Nanci
Teman kita itu benar-benar perempuan menyedihkan. Ia seorang pembual. Bergaduk pembangkang. Merasa paling keras kepala. Sombong sekali dia. Padahal, ibarat roti yang terlalu lama dibakar, ia repas. Jika sudah begitu, tak ada lagi yang bisa ia harapkan, selain menyerah dan terus membiarkan laki-laki itu menguasai dirinya.
Soal satu ini, kuminta jangan bilang-bilang padanya. Ini sebetulnya rahasia kami. Ia sengaja tidak memberitahumu, sebab kau berbeda, katanya. Paling-paling kau akan bilang: kalau suami sampai memukulmu, pasti karena kau telah membuat kesalahan. Sebaliknya aku justru sulit mengeluarkan kalimat semacam itu dan lebih terbiasa berkata: kau harus membalasnya, beberapa tingkat lebih keras, buat dia sedikit tercengang.
Ternyata teman kita itu lebih menyukai pendapatku. Aku memberinya inspirasi, menurutnya. Meskipun aku tahu ia tidak akan melakukan apa-apa pada suaminya—sekecil apa pun itu. Bukankah teman kita itu amat mudah tergoda. Dengan rayuan: maafkan aku, aku menyesal, aku tidak bisa hidup tanpamu—dari suaminya—ia langsung cair seperti es. Tangan-tangannya yang semula terkepal, lemas seketika, dan saat itulah ia terlihat mudah dikuasai.
Sekarang kau mengerti kenapa aku bosan sekali padanya, ia tipikal perempuan yang mudah meleleh. Aku masih ingat, dulu dia begitu cantik di antara kita. Semua teman laki-laki kita menginginkannya, menganggap kita tidak penting di setiap acara yang kita hadiri, baik itu yang diadakan pihak sekolah maupun di beberapa pesta ulang tahun. Sangat mengesalkan ketika itu. Apalagi saat melihatnya demikian genit dan tahu betul cara memanfaatkan puncak kegemilangannya.
Dalam sebulan, teman kita itu bisa ganti pacar dua sampai tiga kali, sedangkan aku dalam setahun ditolak dua kali atau kalau ada seseorang memintaku jadi pacar—dan ini pasti dari kelompok anak lelaki kurang populer—tetap saja aku merasa kurang dicintai. Apa? Kau tidak peduli tentang itu? Kami semua tahu kau memang kurang berminat dengan dunia begituan. Kau lebih senang merajut tas tangan ketika jam istirahat, membuat dirimu tampak terkucil dan berdebu di tengah hamparan bangku-bangku kosong yang ditinggalkan rombongan siswa keluar main.
Ya, kau memang manis sekali sejak dulu. Siapa pun lelaki itu pasti menyukai perempuan sejenismu. Setelah menikah, kau tetap berkarier dan mengurus rumah tangga sekaligus, tanpa keluh kesah. Aku kadang penasaran, di mana kau dapatkan semangat sebesar itu. Atau kesabaran sedalam itu. Sering aku menganggapmu kebanyakan mendengar dongeng masa lalu dari ibumu, tentang perempuan yang hanya bahagia bila berhasil menguasai sebuah rumah, terutama bagian dapur.
Kau tidak sendirian dan justru kau berada dalam kelompok besar perempuan yang seperti itu, karenanya kau merasa berada di jalan yang tepat? Kau benar juga. Hanya saja jarang sekali yang tanpa keluh kesah, bukan? Teman kita itu? Wah, kalau dia jangan kau tanyakan. Aku yakin bibirnya berkerut-kerut saat mengiris bawang. Dia kurang menjiwai apa saja yang berhubungan dengan dapur. Kau berpendapat bahwa teman kita itu tipe perempuan modern, banyak mau, tetapi tidak tahu apa-apa yang benar-benar ia inginkan? Kalimatmu hebat sekali. Kau pasti mengutip kalimat itu dari sebuah buku.
Terakhir menelepon, teman kita itu terdengar kesal karena suaminya tidak mau ikut mengurus anak-anak mereka yang masih kecil, terutama di pagi hari yang sibuk, ketika teman kita mesti menyiapkan sarapan, membersihkan lantai, menyetrika, dan mengganti air dalam bak mandi, anak-anak lucu itu tidak henti meminta perhatian darinya dengan membuat kegaduhan luar biasa.
Tahukah kau lelaki itu sedang apa? Ia minum kopi di ruang depan seakan tidak ada keributan sama sekali. Apa? Urusan rumah dan anak adalah mutlak pekerjaan perempuan? Kau memang payah untuk pembicaraan yang satu ini. Payah sekali.
Biar kuberitahu, ternyata satu-satunya peran yang paling pantas kau mainkan: tetaplah jadi anak manis sampai kau berusia lima puluh tahun. Aku menyindirmu dan seolah-olah mau mengatakan kalau kau kurang cocok melakukan perubahan kecil kecuali tetap menjadi seseorang yang polos? Kali ini kau hampir benar. Kira-kira begitulah yang ingin kukatakan. Aku tetap berharap kau akan tersinggung. Kau masih bertanya untuk apa kau tersinggung? Astaga, kau kelewat tak terjangkau oleh apa pun. Aku menyesal tidak bisa menolongmu.
Marine
Hah? Ia membeberkan rahasiaku kepadamu? Brengsek sekali dia. Ingin kugampar wajahnya yang berminyak itu. Aku terkicu telah percaya padanya. Harusnya aku ingat dirimu—seseorang yang kapan saja siap menjadi gudang bagiku. Aku merasa ini kesalahan terbesarku untuk kedua kali. Ternyata dia tidak berubah setelah membuka rahasia-rahasiaku sebelum ini pada orang lain—sialnya, mereka itu bahkan bukan temanku, melainkan kenalan suamiku—dan sudah pasti terjadi keributan serius antara kami yang membuatku cukup repot untuk memulihkan situasi.
Kenapa aku menerimanya lagi sebagai teman kalau ternyata dia sering merepotkanku? Tolonglah, kau tetap saja tidak paham bahwa kehilangan dia sama saja dengan menutup sisi lain hidupku. Dia memberiku tempat untuk membayangkan diriku yang seorang pembangkang. Pendek kata, kalau ada dia, aku bahkan bisa meraih kembali diriku yang dulu itu. Apa pentingnya diriku yang dulu? Kau sulit memahaminya, sebaiknya kau simpan saja pertanyaan itu. Aku menyepelekanmu seperti yang sering dilakukan teman kita itu? Kuharap kau tidak berkecil hati, namun itulah yang kupikirkan tentangmu.
Walau begitu, aku iri padamu. Kau mendapatkan semua yang kauangankan. Kau punya rumah sesuai dengan yang kau gambar di dinding WC sekolah kita: rumah cukup besar dan pohon-pohon di sekitarnya. Kau punya suami baik hati dan anak-anak yang menyayangimu—balasan yang wajar atas ketulusanmu. Paling penting kau tidak pernah merasakan nyeri dipukul atau ditampar lelaki yang kaucintai, pastinya karena ia tidak mungkin tega melakukannya pada orang semanis kamu. Aku? Bahkan aku dipukul saat suamiku bilang “Aku cinta padamu”. Itu membingungkan? Sudahlah. Aku tahu kau sulit percaya atau malah menganggapku bohong.
Lantas lihatlah teman kita itu, seolah tidak ada pekerjaan lain kecuali mencari kesalahan laki-laki. Hampir setiap hari ia juga menyerang perempuan manis sepertimu atau melakukan protes di jalanan di saat perempuan seusianya tengah memikirkan rencana piknik keluarga di hari Minggu. Aku heran, apa yang dia inginkan dari hidup ini. Padahal, apa salahnya kalau perempuan seperti kau tetap manis. Kami semua—kecuali dia, barangkali—sangat menyukai dirimu yang begini.
Kau tidak percaya aku membelamu? Bagaimana bisa kau punya pikiran demikian? Bukankah saat kau dilecehkan sewaktu kita sekolah dulu aku orang pertama yang berdiri di sampingmu, menggenggam tanganmu, dan berkata: aku bersamamu. Jangan pernah cengeng lagi. Setelah itu kau memang tidak pernah lagi menangis, bukan? Aku memang teman yang bisa kau andalkan, terutama yang berurusan dengan laki-laki usil. Aku bisa membuat mereka terkapar di bawah kakiku, dalam lima menit. Apa? Kau bilang lelaki mana yang tidak mau terkapar kalau bisa mengintip sesuatu dalam rokku? Kau mulai ketularan teman kita itu rupanya. Tapi kuharap kau tak sesinis dia.
Sudahlah. Lupakan masalah itu. Lagipula kejadiannya sudah lama sekali.
Ah, aku merasa dadaku sedikit ringan sekarang. Apa? Aku mudah meleleh? Kau mengejutkanku. Boleh juga. Meleleh. Sungguh, aku menemukan satu kata yang pas untuk menggambarkan seluruh diriku: meleleh. Jangan tatap aku begitu. Ah, maaf. Aku sedang sentimentil. Biasanya aku tidak begini. Jarang sekali. Dan inilah aku sekarang. Teman kita itu ada benarnya, aku mulai membiarkan diriku berantakan. Bagian ini tidak pernah kuceritakan pada siapa pun sebelumnya, termasuk pada teman kita itu. Aku tidak mau dia merisaukanku. Bagaimanapun dia teman terbaikku. Oh, aku tidak bermaksud menganggapmu tidak penting. Namun, pada dia aku merasa lebih bisa terang-terangan, sedangkan kau, sungguh, tampangmu yang selalu manis itu membuat siapa pun harus pura-pura sepadan dengan kegembiraan yang terpancar di matamu.
Aku tidak habis pikir kenapa kau selalu bisa begini, selalu manis, persis sama saat melihat kau main lompat tali, puluhan tahun lalu, tepatnya saat kau melompat dan kau tengah berada di udara. Mengambang. Bagimu seakan hidup itu amat ringan. Maksudmu tidak sepenuhnya demikian? Kau cuma berusaha untuk menahan diri, tidak histeris? Kau menyindirku. Soal histeris itu memang milikku. Aku tidak dapat mengungkapkan apa-apa tanpa marah atau berteriak. Tapi pada akhirnya aku tetap saja meleleh, sesuai yang kau katakan. Apa? Itu bukan istilahmu, melainkan kata yang kau kutip dari teman kita itu?
Sudah kuduga ia pasti terlibat dalam hal apa pun yang ada hubungannya denganku. Lihat, ia bahkan sudah menyimpulkan hidupku dalam satu kata: meleleh. Berani benar dia. Aku tidak tahu apa aku harus benar-benar menggamparnya dalam waktu dekat ini.
Kau masih juga ingin tahu pendapatku tentang teman kita yang tidak menikah dalam usia tiga puluh lima tahun? Barangkali lebih baik dia tidak menikah. Aku tahu ia tidak akan berhasil menjadi seorang istri dari seorang lelaki dari jenis mana saja, sebab teman kita itu bahkan menolak mencuci satu piring pun bila ia menikah nanti. Itu ia katakan padaku dengan suara keras, seolah-olah sebuah pengumuman yang disengaja. Menurutmu, apa ada seorang laki-laki mau hidup dengan perempuan yang membiarkan piring kotor tergeletak di lantai? Ayolah, kau tidak perlu bergidik begitu, seakan-akan kau baru berkenalan dengan teman kita itu satu bulan lalu.
Luppit
Kau benar-benar sebal padaku? Tolong jangan lakukan itu. Aku merasa bersalah sekali padamu. Aku tidak bermaksud melakukan pertemuan diam-diam di belakangmu. Semua terjadi begitu saja. Teman kita itu meneleponku. Lalu mengajakku minum teh di tempat biasa kita bertemu. Kami tidak memberitahumu karena kami pikir kau sedang sibuk sekali. Teman kita bilang beberapa kali kau tidak membalas pesan pendek dia. Kau sedang bosan padanya? Tapi ia mengira kau terlalu sibuk. Kami putuskan pergi berdua saja.
Kuakui aku terbawa emosi ketika diam-diam kuperhatikan beberapa titik kebiruan di sekitar mata dan bibirnya. Aku berseru: astaga! Jadi benar kalau kau dipukuli lelaki itu. Teman kita itu kaget. Masih kuingat bola matanya memandangku takjub, seakan tidak percaya aku tahu sesuatu tentangnya. Ia mendesakku. Kukatakan aku tahu darimu. Dia menjerit.
Menurutnya, itu rahasia kalian dan aku semestinya tidak boleh tahu. Setelah itu ia berkata ingin sekali menggamparmu, tentu saja dengan tampang geram setengah mati. Tapi seperti katamu, aku tahu ia tidak akan melakukan apa-apa—sekecil apa pun itu. Bukankah dia mudah sekali meleleh. Apalagi ia tidak bisa kehilanganmu.
Aku lega kau mau mengerti. Lain kali aku akan lebih hati-hati menyimpan sebuah rahasia. Terutama mengenai teman kita itu. Kau bertanya tentang kabarku? Tentu saja aku masih bahagia sebagaimana biasa. Hanya sedikit lelah, tapi tak begitu mengganggu. Pagi-pagi aku bangun untuk membereskan segala hal. Sehabis kerja aku juga buru-buru pulang untuk kembali melakukan hal yang sama. Itulah tugasku. Baiklah kuberitahu padamu isi kepala hampir semua laki-laki saat ia menikahi seorang perempuan. Pertama, ia memastikan ada seseorang yang akan mengantar teh atau kopi ke tempat tidur saat ia terjaga di pagi hari. Kedua, ada seseorang yang akan mencucikan baju kotornya, dua hari sekali.
Kau tak usah menggeleng-gelengkan kepalamu. Mana mungkin aku mengabaikan pekerjaan rumah dan membiarkan suamiku mencuci bajunya sendiri. Itu bukan yang diajarkan ibuku. Kesetiaan perempuan ditunjukkan dengan cara melayani. Cukup sampai di situ. Tak usah disanggah lagi, begitu ibu memberi nasihat seusai acara lamaran ketika itu. Bertahun-tahun aku menyimpan nasihat itu baik-baik.
Kau tentu saja sulit membayangkannya. Untungnya lagi kau tak perlu bertemu ibuku.
Kau harus segera pergi? Tidak biasa kau buru-buru mau pulang. Bukankah kau menyukai duduk berlama-lama di halaman belakang rumahku ini. Lagipula aku masih ingin ngobrol denganmu. Oh, kau ada janji dengan orang lain. Aku harap kau tidak perlu merahasiakannya dariku jika kau dan teman kita itu berencana minum teh di tempat biasa, sebab itu akan membuatku merasa seperti orang lain bagi kalian. Kau tidak yakin aku ada waktu untuk ikut bersama kalian sekalipun ini hari libur? Kebetulan sekali aku sudah menyelesaikan semua urusan rumahku, termasuk mengganti pisau cukur lama di rak sabun.
Jalan Enam Mei, 2009-2011
No comments:
Post a Comment