Sunday, August 8, 2010

Sengketa

Cerpen Muhammad Amin


KETIKA mataku terbuka dan kuhirup udara segar yang memenuhi rongga dadaku, aku tak sepenuhnya menyadari jika pagi yang kutemui kali ini adalah pagi yang tak biasa. Pagi yang lain dan berbeda dari sebelumnya. Entah apa yang kemudian akan terjadi. Segalanya jadi misteri yang sulit dibuka. Seperti warna udara yang sulit diterka. Seolah segalanya jadi gelap begitu saja.

Aroma tubuh istriku yang mengambang membuatku terjaga. Seperti biasa, setiap pagi istriku menyibakkan gorden, kemudian membangunkanku dengan tangannya yang lembut dan suaranya yang lembut pula sayup-sayup kudengar. Aku akan bangkit dan kutangkap ia dalam pelukanku. Kami saling bergurau, kukecup keningnya yang segar. Kemudian aku menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi.

Sementara istriku menyiapkan sarapan pagi. Sarapan pagi yang selalu dibuat istimewa tentunya. Seperti seloroh seorang teman kerjaku suatu waktu, segala sesuatu akan terasa nikmat bila dibumbui dengan cinta. Karena itulah sarapan pagi istriku selalu terasa istimewa karena aku tahu ia memiliki resep yang tak dimiliki oleh orang lain: bumbu cintanya untukku.

Setiap pagi, Marsya, putri kami satu-satunya dan agak manja, selalu bermalas-malasan bangkit dari tempat tidur. Kemudian dengan terpaksa ia menyeret langkah ke kamar mandi. Kudengar omelan istriku menasihatinya.

"Kamu ini anak perempuan Marsya, tidak boleh bermalas-malasan begitu. Anak perempuan harus rajin. Nanti tak ada teman lelakimu yang mau dekat denganmu."

"Ah, Mama. Jangan ngomel melulu. Meskipun Marsya tidak mandi, Marsya tetap cantik kok." Kemudian ia melantunkan lagu-lagu pop kesukaannya dengan keras-keras.

"Cepat lagi mandinya, papamu sudah menunggu. Nanti kamu terlambat berangkat sekolah dan papamu terlambat berangkat kerja gara-gara kamu." Tapi Marsya tak mau mendengar kicauan ibunya. Ia menyanyi lebih keras.

Aku menunggu di meja makan sembari membaca koran pagi. Setelah itu kami sarapan bersama. Sarapan pagi yang selalu istimewa. Begitulah pagi yang kami jalani tak pernah berubah.

Tapi kali ini tak ada sibakan gorden, tak ada tangan halus istriku yang lembut membangunkanku. Tak ada suara lembut istriku yang sayup-sayup kudengar. Namun aku mencium aroma tubuh istriku masih terbaring di sampingku. Matanya belum terbuka. Ia belum terjaga. Ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya teduh dan tenang juga ada seulas senyuman di sana. Aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa istriku tersenyum manis sekali saat ia tertidur. Dan mengapa ia tidak bangun lebih awal dan membangunkanku seperti biasa. Aku tak bisa menduga. Tapi sungguh sesuatu yang tak biasa itu membuatku curiga.

Ada aroma yang asing dalam kamar kami. Aroma yang sama saat detik-detik terakhir kematian ibuku. Aroma yang begitu lembut dan khas. Seolah bersijingkat dan mengambang di atas udara. Ah, mana mungkin aroma kematian itu ada di kamar kami. Aku tak percaya. Kubangunkan istriku, ia tak mau membuka matanya. Kubangunkan sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Kuperiksa detak nadinya. Kerasakan napasnya. Kuguncang-guncang tubuhnya. Berkali-kali. Istriku tetap tak mau bangun. Tetapi wajahnya cerah seperti warna pagi dengan seutas senyum di bibir merahnya. Kupegang saluran nadinya sekali lagi. Kurasakan embusan napasnya sudah tak ada lagi.

Mengapakah begitu cepat malaikat menculik istriku di saat aku lengah? Mengapa kematian begitu licik?

Sungguh, bukan kematian benar menusuk kalbu. 1) Namun aku belum siap menerima. Adakah yang lebih baik daripada menerima kematian terlalu pagi. Dan istriku mati dengan wajah yang membuatku tersinggung. Ia mati dengan wajah tenang dengan seutas senyuman menyiratkan bahwa ia bahagia menerima kematiaannya. Bukan hanya ikhlas, tetapi teramat bahagia menyambut kedatangan malaikat maut. Bahkan kali ini aku bukan hanya tersinggung, tetapi juga cemburu dan sakit hati. Apa yang benar membuatnya senang menerima kematian bila di dunia ini masih terlalu banyak kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan akan mengalir sepanjang waktu. Aku tak bisa menerima kematiannya. Istriku tak pernah mengeluhkan sesuatu. Atau menderita suatu penyakit. Bahkan satu hari menjelang kematiannya ia tampak lebih segar dari biasanya.

Setiap orang memang tidak bisa menerima kematian orang yang sangat dicintai. Begitupun aku. Aku tak bisa menerima kepergian istriku. Terlebih daripada itu, aku sangat mencintainya, tetapi karena aku juga sangat cemburu dan tersinggung melihat keadaan istriku yang demikian.

Kematiannya yang begitu saja, di saat terbaring tenang di tempat tidur, terlelap kemudian pergi untuk selama-lamanya. Kepergiannya yang menurutku sangat picik. Wajahnya yang cerah dan lebih cantik dari biasa. Dan gaun itu. Gaun yang sangat cantik. Aku tak pernah merasa membelikan gaun itu untuknya. Tetapi mengapa ia memakai gaun yang indah saat tidur. Bukankah biasanya ia selalu memakai pakaian tidur.

Rupanya istriku sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dia ingin mati dengan keadaan sempurna. Ia telah menyiapkan kematiannya sendiri. Ia telah mengetahui kapan terakhir kali napasnya berembus dan detak jantungnya berhenti. Tapi ia tidak pernah memberitahukannya padaku. Ia sudah tahu kapan malaikat maut menjemputnya, memapahnya kemudian seperti kapas yang ringan mengambang di udara dan terbang ke atas langit. Tetapi ia tidak pernah mau berbagi cerita padaku perihal kematiannya. Kematian istriku yang begitu menyesakkan dadaku.

Seketika tubuhku terasa lemah. Aku tak berdaya. Aku tak bisa bangkit. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Putriku Marsya datang tergesa-gesa kemudian menemukan ibunya terbaring di tempat tidur. Ia pun berteriak keras-keras memanggil nama ibunya sembari mengguncang-guncangkannya. Air matanya mengalir tak mau berhenti.

***

Agak siang, mertuaku datang. Wajah mereka sedih. Padahal aku tak memeberitahukan pada mereka perihal kematian istriku. Kemudian ayah mertuaku menjelaskan bahwa mereka sudah mengetahui mengenai kematian putri mereka. Istriku sudah memberitahukannya pada mereka mengenai kematiannya seminggu menjelang kepergianya. Ini membuatku tersentak. Dan yang membuatku lebih kaget, mereka akan membawa pulang jasad istriku dan menyemayamkannya di tanah kelahirannya, jelas aku semakin sakit hati dan tersinggung. Aku ini suaminya orang paling dekat dengannya tetapi tidak mengetahui apa-apa tentang semua ini. Aku merasa seolah tak dianggap sedikit pun olehnya. Jika ia ingin menunjukkan kejutan untukku, kenapa kejutan yang menyakitkan.

Dan orang tuanya dengan begitu saja ingin membawa pulang jasadnya. Setelah malaikat maut diam-diam menculik nyawanya, kini mereka ingin mengambil jasadnya. Aku tak bisa membiarkan begitu saja. Aku tetap memperthankan jasad istriku untuk disemayamkan di sisiku. Aku takkan membiarkan mereka mengmbilnya.

"Menantuku, kami mohon biarkan kami membawa jasad istrimu untuk dikuburkan di tanah kelahirannya. Ini sudah kehendaknya sendiri. Dia menitipkan keinginannya di tulisannya ini." Kemudian ayah mertuaku menyodorkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan istriku, sepotong kalimat keinginananya sebelum kematian: aku ingin di tempat kelahiranku (tempat pembaringanku yang terakhir).

Aku tetap tak bisa menerima. Juga tak terlalu percaya. Bisa saja mereka yang menuliskannya. Tetap kupertahankan jasad istriku. Bagaimanapun aku seorang suami. Punya tanggung jawab besar terhadap istri. Aku takkan melepaskan istriku begitu saja. Aku takkan membiarkan mereka untuk kedua kalinya mengambil istriku. Aku takkan membiarkan mereka pergi membawa jasadnya.

"Jika kamu masih tak percaya, istrimu juga sudah menuliskan kalimat keinginannya yang sama di laci lemari kalian..." kemudian aku seperti orang gila bergegas membuka lemari, membongkar lacinya. Kutemukan tulisan yang sama. Secarik kertas yang berisi keinginan istriku.

Dan aku tak bisa mengontrol emosiku. Tubuhku terasa limbung, tetapi kuusakan agar tetap kuat agar mereka tidak bisa seenaknya mencuri istriku. Aku berusaha memulihkan emosi. Kuusahakan agar tubuhku tidak terjatuh kalah. Karena jika aku lengah mereka akan membawanya diam-diam. Sama seperti saat malaikat maut diam-diam menculik nyawa istriku, di saat aku sedang tertidur pulas. Aku tak ingin mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Istriku harus tetap berada disisiku. Tak boleh ada yang membawanya pergi.

Aku dan mertuaku bertengkar hebat. Kami saling berseteru. Kami saling memperebutkan. Sementara jasad istriku masih terbaring di tempat tidur dengan gaun indahnya. Dan Marsya masih menangis tersedu di sisinya.

"Ini bukan waktunya berdebat, kamu tak boleh egois, kasihan istrimu."

Aku tahu ini memang bukan waktunya berdebat dan bertengkar. Tetapi aku musti mempertahankanya.

"Kenapa kau tak mau memenuhi permintaan istrimu yang terakhir kalinya?"

Bukan aku tak mau memenuhi permintaannya, tetapi ini terlalu berat. Terlebih lagi rasa sedih, cemburu, dan sakit hati jadi satu. Aku belum bisa menerima dengan lapang dada.

"Apa yang memberatkan bagimu?"

Semuanya. Bahkan di saat aku mengetahui bahwa istriku telah tiada. Mengetahui di saat istriku sudah mengetahui kematiannya. Mengetahui bahwa ia lebih memilih bercerita pada kalian daripada aku. Dan aku masih sangat mencintai istriku. Mana mungkin aku membiarkan kalian mengambilnya dariku.

"Kamu suami yang egois." Kini ibu mertuaku ikut menghujatku.

Aku memang egois. Tetapi siapa yang lebih egois. Aku atau istriku? Ia menginginkan kehendaknya sendiri, ia tak mau berbagi padaku. Padahal keluarga kami bahagia. Aku selalu memberikan kebahagiaan padanya. Tetapi ia ingin juga pergi jauh dariku tanpa memberikan sedikit pun isyarat. Bahkan ia seolah tak mengacuhkanku sebagai suaminya. Juga tak mengacuhkan Marsya, putri kami.

Ia bertindak seperti itu, aku tak bisa menerimanya.

"Lalu kau mau membuat istrimu menderita?"

Sama sekali aku tak ingin istriku menderita. Aku sangat mencintainya. Aku tak mau bertindak sebodoh itu.

"Kamu sudah bertindak bodoh sekarang dengan tidak menuruti permintaan istrimu yang terakhir. Ia akan merasa tersiksa karena ulahmu."

Tidak! Istriku tak akan tersiksa bila berada di sisiku.

***

Hari sudah sore, tapi sengketa kami belum usai. Aku sudah menyuruh orang menggali kubur istriku di samping rumah kami--tepatnya di samping kamar kami. Tetapi mertuaku berkeras ingin membawa pulang anaknya.

Tanah kubur istriku sudah selesai digali. Tetapi mertuaku tetap berkeras dengan pendiriannya membawa pulang jasad istriku karena mereka lebih dahulu menggalikan kubur untuknya sejak pagi tadi. Termasuk mobil jenazah sudah disiapkan di depan rumah.

"Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya. Istrimu tetap akan dikuburkan di tanah kelahirannya sesuai dengan keinginannya."

Istriku tetap akan dikuburkan di sini. Kalian tak usah repot-repot membawanya pulang.

"Perseteruan ini tak akan usai kalau kau tetap keras kepala."

Aku ingin mempertahankan apa yang sudah menjadi hak dan kewajibanku sebagai suami.

"Kenapa kau bertindak bodoh begini. Dengan berdebat terus tak akan menyelesaikan masalah. Padahal istrimu sudah merasa tersiksa karena sejak tadi kau telantarkan."

Kalian pun ikut andil menelantarkannya.

Kemudian ayah mertuaku yang mungkin sudah merasa muak denganku keluar menuju mobil jenazah. Kemudian ia masuk lagi, menghampiri istriku yang masih terbaring di tempat tidur. Ia menggendongnya. Aku merampasnya kembali. Marsya yang masih menangis berteriak marah padaku.

Aku mengerti kemarahan Marsya. Aku mengerti aku sangat egois. Tetapi kemudian kemarahan putriku dan gerimis yang turun perlahan di luar meluruhkan perasaanku. Aku luluh. Kuletakkan jasad istriku di tempat semula.

Sebelum aku merelakan jasad istriku mereka bawa, aku cuma bisa berkata: sebelum kalian kuburkan jasadnya, silakan periksa seluruh tubuhnya, apakah ada sedikit goresan saja. Kalian boleh membawanya visum atau otopsi, apakah hatinya juga terluka? Aku seorang yang sangat mudah tersinggung dan selalu menghayati perasaan. Padahal aku sangat menyayanginya. Dan aku tak bisa berpisah darinya.

Suasana ruangan mendadak menjadi begitu hening. Marsya berhenti menangis. Mertuaku tak bersuara. Yang ada hanya keheningan yang pekat. Hanya suara piano di seberang jalan yang terdengar samar-samar. Suara piano yang indah, mahakarya Listz, namun melantunkan lagu kematian.

Juni 2010


Catatan:

1) Chairil Anwar, dalam Nisan



Lampung Post, Minggu, 8 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment