Sunday, July 24, 2011

Menyambut Kematian

Cerpen Miftah Fadhli


"COBA lihat di sana." Tunjuk lelaki itu; telunjuknya menuding langit berbentuk gerombolan domba, kecil-kecil, manakala sekawanan burung melintas dia lebih sumringah dari sebelumnya.
Si gadis kecil, yang masih berumur tujuh tahun duduk di pangkuannya dan menyandarkan kepalanya di dada si lelaki. Ia mengikuti arah telunjuk dan melihat langit seperti bola-bola kecil, bukan domba-domba kecil sebagaimana yang dilihat si lelaki. Ia memakai pita merah muda di kepalanya yang dililit melingkar seperti bando, ujungnya dihempas semilir angin, berayun-ayun seperti rumput laut.

Sekarang si gadis kecil merasa ingin meloncat saja dari pangkuan pamannya. Namun, ia merasa tangan kiri pamannya menahan pahanya dengan erat sehingga ia sulit untuk berdiri. Ia tahu pamannya sedang tidak enak hati saat ini. Dadanya berdetak terus, terasa di kepalanya yang menyandar itu. Sementara ia hanya mampu membuktikan ketidak-enakan hatinya dengan memain-mainkan jari dan berwajah murung. Ia memakai baju terusan berwarna hitam dengan selendang hitam melilit lehernya. Tadi selendang itu menutupi separuh kepalanya; pita merah muda itu kelihatan sangat menyolok di antara lautan hitam pakaiannya.

"Aku lapar, Paman," ucap gadis kecil itu.

Sang paman menurunkan tangannya dan mengelus rambut Si Gadis Kecil.

"Sebentar lagi kita pulang, Sayang."

Lalu menengadahkan kepalanya ke langit. Sekawanan burung lagi-lagi melintas, berwarna hitam, seperti noktah yang digerakkan waktu sementara langit di ufuk semakin terang warnanya. Dia tak dapat melihat pemandangan apa pun di tempat ini karena semuanya tertutupi pohon kemboja dan kenanga yang tumbuh tinggi. Puring juga tumbuh di mana-mana.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Aku tujuh tahun, Paman. Tidak enak dipangku terus."

Sebenarnya lelaki itu ingin memberitahu keponakannya bahwa langit begitu indah hari ini. Bentuknya selalu berubah-ubah. Terakhir langit di hadapannya seperti pasir di tepi pantai, setelah lama berdiam diri seperti gerombolan domba—di pikiran lelaki itu. Bentuknya seperti habis diterjang ombak. Ada beberapa garis tidak menentu, kadang sebenarnya, terlihat seperti benang yang serabutan, tapi garisnya sangat panjang dan memang terlihat mirip seperti pasir sehabis disapu ombak.

Akan tetapi keponakannya tampaknya tidak terlalu memberikan perhatian lebih. Si Gadis Kecil itu lebih sering melihat ke bawah. Ke arah iring-iringan semut yang menggotong remah-remah kayu dan dedaunan. Berbaris di tepi keramik, panjang, mengarah ke sebuah lubang yang letaknya sangat jauh dari tempat mereka memulai. Semut merah, mirip semut rangrang, tapi semut rangrang seharusnya ada di tangkai-tangkai pohon. Jadi, pikir lelaki itu, mereka bukan semut rangrang. Namun semut adalah semut. Perilaku mereka membuat orang kagum; membuat keponakannya lebih suka memerhatikan mereka ketimbang dia dan pikiran tentang langit. Pikirnya, di tempat seperti ini memang lumrah ditemui banyak semut. Hampir di setiap sudut ada semut bergotong-royong, mencari makan, membuat sarang, atau ramai-ramai mengerubungi objek benda tertentu; tapi kelakuan mereka masih membuat orang tertarik—dan itu membuat dia agak kesal, tapi juga tenang. Maka dia sedikit menyunggingkan senyum melihat wajah keponakannya. Mengelus-elus rambutnya yang panjang dan wangi.

"Ah, Paman," Si Gadis Kecil menggeleng, "Aku ingin dibelikan makanan saja."

"Kita belum boleh ke mana-mana, Sayang."

"Kenapa?"

"Kita harus menunggu orang-orang pulang dulu. Menghormati mereka."

"Siapa mereka?"

"Mereka... tamu...," lelaki itu mengatupkan bibirnya.

Dadanya kembang-kempis menghembuskan napas yang pendek-pendek. Bau bunga kenanga terhirup masuk bersama udara, sangat tajam, sehingga dia merasa agak pusing dan kembali biasa setelah beberapa saat. Angin meniup tengkuknya sehingga dia merasa agak merinding dan hangat; matanya tiba-tiba memerah dan bibirnya juga merah sebelum telinganya menyusul berwarna merah. Dia mengambil saputangan di saku kemejanya dan mengelap wajahnya. Kemeja berwarna hitam memiliki kemampuan menyerap panas sehingga udara akan tersimpan pada benang-benangnya dan menguap ke seluruh tubuh membuatnya merasa gerah; dia berkeringat pada dahi dan cuping hidung. Namun air pada matanya diragukan apakah itu keringat atau berarti sesuatu. Bagaimanapun, lelaki itu tidak berusaha mencari tahu. Ketika Si Gadis Kecil itu menoleh kepadanya dia buru-buru menyelesaikannya dan menyurukkan saputangan ke saku kemejanya. Lalu dia buru-buru tersenyum.

"Boleh aku melihat orang-orang itu?"

Si paman buru-buru menghalang-halangi si gadis kecil. Badannya cukup besar, dan dadanya bidang. Hal itu menghalangi pandangan si gadis kecil untuk melihat langsung ke belakang. Sebab, kalau terlalu memutar akan membuat lehernya sakit di kemudian hari. Ia hanya mampu menolehkan kepalanya sedikit sementara badan yang seharusnya membantunya memperluas jarak memutar tidak dapat bergerak leluasa karena tangan si paman terlalu mengekangnya. Ia tidak bebas melakukan apa pun yang ia mau. Selain itu, sudah sejam lebih ia berada di tempat ini bersama pamannya.

"Kamu pernah ke gunung, Sayang?"

"Ayah pernah mengajakku ke gunung, tapi sampai sekarang aku belum pernah ke gunung."

"Aku pernah ke Sibolangit."

"Itu bukan gunung, Paman."

Si paman terkekeh. "Ya, kamu betul. Tapi mirip gunung. Aku dan ayahmu berkemah berdua di tempat itu setelah kakekmu memaksa."

"Kenapa kakek memaksa, Paman?"

Pada kenyataannya dia dan ayah si gadis kecil adalah saudara kembar. Ayah mereka menyuruh keduanya untuk pergi ke bumi perkemahan agar belajar mandiri setelah selama ini mendapat pelayanan maksimal dari ibunya dan pembantunya. Tidak satu lelaki pun bisa disebut lelaki apabila mereka belum pernah menaklukkan apa pun yang menjadi ketakutannya, ucap si paman meniru ayahnya. Dan, saudara kembar itu memang dipaksa untuk menaklukkan ketakutannya dengan berangkat menuju Bumi Perkemahan Sibolangit dan mendirikan kemah di sana.
Si lelaki tahu bahwa dia dan saudara kembarnya belum pernah belajar mengenai tenda dan sejenisnya sebelumnya. Pengetahuan mengenai simpul dia dapatkan di pramuka saat SD dan sudah tentu dia lupa 80 persen materi pelajarannya karena tidak pernah mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Saat jambore tingkat sekolah dasar, dia menolak ikut karena alasan yang dibuat-buat; tak beda jauh dengan saudara kembarnya yang ikut pasukan pengibar bendera sekolah, dia tidak pernah ikut "pasukannya" saat kegiatan itu berlangsung di luar dan harus bersusah-susah mendirikan tenda atau bertahan hidup seadanya.

"Jadi kalian sangat manja?"

"Ya, kami terlalu manja."

Ketakutan terbesar saudara kembar itu adalah hidup sendirian tanpa ditemani oleh siapa pun karena kalau begitu, mereka harus melakukan semuanya sendirian demi mempertahankan hidup. Mereka telah diberi bekal alat-alat kemah yang lengkap dan rute menuju Sibolangit menggunakan bis umum. Setibanya di sana, keduanya kocar-kacir karena tak satu pun dari alat-alat yang mereka bawa tahu namanya. Mereka hanya tahu tenda dan tali tambang dan memasangnya lebih dulu. Setelah melalui proses yang rumit mendirikan tenda yang sempurna mereka harus membuat api unggun yang artinya mereka harus mengumpulkan kayu bakar.

"Di sana dilarang memotong pohon."

Jadi mereka mencari dahan-dahan pohon jatuh dengan susah payah lalu mengangkutnya dengan lebih payah ke perkemahan.

Mereka di Sibolangit hanya untuk tiga hari. Akan tetapi, perjuangan untuk mempertahankan diri selama itu lebih sulit dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Mereka pikir bisa meminta bantuan dari orang-orang yang tinggal di sekitar perkemahan.

"Ternyata mereka lebih dingin dari sekotak es batu sekalipun."

"Jadi kalian benar-benar melewati tiga hari itu sendirian, Paman?"

"Ya, dan Rudi membuatku jengkel selama tiga hari itu."

"Kenapa ayahku?"

"Dia selalu merengek minta pulang. Kamu tahu, setiap malam kami mendengar suara aneh dan Rudi paling sering menangis di antara kami."

Tenggorokannya terasa hangat setelah itu; dia tidak yakin setelah ini akan berbicara dengan lancar.

"Benarkah? Tapi ayah selalu melarang aku menangis."

"Ya, benar...," dia tercekat, matanya merah.

"Kenapa, Paman?"

"Tidak apa-apa."

"Bagaimana kelanjutannya, Paman?"

"Kami melewati tiga hari itu. Dan kami mulai belajar."

Si gadis kecil merasa gerah. Tiba-tiba mukanya memerah. Pita merah muda di rambutnya masih berayun-ayun dihempas angin, seperti rumput laut. Ia teringat ayah dan ibunya. Tiba-tiba ia merasa setiap hari akan sangat sunyi. Ia merasa ketakutan terbesar dalam hidupnya menunggunya di depan pintu dan menyambutnya dengan kesedihan. Ia ingin menangis saat itu juga akan tetapi pamannya tiba-tiba berteriak dan menuding langit.

"Jarang-jarang ada burung sebesar itu!"

"Itu hanya seekor elang, Paman."

"Oh, ya, aku tahu."

Ia tidak pernah berada di tempat ini sebelumnya. Saat neneknya meninggal, ia masih berada dalam kandungan. Itu tidak berarti ia benar-benar pernah berada di tempat ini sebelumnya. Ia bahkan belum pernah membayangkan bagaimana bentuk liang lahat itu. Sekarang barulah ia tahu bagaimana wujud sebenarnya tempat yang dikelilingi batu-batu nisan dan pohon-pohon yang tumbuh sendiri-sendiri. Sepi. Cenderung aneh. Semua orang hikmat. Doa-doa dilantunkan dan ia sama sekali tidak dapat melihat orang-orang yang sedang berdoa. Badan pamannya terlalu besar untuk ditembus.

Sekarang ia merasa kepalanya benar-benar hangat. Telinganya juga hangat seperti seseorang sedang bernapas di dekatnya. Sekalipun ia ingin tidak memedulikan perasaan itu, tetap saja seperti ada seseorang bernapas di telinganya atau di depan wajahnya. Ujung baju ia tarik-tarik sedemikian rupa. Tiba-tiba rasa kehilangan itu muncul begitu saja dalam kepalanya. Rasanya seperti habis memecahkan vas bunga milik ibunya.

"Paman, kapan kita pulang? Aku sudah lapar."

Lelaki itu tidak menjawab. Wajahnya benar-benar merah dan matanya lembab. Namun bagaimanapun, si gadis kecil tak mampu melihat wajah lelaki itu. Dia sengaja mengencangkan pelukannya agar ia tak bebas bergerak.

Sekawanan burung lagi-lagi melintas. Di gadis kecil tengadah memerhatikan kawanan burung seperti sekumpulan noktah yang digerakkan oleh waktu. Ia tak tahu sudah berapa lama ia berada di sini. Langit di kejauhan sudah memerah. Beberapa orang yang tiba-tiba muncul dari balik punggungnya mengucapkan beberapa kalimat kepadanya dan pamannya, lalu tak kelihatan. Terus begitu. Sampai ia benar-benar merasa sesuatu mengganjal di hatinya.

"Berikan senyum terbaikmu, Sayang."

"Kapan kita akan pulang, Paman?"

"Sudah berapa lama kamu tidak mengunjungi paman dan bibi?"

Si Gadis Kecil menggeleng.

"Setelah semua selesai, kamu harus ke rumah paman dan bibi, ya?"

"Kenapa, Paman?"

"Di sana banyak makanan. Kamu bisa memakan semuanya sampai puas." n


Lampung Post, Minggu, 24 Juli 2011

No comments:

Post a Comment