masih ada celah untuknya duduk di bangku itu.
"Permisi, tak ada lagi bangku yang kosong. Boleh aku duduk di sini?" Dia menyapa. Perempuan menghentikan membaca sebentar. Setelah menatap wajahnya beberapa detik, perempuan itu menggeser pantatnya sedikit.
"Silakan," kata perempuan.
"Terima kasih." Dia duduk. Mengeluarkan sebuah buku. Tapi baru saja dia akan membaca, perempuan di sebelahnya bersuara, "Apakah kau dari Asia?"
"Ya," dia menjawab singkat, kembali mereka saling tatap.
"Tepatnya dari mana?"
"Borneo."
"Really? Borneo adalah negeri yang jauh sekali."
"Ya. Sangat jauh. Kau tau tentang Borneo?"
"Aku tau. Kakakku beberapa kali ke Borneo." Perempuan itu begitu bersemangat.
"Selain hutan tropis, Borneo juga dilewati garis equator."
"Ya. Aku juga mendengar tentang itu. Pasti di sana sangat panas. Aku akan senang menghabiskan waktu berlama-lama di tepi pantai Borneo. Di tempatmu ada pantai?"
"Tentu saja. Tiga jam dari pusat kota."
Lalu mereka saling berjabat. Dia menyebutkan namanya. Perempuan itu juga.
"Kalau asalmu dari mana?" dia balik bertanya.
"Aku asli Sofia. Kota tua yang ribuan tahun tak akan pernah lekang sebab orang-orangnya begitu rapi merawat sejarah."
Lalu kedua orang itu saling bercerita. Mereka terlihat akrab seperti sudah lama saling kenal. Dia bercerita tentang Kalimantan dengan ratusan anak-anak sungai. Garis khatulistiwa. Hutan-hutan tropis. Dan juga sejarah kelam tentang fasisme yang dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat 1).
Sementara perempuan itu bercerita tentang Sofia dari masa ribuan tahun sebelum Masehi, sampai hari ini. Pertama kali, ribuan tahun lalu, daerah ini diduduki Suku Thrakian Serdi, kemudian kedatangan Alexander Agung yang membuat Sofia dikuasai Romawi dan menjadi pusat administrasi daerah. Peperangan demi peperangan terjadi, hingga kemudian kota ini menjadi daerah kekuasaan kekaisaran Byzantium selama ratusan tahun sekaligus pertanda kejayaan Kristen di wilayah ini. Namun, perang tak pernah selesai. Tahun 1382, Sofia ditaklukkan pasukan Islam dari Turki di bawah bendera Ottoman Empire dan kemudian menduduki Bulgaria lebih dari 500 tahun. Tahun 1878 pasukan Rusia membebaskan Bulgaria dari tentara Ottoman yang berdampak hingga hari ini betapa banyaknya orang-orang Bulgaria menyimpan simpati mendalam kepada orang-orang Rusia 2).
"Tapi simpati tersebut ternyata tak juga mampu membebaskan seluruh penderitaan masyarakat Bulgaria." Perempuan itu menghentikan ceritanya. Diam sejenak, lalu lanjut bercerita, "Aku sedih, karena setelah Sofia dibebaskan Rusia, negara ini kemudian berkembang menjadi negara komunis. Bermula dari The Kingdom of Bulgaria yang berdiri tahun 1908, kerajaan ini sepenuhnya mengabdi kepada segala kehendak Rusia. Aku adalah generasi yang dibesarkan oleh peraturan-peraturan komunisme. Di masa itu, tak banyak yang bisa kami lakukan. Semuanya serbaterbatas."
"Tapi bukankah sekarang Bulgaria tak lagi berada dalam sistem komunisme?"
"Ya, sekarang kami sudah sedikit terbuka. Bahkan belum lama ini kami sudah tergabung dalam Uni Eropa, yang kata banyak orang ini adalah harapan baru bagi Bulgaria. Padahal menurutku, sampai hari ini, secara ekonomi, kami masih sangat terjajah."
Percakapan mereka terhenti sebab sayup-sayup terdengar suara musik perkusi dari halaman gedung National Theater Ivan Vazov yang tak jauh dari garden.
"Kau suka perkusi?" tanya perempuan itu.
"Sangat."
"Aku juga."
"Mari kita ke sana."
Kedua orang itu beranjak menuju asal suara. Di halaman gedung, lima remaja beraksi. Seorang memetik gitar, tiga orang menabuh jimbe, seorang lagi memainkan tamborin. Kelima remaja itu serta merta menghentikan langkah orang-orang yang berjalan. Orang-orang tak hanya melihat dan mendengarkan. Satu per satu kaki mereka bergoyang. Satu per satu tangan mereka bertepuk.
"Kau mau ikut berdansa?" Dia terkejut, sebab perempuan itu tiba-tiba menarik tangannya.
"Tidak. Aku tidak terlalu percaya diri. Kau sajalah, biar aku memotret." Dia menolak. Perempuan itu melepaskan tangannya. Lalu maju sendirian.
Dia kemudian mengambil kamera. Menembakkan lensanya ke wajah perempuan itu, ke arah orang-orang yang bergoyang, juga ke arah pemain musik. Tapi baru tiga kali jepret, tiba-tiba dia berhenti. Matanya mengarah ke para pemain perkusi. Tapi tatapannya kosong. Tiba-tiba kepalanya dirasuki kenangan. Suara-suara jimbe yang ditabuh Serikat Pengamen Indonesia di lembah UGM hari minggu pagi, waktu itu dia pernah ikut membaca puisi di sana. Petikan gitar dari Untung Basuki, waktu itu dia pernah mengantarkan bekas kekasihnya ikut latihan menyanyikan lagu-lagu puisi. Gemulai penari di Pendopo Agung Tamansiswa.
Kenangan-kenangan itu menyergap. Tiba-tiba dia rindu teman-teman lama. Menghabiskan malam bersama di bawah beringin Paku. Makan di angkringan depan kampus yang dibayar setelah mengambil honor puisi atau cerpen yang terbit. Wajah-wajah yang tak hirau dengan lapar demi menemukan diksi yang paling seksi.
Dia terdiam. Dadanya bergemuruh dengan kenangan beberapa tahun silam.
***
Setelah menyeruput, dia menyalakan rokoknya. Kembali diletakkan jemarinya di tuts laptop. Membuka situs jaringan sosial. Facebook. Betapa senangnya dia bertemu teman-teman lama. Teman-teman yang rajin ke loper-loper koran setiap minggu pagi. Hasta Indriyana, si penyair muda. Di facebook dia juga bertemu dengan Teguh Winarsho A.S., yang dulunya hampir setiap minggu cerpennya ada di koran. Dia juga bertemu Satmoko Budi Santoso, Sapardi Djoko Damono. Orang-orang ini sering menjadi inspirasi dia waktu rajin-rajinnya menulis sastra di semester-semester awal perkuliahaan. Bahkan dia bertemu dengan Agus Noor, cerpenis idolanya, yang betapa piawainya mem-fiksikan perselingkuhan.
Entah kenapa tiba-tiba dia kembali ingin menulis sastra. Barangkali karena rindu, betapa ingin dia menulis dan dibaca teman-teman lamanya.
Di hari yang lain, ketika gerimis pertama musim semi jatuh di Kota Sofia, lewat internet dia bercakap-cakap dengan teman. Dari teman ini dia mendapat beberapa e-mail redaktur sastra koran di negaranya. Kemudian kepada salah satu redaktur dia menulis:
Mas, bagaimana kabar di Indonesia? Sungguh saya teramat rindu. Berikut ini saya kirimkan sebuah cerpen, semoga bisa terbit di surat kabarmu. Maafkan aku, jika ceritanya bukan soal perselingkuhan.
Sofia, Maret 2010
1) Peristiwa Mandor: Pembantaian besar-besaran yang dilakukan fasisme Jepang saat berada di Kalimantan Barat (1942-1945). Pada saat itu dikenal juga dengan istilah pembunuhan satu generasi Kalbar, kerabat kerajaan, para cendikia, sampai ke rakyat kecil tewas dibunuh. Salah satu data menyebutkan 21.037 orang menjadi korban.
2) Baca juga http://www.sofia-life.com/sofia/history
Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012
Perempuan itu menggenggam belati. Matanya yang tajam sudah lebih dulu menikam dada lelaki. Napasnya terengah-engah. Tak kuat lagi menahan amarah. Entah sudah berapa kali, lelaki yang katanya mencintainya itu, meminta maaf sebab berselingkuh.
"Yang lalu bisa kumaafkan, tapi kali ini kau akan kubunuh." Perempuan itu nyalang. Lelaki tak melawan, saat belati menghujam hingga menghentikan detak jantungnya. Sekarang. Tangan perempuan itu berlumur darah. Darah yang sarat dendam.
***
Dia menutup jendela Window Explorer dari situs sebuah koran nasional yang terbit di negaranya. Seperti biasanya, setiap Minggu tiba, setelah bangun tidur dan menyeduh secangkir Espresso, dia menyalakan laptop dan mulai mengakses website media cetak di Indonesia.
"Hmm. Selingkuh lagi." Dia bergumam setelah selesai membaca sebuah cerpen minggu ini. Sampai hari ini, pikirnya, tema selingkuh masih saja laku untuk dipublikasikan. Atau barangkali selingkuh dalam kehidupan nyata memang memiliki kekuatan luar biasa untuk membuat para penulis memfiksikannya? Atau bisa juga para penulis itu memang gemar berselingkuh? Dia tak mau ambil pusing dengan perkara itu. Tapi mengenai cerpen-cerpen selingkuh, dari banyak cerpen yang telah dia baca, dia tetap punya satu nama idola. Agus Noor. Menurut dia, Agus Noor adalah cerpenis yang paling berhasil jika menuliskan perselingkuhan. Selingkuh Itu Indah adalah buku kumpulan cerpen favoritnya. Dia tidak pernah sekolah di Fakultas Sastra. Dia bukan pula kritikus sastra. Bukan pula pemerhati atau sekadar pengamat sastra. Dia hanya suka membaca sastra. Sewaktu dia kuliah, sempat pula menulis beberapa karya sastra di koran. Tapi tak terlalu banyak tulisan sastranya yang terbit dan kejadian itu sudah terlalu lama.
Selepas kuliah, hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh perjalanan. Meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta. Kurang lebih setahun di Jakarta, pindah ke Bogor, lalu Bandung. Kemudian pulang ke tanah kelahiran, Kalimantan. Di kalimantan, dia mulai jarang menulis sastra. Barangkali iklim menulis sastra di daerahnya waktu itu tidak seramai di Yogyakarta. Lagi pula dia tak punya teman yang bisa diajak bercakap-cakap soal sastra. Buku-buku sastra jarang ada. Internet waktu itu masih jadi barang mewah. Hanya satu dua warung internet di tengah kota. Kalaupun dia menghabiskan waktu di internet, betapa jarang dia membuka situs-situs sastra. Sekali dua memang dia membaca puisi T.S. Pinang, Hasan Aspahani, Saut Situmorang di internet. Juga ada orang-orang yang berkelahi di internet meributkan perkara sastra cyber dan sastra koran. Untuk urusan ini dia tidak mau ikut-ikutan. Dia tak suka berkelahi. Ah, kejadian itu sudah begitu lama.
Tak seperti sekarang. Internet ada di mana-mana. Orang-orang bisa setiap hari mentahbiskan diri mereka sebagai sastrawan. Tak bisa jadi sastrawan buku, jadi sastrawan koran. Gagal jadi sastrawan koran, jadi sastrawan blog. Tak bisa jadi sastrawan blog, jadi sastrawan Facebook. Hari ini begitu mudah.
Untuk menjaga proses kreatifnya, dia menulis catatan harian. Dia juga mengakrabi anak-anak remaja dan memotivasi mereka untuk gemar membaca dan menulis. Beberapa bagian catatan hariannya dia terbitkan jadi buku. Dia terbitkan sendiri. Dia sebar luaskan sendiri.
Lebih dari lima tahun dia di Kalimantan. Dia merasa tidak boleh lebih lama lagi berada di kampung halaman. Dia merasa harus kembali berjalan. Bukankah sejak lahir dia sudah dididik untuk menjadi pejalan? Dia ingat petuah bapaknya di hari pertamanya masuk SD, "Jika kau merasa sudah cukup berada di dalam kelas, keluarlah, berjalanlah sejauh mungkin. Sebab, di tempat-tempat yang jauh itu, kau akan banyak menemukan hal baru."
Dia kembali memutuskan untuk berjalan. Ke tempat yang sangat jauh. Menyebrangi banyak pulau, bahkan menyeberangi benua. Dari Asia ke Eropa, dari kampung kecil di Kalimantan, menuju kota besar bernama Sofia, ibu kota Bulgaria.
***
Musim dingin di Sofia baru saja berakhir. Hari itu langit cerah. Matahari menjadikan tumpukan salju mencair. Orang-orang memilih berada di luar rumah. Bertemu dengan sahabat, atau sekadar menghangatkan diri di pinggiran boulevard. Beberapa laki-laki terlihat mengerumuni dua orang pemain catur jalanan. Cericit burung di pepohonan kering menjadi isyarat bahwa musim semi telah datang. Musim yang dinanti-nantikan siapa saja. Musim yang penuh gairah.
Setelah dua jam berjalan kaki di bawah hangat matahari, dia memutuskan untuk mampir di National Art Gallery yang terletak di tengah kota Sofia. Di tempat itu sedang berlangsung pameran fotografi dari para fotografer Timur Tengah. Foto-foto itu terlihat begitu cantik. Tapi dia tidak terlalu tertarik. Temanya tentang perang. Ada senjata, darah, tangis anak-anak dan wanita. Dia tidak habis pikir, kenapa orang-orang suka memamerkan kekerasan seperti ini.
Hanya sebentar dia di dalam National Art Gallery. Dia memutuskan untuk keluar, menuju The Garden of Grand Hotel Sofia yang lokasinya tepat berada di depan galeri. Taman kota ini adalah salah satu taman kota yang paling sering dikunjungi saat matahari sedang cerah di Kota Sofia. Hari itu garden terlihat begitu ramai. Semua bangku penuh diisi orang-orang. Puluhan burung dara berkerumun di depan seorang tua yang tak henti melemparkan remah roti. Beberapa turis sibuk memotret. Sepasang remaja asyik berciuman. Di tempat itu, semua orang punya dunia mereka sendiri-sendiri.
Setelah tak menemukan bangku yang kosong, dia menghampiri seorang perempuan yang sedang asyik membaca. Perempuan itu hanya sendiri, masih ada celah untuknya duduk di bangku itu.
"Permisi, tak ada lagi bangku yang kosong. Boleh aku duduk di sini?" Dia menyapa. Perempuan menghentikan membaca sebentar. Setelah menatap wajahnya beberapa detik, perempuan itu menggeser pantatnya sedikit.
"Silakan," kata perempuan.
"Terima kasih." Dia duduk. Mengeluarkan sebuah buku. Tapi baru saja dia akan membaca, perempuan di sebelahnya bersuara, "Apakah kau dari Asia?"
"Ya," dia menjawab singkat, kembali mereka saling tatap.
"Tepatnya dari mana?"
"Borneo."
"Really? Borneo adalah negeri yang jauh sekali."
"Ya. Sangat jauh. Kau tau tentang Borneo?"
"Aku tau. Kakakku beberapa kali ke Borneo." Perempuan itu begitu bersemangat.
"Selain hutan tropis, Borneo juga dilewati garis equator."
"Ya. Aku juga mendengar tentang itu. Pasti di sana sangat panas. Aku akan senang menghabiskan waktu berlama-lama di tepi pantai Borneo. Di tempatmu ada pantai?"
"Tentu saja. Tiga jam dari pusat kota."
Lalu mereka saling berjabat. Dia menyebutkan namanya. Perempuan itu juga.
"Kalau asalmu dari mana?" dia balik bertanya.
"Aku asli Sofia. Kota tua yang ribuan tahun tak akan pernah lekang sebab orang-orangnya begitu rapi merawat sejarah."
Lalu kedua orang itu saling bercerita. Mereka terlihat akrab seperti sudah lama saling kenal. Dia bercerita tentang Kalimantan dengan ratusan anak-anak sungai. Garis khatulistiwa. Hutan-hutan tropis. Dan juga sejarah kelam tentang fasisme yang dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat 1).
Sementara perempuan itu bercerita tentang Sofia dari masa ribuan tahun sebelum Masehi, sampai hari ini. Pertama kali, ribuan tahun lalu, daerah ini diduduki Suku Thrakian Serdi, kemudian kedatangan Alexander Agung yang membuat Sofia dikuasai Romawi dan menjadi pusat administrasi daerah. Peperangan demi peperangan terjadi, hingga kemudian kota ini menjadi daerah kekuasaan kekaisaran Byzantium selama ratusan tahun sekaligus pertanda kejayaan Kristen di wilayah ini. Namun, perang tak pernah selesai. Tahun 1382, Sofia ditaklukkan pasukan Islam dari Turki di bawah bendera Ottoman Empire dan kemudian menduduki Bulgaria lebih dari 500 tahun. Tahun 1878 pasukan Rusia membebaskan Bulgaria dari tentara Ottoman yang berdampak hingga hari ini betapa banyaknya orang-orang Bulgaria menyimpan simpati mendalam kepada orang-orang Rusia 2).
"Tapi simpati tersebut ternyata tak juga mampu membebaskan seluruh penderitaan masyarakat Bulgaria." Perempuan itu menghentikan ceritanya. Diam sejenak, lalu lanjut bercerita, "Aku sedih, karena setelah Sofia dibebaskan Rusia, negara ini kemudian berkembang menjadi negara komunis. Bermula dari The Kingdom of Bulgaria yang berdiri tahun 1908, kerajaan ini sepenuhnya mengabdi kepada segala kehendak Rusia. Aku adalah generasi yang dibesarkan oleh peraturan-peraturan komunisme. Di masa itu, tak banyak yang bisa kami lakukan. Semuanya serbaterbatas."
"Tapi bukankah sekarang Bulgaria tak lagi berada dalam sistem komunisme?"
"Ya, sekarang kami sudah sedikit terbuka. Bahkan belum lama ini kami sudah tergabung dalam Uni Eropa, yang kata banyak orang ini adalah harapan baru bagi Bulgaria. Padahal menurutku, sampai hari ini, secara ekonomi, kami masih sangat terjajah."
Percakapan mereka terhenti sebab sayup-sayup terdengar suara musik perkusi dari halaman gedung National Theater Ivan Vazov yang tak jauh dari garden.
"Kau suka perkusi?" tanya perempuan itu.
"Sangat."
"Aku juga."
"Mari kita ke sana."
Kedua orang itu beranjak menuju asal suara. Di halaman gedung, lima remaja beraksi. Seorang memetik gitar, tiga orang menabuh jimbe, seorang lagi memainkan tamborin. Kelima remaja itu serta merta menghentikan langkah orang-orang yang berjalan. Orang-orang tak hanya melihat dan mendengarkan. Satu per satu kaki mereka bergoyang. Satu per satu tangan mereka bertepuk.
"Kau mau ikut berdansa?" Dia terkejut, sebab perempuan itu tiba-tiba menarik tangannya.
"Tidak. Aku tidak terlalu percaya diri. Kau sajalah, biar aku memotret." Dia menolak. Perempuan itu melepaskan tangannya. Lalu maju sendirian.
Dia kemudian mengambil kamera. Menembakkan lensanya ke wajah perempuan itu, ke arah orang-orang yang bergoyang, juga ke arah pemain musik. Tapi baru tiga kali jepret, tiba-tiba dia berhenti. Matanya mengarah ke para pemain perkusi. Tapi tatapannya kosong. Tiba-tiba kepalanya dirasuki kenangan. Suara-suara jimbe yang ditabuh Serikat Pengamen Indonesia di lembah UGM hari minggu pagi, waktu itu dia pernah ikut membaca puisi di sana. Petikan gitar dari Untung Basuki, waktu itu dia pernah mengantarkan bekas kekasihnya ikut latihan menyanyikan lagu-lagu puisi. Gemulai penari di Pendopo Agung Tamansiswa.
Kenangan-kenangan itu menyergap. Tiba-tiba dia rindu teman-teman lama. Menghabiskan malam bersama di bawah beringin Paku. Makan di angkringan depan kampus yang dibayar setelah mengambil honor puisi atau cerpen yang terbit. Wajah-wajah yang tak hirau dengan lapar demi menemukan diksi yang paling seksi.
Dia terdiam. Dadanya bergemuruh dengan kenangan beberapa tahun silam.
***
Setelah menyeruput, dia menyalakan rokoknya. Kembali diletakkan jemarinya di tuts laptop. Membuka situs jaringan sosial. Facebook. Betapa senangnya dia bertemu teman-teman lama. Teman-teman yang rajin ke loper-loper koran setiap minggu pagi. Hasta Indriyana, si penyair muda. Di facebook dia juga bertemu dengan Teguh Winarsho A.S., yang dulunya hampir setiap minggu cerpennya ada di koran. Dia juga bertemu Satmoko Budi Santoso, Sapardi Djoko Damono. Orang-orang ini sering menjadi inspirasi dia waktu rajin-rajinnya menulis sastra di semester-semester awal perkuliahaan. Bahkan dia bertemu dengan Agus Noor, cerpenis idolanya, yang betapa piawainya mem-fiksikan perselingkuhan.
Entah kenapa tiba-tiba dia kembali ingin menulis sastra. Barangkali karena rindu, betapa ingin dia menulis dan dibaca teman-teman lamanya.
Di hari yang lain, ketika gerimis pertama musim semi jatuh di Kota Sofia, lewat internet dia bercakap-cakap dengan teman. Dari teman ini dia mendapat beberapa e-mail redaktur sastra koran di negaranya. Kemudian kepada salah satu redaktur dia menulis:
Mas, bagaimana kabar di Indonesia? Sungguh saya teramat rindu. Berikut ini saya kirimkan sebuah cerpen, semoga bisa terbit di surat kabarmu. Maafkan aku, jika ceritanya bukan soal perselingkuhan.
Sofia, Maret 2010
1) Peristiwa Mandor: Pembantaian besar-besaran yang dilakukan fasisme Jepang saat berada di Kalimantan Barat (1942-1945). Pada saat itu dikenal juga dengan istilah pembunuhan satu generasi Kalbar, kerabat kerajaan, para cendikia, sampai ke rakyat kecil tewas dibunuh. Salah satu data menyebutkan 21.037 orang menjadi korban.
2) Baca juga http://www.sofia-life.com/sofia/history
Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012
Sunday, January 15, 2012
Tebing
Cerpen Yetti A.KA.
BELAKANGAN, aku sering merasa tiba-tiba berada di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.
Maka cepat sekali aku menggigil. Rambut di keningku basah. Juga di tengkuk. Pipiku panas dan sepertinya terus membengkak. Dadaku seakan dialiri cairan asam yang terus naik hingga ke mulut. Sebelum benar-benar limbung, segera kutampar wajah keras-keras hingga kudapatkan kembali diriku sedang duduk beku di depan laptop yang berkedip, kertas kerja yang berserakan, dan buku agenda bersampul hitam.
Berjam-jam kemudian aku tetap duduk di sana. Gemetar.
***
AKU ingat saat pertama kali merasa berada di tepi tebing itu. Suatu malam, tepat pukul 01.00, aku terbangun dari tidur yang gelisah. Pikiranku sumpek. Aku ingin melihat dunia di luar, maka kubuka semua gorden di ruang tengah apartemanku. Aku melihat ke bawah. Lampu kendaraan melintas cepat, satu-satu. Tiang listrik membeku, berjejer di sepanjang jalan. Tukang satai bersuara parau. Serombongan anak muda setengah mabuk. Aku sedikit mundur. Menatap bayangan samar diriku di kaca. Rambutku sudah melewati bahu. Tanpa poni. Mataku tampak lelah. Astaga, aku terkesiap. Itu bukan mata yang lelah, melainkan mata yang telah mati. Di sana hanya terlihat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Betapa mengerikan memiliki mata semacam itu. Bukankah dulu dia, kekasihku, bahkan bisa melihat bermacam-macam buah semak di sana, bergelantungan di dahan-dahan kecil namun kuat? "Imajinasimu liar," ujar kekasihku itu sambil memetik satu buah semak, entah apa namanya, dalam mataku. "Dan kau menyukainya?" tanyaku manja. "Aku menginginkannya, Marinda," dia berkata, memikat.
Sepanjang malam kami berbahagia. Kami saling berjanji dan berciuman di jalan yang sepi. "Ini tentang hati, bisa apa kita," katanya. Dia memandangku, lekat. "Ini tentang kita yang bertemu di waktu yang tidak tepat," tukasku sambil melepaskan syal di leher yang mulai membuat sesak. Kami sama-sama tertegun.
Aku mengusap-usap mataku. Bermalam-malam aku tidak tidur, wajar saja mata itu lelah, lalu mati.
Sesaat aku melupakan soal mata dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, sebab perhatianku tiba-tiba tertuju pada pintu yang tertutup yang juga tampak samar di kaca. Aku kurang suka pintu yang tertutup karena itu dapat membungkam khayalanku tentang seseorang yang muncul dari kelokan lorong, berdiri di depan pintu membawa seikat bunga lalang (aku tak pernah menginginkan mawar atau krisan, jenis bunga yang mudah saja dibeli pada penjual kembang). Namun begitu, ini penting kukatakan, aku memang jenis orang yang terlampau banyak bermain-main dengan pikiran sendiri. Sebenarnya, tidak pernah ada bunga lalang dalam hidupku seperti juga tidak pernah satu kalipun aku berani membiarkan pintu itu terbuka, terutama pada jam satu dini hari.
"Marinda, kau belum tidur?" kekasihku terdengar mengantuk saat aku tak kuasa menghalau rindu dan nekat meneleponnya.
Aku malas menanggapinya, dan berkata, "Aku sedang mengingat saat kau memetik buah semak, yang entah apa namanya, dalam mataku. Aku juga membayangkan tentang pintu yang terbuka dan kau...."
"Istriku bangun...." Tut...tut...tut....
Berjam-jam aku mengingat nada itu, berjam-jam aku termangu di depan kaca yang ingin sekali kupecahkan. Tapi... aku tetap menunggu dia meneleponku kembali, hingga aku punya kesempatan menyambung kalimat yang putus, "...dan kau muncul dari lorong, berdiri di depan pintu itu membawa seikat bunga lalang."
Tidak. Dia bahkan tidak mengirim pesan pendek. Dengan cepat sesuatu menyesak di dadaku. Sangat penuh, rasanya. Kemudian aku kedinginan, cemas, lembab. Aku meronta-ronta ingin lepas dari semua yang terasa kejam itu, sampai aku kelelahan, sampai aku berada di tepi tebing yang tidak kukenali, tapi mencoba menarikku amat kuat.
***
SEIRING dengan itu, lalu aku mulai terbiasa pula meringkuk dan memeluk kedua kaki di sudut ruangan hingga lewat tengah malam. Aku mirip anak kecil yang ditinggal sendirian di rumah dan tak tahu mesti melakukan apa. Seekor cicak menyergap nyamuk di dinding dan nyamuk itu langsung lenyap tanpa bekas. Laptop di atas meja sudah lama kulupakan, termasuk beberapa pekerjaan yang seharusnya kuselesaikan bulan ini dan sudah kutandai dengan stabilo hijau. Selebihnya, hidupku adalah sunyi. Sunyi membuatku tergelitik untuk kembali menyusuri jalan kenangan. Hanya saja, saat ini semua kenangan menjadi pahit untuk dibicarakan.
"Kau belum tidur?" tanya suamiku saat kuhubungi.
"Tidak bisa," ujarku.
"Kau perlu obat tidur lagi."
"Aku ingin kau segera pulang. Temani aku. Sungguh, aku merasa tidak tenang. Kau bisa?" tanyaku.
"Kau tahu ini pukul tiga pagi dan aku sedang berada di sebuah pulau... jauh di Sumatera. Aku tidak mungkin pulang sekarang."
Berjam-jam aku duduk terdiam. Aku tetap mengharapkan ia benar-benar datang, membawakanku aroma laut yang lembut atau tubuh garam yang berpasir. Kami akan berpelukan, sedalam-dalamnya, untuk pertama kali. Ah, sekali saja, kenapa ia susah sekali melakukan sesuatu yang bisa membuatku menangis saat membayangkan kehilangannya?
Namun ia memang tak pernah datang, juga sesudah aku membuang semua obat tidur ke dalam saluran air yang membuatku kembali berada di tepi tebing dengan amat mudah. Berjam-jam aku ketakutan. Merasa sendirian. Kesakitan.
***
AKU tidak tidur hingga matahari mulai membuat mataku silau. Biasanya buru-buru aku menutup gorden dan menyandarkan tubuhku di sana, dalam bingkai kaca. Seperti pagi ini, aku menyandarkan tubuhku dalam bingkai kaca itu sambil berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menemui kekasihku. Satu kali lagi saja. Aku tidak akan memintanya untuk kembali padaku, tapi paling tidak aku mau berteriak di hadapannya untuk terakhir kali. Teriakan yang mungkin saja ia ingat seumur hidup. Bisa jadi ini caraku menghukumnya. Dan selanjutnya, tepat pada hari itu juga, aku akan memulai hidup dengan bahagia. Tidur di hamparan rumput di alam terbuka. Berjam-jam. Tanpa siapa-siapa. Bernyanyi riang dalam hati. Menari sesukanya.
"Ini rumit, Marinda."
"Aku hanya mau bertemu. Tidak untuk membicarakan apa-apa."
"Marinda...."
"Sekali saja. Kau yang tentukan harinya," kataku.
"Tak bisakah kau mengerti?"
"Tidak bisa," ujarku.
"Apa sulit sekali bagimu?"
"Hmm."
"Aku sudah katakan, jangan hidup dalam kenangan."
"Aku sudah hidup di dalamnya, mau apalagi."
"Aku tak suka jika kita menyakitinya."
"Istrimu?" tanyaku.
"Ibu dari anak-anakku kelak."
"Kaubilang...."
"Mengertilah, jangan hidup dalam kenangan. Bukankah itu sudah terlalu sering kita bincangkan?"
Harapanku terlalu sering patah, memang. Ah, sebenarnya kami berdua yang telah membuatnya patah. Kami membiarkan hati kami membentuk diri menjadi pohon yang getas, kemudian patah teramat mudah. Meskipun tentu saja dia berusaha membuat alasan sendiri, "Istriku hamil muda. Aku tak bisa lagi menemui atau menerima teleponmu." Dia segera mematikan ponsel, seperti biasa.
Berjam-jam aku tetap diam di tempat seolah-olah dia mencemaskanku, lantas muncul secara tiba-tiba di hadapanku, mengulurkan tangannya. Hanya saja, sekali lagi, kenyataan telah melemparkanku ke lantai paling keras. Aku lebam. Biru. Hitam.
***
"AKU mengubah rencana dan akan segera pulang akhir minggu ini." Suara suamiku terdengar bening.
"Tidak perlu. Aku sudah tidak ingin kau pulang," kataku dingin. Sedingin lantai tempat akhir-akhir ini aku sering berbaring.
"Kau masih marah?" tanyanya, tak sebening tadi.
"Mungkin."
"Kau membuatku selalu bingung." Suaranya mulai keruh.
"Kau benar."
"Bertahun-tahun kita terjebak dalam kekacauan. Kapan kau berhenti begini, Marinda?"
"Aku tidak tahu," ujarku, lebih dingin.
"Ini benar-benar gila, hidup kita."
"Aku sungguh menyesal. Maaf."
"Marinda, kau..."
Telepon ditutup. Ia menyerah terlampau cepat. Begitu selalu. Kenapa ia tidak membujukku sedikit lagi saja, menunjukkan kalau aku cukup penting untuk ia pertahankan meski tanpa cinta sekalipun? Ia seringkali berbalik arah ketika sudah berada di tengah-tengah, membuatku setengah bahagia setengah terluka.
Berhari-hari setelah itu aku tetap bertahan di apartemen. Membiarkan matahari berlalu begitu saja. Membiarkan semua rencana, termasuk sejumlah seminar, berantakan tanpa aku memperjuangkannya sedikit pun. Aku memilih meringkuk atau rebahan di lantai, menatap langit-langit dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian yang tak sempat kusadari selama ini sambil membayangkan bintang-bintang yang berkilat.
***
LANGIT mulai gelap di atas kepalaku, lampu-lampu mulai dihidupkan ketika aku memutuskan keluar apartemen dan berdiri di pinggir jalan. Beberapa taksi sengaja berjalan lambat, dan aku membiarkannya berlalu.
"Sudah malam lagi," aku bergumam sambil melihat ke langit. "Apa yang akan kulakukan sekarang?"
Aku bahkan tidak punya rencana apa-apa. Aku sama sekali tidak punya gambaran hendak melakukan apa atau mau pergi ke mana. Aku hanya menginginkan keluar dari apartemen. Hanya begitu. Selanjutnya adalah sesuatu yang benar-benar buram. Mungkin saja ini lebih baik daripada aku duduk terdiam menunggu seseorang yang akan pulang dari sebuah pulau dan setelah bertemu kami bertengkar, berulang-ulang.
Tidak. Aku merasa sudah cukup. Aku tidak mau membicarakan apa-apa lagi. Saat ini, aku tidak menginginkan siapa pun memandang mataku dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, lantas meraih bahuku dengan cara yang membuatku terus bersedih beberapa waktu ke depan.
Sungguh, kini aku justru menginginkan berdiri di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.
Aku tersenyum dan menangis, sama lebarnya. n
Jalan Enam Mei, 11-12
Lampung Post, Minggu, 15 Januari 2012
BELAKANGAN, aku sering merasa tiba-tiba berada di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.
Maka cepat sekali aku menggigil. Rambut di keningku basah. Juga di tengkuk. Pipiku panas dan sepertinya terus membengkak. Dadaku seakan dialiri cairan asam yang terus naik hingga ke mulut. Sebelum benar-benar limbung, segera kutampar wajah keras-keras hingga kudapatkan kembali diriku sedang duduk beku di depan laptop yang berkedip, kertas kerja yang berserakan, dan buku agenda bersampul hitam.
Berjam-jam kemudian aku tetap duduk di sana. Gemetar.
***
AKU ingat saat pertama kali merasa berada di tepi tebing itu. Suatu malam, tepat pukul 01.00, aku terbangun dari tidur yang gelisah. Pikiranku sumpek. Aku ingin melihat dunia di luar, maka kubuka semua gorden di ruang tengah apartemanku. Aku melihat ke bawah. Lampu kendaraan melintas cepat, satu-satu. Tiang listrik membeku, berjejer di sepanjang jalan. Tukang satai bersuara parau. Serombongan anak muda setengah mabuk. Aku sedikit mundur. Menatap bayangan samar diriku di kaca. Rambutku sudah melewati bahu. Tanpa poni. Mataku tampak lelah. Astaga, aku terkesiap. Itu bukan mata yang lelah, melainkan mata yang telah mati. Di sana hanya terlihat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Betapa mengerikan memiliki mata semacam itu. Bukankah dulu dia, kekasihku, bahkan bisa melihat bermacam-macam buah semak di sana, bergelantungan di dahan-dahan kecil namun kuat? "Imajinasimu liar," ujar kekasihku itu sambil memetik satu buah semak, entah apa namanya, dalam mataku. "Dan kau menyukainya?" tanyaku manja. "Aku menginginkannya, Marinda," dia berkata, memikat.
Sepanjang malam kami berbahagia. Kami saling berjanji dan berciuman di jalan yang sepi. "Ini tentang hati, bisa apa kita," katanya. Dia memandangku, lekat. "Ini tentang kita yang bertemu di waktu yang tidak tepat," tukasku sambil melepaskan syal di leher yang mulai membuat sesak. Kami sama-sama tertegun.
Aku mengusap-usap mataku. Bermalam-malam aku tidak tidur, wajar saja mata itu lelah, lalu mati.
Sesaat aku melupakan soal mata dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, sebab perhatianku tiba-tiba tertuju pada pintu yang tertutup yang juga tampak samar di kaca. Aku kurang suka pintu yang tertutup karena itu dapat membungkam khayalanku tentang seseorang yang muncul dari kelokan lorong, berdiri di depan pintu membawa seikat bunga lalang (aku tak pernah menginginkan mawar atau krisan, jenis bunga yang mudah saja dibeli pada penjual kembang). Namun begitu, ini penting kukatakan, aku memang jenis orang yang terlampau banyak bermain-main dengan pikiran sendiri. Sebenarnya, tidak pernah ada bunga lalang dalam hidupku seperti juga tidak pernah satu kalipun aku berani membiarkan pintu itu terbuka, terutama pada jam satu dini hari.
"Marinda, kau belum tidur?" kekasihku terdengar mengantuk saat aku tak kuasa menghalau rindu dan nekat meneleponnya.
Aku malas menanggapinya, dan berkata, "Aku sedang mengingat saat kau memetik buah semak, yang entah apa namanya, dalam mataku. Aku juga membayangkan tentang pintu yang terbuka dan kau...."
"Istriku bangun...." Tut...tut...tut....
Berjam-jam aku mengingat nada itu, berjam-jam aku termangu di depan kaca yang ingin sekali kupecahkan. Tapi... aku tetap menunggu dia meneleponku kembali, hingga aku punya kesempatan menyambung kalimat yang putus, "...dan kau muncul dari lorong, berdiri di depan pintu itu membawa seikat bunga lalang."
Tidak. Dia bahkan tidak mengirim pesan pendek. Dengan cepat sesuatu menyesak di dadaku. Sangat penuh, rasanya. Kemudian aku kedinginan, cemas, lembab. Aku meronta-ronta ingin lepas dari semua yang terasa kejam itu, sampai aku kelelahan, sampai aku berada di tepi tebing yang tidak kukenali, tapi mencoba menarikku amat kuat.
***
SEIRING dengan itu, lalu aku mulai terbiasa pula meringkuk dan memeluk kedua kaki di sudut ruangan hingga lewat tengah malam. Aku mirip anak kecil yang ditinggal sendirian di rumah dan tak tahu mesti melakukan apa. Seekor cicak menyergap nyamuk di dinding dan nyamuk itu langsung lenyap tanpa bekas. Laptop di atas meja sudah lama kulupakan, termasuk beberapa pekerjaan yang seharusnya kuselesaikan bulan ini dan sudah kutandai dengan stabilo hijau. Selebihnya, hidupku adalah sunyi. Sunyi membuatku tergelitik untuk kembali menyusuri jalan kenangan. Hanya saja, saat ini semua kenangan menjadi pahit untuk dibicarakan.
"Kau belum tidur?" tanya suamiku saat kuhubungi.
"Tidak bisa," ujarku.
"Kau perlu obat tidur lagi."
"Aku ingin kau segera pulang. Temani aku. Sungguh, aku merasa tidak tenang. Kau bisa?" tanyaku.
"Kau tahu ini pukul tiga pagi dan aku sedang berada di sebuah pulau... jauh di Sumatera. Aku tidak mungkin pulang sekarang."
Berjam-jam aku duduk terdiam. Aku tetap mengharapkan ia benar-benar datang, membawakanku aroma laut yang lembut atau tubuh garam yang berpasir. Kami akan berpelukan, sedalam-dalamnya, untuk pertama kali. Ah, sekali saja, kenapa ia susah sekali melakukan sesuatu yang bisa membuatku menangis saat membayangkan kehilangannya?
Namun ia memang tak pernah datang, juga sesudah aku membuang semua obat tidur ke dalam saluran air yang membuatku kembali berada di tepi tebing dengan amat mudah. Berjam-jam aku ketakutan. Merasa sendirian. Kesakitan.
***
AKU tidak tidur hingga matahari mulai membuat mataku silau. Biasanya buru-buru aku menutup gorden dan menyandarkan tubuhku di sana, dalam bingkai kaca. Seperti pagi ini, aku menyandarkan tubuhku dalam bingkai kaca itu sambil berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menemui kekasihku. Satu kali lagi saja. Aku tidak akan memintanya untuk kembali padaku, tapi paling tidak aku mau berteriak di hadapannya untuk terakhir kali. Teriakan yang mungkin saja ia ingat seumur hidup. Bisa jadi ini caraku menghukumnya. Dan selanjutnya, tepat pada hari itu juga, aku akan memulai hidup dengan bahagia. Tidur di hamparan rumput di alam terbuka. Berjam-jam. Tanpa siapa-siapa. Bernyanyi riang dalam hati. Menari sesukanya.
"Ini rumit, Marinda."
"Aku hanya mau bertemu. Tidak untuk membicarakan apa-apa."
"Marinda...."
"Sekali saja. Kau yang tentukan harinya," kataku.
"Tak bisakah kau mengerti?"
"Tidak bisa," ujarku.
"Apa sulit sekali bagimu?"
"Hmm."
"Aku sudah katakan, jangan hidup dalam kenangan."
"Aku sudah hidup di dalamnya, mau apalagi."
"Aku tak suka jika kita menyakitinya."
"Istrimu?" tanyaku.
"Ibu dari anak-anakku kelak."
"Kaubilang...."
"Mengertilah, jangan hidup dalam kenangan. Bukankah itu sudah terlalu sering kita bincangkan?"
Harapanku terlalu sering patah, memang. Ah, sebenarnya kami berdua yang telah membuatnya patah. Kami membiarkan hati kami membentuk diri menjadi pohon yang getas, kemudian patah teramat mudah. Meskipun tentu saja dia berusaha membuat alasan sendiri, "Istriku hamil muda. Aku tak bisa lagi menemui atau menerima teleponmu." Dia segera mematikan ponsel, seperti biasa.
Berjam-jam aku tetap diam di tempat seolah-olah dia mencemaskanku, lantas muncul secara tiba-tiba di hadapanku, mengulurkan tangannya. Hanya saja, sekali lagi, kenyataan telah melemparkanku ke lantai paling keras. Aku lebam. Biru. Hitam.
***
"AKU mengubah rencana dan akan segera pulang akhir minggu ini." Suara suamiku terdengar bening.
"Tidak perlu. Aku sudah tidak ingin kau pulang," kataku dingin. Sedingin lantai tempat akhir-akhir ini aku sering berbaring.
"Kau masih marah?" tanyanya, tak sebening tadi.
"Mungkin."
"Kau membuatku selalu bingung." Suaranya mulai keruh.
"Kau benar."
"Bertahun-tahun kita terjebak dalam kekacauan. Kapan kau berhenti begini, Marinda?"
"Aku tidak tahu," ujarku, lebih dingin.
"Ini benar-benar gila, hidup kita."
"Aku sungguh menyesal. Maaf."
"Marinda, kau..."
Telepon ditutup. Ia menyerah terlampau cepat. Begitu selalu. Kenapa ia tidak membujukku sedikit lagi saja, menunjukkan kalau aku cukup penting untuk ia pertahankan meski tanpa cinta sekalipun? Ia seringkali berbalik arah ketika sudah berada di tengah-tengah, membuatku setengah bahagia setengah terluka.
Berhari-hari setelah itu aku tetap bertahan di apartemen. Membiarkan matahari berlalu begitu saja. Membiarkan semua rencana, termasuk sejumlah seminar, berantakan tanpa aku memperjuangkannya sedikit pun. Aku memilih meringkuk atau rebahan di lantai, menatap langit-langit dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian yang tak sempat kusadari selama ini sambil membayangkan bintang-bintang yang berkilat.
***
LANGIT mulai gelap di atas kepalaku, lampu-lampu mulai dihidupkan ketika aku memutuskan keluar apartemen dan berdiri di pinggir jalan. Beberapa taksi sengaja berjalan lambat, dan aku membiarkannya berlalu.
"Sudah malam lagi," aku bergumam sambil melihat ke langit. "Apa yang akan kulakukan sekarang?"
Aku bahkan tidak punya rencana apa-apa. Aku sama sekali tidak punya gambaran hendak melakukan apa atau mau pergi ke mana. Aku hanya menginginkan keluar dari apartemen. Hanya begitu. Selanjutnya adalah sesuatu yang benar-benar buram. Mungkin saja ini lebih baik daripada aku duduk terdiam menunggu seseorang yang akan pulang dari sebuah pulau dan setelah bertemu kami bertengkar, berulang-ulang.
Tidak. Aku merasa sudah cukup. Aku tidak mau membicarakan apa-apa lagi. Saat ini, aku tidak menginginkan siapa pun memandang mataku dan tumbuhan yang membusuk di dalamnya, lantas meraih bahuku dengan cara yang membuatku terus bersedih beberapa waktu ke depan.
Sungguh, kini aku justru menginginkan berdiri di tepi tebing. Tebing yang sangat sepi. Aku tak berani melihat ke bawah, tapi aku bisa menyelam ke dasar yang gelap, teramat gelap; dinding napal yang basah, pohon-pohon dengan duri di sepanjang batang atau ranting-ranting kecil yang tajam, juga nyanyian sayup yang misterius dan terus membujuk: biarkan kami mengambil jiwamu yang sakit dan gelap.
Aku tersenyum dan menangis, sama lebarnya. n
Jalan Enam Mei, 11-12
Lampung Post, Minggu, 15 Januari 2012
Sunday, January 8, 2012
Warahan Negeri Awan
Cerpen Syaiful Irba Tanpaka
episode satu
NAMANYA Negeri Awan. Karena negeri itu betul-betul berada di atas awan.
Syahdan cerita Sang Pewarah; dahulu kala awan itu terhampar di atas bumi dan bukan di langit seperti yang kita lihat saat ini. Bila ingin pergi ke Negeri Awan, maka kita tinggal melangkah menuju pintu gerbangnya untuk kemudian menjejakkan kaki dan berjalan di atas gumpalan-gumpalan awan yang terhampar dengan indah seperti di kayangan.
Tak ada penjaga pintu gerbang. Setiap orang boleh dengan bebas melancong ke Negeri Awan kapan saja. Dan kata orang-orang yang pernah mengunjunginya, Negeri Awan memiliki pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Selain bangunan-bangunan megah dan mewah yang mengingatkan kita pada istana raja-raja, pemandangan alamnya luar biasa. Pohon-pohon tumbuh dengan warna-warni yang cerah cemerlang. Ada yang berwarna merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan sebagainya. Begitu pula dengan air telaga atau sungai-sungai yang mengalir berwarna-warni serupa pelangi.
"Seperti mimpi rasanya kalau kita berada di Negeri Awan. Di antara hamparan awan yang berwarna putih itu semua yang ada berwarna-warni. Bukit-bukit, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan benda-benda lainnya bersanding dengan paduan warna yang harmonis."
"Tak ada malam di Negeri Awan. Karena gumpalan awan yang putih itu mengandung cahaya yang menyiangkan."
Penduduk Negeri Awan hidup dengan makmur dan sentosa. Kehidupan yang sejahtera itu membuat negeri ini damai dan tenteram. Rakyat Negeri Awan hidup jauh di atas rata-rata garis kemiskinan. Tak ada pencurian karena tak ada yang mau jadi maling. Tak ada perampokan sebab tak ada yang ingin memaksakan kehendak. Tak ada pelacuran karena nilai-nilai ke-Tuhanan dan kehambaan tertanam kuat. Tak ada koruptor lantaran pejabat tinggi negeri mengutamakan kepentingan rakyat. Semua hidup berdampingan saling mengasihi sebagai keluarga besar.
episode dua
SANG Pewarah kemudian meriwayatkan asal muasal Negeri Awan dan kenapa sekarang tidak lagi berada di atas bumi, melainkan di langit tinggi.
Aaaaa...
Warahanku warahan(1)
Nyak haga cawa-cawa
Dang niku nyiksa badan
Ram damai saradara
(Aaaaa.../bercerita saya bercerita/saya akan berkata-kata/jangan Anda menyiksa badan/kita damai bersaudara)(2)
Tersebutlah seorang permaisuri yang tengah gundah gulana. Sang raja baru saja wafat. Putrinya yang sulung belum menikah. Kedua putranya yang beranjak dewasa mulai suka bertengkar. Dan hal inilah yang sesungguhnya membuat permaisuri bersedih. Bagaimana tidak. Ketika tanah kubur sang raja masih berwarna merah, tersebar kabar perseteruan kedua putranya yang ingin memperebutkan takhta kerajaan. Sehingga pejabat-pejabat tinggi dan bala tentara kerajaan terpecah.
"Ibunda permaisuri, tenanglah. Mungkin itu cuma kabar burung. Untuk jelasnya nanti kuajak bicara kedua adikku," ucap si Sulung.
"Kabar itu benar adanya, putriku. Penasihat Kerajaan telah menceritakan kepadaku. Dan Ibu telah meminta dilaksanakan Musyawarah Mulia untuk menyelesaikan persoalan ini."
"Kapan itu waktunya?"
"Tiga hari lagi."
"Saat purnama penuh?"
"Ya, saat bulan sempurna. Ibu berharap kegelapan yang bersemayam di hati kedua adikmu akan lenyap disinari cahaya kebesaran."
"Kalau begitu, Ibu jangan bersedih lagi."
"Bagaimana mungkin, putriku. Bagaimana mungkin hati seorang ibu akan tenang mengetahui anak-anaknya berbeda paham, saling menyusun kekuatan untuk saling menghancurkan? Ibu manakah yang rela menyaksikan anak-anaknya dikuasai amarah dan nafsu saling membunuh? Ibu membesarkan kalian dengan penuh harapan. Lantas ibu manakah yang tak akan menangis bila harapan-harapan itu berambisi untuk saling memadamkan?" Permaisuri meneteskan air mata.
Si Sulung menatap penuh keharuan; karena ia juga seorang perempuan. Seseorang yang secara kodrati kelak akan juga dipanggil ibu. Apakah lantaran persamaan itu ia bisa merasakan apa yang dirasakan ibunya. Seakan tak mengerti si Sulung menggeleng-gelengkan kepala. Dan butiran air mata mengalir dipipinya
Waktu begitu pelit untuk menyampaikan semua hal yang diketahuinya. Ia menyimpan segenap rahasia rapat-rapat. Nasib dan takdir manusia menjadi bagian dari misteri yang dikandungnya. Tak terasa tiga hari telah berlalu. Bulan purnama bersinar di langit malam. Di dalam istana Musyawarah Mulia baru saja berlangsung.
"Dengan mengingat kewibawaan dan kebijaksanaan Baginda Raja almarhum, Musyawarah Mulia dibuka," suara Penasihat Kerajaan menggema.
"Yang Mulia Permaisuri, Ratu Agung Kerajaan Sembilan Gunung dipersilahan untuk bicara."
Permaisuri tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia memulai perkataan dengan bertanya.
"Apakah yang membuat kerajaan ini menjadi besar dan dihormati?"
Hadirin tampak tenang. Tak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menjawab. Maka Permaisuri melanjutkan.
"Jawabnya adalah karena nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang senantiasa dipupuk dan dipelihara oleh almarhum Baginda Raja. Dan nilai-nilai itulah yang seharusnya kita pertahankan agar kerajaan ini tetap besar dan dihormati. Karena itu, akan tiba waktunya bagi kedua putraku untuk membuktikan diri siapa yang layak sebagai putra mahkota. Tersebab putri sulungku tidak memiliki hak untuk itu."
Tiba-tiba Putra Kedua angkat bicara.
"Maaf Ibu Ratu, bukankah ketika Yunda Putri tidak memiliki hak pewaris maka secara otomatis akan jatuh ke tanganku sebagai putra tertua?"
Namun, sebelum Permaisuri menjawab, segera Putra Bungsu menukasnya.
"Maaf Ibu Ratu, hamba tidak sependapat dengan Putra Kedua. Sebagaimana Ibu Ratu katakan, kami harus dapat membuktikan diri siapa yang lebih layak sebagai pewaris tahta Kerajaan Sembilan Gunung..."
Putra Kedua yang penasaran balik membantah.
"Yang kukatakan adalah aturan yang lazim dipakai. Aturan yang seharusnya. Jadi akulah pewaris takhta yang sah."
"Tidak bisa. Kita harus menghormati perkataan Ibu Ratu...."
"Tapi kita harus pakai aturan...."
"Tidak bisa, harus begini...!"
"Tidak bisa, harus begitu...!"
Kedua putra raja itu tidak bisa lagi dikendalikan. Suasana gaduh. Ketegangan mulai mengalir dalam ruangan. Para petinggi kerajaan mengambil posisi merapatkan barisan dengan putra raja yang didukungnya. Sementara di luar pasukan kerajaan terpecah dua. Tiba-tiba terdengar suara teriakan "Serbuuuuuuuu...."
"Lindungi Ibu Ratu dan Putri!" sebuah suara menggaris hiruk pikuk, lalu perang pun terjadi. Mereka saling memukul, saling menombak, saling menebas, saling memanah. Pekikan-pekikan menyerang dan kesakitan bergema bersamaan. Istana seakan berwarna merah oleh percikan dan tumpahan darah. Tubuh-tubuh yang roboh terluka serta mayat-mayat bergeletakan memendarkan cahaya bulan yang murung. Keangkaraan tersenyum dingin menyaksikan peristiwa itu. Peristiwa yang menjadi narasi besar dari hasrat manusia yang haus kekuasaan. Tak peduli harus meminum darah saudaranya sendiri.
"Oooh...!" Permaisuri mendesah. Di dera kepiluan hatinya, ia berlari menggandeng sang putri. Ia berlari dan terus berlari. Hingga ia sampai di padang luas terbentang. Ia menghentikan langkahnya. Ia tatap wajah putrinya yang berurai air mata.
"Berhentilah menangis putriku sayang. Ibu sekarang hanya memilikimu, tak ada yang lain. Kecuali sesuatu yang akan ibu berikan kepadamu."
Putri merebahkan diri ke pelukan Permaisuri. Tak lama kembali mengangkat wajahnya dan menatap kepada Permaisuri.
"Apa yang Ibu maksudkan?"
"Ibu ingin engkau menjadi seorang ratu."
"Bagaimana mungkin, Ibu?"
"Engkau harus menjadi ratu bagi dirimu dan rakyatmu. Tuhan Yang Maha Utama, keadilan adalah sarana, kehidupan yang damai dan sejahtera tujuannya."
"Tapi...." Putri diliputi tanda tanya.
Permaisuri berusaha tersenyum, "Ibu akan membuatkan sebuah negeri untukmu."
"Ibu...."
"Inilah pilihan yang dapat membuat ibu tenang dan bahagia."
Sebelum Putri menyadari apa sesungguhnya yang tengah terjadi, secepat kilat Permaisuri membelah dadanya dengan kuku-kuku jarinya. Lalu ia mengeluarkan hatinya dan melemparkan ke atas padang yang luas itu. Dari hatinya itu muncul asap putih yang semakin lama menggumpal semakin banyak bersamaan dengan raibnya jasad Permaisuri.
Kenyataan itu membuat Putri tersentak dan histeris. Putri jatuh pingsan. Dan saat siuman ia mendapatkan dirinya terbaring di atas sebuah tempat tidur yang mewah. Beberapa pelayan yang sejak tadi menungguinya menyatakan siap untuk menjalankan perintah. Kemudian para petinggi negeri datang dan memberi hormat.
"Di manakah ini?"
"Ini Negeri Awan dan Ratu adalah pemimpin kami."
Sejak saat itu sang putri menjadi Ratu Negeri Awan. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Ia senantiasa mengingat pesan Permaisuri, ibunya, bahwa hati nurani adalah ruang pengadilan yang teradil. Hingga negeri Awan terkenal ke seantero negeri sebagai negeri yang subur, makmur, aman, damai, dan sejahtera.
episode tiga
Mahap ngalimpugha pun....
Sang Pewarah lalu menceritakan bagian akhirnya..
Konon beberapa tahun berjalan, pasukan kerajaan Sembilan Gunung dengan rajanya Putra Kedua menyerbu Negeri Awan. Namun niat Putra Kedua untuk menodai ketenteraman Negeri Awan tidak pernah terlaksana. Sebab ketika bala tentara Sembilan Gunung datang untuk menyerang, Negeri Awan membumbung dan terus membumbung ke angkasa serta menjadi bagian dari langit. Tak ada seorang pun yang bisa memastikan apakah Negeri Awan masih ada di antara awan-awan yang kita lihat sekarang. Padahal setiap orang merindukan untuk bisa menikmati kehidupan seperti di Negeri Awan.
Bandar Lampung, November 2011
Catatan:
(1) Warahan; merupakan sastra tradisi Lampung dari Kabupaten Way Kanan, sebagaimana Reringget di Kabupaten Lampung Utara dan Tulang Bawang atau Muayak dari Lampung Barat. Sastra-sastra tradisi ini masing-masing memiliki irama yang khas
(2) Bait pertama dari buku Warahan Radin Jambat terbitan DKL, 1995
Lampung Post, Minggu, 7 Januari 2012
episode satu
NAMANYA Negeri Awan. Karena negeri itu betul-betul berada di atas awan.
Syahdan cerita Sang Pewarah; dahulu kala awan itu terhampar di atas bumi dan bukan di langit seperti yang kita lihat saat ini. Bila ingin pergi ke Negeri Awan, maka kita tinggal melangkah menuju pintu gerbangnya untuk kemudian menjejakkan kaki dan berjalan di atas gumpalan-gumpalan awan yang terhampar dengan indah seperti di kayangan.
Tak ada penjaga pintu gerbang. Setiap orang boleh dengan bebas melancong ke Negeri Awan kapan saja. Dan kata orang-orang yang pernah mengunjunginya, Negeri Awan memiliki pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Selain bangunan-bangunan megah dan mewah yang mengingatkan kita pada istana raja-raja, pemandangan alamnya luar biasa. Pohon-pohon tumbuh dengan warna-warni yang cerah cemerlang. Ada yang berwarna merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan sebagainya. Begitu pula dengan air telaga atau sungai-sungai yang mengalir berwarna-warni serupa pelangi.
"Seperti mimpi rasanya kalau kita berada di Negeri Awan. Di antara hamparan awan yang berwarna putih itu semua yang ada berwarna-warni. Bukit-bukit, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan benda-benda lainnya bersanding dengan paduan warna yang harmonis."
"Tak ada malam di Negeri Awan. Karena gumpalan awan yang putih itu mengandung cahaya yang menyiangkan."
Penduduk Negeri Awan hidup dengan makmur dan sentosa. Kehidupan yang sejahtera itu membuat negeri ini damai dan tenteram. Rakyat Negeri Awan hidup jauh di atas rata-rata garis kemiskinan. Tak ada pencurian karena tak ada yang mau jadi maling. Tak ada perampokan sebab tak ada yang ingin memaksakan kehendak. Tak ada pelacuran karena nilai-nilai ke-Tuhanan dan kehambaan tertanam kuat. Tak ada koruptor lantaran pejabat tinggi negeri mengutamakan kepentingan rakyat. Semua hidup berdampingan saling mengasihi sebagai keluarga besar.
episode dua
SANG Pewarah kemudian meriwayatkan asal muasal Negeri Awan dan kenapa sekarang tidak lagi berada di atas bumi, melainkan di langit tinggi.
Aaaaa...
Warahanku warahan(1)
Nyak haga cawa-cawa
Dang niku nyiksa badan
Ram damai saradara
(Aaaaa.../bercerita saya bercerita/saya akan berkata-kata/jangan Anda menyiksa badan/kita damai bersaudara)(2)
Tersebutlah seorang permaisuri yang tengah gundah gulana. Sang raja baru saja wafat. Putrinya yang sulung belum menikah. Kedua putranya yang beranjak dewasa mulai suka bertengkar. Dan hal inilah yang sesungguhnya membuat permaisuri bersedih. Bagaimana tidak. Ketika tanah kubur sang raja masih berwarna merah, tersebar kabar perseteruan kedua putranya yang ingin memperebutkan takhta kerajaan. Sehingga pejabat-pejabat tinggi dan bala tentara kerajaan terpecah.
"Ibunda permaisuri, tenanglah. Mungkin itu cuma kabar burung. Untuk jelasnya nanti kuajak bicara kedua adikku," ucap si Sulung.
"Kabar itu benar adanya, putriku. Penasihat Kerajaan telah menceritakan kepadaku. Dan Ibu telah meminta dilaksanakan Musyawarah Mulia untuk menyelesaikan persoalan ini."
"Kapan itu waktunya?"
"Tiga hari lagi."
"Saat purnama penuh?"
"Ya, saat bulan sempurna. Ibu berharap kegelapan yang bersemayam di hati kedua adikmu akan lenyap disinari cahaya kebesaran."
"Kalau begitu, Ibu jangan bersedih lagi."
"Bagaimana mungkin, putriku. Bagaimana mungkin hati seorang ibu akan tenang mengetahui anak-anaknya berbeda paham, saling menyusun kekuatan untuk saling menghancurkan? Ibu manakah yang rela menyaksikan anak-anaknya dikuasai amarah dan nafsu saling membunuh? Ibu membesarkan kalian dengan penuh harapan. Lantas ibu manakah yang tak akan menangis bila harapan-harapan itu berambisi untuk saling memadamkan?" Permaisuri meneteskan air mata.
Si Sulung menatap penuh keharuan; karena ia juga seorang perempuan. Seseorang yang secara kodrati kelak akan juga dipanggil ibu. Apakah lantaran persamaan itu ia bisa merasakan apa yang dirasakan ibunya. Seakan tak mengerti si Sulung menggeleng-gelengkan kepala. Dan butiran air mata mengalir dipipinya
Waktu begitu pelit untuk menyampaikan semua hal yang diketahuinya. Ia menyimpan segenap rahasia rapat-rapat. Nasib dan takdir manusia menjadi bagian dari misteri yang dikandungnya. Tak terasa tiga hari telah berlalu. Bulan purnama bersinar di langit malam. Di dalam istana Musyawarah Mulia baru saja berlangsung.
"Dengan mengingat kewibawaan dan kebijaksanaan Baginda Raja almarhum, Musyawarah Mulia dibuka," suara Penasihat Kerajaan menggema.
"Yang Mulia Permaisuri, Ratu Agung Kerajaan Sembilan Gunung dipersilahan untuk bicara."
Permaisuri tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia memulai perkataan dengan bertanya.
"Apakah yang membuat kerajaan ini menjadi besar dan dihormati?"
Hadirin tampak tenang. Tak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menjawab. Maka Permaisuri melanjutkan.
"Jawabnya adalah karena nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang senantiasa dipupuk dan dipelihara oleh almarhum Baginda Raja. Dan nilai-nilai itulah yang seharusnya kita pertahankan agar kerajaan ini tetap besar dan dihormati. Karena itu, akan tiba waktunya bagi kedua putraku untuk membuktikan diri siapa yang layak sebagai putra mahkota. Tersebab putri sulungku tidak memiliki hak untuk itu."
Tiba-tiba Putra Kedua angkat bicara.
"Maaf Ibu Ratu, bukankah ketika Yunda Putri tidak memiliki hak pewaris maka secara otomatis akan jatuh ke tanganku sebagai putra tertua?"
Namun, sebelum Permaisuri menjawab, segera Putra Bungsu menukasnya.
"Maaf Ibu Ratu, hamba tidak sependapat dengan Putra Kedua. Sebagaimana Ibu Ratu katakan, kami harus dapat membuktikan diri siapa yang lebih layak sebagai pewaris tahta Kerajaan Sembilan Gunung..."
Putra Kedua yang penasaran balik membantah.
"Yang kukatakan adalah aturan yang lazim dipakai. Aturan yang seharusnya. Jadi akulah pewaris takhta yang sah."
"Tidak bisa. Kita harus menghormati perkataan Ibu Ratu...."
"Tapi kita harus pakai aturan...."
"Tidak bisa, harus begini...!"
"Tidak bisa, harus begitu...!"
Kedua putra raja itu tidak bisa lagi dikendalikan. Suasana gaduh. Ketegangan mulai mengalir dalam ruangan. Para petinggi kerajaan mengambil posisi merapatkan barisan dengan putra raja yang didukungnya. Sementara di luar pasukan kerajaan terpecah dua. Tiba-tiba terdengar suara teriakan "Serbuuuuuuuu...."
"Lindungi Ibu Ratu dan Putri!" sebuah suara menggaris hiruk pikuk, lalu perang pun terjadi. Mereka saling memukul, saling menombak, saling menebas, saling memanah. Pekikan-pekikan menyerang dan kesakitan bergema bersamaan. Istana seakan berwarna merah oleh percikan dan tumpahan darah. Tubuh-tubuh yang roboh terluka serta mayat-mayat bergeletakan memendarkan cahaya bulan yang murung. Keangkaraan tersenyum dingin menyaksikan peristiwa itu. Peristiwa yang menjadi narasi besar dari hasrat manusia yang haus kekuasaan. Tak peduli harus meminum darah saudaranya sendiri.
"Oooh...!" Permaisuri mendesah. Di dera kepiluan hatinya, ia berlari menggandeng sang putri. Ia berlari dan terus berlari. Hingga ia sampai di padang luas terbentang. Ia menghentikan langkahnya. Ia tatap wajah putrinya yang berurai air mata.
"Berhentilah menangis putriku sayang. Ibu sekarang hanya memilikimu, tak ada yang lain. Kecuali sesuatu yang akan ibu berikan kepadamu."
Putri merebahkan diri ke pelukan Permaisuri. Tak lama kembali mengangkat wajahnya dan menatap kepada Permaisuri.
"Apa yang Ibu maksudkan?"
"Ibu ingin engkau menjadi seorang ratu."
"Bagaimana mungkin, Ibu?"
"Engkau harus menjadi ratu bagi dirimu dan rakyatmu. Tuhan Yang Maha Utama, keadilan adalah sarana, kehidupan yang damai dan sejahtera tujuannya."
"Tapi...." Putri diliputi tanda tanya.
Permaisuri berusaha tersenyum, "Ibu akan membuatkan sebuah negeri untukmu."
"Ibu...."
"Inilah pilihan yang dapat membuat ibu tenang dan bahagia."
Sebelum Putri menyadari apa sesungguhnya yang tengah terjadi, secepat kilat Permaisuri membelah dadanya dengan kuku-kuku jarinya. Lalu ia mengeluarkan hatinya dan melemparkan ke atas padang yang luas itu. Dari hatinya itu muncul asap putih yang semakin lama menggumpal semakin banyak bersamaan dengan raibnya jasad Permaisuri.
Kenyataan itu membuat Putri tersentak dan histeris. Putri jatuh pingsan. Dan saat siuman ia mendapatkan dirinya terbaring di atas sebuah tempat tidur yang mewah. Beberapa pelayan yang sejak tadi menungguinya menyatakan siap untuk menjalankan perintah. Kemudian para petinggi negeri datang dan memberi hormat.
"Di manakah ini?"
"Ini Negeri Awan dan Ratu adalah pemimpin kami."
Sejak saat itu sang putri menjadi Ratu Negeri Awan. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Ia senantiasa mengingat pesan Permaisuri, ibunya, bahwa hati nurani adalah ruang pengadilan yang teradil. Hingga negeri Awan terkenal ke seantero negeri sebagai negeri yang subur, makmur, aman, damai, dan sejahtera.
episode tiga
Mahap ngalimpugha pun....
Sang Pewarah lalu menceritakan bagian akhirnya..
Konon beberapa tahun berjalan, pasukan kerajaan Sembilan Gunung dengan rajanya Putra Kedua menyerbu Negeri Awan. Namun niat Putra Kedua untuk menodai ketenteraman Negeri Awan tidak pernah terlaksana. Sebab ketika bala tentara Sembilan Gunung datang untuk menyerang, Negeri Awan membumbung dan terus membumbung ke angkasa serta menjadi bagian dari langit. Tak ada seorang pun yang bisa memastikan apakah Negeri Awan masih ada di antara awan-awan yang kita lihat sekarang. Padahal setiap orang merindukan untuk bisa menikmati kehidupan seperti di Negeri Awan.
Bandar Lampung, November 2011
Catatan:
(1) Warahan; merupakan sastra tradisi Lampung dari Kabupaten Way Kanan, sebagaimana Reringget di Kabupaten Lampung Utara dan Tulang Bawang atau Muayak dari Lampung Barat. Sastra-sastra tradisi ini masing-masing memiliki irama yang khas
(2) Bait pertama dari buku Warahan Radin Jambat terbitan DKL, 1995
Lampung Post, Minggu, 7 Januari 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)