Cerpen Beni Setia
PADA bus kota jurusan Perak, kata orang, lelaki itu masih sering muncul. Naik dari Terminal Purabaya, duduk di kursi untuk dua orang pada deret kedua dari depan, d sejak bus kota itu-bernomor L-2341-S-kembalikan polisi, sebagai barang bukti kejahatan, tapi tak ada yang berani mengoperasionalkannya karena dianggap sial-akan dijauhi penumpang. Sampai sopir, kondektur, dan kernet asli, yang tak kebagian bus lain, dipaksa keadaan untuk mengoperasionalkananya. Agak nekad, setengah berharap kendaraan bobrok itu tidak lagi dikenali banyak orang sebagai TKP kejahatan. Sepi. Behari-hari hilir-mudik sepi penumpang. Lalu dilakukan upacara ruwatan buang sial. Dan berhari bus itu tetap sepi penumpang. Sampai satu hari lelaki itu naik di terminal, memilih deret kedua di kiri, duduk merapat ke jendela-berserentakan dengan penumpang bersigegas naik.
"Panen, Jon!" teriak calo penumpang. Tapi saat karcis akan ditagih, lelaki itu tak ada di tempat, kursi yang rapat ke jendela itu kosong meski di sebelahnya terisi. Bulu kuduk Jojon bangkit. Ia gemetar. Tapi tak ngomong apa-apa. Bisu. Bersabar. Bersibuk dengan penumpang yang turun dan naik di sepanjang trayek-kursi selalu terisi semua. Di Perak, sambil antre giliran, Jojon bercerita kepada Waras dan Wagiran, kalau lelaki itu naik bus dan sekarang mungkin masih duduk di kursi deret kedua sebelah kiri.
"Jadi?" tanya Wagiran.
Waras menggeleng. Bangkit. Membeli sebatang 234, menyulut, serta pelan meletakkannya di kolong kursi kiri deret kedua dari depan.
"Asalamualaikum ahli kubur," bisiknya-gemetar.
Dan bus kota kembali penuh penumpang, yang turun dan naik sepanjang trayek. Dan meski ngeri mereka terus memakai bus kota itu sampai tutup izin layanan selepas jam 23.00. Besoknya, di pangkalan, mereka cerita tentang lelaki yang terlihat naik di Terminal Purbaya tapi tak bisa ditarik karcis ketika bus melaju di Jalan Akhmad Yani-begitu bersibelok ke luar terminal. "Ia paham-Ia mau mengerti kesulitan kita," kata Waras. Menyulut sebatang 234, serta meletakkannya di kolong kursi rapat dinding di deret dua dari depan sebelah kiri-ditambah segelas kopi yang sengaja ditumpahkan. Dan siang itu, di terminal: si lelaki itu tampak naik dan jelas memilih kursi kiri deret kedua dari depan rapat jendela. Jojon, Wagiran, dan Waras-dan calo penumpang itu-menandainya. Tersenyum-
bergairah mengepalkan tangan.
Sepanjang hari, sampai jam 23.00, bus kota itu senantiasa terisi oleh penumpang yang turun-naik sepanjang trayek. Selalu. Seminggu pol. Sampai seorang kondektur, lepas jam 16.00, membeli sisa waktu operasional dengan ongkos sebesar setor harian.
"Tolong," katanya, "anakku sakit dan seminggu ini aku tidak bisa pol setor. Tolong." Jojon menatap. Lelaki itu membungkuk sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajah. Setengah bersisembah. Jojon melirik Waras, lantas solidaritas di antara sesama sopir bangkit-seperti solidaritas yang dihadirkan oleh lelaki itu-: Waras mengiyakan. Memberi izin untuk ikut memetik keajaiban yang dilimpahkan si lelaki itu.
Dalam seminggu utang setoran Madsori tuntas. Dan cerita tentang lelaki itu pun beredar sebagai keajaiban trayek di pangkalan. Sehingga sopir yang lain berontak, dan serentak menuntut hak ikut diperbolehkan mengoperasionalkan bus kota L-2341S itu. Demonstrasi internal yang menyebabkan pimpinan memberlakukan giliran pakai yang adil: setiap tim pengelola angkut bus kota berhak untuk mengoperasionalkan bus itu selama dua hari setiap dua bulan-kecuali Jojon cs. yang boleh dua hari di setiap bulan. Dan terjadilah (peristiwa) ledakan penumpang melulu di bus kota istimewa itu-setiap beroperasi selalu pol. Mungkin sekitar 13-14 bulan. Setelah itu aura bus kota L-2341-S kembali normal, karenanya bus itu kembali menjadi jatah pakai tetap Jojon.
Meskipun sesekali si lelaki itu muncul dan memilih duduk di kursi kesayangannya, lalu semua kursi selalu terisi penumpang yang turun dan naik di sepanjang trayek. Di sela-sela hari normal yang identik dengan sukar penumpang: mereka seperti mendapat bonus. Kata orang, tanda akan muncul bonus penumpang pol pada bus itu hanya bisa diketahui sebagian orang terminal tertentu. Karena kehadiran lelaki itu hanya terlihat oleh sebagian calo penumpang, pengatur jadwal keberangkatan, sopir, kondektur, dan kernet tertentu. Mereka yang amat hapal dengan sosok dengan baju yang tidak pernah berganti itu, dengan gaya berjalan dan sikap cuek tak peduli pada riuh kesekitaran itu. Karena itu sopir yang kesulitan diuber-uber utang setoran harian, yang selalu tekor tak bisa memenuhi target setoran akan menyembah meminta agar Jojon cs. mau mengalah-di selepas pukul 16.00, dengan uang setoran harian dibayar penuh.
Senantiasa. Selalu. Dan terkadang Jojon cs tidak mau melelang meski itu ditebus uang setoran harian plus bonus. Dan terkadang bus itu tidak kunjung disiberangkatkan karena Jojon cs dikerubuti banyak sopir lain, yang bersikeras meminta jatah memakai bus kota itu. Polisi terminal pun-terkadang tanpa tahu kalau lelaki itu naik L-2341-S-menyelak, menyuruh Jojon cs naik, dan bus diberangkatkan dengan penumpang yang bersijejal. Dan meski terperangkap pengap, selama pertengkaran itu tidak pernah ada penumpang yang turun. Biasanya, lepas pukul 16.00: baru Jojon cs menyerah, bersirela memberikan si L-2341-S kepada yang berani membayar dengan harga lelang tertinggi-artinya: masih sekitar 7 jam buat lalu-lalang malam dengan trayek yang selalu ramai penumpang sehingga kursi yang ada itu senantiasa terisi.
"Itu memang keajaiban," kata banyak orang.
Sekali, di hari yang entah kapan tepatnya: ada calo penumpang yang nekad naik, duduk menjejerinya di deret kedua kursi kiri dari depan, nekad berharap mendapatkan petunjuk nomor toto gelap. Tapi lelaki kita itu tak bisa disapa, tak mau disapa. Duduk anteng. Bisu. Lantas menghilang ketika bus keluar dari Terminal, atau saat langsam bersilamban memutar di Bundaran Waru. Atau malahan langsung menghilang begitu dijejeri. Tak ada petunjuk. Tak ada impen. Tak ada wangsit. Nomer. Dan meski lelaki itu tak suka judi, kata banyak orang, tapi lelaki itu tetap memberkati penumpang bus L-2341-S. Bahkan, untung lelaki itu tidak pernah bisa dilihat penumpang-cuma sopir, kernet, kondektur, calo penumpang, dan pengatur jadwal keberangkatan.
Karena itu, semua orang di terminal bersisepakat tidak banyak omong membikin takut tiap calon penumpang-karena inti kesejahteraan mereka semua tergantung dari keberanian mencegat, naik, dan diangkut ke tujuan tanpa asumsi apa-apa dari si calon penumpang. "Cukup sekali," kata Jojon, "orang-orang membaca berita ditemukannya kepala terpenggal di kolong kursi kiri deretan kedua dari depan bus L-2341-S ini. Sisa mutilasi yang sengaja dibuang perempuan itu dengan berpura-pura naik bus kota dan ketinggalan. Tak seperti cara membuang tangan dan kaki, yang utuh diketemukan di Kali Mas, lalu torso serta isi perut yang dibuang di Selat Madura-dari feri-, dan tidak pernah diketemukan lagi. Cukup sekali, dan biar ia sesekali balik ke sini, bernostalgia, dan menyatakan tarima kasih karena kepalanya bisa diketemukan utuh...
"Aku melapor ke polisi sehingga ia bisa segera diidentifikasi, dan si perempuan pembunuh itu langsung bisa ditangkap. Cukup kita yang tahu. Cukup hanya kita yang tahu," kata Waras menandaskan. Dan kehebohan bangkit di terminal Purbaya itu-dari perjalanan lesu kurang penumpang dari Perak, sehingga Waras bisa mengingat dari titik mana perempuan itu naik dan seperti apa wajahnya-, ketika kerdus mi yang tertinggal di kolong kursi itu dibuka si pemulung. Tadjo yang setia menyapu sisa dan barang tertinggal sebagai kerja sampingan selain mengasong.
Kepala si lelaki yang darahnya membeku dan mata meram tanpa rasa sakit yang mendatangkan banyak polisi serta interogasi panjang. Kesibukan yang menyebabkan dirinya, bus L-2341-S, dan kursi jejeran kedua kiri itu masuk koran. Identifikasi dari ingatan Waras yang membuat polisi (segera) bisa mengejar dan mengciduk si pelaku perempuan itu, lalu menginterogasi dan menjejaki sisa tubuh lainnya yang dibuangnya terpencar. Pemberitaan yang membuat L-2341-S tak bisa ke luar pangkalan, sehingga Jojon, Wagiran, serta Waras hanya bisa sesekali jalan dengan bus yang menganggur.
Dan, pada dasarnya hanya orang tertentu yang tahu. Dan sesekali orang yang tak mengerti dan tidak pernah diberi tahu itu ikut menikmati berkah kemunculan tiba-tiba lelaki itu, yang muncul untuk melimpahkan terima kasih dengan menarik penumpang sepanjang jalan. Orang-orang yang bercerita panjang tentang nasib mujur, tentang hari ajaib ketika semua kursi bus selalu penuh penumpang yang turun dan yang naik, dan yang semua bersibayar tiket. Keajaiban yang mempersibesar keuntungan sisa setoran harian-membuat uang yang dibawa pulang di atas rata-rata hari normal. Sesuatu yang tak terprediksi, lonjakan penumpang yang tidak bisa diramalkan-setidaknya sampai manajemen paham keistimewaan bus L-41-S itu.
"Berkah dari hantu urban ... hah!" teriak si manager baru perusahaan-peranakan Jawa-Mandailing-setelah mendengar jawaban atas pertanyaan berulang tentang apa keistimewaan bus L 2341 S itu. "Apa tidak sebaiknya kita protoli, lantas onderdilnya dibagikan ke bus-bus lain agar berkahnya terbagi rata ke banyak bus... hah?" serunya lebih keras lagi. Semua orang di pangkalan itu ternganga. Saling tatap-bersiserentak menggeleng, bersiserentak menolak. Semua melengos dan meninggalkannya bingung di pangkalan. "Hey ..!" teriaknya, "Apa ada yang salah? Apa ada yang tak benar?"
"Apa kowe kepingin didatangi glundung pringis?" teriak Madhopi. Manager itu melengos-dan ide itu tak pernah terlaksana. Tidak ada yang berani melaksanakannya. Cukup puas dengan jatah bergilir mengoperasikannya. Dan jatah keuntungan bulanan yang teramat pasti itu telah cukup untuk mengurangi beban utang ke warung-cukup membuat surga subsistensi urban perkotaan mereka terpenuhi. Memang!
Catatan:
Anteng : tenang, tak peduli dengan kesekitaran;
Impen : impian
wangsit nomer : petunjuk angka yang ditafsirkan dulu atau langsung dipertaruhkan dalam permainan judi lotre gelap
glundung pringis: hantu berujud kepala yang mengejar mangsa dengan terbang atau menggelundung
Lampung Post, Minggu, 29 Agustus 2010
Sunday, August 29, 2010
Sunday, August 22, 2010
Bukan Puncak Huangshan
Cerpen S.W. Teofani
TERSEBAB kau memilih jalan yang lebih mendaki dari Puncak Huangshan, aku merasa malu berani menyuntingkan tunjung biru pada mahkotamu. Seharusnya kuberada pada ketinggian sanjung manjadi takdirmu. Kau terima dengan rela pelepah hati masaiku. Tapi, di malam yang telah dihalalkan kubuka cindai jinggamu, aku tak mampu menatap kejora jiwa itu.
Bibirmu yang tak seranum kuncup kenanga, meneteskan makna-makna melampaui sabda. Meski matamu tak secerlang kaca, kedalamannya menundukkan keangkuhan sahara. Seluruhku lumat pada keteduhan yang kau pungut dari belantara sukma.
Dalam keheningan malam yang dihentikan debar harap, aku mematung dengan sebab yang tak tertangkap. Menatap sosokmu pun aku luruh. Senyummu yang tak jeda menakhta pada pipimu nan merona, menahan setiap kehendak penuh bara. Apakah aku telah menikahi peri, ataukah bidadari?
Kulihat tapakmu berpijak di bumi, rautmu pun tak menabur kejelitaan purna, tapi apa yang membuatku mabuk dalam pana.
Seharusnya kubimbing kau pada sesiah mahamesra, atau kutunaskan cumbu paling rayu. Tapi aku seperti hamba menghadap ratu. Kau begitu agung dalam diam dan kulum. Bahkan aku tak tahu, apakah harus mengulurkan tangan untuk memulai atau menghaturkan seluruh khidmat umpama cantrik bertemu mahadewi.
Kucoba bersitatap, retinaku terantuk kilau pupilmu yang memaksa rela menumbuk permadani. Di pelaminan itu, kau melebihi Sinta yang menjaga kesucian. Tapi aku bukan Rama, ksatria bijaksana itu, pun Rahwana si durjana. Aku hanya menusia tanpa tanda untuk cinta juga citra.
Saat aku berani mengangkat pandang, tetap tak mampu bertaut dengan tatapmu. Apakah kau Robiah Agung yang tak terjamah nafsu. Tapi mengapa kau sedia dengan ikatan ini?
Aku tak mungkin menyalahkanmu. Bukan kau menolak inginku, tapi seluruhku luruh sebelum tunas hendak itu menjembul pada jasad mahawadak. Dan kita biarkan malam menyisakan mamang tanpa kenang.
***
Pada enam pergantian waktu, engkau tetap tak terjamah. Menatapmu aku tak ubah laron yang silau pada pijar dian. Seucap kata terbaik pun begitu sia-sia dibanding kedip matamu. Aku lebih suka terdiam mengeja seluruh kemungkinan tentangmu. Di hadapmu, kubiarkan diri tanpa rupa, luruh tak berasa.
"Mengapa kau memilihku sebagai takdirmu?"
Frasamu menjadi denting pertama dari ginonjing jiwa kita.
"Karena aku mencintaimu."
"Karena cinta menangih pembuktian, salahkah jika aku mempertanyakannya?"
"Apa yang kau inginkan?"
"Temui Al Malik." Suaramu tenang, penuh kelembutan, tanpa kehilangan rasa yakin.
"Maksudmu?"
"Temui Rajamu."
Kau hanya membubuhkan sedikit penegasan.
"Bisakah dipertandas...?" Kucoba meyakinkan diri atas pinta itu.
"Tidakkah cukup jelas, temui Al Malik, Maharaja itu!" Suaramu meninggi. Pupilmu yang biasa redup, memijar. Aku terhentak meski tak gentar.
"Siapakah engkau? Mengapa pintamu begitu ganjil? Seorang Sulaiman bisa memindahkan singgasananya ke hadapan Bilqis dalam sekejap. Bandung Bondowoso mampu membangunkan seribu candi dalam semalam untuk membuktikan cintanya pada Roro Jonggrang, tapi aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku tak punya ribuan tentara jin untuk melakukan semua. Kau telah menerima akadku, bisakah kau terima aku apa adanya?" Aku mengimbangi nada yang kau cipta, kecanggunganku sirna.
"Adakah aku meminta kemegahan yang diminta perempuan-perempuan itu? Aku meminta sesuatu yang mampu kau lakukan tanpa bantuan tentara kera milik Rama atau pasukan jinnya Raja Sulaiman. Adakah aku berlebihan?"
"Duhai...pilihan hatiku, tidakkah ini mulai bencana itu. Jika kau minta Taj Mahal, aku akan berguru ke negeri Syah Jehan, membangunkan mendiang Guru Isa. Tapi kau meminta yang tak mungkin dilakukan manusia biasa. Seorang Musa pun tak sanggup menatap Cahaya Al Malik di Gunung Sina, kau memintaku menemui-Nya. Ya muhyal qulub....adakah pilihan untukku?"
"Kau telah memilihku, aku meminta temui Al Malik, hanya itu." Aku diam, mulai meragukan cinta yang kulafazkan, antara menyesal dan mengental. Tapi mundur tetap bukan pilihan.
"Berjalanlah ke arah matahari tenggelam. Ikuti jejak burung-burung yang tak bisa lagi mengepakkan sayap. Ke sebuah puncak yang lebih mulia dari Huangshan." Suaramu sayup antara nyata dan ngiang.
***
Aku berada di tempat yang kau inginkan, Kekasih. Meski belum sampai pada pintamu. Aku meragukan diri bisa memenuhi yang kau mau. Tapi mencoba lebih agung dari meragu.
Aku tak sendiri. Sebelumku tak terhitung manusia yang mendaki tempat ini. Tapi tak ada yang mengabariku telah bertemu Al Malik. Kulihat kesah dan lelah di wajah mereka, merarasi maksud yang tak mewujud. Raut-rautnya lebih menyedihkan dari tentara kalah perang, dengan tubuh penuh kasusahan. Pemandangan itu menerbankan maksudku yang belum teguh.
Aku surut. Saat hendak kembali, tangan kukuh mencengkeram bahuku. Sosok itu tegak di sampingku. Matanya begitu elang, menembus ranyah kalbuku.
"Engkau menyerah sebelum memulai?" Suaranya setajam belati.
"Aku tak mau melakukan kesia-siaan." Kuberanikan membalas kilaunya.
"Adakah yang sia-sia setiap tapak menuju Al Malik?"
"Kau lihat orang-orang itu pulang hampa, haruskah aku melakukan hal serupa?"
"Kita tak harus mengikuti orang-orang kalah, masih ada diksi kemenangan."
"Aku manusia biasa, tak kan bermimpi bertemu Al Malik."
"Kau tahu, para nabi pun manusia biasa. Adakah mereka disebut nabi tanpa cobaan? Adakah kau disebut beriman tanpa ujian? Benar kita manusia biasa, tapi kita adalah makhluk yang diciptakan Zat Luar Biasa. Dan kita diperintahkan untuk menemui-Nya."
"Untuk apa?"
"Kau bertanya untuk apa? Tidakkah Al Malik tujuan tiap makhluk. Ke mana kita kembali kalau tidak kepada-Nya? Hidup hanya memilih dua hal; menuju Al Malik atau menghamba syaitan."
Aku diam, dia bukan manusia biasa, pikirku. Hatiku mengeja halnya.
"Kau akan tetap pergi?"
"Lebih baik mati dalam perjalanan menuju Al Malik daripada hidup tanpa tujuan."
Lalu dia meninggalkanku begitu saja. Aku terdiam dalam pana. Tersisa ngiang kata terakhirnya.
"Tunggu..." Dia tetap bergegas. Aku mengejarnya. Jalannya begitu cergas. Aku mempercepat langkah hingga manjajar diri.
"Aku ikut...."
"Mantapkan hatimu."
Aku hanya diam, berharap dia menguatkanku jika rapuh. Kutemukan jawab di matanya.
***
Kami beriringan menuju tempat tanpa alamat. Menyisir jalan setapak yang penuh jejak juga bercak. Ada tilas pergi dan kembali. Ada bercak darah pun peluh lelah.
Aku meraba rasa yang tak berupa. Termasukah aku yang pergi untuk kembali? Atau yang pergi untuk kepergian itu sendiri.
Kami melintasi taman tanpa nama. Dengan rupa-rupa tawan di dalamnya. Ada sepasang angsa memadu cinta, juga kijang kencana bagus rupa. Aku ingin menangkapnya. Tidakkah rusa itu bisa menyenangkan kekasihku, hingga ia lupa mempertanyakan Al Malik. Aku mengedip pada teman perjalanan, berahap ia mengiyakan. Kulihat alis matanya beradu tanda marah padaku.
"Adakah rusa itu lebih membahagiakan dari pertemuan dengan Al Malik?"
"Rusa itu nyata, sedang Al Malik?"
"Maka manusia disebut beriman karena percaya pada yang gaib. Jika kau meragukannya, tak pernah ada jalan menuju Al Malik untukmu."
Aku diam, termangu antara gamang dan bimbang.
"Jika kau menuju Al Malik karena yang lain, Al Malik tak akan memalingkan wajah padamu." Suaranya semakin mantap.
"Kau seperti pernah bertemu Al Malik."
"Karena aku belum bertemu Al Malik, kupelajari jalan-jalan menuju Al Malik."
"Kau tahu banyak tentang jalan menuju Al Malik."
"Yang kuketahui belum seberapa, tapi kucoba melintasinya. Kau sendiri?"
"Aku selalu tergoda dan tak tahu jalan ke sana."
"Lalu, kau akan kembali?"
"Aku akan mengikutimu?"
"Kenapa?"
"Karena kau lebih mengerti."
***
Kami meneruskan perjalanan. Mendaki ketinggian tanpa undakan. Menyisir tebing paling ngarai. Memanjat gigir yang lebih cadas dari stalaktit. Menjejak terjal paling koral. Menapaki magma paling batu yang menguras kesabaran juga kekuatan.
Sampai di sebuah lembah kami istirah. Mengeja yang nanti dan yang sudah.
Entah berapa waktu telah kami tatah. Pun berapa lagi yang akan terjamah. Kami tak tahu mula dan ujung, awal dan khatam. Aku menatap teman yang seorang, kudapati matanya memendam bimbang serupa.
"Apakah kita tetap menuju Al Malik?"
"Iya!" angguknya tandas. Meski kuyakin dia mengeja jalan-jalan buntu dengan letih paling kuyu.
"Al Malik....Al Malik...kami datang dengan seluruh ketidaktahuan. Terimalah langkah kecil kami yang begitu siput. Tuntun tapak lemah ini menuju Engkau. Tunjuki jalan yang Kau rahasiakan. Amiiin."
Suara itu lebih dalam dari palung. Lebih getar dari gelombang. Aku terbawa magnitnya, meleburi kefanaan.
***
Sejurus aku tersadar pada dahaga yang paling lapar. Di sekelilingku rimbun pohon buah-buahan. Juga unggas yang siap jadi buruan. Kucari jawab pada matanya untuk menuntaskan hasrat.
"Jangan turuti kehendak nafsu. Kita bukan sedang mengembarakan keinginan raga. Biarkan jasadmu merana. Rasakan wisata jiwamu merindu Al Malik. Jika kau manjakan wadak itu, akan terpejam mata jiwamu dari Al Malik. Tahanlah...sampai Dia sendiri yang memberikannya."
"Sampai kapan?"
"Sampai kita menemui-Nya."
Aku diam, mengatur kehendak yang membuncah. Menjepit nafsu yang menggelagah. Bagai kabut dan asap saling mencegah. Seluruhku payah. Hingga kurasa sesesap jiwa bermandi cahaya.
Pada kali lain aku tergoda, teringat kekasihku, muasal segala cerita.
"Kekasih,...ikhlaskan jika aku tak lagi menemuimu. Kita yang saling ikat karena syahadah harus terpisah. Karena tebing yang kau ingin bukan Puncak Huangshan, gunung indah tempat bersenang." Aku menggumam dalam kepasrahan.
"Lupakan dia. Al Malik tidak menyapa hati yang bertakhta sang lain di dalamnya."
Kutatap sahabatku, dia lelah kuyu, tapi tak pernah disebutnya selain Al malik juga jalan-jalan selain jalan menuju Al Malik. Aku cemburu. Mungkin dia yang pantas bertemu Al Malik. Dan aku....
Bandar Lampung, Ramadan, 1431 Hijriah
Lampung Post, Minggu, 22 Agustus 2010
TERSEBAB kau memilih jalan yang lebih mendaki dari Puncak Huangshan, aku merasa malu berani menyuntingkan tunjung biru pada mahkotamu. Seharusnya kuberada pada ketinggian sanjung manjadi takdirmu. Kau terima dengan rela pelepah hati masaiku. Tapi, di malam yang telah dihalalkan kubuka cindai jinggamu, aku tak mampu menatap kejora jiwa itu.
Bibirmu yang tak seranum kuncup kenanga, meneteskan makna-makna melampaui sabda. Meski matamu tak secerlang kaca, kedalamannya menundukkan keangkuhan sahara. Seluruhku lumat pada keteduhan yang kau pungut dari belantara sukma.
Dalam keheningan malam yang dihentikan debar harap, aku mematung dengan sebab yang tak tertangkap. Menatap sosokmu pun aku luruh. Senyummu yang tak jeda menakhta pada pipimu nan merona, menahan setiap kehendak penuh bara. Apakah aku telah menikahi peri, ataukah bidadari?
Kulihat tapakmu berpijak di bumi, rautmu pun tak menabur kejelitaan purna, tapi apa yang membuatku mabuk dalam pana.
Seharusnya kubimbing kau pada sesiah mahamesra, atau kutunaskan cumbu paling rayu. Tapi aku seperti hamba menghadap ratu. Kau begitu agung dalam diam dan kulum. Bahkan aku tak tahu, apakah harus mengulurkan tangan untuk memulai atau menghaturkan seluruh khidmat umpama cantrik bertemu mahadewi.
Kucoba bersitatap, retinaku terantuk kilau pupilmu yang memaksa rela menumbuk permadani. Di pelaminan itu, kau melebihi Sinta yang menjaga kesucian. Tapi aku bukan Rama, ksatria bijaksana itu, pun Rahwana si durjana. Aku hanya menusia tanpa tanda untuk cinta juga citra.
Saat aku berani mengangkat pandang, tetap tak mampu bertaut dengan tatapmu. Apakah kau Robiah Agung yang tak terjamah nafsu. Tapi mengapa kau sedia dengan ikatan ini?
Aku tak mungkin menyalahkanmu. Bukan kau menolak inginku, tapi seluruhku luruh sebelum tunas hendak itu menjembul pada jasad mahawadak. Dan kita biarkan malam menyisakan mamang tanpa kenang.
***
Pada enam pergantian waktu, engkau tetap tak terjamah. Menatapmu aku tak ubah laron yang silau pada pijar dian. Seucap kata terbaik pun begitu sia-sia dibanding kedip matamu. Aku lebih suka terdiam mengeja seluruh kemungkinan tentangmu. Di hadapmu, kubiarkan diri tanpa rupa, luruh tak berasa.
"Mengapa kau memilihku sebagai takdirmu?"
Frasamu menjadi denting pertama dari ginonjing jiwa kita.
"Karena aku mencintaimu."
"Karena cinta menangih pembuktian, salahkah jika aku mempertanyakannya?"
"Apa yang kau inginkan?"
"Temui Al Malik." Suaramu tenang, penuh kelembutan, tanpa kehilangan rasa yakin.
"Maksudmu?"
"Temui Rajamu."
Kau hanya membubuhkan sedikit penegasan.
"Bisakah dipertandas...?" Kucoba meyakinkan diri atas pinta itu.
"Tidakkah cukup jelas, temui Al Malik, Maharaja itu!" Suaramu meninggi. Pupilmu yang biasa redup, memijar. Aku terhentak meski tak gentar.
"Siapakah engkau? Mengapa pintamu begitu ganjil? Seorang Sulaiman bisa memindahkan singgasananya ke hadapan Bilqis dalam sekejap. Bandung Bondowoso mampu membangunkan seribu candi dalam semalam untuk membuktikan cintanya pada Roro Jonggrang, tapi aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku tak punya ribuan tentara jin untuk melakukan semua. Kau telah menerima akadku, bisakah kau terima aku apa adanya?" Aku mengimbangi nada yang kau cipta, kecanggunganku sirna.
"Adakah aku meminta kemegahan yang diminta perempuan-perempuan itu? Aku meminta sesuatu yang mampu kau lakukan tanpa bantuan tentara kera milik Rama atau pasukan jinnya Raja Sulaiman. Adakah aku berlebihan?"
"Duhai...pilihan hatiku, tidakkah ini mulai bencana itu. Jika kau minta Taj Mahal, aku akan berguru ke negeri Syah Jehan, membangunkan mendiang Guru Isa. Tapi kau meminta yang tak mungkin dilakukan manusia biasa. Seorang Musa pun tak sanggup menatap Cahaya Al Malik di Gunung Sina, kau memintaku menemui-Nya. Ya muhyal qulub....adakah pilihan untukku?"
"Kau telah memilihku, aku meminta temui Al Malik, hanya itu." Aku diam, mulai meragukan cinta yang kulafazkan, antara menyesal dan mengental. Tapi mundur tetap bukan pilihan.
"Berjalanlah ke arah matahari tenggelam. Ikuti jejak burung-burung yang tak bisa lagi mengepakkan sayap. Ke sebuah puncak yang lebih mulia dari Huangshan." Suaramu sayup antara nyata dan ngiang.
***
Aku berada di tempat yang kau inginkan, Kekasih. Meski belum sampai pada pintamu. Aku meragukan diri bisa memenuhi yang kau mau. Tapi mencoba lebih agung dari meragu.
Aku tak sendiri. Sebelumku tak terhitung manusia yang mendaki tempat ini. Tapi tak ada yang mengabariku telah bertemu Al Malik. Kulihat kesah dan lelah di wajah mereka, merarasi maksud yang tak mewujud. Raut-rautnya lebih menyedihkan dari tentara kalah perang, dengan tubuh penuh kasusahan. Pemandangan itu menerbankan maksudku yang belum teguh.
Aku surut. Saat hendak kembali, tangan kukuh mencengkeram bahuku. Sosok itu tegak di sampingku. Matanya begitu elang, menembus ranyah kalbuku.
"Engkau menyerah sebelum memulai?" Suaranya setajam belati.
"Aku tak mau melakukan kesia-siaan." Kuberanikan membalas kilaunya.
"Adakah yang sia-sia setiap tapak menuju Al Malik?"
"Kau lihat orang-orang itu pulang hampa, haruskah aku melakukan hal serupa?"
"Kita tak harus mengikuti orang-orang kalah, masih ada diksi kemenangan."
"Aku manusia biasa, tak kan bermimpi bertemu Al Malik."
"Kau tahu, para nabi pun manusia biasa. Adakah mereka disebut nabi tanpa cobaan? Adakah kau disebut beriman tanpa ujian? Benar kita manusia biasa, tapi kita adalah makhluk yang diciptakan Zat Luar Biasa. Dan kita diperintahkan untuk menemui-Nya."
"Untuk apa?"
"Kau bertanya untuk apa? Tidakkah Al Malik tujuan tiap makhluk. Ke mana kita kembali kalau tidak kepada-Nya? Hidup hanya memilih dua hal; menuju Al Malik atau menghamba syaitan."
Aku diam, dia bukan manusia biasa, pikirku. Hatiku mengeja halnya.
"Kau akan tetap pergi?"
"Lebih baik mati dalam perjalanan menuju Al Malik daripada hidup tanpa tujuan."
Lalu dia meninggalkanku begitu saja. Aku terdiam dalam pana. Tersisa ngiang kata terakhirnya.
"Tunggu..." Dia tetap bergegas. Aku mengejarnya. Jalannya begitu cergas. Aku mempercepat langkah hingga manjajar diri.
"Aku ikut...."
"Mantapkan hatimu."
Aku hanya diam, berharap dia menguatkanku jika rapuh. Kutemukan jawab di matanya.
***
Kami beriringan menuju tempat tanpa alamat. Menyisir jalan setapak yang penuh jejak juga bercak. Ada tilas pergi dan kembali. Ada bercak darah pun peluh lelah.
Aku meraba rasa yang tak berupa. Termasukah aku yang pergi untuk kembali? Atau yang pergi untuk kepergian itu sendiri.
Kami melintasi taman tanpa nama. Dengan rupa-rupa tawan di dalamnya. Ada sepasang angsa memadu cinta, juga kijang kencana bagus rupa. Aku ingin menangkapnya. Tidakkah rusa itu bisa menyenangkan kekasihku, hingga ia lupa mempertanyakan Al Malik. Aku mengedip pada teman perjalanan, berahap ia mengiyakan. Kulihat alis matanya beradu tanda marah padaku.
"Adakah rusa itu lebih membahagiakan dari pertemuan dengan Al Malik?"
"Rusa itu nyata, sedang Al Malik?"
"Maka manusia disebut beriman karena percaya pada yang gaib. Jika kau meragukannya, tak pernah ada jalan menuju Al Malik untukmu."
Aku diam, termangu antara gamang dan bimbang.
"Jika kau menuju Al Malik karena yang lain, Al Malik tak akan memalingkan wajah padamu." Suaranya semakin mantap.
"Kau seperti pernah bertemu Al Malik."
"Karena aku belum bertemu Al Malik, kupelajari jalan-jalan menuju Al Malik."
"Kau tahu banyak tentang jalan menuju Al Malik."
"Yang kuketahui belum seberapa, tapi kucoba melintasinya. Kau sendiri?"
"Aku selalu tergoda dan tak tahu jalan ke sana."
"Lalu, kau akan kembali?"
"Aku akan mengikutimu?"
"Kenapa?"
"Karena kau lebih mengerti."
***
Kami meneruskan perjalanan. Mendaki ketinggian tanpa undakan. Menyisir tebing paling ngarai. Memanjat gigir yang lebih cadas dari stalaktit. Menjejak terjal paling koral. Menapaki magma paling batu yang menguras kesabaran juga kekuatan.
Sampai di sebuah lembah kami istirah. Mengeja yang nanti dan yang sudah.
Entah berapa waktu telah kami tatah. Pun berapa lagi yang akan terjamah. Kami tak tahu mula dan ujung, awal dan khatam. Aku menatap teman yang seorang, kudapati matanya memendam bimbang serupa.
"Apakah kita tetap menuju Al Malik?"
"Iya!" angguknya tandas. Meski kuyakin dia mengeja jalan-jalan buntu dengan letih paling kuyu.
"Al Malik....Al Malik...kami datang dengan seluruh ketidaktahuan. Terimalah langkah kecil kami yang begitu siput. Tuntun tapak lemah ini menuju Engkau. Tunjuki jalan yang Kau rahasiakan. Amiiin."
Suara itu lebih dalam dari palung. Lebih getar dari gelombang. Aku terbawa magnitnya, meleburi kefanaan.
***
Sejurus aku tersadar pada dahaga yang paling lapar. Di sekelilingku rimbun pohon buah-buahan. Juga unggas yang siap jadi buruan. Kucari jawab pada matanya untuk menuntaskan hasrat.
"Jangan turuti kehendak nafsu. Kita bukan sedang mengembarakan keinginan raga. Biarkan jasadmu merana. Rasakan wisata jiwamu merindu Al Malik. Jika kau manjakan wadak itu, akan terpejam mata jiwamu dari Al Malik. Tahanlah...sampai Dia sendiri yang memberikannya."
"Sampai kapan?"
"Sampai kita menemui-Nya."
Aku diam, mengatur kehendak yang membuncah. Menjepit nafsu yang menggelagah. Bagai kabut dan asap saling mencegah. Seluruhku payah. Hingga kurasa sesesap jiwa bermandi cahaya.
Pada kali lain aku tergoda, teringat kekasihku, muasal segala cerita.
"Kekasih,...ikhlaskan jika aku tak lagi menemuimu. Kita yang saling ikat karena syahadah harus terpisah. Karena tebing yang kau ingin bukan Puncak Huangshan, gunung indah tempat bersenang." Aku menggumam dalam kepasrahan.
"Lupakan dia. Al Malik tidak menyapa hati yang bertakhta sang lain di dalamnya."
Kutatap sahabatku, dia lelah kuyu, tapi tak pernah disebutnya selain Al malik juga jalan-jalan selain jalan menuju Al Malik. Aku cemburu. Mungkin dia yang pantas bertemu Al Malik. Dan aku....
Bandar Lampung, Ramadan, 1431 Hijriah
Lampung Post, Minggu, 22 Agustus 2010
Sunday, August 15, 2010
Wulan dan Suaminya
Cerpen Humam S. Chudori
SEJAK Wulan tinggal di rumah sebelah, sebetulnya, saya tak suka perempuan itu. Betapa tidak, apabila bertandang ke rumah, ia selalu mengatakan jika dirinya tidak ikut bekerja mereka pasti tidak mungkin membeli rumah. Menurut penuturannya, suaminya tak pernah mau ketika ia mengusulkan agar membeli rumah. Alasannya penghasilan Suharjono tak cukup untuk membayar angsuran.
"Tapi, nyatanya sampai sekarang angsuran rumah tidak pernah menunggak. Kami tetap lancar membayar," lanjut ibu dari tiga orang anak itu, setelah ke sekian kalinya ia menceritakan upayanya -- membujuk suami -- untuk membeli rumah.
"Bahkan rumah mungkin masih akan tetap seperti ini, jika hanya mengandalkan gaji suami," tambahnya, "Orang biaya renovasi rumah juga dari uang saya, Bu."
Siti Karima, istri saya, tampak kurang suka dengan pernyataannya yang terakhir. Mungkin Siti tersinggung karena sang tamu mengatakan rumah masih tetap seperti ini. Bagaimana tidak, rumah kami masih utuh, seperti saat diserahkan pengembang, masih berlantai tegel abu-abu kusam. Dindingnya belum diplester. Belum berpagar. Sementara itu, rumah sebelah bukan hanya dindingnya sudah diplester. Melainkan sudah berganti kusen, lantainya sudah keramik, dan sudah berpagar pula.
Tak heran jika Siti tak suka dengan ocehannya. Sejurus kemudian istri saya pergi ke dapur. Meninggalkan tamu yang menjadi tetangga baru kami. Saat itu, kami�saya dan istri�yang menemani sang tamu.
"Mas, tolong sebentar," ujar Siti, beberapa saat kemudian, sambil membawa kompor, "Sumbunya sudah banyak yang pendek."
Saya bangkit dari tempat duduk. Meninggalkan Wulan di ruang tamu. Bersamaan saya bangun dari kursi, Wulan pamit. Pulang.
"Sumbu ini sengaja saya tarik," katanya, "Kalau tidak begini mana mungkin perempuan itu pulang."
Saya diam. Sebetulnya saya kesal dengan istri. Bagaimana tidak, belum seminggu sumbu kompor dibetulkan, sekarang saya harus melakukan pekerjaan yang sama. Namun, saya dapat memahami alasannya. Lantaran saya sendiri sebal mendengar ocehan tetangga baru kami.
"Baru bisa membantu suami saja sudah sombong seperti itu. Lagi pula apa benar ceritanya?" gerutu Siti, "Padahal rumah masih tipe kecil. Di kompleks perumahan RSS pula. Bagaimana jika rumahnya berada di real estate."
***
Apabila istrinya tak ada, Suharjono akan datang ke rumah kami. Lelaki bertubuh kurus itu akan mengeluhkan kelakuan Wulan yang sok mengatur. Bukan sekali dua kali Suharjono menceritakan keburukan sifat istrinya. Ia yang seharusnya menjadi kepala rumah tangga, tetapi yang terjadi sebaliknya. Dalam keluarganya justru Wulan yang mengatur segalanya. Meskipun tidak secara eksplisit ia berkata demikian.
Yang membuat Suharjono merasa kesal, lantaran Wulan sering mengambil uang di dompet suaminya. Tanpa pernah minta izin. Bukan sekali dua kali lelaki itu kehilangan uang yang ada di dompet. Entah lima puluh ribuan atau dua puluh ribuan.
Mula-mula Suharjono tak pernah mempersoalkan uang yang diambil istrinya. Toh uang dicari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Untuk keperluan keluarga. Tetapi, setelah sadar cara-cara yang dilakukan Wulan tidak benar. Suharjono selalu mengantongi dompetnya. Bahkan di kamar mandi maupun ketika tidur, dompet itu selalu di kantong celananya.
***
Untuk ke sekian kalinya Suharjono menceritakan uangnya yang hilang kepada saya. Entah kenapa ia lupa membawa dompetnya ketika tidur. Akibatnya bisa ditebak. Uangnya raib. Kali ini jumlahnya tak tanggung-tanggung. Tiga ratus ribu rupiah. Ia baru tahu uangnya hilang setelah tiba di kantor.
"Uang di dompet papa, hilang lagi. Siapa yang ngambil? Orang semalam masih ada, Ma," kata Suharjono kepada Wulan, setelah ia pulang dari kantor, "Perlu Mama tahu uang itu bukan uang papa pribadi. Tapi uang kantor. Apa Mama yang mengambil?"
"Siapa yang bilang begitu?"
"Papa cuma tanya? Apa mungkin di sini ada tuyul?"
"Papa sudah tanya sama Budi?"
"Jadi, Budi yang mengambil?"
"Ya, nanti tanya saja sendiri sama anak itu. Kalau Budi sudah pulang."
Ketika Budi, anak pertama mereka yang sudah duduk di bangku SLTP, pulang dari kursus bahasa Inggris. Anak itu ditanya papanya. Karena merasa tidak mengambil uang dari dompet papanya, Budi tidak mau mengaku. Ketika pertengkaran anak dan orang tua itu hampir mencapai puncaknya. Dengan tanpa merasa berdosa sama sekali, Wulan memotong pertengkaran mulut mereka.
"Sudah kamu bayarkan uang kursus bahasa Inggris itu, Bud?"
"Sudah Ma," jawab Budi. Lalu anak lelaki itu mengeluarkan selembar kertas, tanda bukti pembayaran, dari kantong bajunya. Menyerahkan kepada sang mama.
Wulan menerimanya. Membaca sebentar. Lalu menyerahkan kertas itu kepada suaminya, "Nih, lihat!"
Suharjono membaca kuitansi yang diserahkan istrinya.
"Ya, itu tadi uang yang Papa tanyakan," ujar Wulan.
"Jadi?" tanya Suharjono tak mengerti.
"Apa untuk keperluan anak-anak harus minta orang lain?" tanya Wulan. Ketus.
Suharjono diam. Ia marah. Ingin sekali melampiaskan kekesalan kepada Wulan. Ia ingin menampar perempuan itu. Lantaran telah mengambil uang di dompetnya tanpa izin. Namun, ia tetap tak mampu berbuat sesuatu terhadap istrinya.
"Andaikata sejak pertama ditanya, ia langsung menjawab mungkin saya tidak marah. Apalagi uang itu digunakan membayar kursus bahasa Inggris Budi. Meskipun saya harus menggantinya," suami Wulan itu mengakhiri ceritanya.
"Lalu apa yang Pak Jono lakukan setelah tahu kalau yang mengambil uang itu istri Bapak?" tanya saya.
Lelaki yang tinggal di rumah sebelah itu diam. Ia gelisah. Bingung.
"Jadi, Pak Jono diam saja diperlakukan seperti itu sama istri?" sambar istri saya yang sedang meletakkan air minum untuk kami, "Kalau saya suaminya pasti sudah saya tempeleng dia."
Karena tidak menduga sebelumnya Siti akan menyambar percakapan kami. Saya dan Suharjono hanya diam. Terkesima dengan kalimat yang dilontarkannya.
Setelah meletakkan dua buah buah gelas berisi teh hangat, Siti kembali ke dalam.
***
"Maafkan saya tadi, Pak," kata Siti setelah Suharjono pulang. "Entah kenapa tiba-tiba saja mulut saya ngomong begitu."
"Tapi, Bu..."
"Masalahnya yang dilakukan istri Pak Jono itu sudah keterlaluan. Mengambil uang suami tanpa izin. Bukankah ini sama saja artinya mencuri. Kendati yang dicuri uang suaminya. Tetapi, ya tetap saja namanya mencuri. Padahal, kalau saya minta uang sama Bapak tak pernah berani membuka dompet sendiri," lanjut Siti, "Saya memang tidak suka dengan istri Pak Jono yang sok itu. Apalagi ia selalu mengecilkan fungsi suaminya. Seolah-olah penghasilan suaminya tidak ada artinya. Apa mentang-mentang punya gaji. Lantaran kebanyakan ibu-ibu di sini tidak punya penghasilan sendiri."
Saya diam.
"Ngomong-ngomong, tadi saya bicara seperti itu Pak Jono tersinggung apa tidak, Pak?" tanya Siti.
"Justru dia sedang bingung," jawab saya.
"Kenapa mesti bingung. Istri macam gitu mending tampar saja, kalau tidak berani menceraikan," Siti menggebu-gebu.
"Soalnya Pak Jono itu laki-laki, Bu."
"Siapa yang bilang kalau dia itu perempuan, Pak."
"Dia takut menampar perempuan, Bu."
"Takut?"
Saya mengangguk. "Masalahnya perempuan dianggap makhluk lemah."
"Lantas?"
"Pak Jono takut dianggap melakukan kekerasan dalam rumah tangga."
"Walaupun istrinya salah?"
"Saya pikir ketakutannya itu memang beralasan. Sebab seperti kata Pak Jono tadi, jika seorang lelaki menampar istri, masyarakat akan mengatakan lelaki itu telah melakukan penganiayaan," kata saya.
Siti tampak terkejut dengan pernyataan saya, sebagaimana saya sendiri terkejut setelah mendengar alasan Suharjono yang tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Wulan. Padahal, seperti tadi ia pun bilang ingin menampar istrinya�setelah istri saya masuk ke dalam.
"Saya sependapat dengan istri bapak. Perempuan seperti istri saya seharusnya ditampar. Tapi, hal itu tidak mungkin saya lakukan. Sebab jika seorang lelaki menampar perempuan, masyarakat akan mengatakan lelaki itu telah melakukan penganiayaan. Melakukan tindak kekerasan terhadap dalam rumah tangga," terngiang lagi kata-kata Suharjono beberapa saat yang lalu.
Benarkah yang dikatakan Suharjono? Atau ini hanya sebuah alasan seorang laki-laki dayus untuk membenarkan ketidakmampuannya memimpin keluarga? Mungkinkah karena penghasilan Suharjono lebih kecil dari pendapatan yang diperoleh Wulan? Apa mungkin begitu pola pikir perempuan yang punya penghasilan sendiri? Atau hanya Wulan yang berani berbuat demikian terhadap suaminya? Setumpuk pertanyaan memenuhi pikiran. Namun, tak pernah saya jawab. Lantaran istri saya bukan seorang wanita karier yang punya penghasilan sendiri.
***
Sejak Siti menyambar percakapan kami, tatkala ia menyajikan teh. Sejak itu pula, tetangga sebelah tak pernah lagi bertandang ke rumah. Bukan hanya Suharjono yang tidak pernah bertamu, melainkan pula istrinya-Wulan.
"Kita memang disuruh menghormati tamu. Tapi, tamu yang bagaimana? Kalau tamu yang melecehkan tuan rumah apa masih perlu dihormati. Nah, kalau perlu kita tidak usah kedatangan tamu yang demikian," kata Siti, tatkala saya membicarakan tetangga sebelah yang sudah tak pernah datang ke rumah.
Lampung Post, Minggu, 15 Agustus 2010
SEJAK Wulan tinggal di rumah sebelah, sebetulnya, saya tak suka perempuan itu. Betapa tidak, apabila bertandang ke rumah, ia selalu mengatakan jika dirinya tidak ikut bekerja mereka pasti tidak mungkin membeli rumah. Menurut penuturannya, suaminya tak pernah mau ketika ia mengusulkan agar membeli rumah. Alasannya penghasilan Suharjono tak cukup untuk membayar angsuran.
"Tapi, nyatanya sampai sekarang angsuran rumah tidak pernah menunggak. Kami tetap lancar membayar," lanjut ibu dari tiga orang anak itu, setelah ke sekian kalinya ia menceritakan upayanya -- membujuk suami -- untuk membeli rumah.
"Bahkan rumah mungkin masih akan tetap seperti ini, jika hanya mengandalkan gaji suami," tambahnya, "Orang biaya renovasi rumah juga dari uang saya, Bu."
Siti Karima, istri saya, tampak kurang suka dengan pernyataannya yang terakhir. Mungkin Siti tersinggung karena sang tamu mengatakan rumah masih tetap seperti ini. Bagaimana tidak, rumah kami masih utuh, seperti saat diserahkan pengembang, masih berlantai tegel abu-abu kusam. Dindingnya belum diplester. Belum berpagar. Sementara itu, rumah sebelah bukan hanya dindingnya sudah diplester. Melainkan sudah berganti kusen, lantainya sudah keramik, dan sudah berpagar pula.
Tak heran jika Siti tak suka dengan ocehannya. Sejurus kemudian istri saya pergi ke dapur. Meninggalkan tamu yang menjadi tetangga baru kami. Saat itu, kami�saya dan istri�yang menemani sang tamu.
"Mas, tolong sebentar," ujar Siti, beberapa saat kemudian, sambil membawa kompor, "Sumbunya sudah banyak yang pendek."
Saya bangkit dari tempat duduk. Meninggalkan Wulan di ruang tamu. Bersamaan saya bangun dari kursi, Wulan pamit. Pulang.
"Sumbu ini sengaja saya tarik," katanya, "Kalau tidak begini mana mungkin perempuan itu pulang."
Saya diam. Sebetulnya saya kesal dengan istri. Bagaimana tidak, belum seminggu sumbu kompor dibetulkan, sekarang saya harus melakukan pekerjaan yang sama. Namun, saya dapat memahami alasannya. Lantaran saya sendiri sebal mendengar ocehan tetangga baru kami.
"Baru bisa membantu suami saja sudah sombong seperti itu. Lagi pula apa benar ceritanya?" gerutu Siti, "Padahal rumah masih tipe kecil. Di kompleks perumahan RSS pula. Bagaimana jika rumahnya berada di real estate."
***
Apabila istrinya tak ada, Suharjono akan datang ke rumah kami. Lelaki bertubuh kurus itu akan mengeluhkan kelakuan Wulan yang sok mengatur. Bukan sekali dua kali Suharjono menceritakan keburukan sifat istrinya. Ia yang seharusnya menjadi kepala rumah tangga, tetapi yang terjadi sebaliknya. Dalam keluarganya justru Wulan yang mengatur segalanya. Meskipun tidak secara eksplisit ia berkata demikian.
Yang membuat Suharjono merasa kesal, lantaran Wulan sering mengambil uang di dompet suaminya. Tanpa pernah minta izin. Bukan sekali dua kali lelaki itu kehilangan uang yang ada di dompet. Entah lima puluh ribuan atau dua puluh ribuan.
Mula-mula Suharjono tak pernah mempersoalkan uang yang diambil istrinya. Toh uang dicari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Untuk keperluan keluarga. Tetapi, setelah sadar cara-cara yang dilakukan Wulan tidak benar. Suharjono selalu mengantongi dompetnya. Bahkan di kamar mandi maupun ketika tidur, dompet itu selalu di kantong celananya.
***
Untuk ke sekian kalinya Suharjono menceritakan uangnya yang hilang kepada saya. Entah kenapa ia lupa membawa dompetnya ketika tidur. Akibatnya bisa ditebak. Uangnya raib. Kali ini jumlahnya tak tanggung-tanggung. Tiga ratus ribu rupiah. Ia baru tahu uangnya hilang setelah tiba di kantor.
"Uang di dompet papa, hilang lagi. Siapa yang ngambil? Orang semalam masih ada, Ma," kata Suharjono kepada Wulan, setelah ia pulang dari kantor, "Perlu Mama tahu uang itu bukan uang papa pribadi. Tapi uang kantor. Apa Mama yang mengambil?"
"Siapa yang bilang begitu?"
"Papa cuma tanya? Apa mungkin di sini ada tuyul?"
"Papa sudah tanya sama Budi?"
"Jadi, Budi yang mengambil?"
"Ya, nanti tanya saja sendiri sama anak itu. Kalau Budi sudah pulang."
Ketika Budi, anak pertama mereka yang sudah duduk di bangku SLTP, pulang dari kursus bahasa Inggris. Anak itu ditanya papanya. Karena merasa tidak mengambil uang dari dompet papanya, Budi tidak mau mengaku. Ketika pertengkaran anak dan orang tua itu hampir mencapai puncaknya. Dengan tanpa merasa berdosa sama sekali, Wulan memotong pertengkaran mulut mereka.
"Sudah kamu bayarkan uang kursus bahasa Inggris itu, Bud?"
"Sudah Ma," jawab Budi. Lalu anak lelaki itu mengeluarkan selembar kertas, tanda bukti pembayaran, dari kantong bajunya. Menyerahkan kepada sang mama.
Wulan menerimanya. Membaca sebentar. Lalu menyerahkan kertas itu kepada suaminya, "Nih, lihat!"
Suharjono membaca kuitansi yang diserahkan istrinya.
"Ya, itu tadi uang yang Papa tanyakan," ujar Wulan.
"Jadi?" tanya Suharjono tak mengerti.
"Apa untuk keperluan anak-anak harus minta orang lain?" tanya Wulan. Ketus.
Suharjono diam. Ia marah. Ingin sekali melampiaskan kekesalan kepada Wulan. Ia ingin menampar perempuan itu. Lantaran telah mengambil uang di dompetnya tanpa izin. Namun, ia tetap tak mampu berbuat sesuatu terhadap istrinya.
"Andaikata sejak pertama ditanya, ia langsung menjawab mungkin saya tidak marah. Apalagi uang itu digunakan membayar kursus bahasa Inggris Budi. Meskipun saya harus menggantinya," suami Wulan itu mengakhiri ceritanya.
"Lalu apa yang Pak Jono lakukan setelah tahu kalau yang mengambil uang itu istri Bapak?" tanya saya.
Lelaki yang tinggal di rumah sebelah itu diam. Ia gelisah. Bingung.
"Jadi, Pak Jono diam saja diperlakukan seperti itu sama istri?" sambar istri saya yang sedang meletakkan air minum untuk kami, "Kalau saya suaminya pasti sudah saya tempeleng dia."
Karena tidak menduga sebelumnya Siti akan menyambar percakapan kami. Saya dan Suharjono hanya diam. Terkesima dengan kalimat yang dilontarkannya.
Setelah meletakkan dua buah buah gelas berisi teh hangat, Siti kembali ke dalam.
***
"Maafkan saya tadi, Pak," kata Siti setelah Suharjono pulang. "Entah kenapa tiba-tiba saja mulut saya ngomong begitu."
"Tapi, Bu..."
"Masalahnya yang dilakukan istri Pak Jono itu sudah keterlaluan. Mengambil uang suami tanpa izin. Bukankah ini sama saja artinya mencuri. Kendati yang dicuri uang suaminya. Tetapi, ya tetap saja namanya mencuri. Padahal, kalau saya minta uang sama Bapak tak pernah berani membuka dompet sendiri," lanjut Siti, "Saya memang tidak suka dengan istri Pak Jono yang sok itu. Apalagi ia selalu mengecilkan fungsi suaminya. Seolah-olah penghasilan suaminya tidak ada artinya. Apa mentang-mentang punya gaji. Lantaran kebanyakan ibu-ibu di sini tidak punya penghasilan sendiri."
Saya diam.
"Ngomong-ngomong, tadi saya bicara seperti itu Pak Jono tersinggung apa tidak, Pak?" tanya Siti.
"Justru dia sedang bingung," jawab saya.
"Kenapa mesti bingung. Istri macam gitu mending tampar saja, kalau tidak berani menceraikan," Siti menggebu-gebu.
"Soalnya Pak Jono itu laki-laki, Bu."
"Siapa yang bilang kalau dia itu perempuan, Pak."
"Dia takut menampar perempuan, Bu."
"Takut?"
Saya mengangguk. "Masalahnya perempuan dianggap makhluk lemah."
"Lantas?"
"Pak Jono takut dianggap melakukan kekerasan dalam rumah tangga."
"Walaupun istrinya salah?"
"Saya pikir ketakutannya itu memang beralasan. Sebab seperti kata Pak Jono tadi, jika seorang lelaki menampar istri, masyarakat akan mengatakan lelaki itu telah melakukan penganiayaan," kata saya.
Siti tampak terkejut dengan pernyataan saya, sebagaimana saya sendiri terkejut setelah mendengar alasan Suharjono yang tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Wulan. Padahal, seperti tadi ia pun bilang ingin menampar istrinya�setelah istri saya masuk ke dalam.
"Saya sependapat dengan istri bapak. Perempuan seperti istri saya seharusnya ditampar. Tapi, hal itu tidak mungkin saya lakukan. Sebab jika seorang lelaki menampar perempuan, masyarakat akan mengatakan lelaki itu telah melakukan penganiayaan. Melakukan tindak kekerasan terhadap dalam rumah tangga," terngiang lagi kata-kata Suharjono beberapa saat yang lalu.
Benarkah yang dikatakan Suharjono? Atau ini hanya sebuah alasan seorang laki-laki dayus untuk membenarkan ketidakmampuannya memimpin keluarga? Mungkinkah karena penghasilan Suharjono lebih kecil dari pendapatan yang diperoleh Wulan? Apa mungkin begitu pola pikir perempuan yang punya penghasilan sendiri? Atau hanya Wulan yang berani berbuat demikian terhadap suaminya? Setumpuk pertanyaan memenuhi pikiran. Namun, tak pernah saya jawab. Lantaran istri saya bukan seorang wanita karier yang punya penghasilan sendiri.
***
Sejak Siti menyambar percakapan kami, tatkala ia menyajikan teh. Sejak itu pula, tetangga sebelah tak pernah lagi bertandang ke rumah. Bukan hanya Suharjono yang tidak pernah bertamu, melainkan pula istrinya-Wulan.
"Kita memang disuruh menghormati tamu. Tapi, tamu yang bagaimana? Kalau tamu yang melecehkan tuan rumah apa masih perlu dihormati. Nah, kalau perlu kita tidak usah kedatangan tamu yang demikian," kata Siti, tatkala saya membicarakan tetangga sebelah yang sudah tak pernah datang ke rumah.
Lampung Post, Minggu, 15 Agustus 2010
Sunday, August 8, 2010
Sengketa
Cerpen Muhammad Amin
KETIKA mataku terbuka dan kuhirup udara segar yang memenuhi rongga dadaku, aku tak sepenuhnya menyadari jika pagi yang kutemui kali ini adalah pagi yang tak biasa. Pagi yang lain dan berbeda dari sebelumnya. Entah apa yang kemudian akan terjadi. Segalanya jadi misteri yang sulit dibuka. Seperti warna udara yang sulit diterka. Seolah segalanya jadi gelap begitu saja.
Aroma tubuh istriku yang mengambang membuatku terjaga. Seperti biasa, setiap pagi istriku menyibakkan gorden, kemudian membangunkanku dengan tangannya yang lembut dan suaranya yang lembut pula sayup-sayup kudengar. Aku akan bangkit dan kutangkap ia dalam pelukanku. Kami saling bergurau, kukecup keningnya yang segar. Kemudian aku menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi.
Sementara istriku menyiapkan sarapan pagi. Sarapan pagi yang selalu dibuat istimewa tentunya. Seperti seloroh seorang teman kerjaku suatu waktu, segala sesuatu akan terasa nikmat bila dibumbui dengan cinta. Karena itulah sarapan pagi istriku selalu terasa istimewa karena aku tahu ia memiliki resep yang tak dimiliki oleh orang lain: bumbu cintanya untukku.
Setiap pagi, Marsya, putri kami satu-satunya dan agak manja, selalu bermalas-malasan bangkit dari tempat tidur. Kemudian dengan terpaksa ia menyeret langkah ke kamar mandi. Kudengar omelan istriku menasihatinya.
"Kamu ini anak perempuan Marsya, tidak boleh bermalas-malasan begitu. Anak perempuan harus rajin. Nanti tak ada teman lelakimu yang mau dekat denganmu."
"Ah, Mama. Jangan ngomel melulu. Meskipun Marsya tidak mandi, Marsya tetap cantik kok." Kemudian ia melantunkan lagu-lagu pop kesukaannya dengan keras-keras.
"Cepat lagi mandinya, papamu sudah menunggu. Nanti kamu terlambat berangkat sekolah dan papamu terlambat berangkat kerja gara-gara kamu." Tapi Marsya tak mau mendengar kicauan ibunya. Ia menyanyi lebih keras.
Aku menunggu di meja makan sembari membaca koran pagi. Setelah itu kami sarapan bersama. Sarapan pagi yang selalu istimewa. Begitulah pagi yang kami jalani tak pernah berubah.
Tapi kali ini tak ada sibakan gorden, tak ada tangan halus istriku yang lembut membangunkanku. Tak ada suara lembut istriku yang sayup-sayup kudengar. Namun aku mencium aroma tubuh istriku masih terbaring di sampingku. Matanya belum terbuka. Ia belum terjaga. Ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya teduh dan tenang juga ada seulas senyuman di sana. Aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa istriku tersenyum manis sekali saat ia tertidur. Dan mengapa ia tidak bangun lebih awal dan membangunkanku seperti biasa. Aku tak bisa menduga. Tapi sungguh sesuatu yang tak biasa itu membuatku curiga.
Ada aroma yang asing dalam kamar kami. Aroma yang sama saat detik-detik terakhir kematian ibuku. Aroma yang begitu lembut dan khas. Seolah bersijingkat dan mengambang di atas udara. Ah, mana mungkin aroma kematian itu ada di kamar kami. Aku tak percaya. Kubangunkan istriku, ia tak mau membuka matanya. Kubangunkan sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Kuperiksa detak nadinya. Kerasakan napasnya. Kuguncang-guncang tubuhnya. Berkali-kali. Istriku tetap tak mau bangun. Tetapi wajahnya cerah seperti warna pagi dengan seutas senyum di bibir merahnya. Kupegang saluran nadinya sekali lagi. Kurasakan embusan napasnya sudah tak ada lagi.
Mengapakah begitu cepat malaikat menculik istriku di saat aku lengah? Mengapa kematian begitu licik?
Sungguh, bukan kematian benar menusuk kalbu. 1) Namun aku belum siap menerima. Adakah yang lebih baik daripada menerima kematian terlalu pagi. Dan istriku mati dengan wajah yang membuatku tersinggung. Ia mati dengan wajah tenang dengan seutas senyuman menyiratkan bahwa ia bahagia menerima kematiaannya. Bukan hanya ikhlas, tetapi teramat bahagia menyambut kedatangan malaikat maut. Bahkan kali ini aku bukan hanya tersinggung, tetapi juga cemburu dan sakit hati. Apa yang benar membuatnya senang menerima kematian bila di dunia ini masih terlalu banyak kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan akan mengalir sepanjang waktu. Aku tak bisa menerima kematiannya. Istriku tak pernah mengeluhkan sesuatu. Atau menderita suatu penyakit. Bahkan satu hari menjelang kematiannya ia tampak lebih segar dari biasanya.
Setiap orang memang tidak bisa menerima kematian orang yang sangat dicintai. Begitupun aku. Aku tak bisa menerima kepergian istriku. Terlebih daripada itu, aku sangat mencintainya, tetapi karena aku juga sangat cemburu dan tersinggung melihat keadaan istriku yang demikian.
Kematiannya yang begitu saja, di saat terbaring tenang di tempat tidur, terlelap kemudian pergi untuk selama-lamanya. Kepergiannya yang menurutku sangat picik. Wajahnya yang cerah dan lebih cantik dari biasa. Dan gaun itu. Gaun yang sangat cantik. Aku tak pernah merasa membelikan gaun itu untuknya. Tetapi mengapa ia memakai gaun yang indah saat tidur. Bukankah biasanya ia selalu memakai pakaian tidur.
Rupanya istriku sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dia ingin mati dengan keadaan sempurna. Ia telah menyiapkan kematiannya sendiri. Ia telah mengetahui kapan terakhir kali napasnya berembus dan detak jantungnya berhenti. Tapi ia tidak pernah memberitahukannya padaku. Ia sudah tahu kapan malaikat maut menjemputnya, memapahnya kemudian seperti kapas yang ringan mengambang di udara dan terbang ke atas langit. Tetapi ia tidak pernah mau berbagi cerita padaku perihal kematiannya. Kematian istriku yang begitu menyesakkan dadaku.
Seketika tubuhku terasa lemah. Aku tak berdaya. Aku tak bisa bangkit. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Putriku Marsya datang tergesa-gesa kemudian menemukan ibunya terbaring di tempat tidur. Ia pun berteriak keras-keras memanggil nama ibunya sembari mengguncang-guncangkannya. Air matanya mengalir tak mau berhenti.
***
Agak siang, mertuaku datang. Wajah mereka sedih. Padahal aku tak memeberitahukan pada mereka perihal kematian istriku. Kemudian ayah mertuaku menjelaskan bahwa mereka sudah mengetahui mengenai kematian putri mereka. Istriku sudah memberitahukannya pada mereka mengenai kematiannya seminggu menjelang kepergianya. Ini membuatku tersentak. Dan yang membuatku lebih kaget, mereka akan membawa pulang jasad istriku dan menyemayamkannya di tanah kelahirannya, jelas aku semakin sakit hati dan tersinggung. Aku ini suaminya orang paling dekat dengannya tetapi tidak mengetahui apa-apa tentang semua ini. Aku merasa seolah tak dianggap sedikit pun olehnya. Jika ia ingin menunjukkan kejutan untukku, kenapa kejutan yang menyakitkan.
Dan orang tuanya dengan begitu saja ingin membawa pulang jasadnya. Setelah malaikat maut diam-diam menculik nyawanya, kini mereka ingin mengambil jasadnya. Aku tak bisa membiarkan begitu saja. Aku tetap memperthankan jasad istriku untuk disemayamkan di sisiku. Aku takkan membiarkan mereka mengmbilnya.
"Menantuku, kami mohon biarkan kami membawa jasad istrimu untuk dikuburkan di tanah kelahirannya. Ini sudah kehendaknya sendiri. Dia menitipkan keinginannya di tulisannya ini." Kemudian ayah mertuaku menyodorkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan istriku, sepotong kalimat keinginananya sebelum kematian: aku ingin di tempat kelahiranku (tempat pembaringanku yang terakhir).
Aku tetap tak bisa menerima. Juga tak terlalu percaya. Bisa saja mereka yang menuliskannya. Tetap kupertahankan jasad istriku. Bagaimanapun aku seorang suami. Punya tanggung jawab besar terhadap istri. Aku takkan melepaskan istriku begitu saja. Aku takkan membiarkan mereka untuk kedua kalinya mengambil istriku. Aku takkan membiarkan mereka pergi membawa jasadnya.
"Jika kamu masih tak percaya, istrimu juga sudah menuliskan kalimat keinginannya yang sama di laci lemari kalian..." kemudian aku seperti orang gila bergegas membuka lemari, membongkar lacinya. Kutemukan tulisan yang sama. Secarik kertas yang berisi keinginan istriku.
Dan aku tak bisa mengontrol emosiku. Tubuhku terasa limbung, tetapi kuusakan agar tetap kuat agar mereka tidak bisa seenaknya mencuri istriku. Aku berusaha memulihkan emosi. Kuusahakan agar tubuhku tidak terjatuh kalah. Karena jika aku lengah mereka akan membawanya diam-diam. Sama seperti saat malaikat maut diam-diam menculik nyawa istriku, di saat aku sedang tertidur pulas. Aku tak ingin mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Istriku harus tetap berada disisiku. Tak boleh ada yang membawanya pergi.
Aku dan mertuaku bertengkar hebat. Kami saling berseteru. Kami saling memperebutkan. Sementara jasad istriku masih terbaring di tempat tidur dengan gaun indahnya. Dan Marsya masih menangis tersedu di sisinya.
"Ini bukan waktunya berdebat, kamu tak boleh egois, kasihan istrimu."
Aku tahu ini memang bukan waktunya berdebat dan bertengkar. Tetapi aku musti mempertahankanya.
"Kenapa kau tak mau memenuhi permintaan istrimu yang terakhir kalinya?"
Bukan aku tak mau memenuhi permintaannya, tetapi ini terlalu berat. Terlebih lagi rasa sedih, cemburu, dan sakit hati jadi satu. Aku belum bisa menerima dengan lapang dada.
"Apa yang memberatkan bagimu?"
Semuanya. Bahkan di saat aku mengetahui bahwa istriku telah tiada. Mengetahui di saat istriku sudah mengetahui kematiannya. Mengetahui bahwa ia lebih memilih bercerita pada kalian daripada aku. Dan aku masih sangat mencintai istriku. Mana mungkin aku membiarkan kalian mengambilnya dariku.
"Kamu suami yang egois." Kini ibu mertuaku ikut menghujatku.
Aku memang egois. Tetapi siapa yang lebih egois. Aku atau istriku? Ia menginginkan kehendaknya sendiri, ia tak mau berbagi padaku. Padahal keluarga kami bahagia. Aku selalu memberikan kebahagiaan padanya. Tetapi ia ingin juga pergi jauh dariku tanpa memberikan sedikit pun isyarat. Bahkan ia seolah tak mengacuhkanku sebagai suaminya. Juga tak mengacuhkan Marsya, putri kami.
Ia bertindak seperti itu, aku tak bisa menerimanya.
"Lalu kau mau membuat istrimu menderita?"
Sama sekali aku tak ingin istriku menderita. Aku sangat mencintainya. Aku tak mau bertindak sebodoh itu.
"Kamu sudah bertindak bodoh sekarang dengan tidak menuruti permintaan istrimu yang terakhir. Ia akan merasa tersiksa karena ulahmu."
Tidak! Istriku tak akan tersiksa bila berada di sisiku.
***
Hari sudah sore, tapi sengketa kami belum usai. Aku sudah menyuruh orang menggali kubur istriku di samping rumah kami--tepatnya di samping kamar kami. Tetapi mertuaku berkeras ingin membawa pulang anaknya.
Tanah kubur istriku sudah selesai digali. Tetapi mertuaku tetap berkeras dengan pendiriannya membawa pulang jasad istriku karena mereka lebih dahulu menggalikan kubur untuknya sejak pagi tadi. Termasuk mobil jenazah sudah disiapkan di depan rumah.
"Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya. Istrimu tetap akan dikuburkan di tanah kelahirannya sesuai dengan keinginannya."
Istriku tetap akan dikuburkan di sini. Kalian tak usah repot-repot membawanya pulang.
"Perseteruan ini tak akan usai kalau kau tetap keras kepala."
Aku ingin mempertahankan apa yang sudah menjadi hak dan kewajibanku sebagai suami.
"Kenapa kau bertindak bodoh begini. Dengan berdebat terus tak akan menyelesaikan masalah. Padahal istrimu sudah merasa tersiksa karena sejak tadi kau telantarkan."
Kalian pun ikut andil menelantarkannya.
Kemudian ayah mertuaku yang mungkin sudah merasa muak denganku keluar menuju mobil jenazah. Kemudian ia masuk lagi, menghampiri istriku yang masih terbaring di tempat tidur. Ia menggendongnya. Aku merampasnya kembali. Marsya yang masih menangis berteriak marah padaku.
Aku mengerti kemarahan Marsya. Aku mengerti aku sangat egois. Tetapi kemudian kemarahan putriku dan gerimis yang turun perlahan di luar meluruhkan perasaanku. Aku luluh. Kuletakkan jasad istriku di tempat semula.
Sebelum aku merelakan jasad istriku mereka bawa, aku cuma bisa berkata: sebelum kalian kuburkan jasadnya, silakan periksa seluruh tubuhnya, apakah ada sedikit goresan saja. Kalian boleh membawanya visum atau otopsi, apakah hatinya juga terluka? Aku seorang yang sangat mudah tersinggung dan selalu menghayati perasaan. Padahal aku sangat menyayanginya. Dan aku tak bisa berpisah darinya.
Suasana ruangan mendadak menjadi begitu hening. Marsya berhenti menangis. Mertuaku tak bersuara. Yang ada hanya keheningan yang pekat. Hanya suara piano di seberang jalan yang terdengar samar-samar. Suara piano yang indah, mahakarya Listz, namun melantunkan lagu kematian.
Juni 2010
Catatan:
1) Chairil Anwar, dalam Nisan
Lampung Post, Minggu, 8 Agustus 2010
KETIKA mataku terbuka dan kuhirup udara segar yang memenuhi rongga dadaku, aku tak sepenuhnya menyadari jika pagi yang kutemui kali ini adalah pagi yang tak biasa. Pagi yang lain dan berbeda dari sebelumnya. Entah apa yang kemudian akan terjadi. Segalanya jadi misteri yang sulit dibuka. Seperti warna udara yang sulit diterka. Seolah segalanya jadi gelap begitu saja.
Aroma tubuh istriku yang mengambang membuatku terjaga. Seperti biasa, setiap pagi istriku menyibakkan gorden, kemudian membangunkanku dengan tangannya yang lembut dan suaranya yang lembut pula sayup-sayup kudengar. Aku akan bangkit dan kutangkap ia dalam pelukanku. Kami saling bergurau, kukecup keningnya yang segar. Kemudian aku menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi.
Sementara istriku menyiapkan sarapan pagi. Sarapan pagi yang selalu dibuat istimewa tentunya. Seperti seloroh seorang teman kerjaku suatu waktu, segala sesuatu akan terasa nikmat bila dibumbui dengan cinta. Karena itulah sarapan pagi istriku selalu terasa istimewa karena aku tahu ia memiliki resep yang tak dimiliki oleh orang lain: bumbu cintanya untukku.
Setiap pagi, Marsya, putri kami satu-satunya dan agak manja, selalu bermalas-malasan bangkit dari tempat tidur. Kemudian dengan terpaksa ia menyeret langkah ke kamar mandi. Kudengar omelan istriku menasihatinya.
"Kamu ini anak perempuan Marsya, tidak boleh bermalas-malasan begitu. Anak perempuan harus rajin. Nanti tak ada teman lelakimu yang mau dekat denganmu."
"Ah, Mama. Jangan ngomel melulu. Meskipun Marsya tidak mandi, Marsya tetap cantik kok." Kemudian ia melantunkan lagu-lagu pop kesukaannya dengan keras-keras.
"Cepat lagi mandinya, papamu sudah menunggu. Nanti kamu terlambat berangkat sekolah dan papamu terlambat berangkat kerja gara-gara kamu." Tapi Marsya tak mau mendengar kicauan ibunya. Ia menyanyi lebih keras.
Aku menunggu di meja makan sembari membaca koran pagi. Setelah itu kami sarapan bersama. Sarapan pagi yang selalu istimewa. Begitulah pagi yang kami jalani tak pernah berubah.
Tapi kali ini tak ada sibakan gorden, tak ada tangan halus istriku yang lembut membangunkanku. Tak ada suara lembut istriku yang sayup-sayup kudengar. Namun aku mencium aroma tubuh istriku masih terbaring di sampingku. Matanya belum terbuka. Ia belum terjaga. Ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya teduh dan tenang juga ada seulas senyuman di sana. Aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa istriku tersenyum manis sekali saat ia tertidur. Dan mengapa ia tidak bangun lebih awal dan membangunkanku seperti biasa. Aku tak bisa menduga. Tapi sungguh sesuatu yang tak biasa itu membuatku curiga.
Ada aroma yang asing dalam kamar kami. Aroma yang sama saat detik-detik terakhir kematian ibuku. Aroma yang begitu lembut dan khas. Seolah bersijingkat dan mengambang di atas udara. Ah, mana mungkin aroma kematian itu ada di kamar kami. Aku tak percaya. Kubangunkan istriku, ia tak mau membuka matanya. Kubangunkan sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Kuperiksa detak nadinya. Kerasakan napasnya. Kuguncang-guncang tubuhnya. Berkali-kali. Istriku tetap tak mau bangun. Tetapi wajahnya cerah seperti warna pagi dengan seutas senyum di bibir merahnya. Kupegang saluran nadinya sekali lagi. Kurasakan embusan napasnya sudah tak ada lagi.
Mengapakah begitu cepat malaikat menculik istriku di saat aku lengah? Mengapa kematian begitu licik?
Sungguh, bukan kematian benar menusuk kalbu. 1) Namun aku belum siap menerima. Adakah yang lebih baik daripada menerima kematian terlalu pagi. Dan istriku mati dengan wajah yang membuatku tersinggung. Ia mati dengan wajah tenang dengan seutas senyuman menyiratkan bahwa ia bahagia menerima kematiaannya. Bukan hanya ikhlas, tetapi teramat bahagia menyambut kedatangan malaikat maut. Bahkan kali ini aku bukan hanya tersinggung, tetapi juga cemburu dan sakit hati. Apa yang benar membuatnya senang menerima kematian bila di dunia ini masih terlalu banyak kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan akan mengalir sepanjang waktu. Aku tak bisa menerima kematiannya. Istriku tak pernah mengeluhkan sesuatu. Atau menderita suatu penyakit. Bahkan satu hari menjelang kematiannya ia tampak lebih segar dari biasanya.
Setiap orang memang tidak bisa menerima kematian orang yang sangat dicintai. Begitupun aku. Aku tak bisa menerima kepergian istriku. Terlebih daripada itu, aku sangat mencintainya, tetapi karena aku juga sangat cemburu dan tersinggung melihat keadaan istriku yang demikian.
Kematiannya yang begitu saja, di saat terbaring tenang di tempat tidur, terlelap kemudian pergi untuk selama-lamanya. Kepergiannya yang menurutku sangat picik. Wajahnya yang cerah dan lebih cantik dari biasa. Dan gaun itu. Gaun yang sangat cantik. Aku tak pernah merasa membelikan gaun itu untuknya. Tetapi mengapa ia memakai gaun yang indah saat tidur. Bukankah biasanya ia selalu memakai pakaian tidur.
Rupanya istriku sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dia ingin mati dengan keadaan sempurna. Ia telah menyiapkan kematiannya sendiri. Ia telah mengetahui kapan terakhir kali napasnya berembus dan detak jantungnya berhenti. Tapi ia tidak pernah memberitahukannya padaku. Ia sudah tahu kapan malaikat maut menjemputnya, memapahnya kemudian seperti kapas yang ringan mengambang di udara dan terbang ke atas langit. Tetapi ia tidak pernah mau berbagi cerita padaku perihal kematiannya. Kematian istriku yang begitu menyesakkan dadaku.
Seketika tubuhku terasa lemah. Aku tak berdaya. Aku tak bisa bangkit. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Putriku Marsya datang tergesa-gesa kemudian menemukan ibunya terbaring di tempat tidur. Ia pun berteriak keras-keras memanggil nama ibunya sembari mengguncang-guncangkannya. Air matanya mengalir tak mau berhenti.
***
Agak siang, mertuaku datang. Wajah mereka sedih. Padahal aku tak memeberitahukan pada mereka perihal kematian istriku. Kemudian ayah mertuaku menjelaskan bahwa mereka sudah mengetahui mengenai kematian putri mereka. Istriku sudah memberitahukannya pada mereka mengenai kematiannya seminggu menjelang kepergianya. Ini membuatku tersentak. Dan yang membuatku lebih kaget, mereka akan membawa pulang jasad istriku dan menyemayamkannya di tanah kelahirannya, jelas aku semakin sakit hati dan tersinggung. Aku ini suaminya orang paling dekat dengannya tetapi tidak mengetahui apa-apa tentang semua ini. Aku merasa seolah tak dianggap sedikit pun olehnya. Jika ia ingin menunjukkan kejutan untukku, kenapa kejutan yang menyakitkan.
Dan orang tuanya dengan begitu saja ingin membawa pulang jasadnya. Setelah malaikat maut diam-diam menculik nyawanya, kini mereka ingin mengambil jasadnya. Aku tak bisa membiarkan begitu saja. Aku tetap memperthankan jasad istriku untuk disemayamkan di sisiku. Aku takkan membiarkan mereka mengmbilnya.
"Menantuku, kami mohon biarkan kami membawa jasad istrimu untuk dikuburkan di tanah kelahirannya. Ini sudah kehendaknya sendiri. Dia menitipkan keinginannya di tulisannya ini." Kemudian ayah mertuaku menyodorkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan istriku, sepotong kalimat keinginananya sebelum kematian: aku ingin di tempat kelahiranku (tempat pembaringanku yang terakhir).
Aku tetap tak bisa menerima. Juga tak terlalu percaya. Bisa saja mereka yang menuliskannya. Tetap kupertahankan jasad istriku. Bagaimanapun aku seorang suami. Punya tanggung jawab besar terhadap istri. Aku takkan melepaskan istriku begitu saja. Aku takkan membiarkan mereka untuk kedua kalinya mengambil istriku. Aku takkan membiarkan mereka pergi membawa jasadnya.
"Jika kamu masih tak percaya, istrimu juga sudah menuliskan kalimat keinginannya yang sama di laci lemari kalian..." kemudian aku seperti orang gila bergegas membuka lemari, membongkar lacinya. Kutemukan tulisan yang sama. Secarik kertas yang berisi keinginan istriku.
Dan aku tak bisa mengontrol emosiku. Tubuhku terasa limbung, tetapi kuusakan agar tetap kuat agar mereka tidak bisa seenaknya mencuri istriku. Aku berusaha memulihkan emosi. Kuusahakan agar tubuhku tidak terjatuh kalah. Karena jika aku lengah mereka akan membawanya diam-diam. Sama seperti saat malaikat maut diam-diam menculik nyawa istriku, di saat aku sedang tertidur pulas. Aku tak ingin mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Istriku harus tetap berada disisiku. Tak boleh ada yang membawanya pergi.
Aku dan mertuaku bertengkar hebat. Kami saling berseteru. Kami saling memperebutkan. Sementara jasad istriku masih terbaring di tempat tidur dengan gaun indahnya. Dan Marsya masih menangis tersedu di sisinya.
"Ini bukan waktunya berdebat, kamu tak boleh egois, kasihan istrimu."
Aku tahu ini memang bukan waktunya berdebat dan bertengkar. Tetapi aku musti mempertahankanya.
"Kenapa kau tak mau memenuhi permintaan istrimu yang terakhir kalinya?"
Bukan aku tak mau memenuhi permintaannya, tetapi ini terlalu berat. Terlebih lagi rasa sedih, cemburu, dan sakit hati jadi satu. Aku belum bisa menerima dengan lapang dada.
"Apa yang memberatkan bagimu?"
Semuanya. Bahkan di saat aku mengetahui bahwa istriku telah tiada. Mengetahui di saat istriku sudah mengetahui kematiannya. Mengetahui bahwa ia lebih memilih bercerita pada kalian daripada aku. Dan aku masih sangat mencintai istriku. Mana mungkin aku membiarkan kalian mengambilnya dariku.
"Kamu suami yang egois." Kini ibu mertuaku ikut menghujatku.
Aku memang egois. Tetapi siapa yang lebih egois. Aku atau istriku? Ia menginginkan kehendaknya sendiri, ia tak mau berbagi padaku. Padahal keluarga kami bahagia. Aku selalu memberikan kebahagiaan padanya. Tetapi ia ingin juga pergi jauh dariku tanpa memberikan sedikit pun isyarat. Bahkan ia seolah tak mengacuhkanku sebagai suaminya. Juga tak mengacuhkan Marsya, putri kami.
Ia bertindak seperti itu, aku tak bisa menerimanya.
"Lalu kau mau membuat istrimu menderita?"
Sama sekali aku tak ingin istriku menderita. Aku sangat mencintainya. Aku tak mau bertindak sebodoh itu.
"Kamu sudah bertindak bodoh sekarang dengan tidak menuruti permintaan istrimu yang terakhir. Ia akan merasa tersiksa karena ulahmu."
Tidak! Istriku tak akan tersiksa bila berada di sisiku.
***
Hari sudah sore, tapi sengketa kami belum usai. Aku sudah menyuruh orang menggali kubur istriku di samping rumah kami--tepatnya di samping kamar kami. Tetapi mertuaku berkeras ingin membawa pulang anaknya.
Tanah kubur istriku sudah selesai digali. Tetapi mertuaku tetap berkeras dengan pendiriannya membawa pulang jasad istriku karena mereka lebih dahulu menggalikan kubur untuknya sejak pagi tadi. Termasuk mobil jenazah sudah disiapkan di depan rumah.
"Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya. Istrimu tetap akan dikuburkan di tanah kelahirannya sesuai dengan keinginannya."
Istriku tetap akan dikuburkan di sini. Kalian tak usah repot-repot membawanya pulang.
"Perseteruan ini tak akan usai kalau kau tetap keras kepala."
Aku ingin mempertahankan apa yang sudah menjadi hak dan kewajibanku sebagai suami.
"Kenapa kau bertindak bodoh begini. Dengan berdebat terus tak akan menyelesaikan masalah. Padahal istrimu sudah merasa tersiksa karena sejak tadi kau telantarkan."
Kalian pun ikut andil menelantarkannya.
Kemudian ayah mertuaku yang mungkin sudah merasa muak denganku keluar menuju mobil jenazah. Kemudian ia masuk lagi, menghampiri istriku yang masih terbaring di tempat tidur. Ia menggendongnya. Aku merampasnya kembali. Marsya yang masih menangis berteriak marah padaku.
Aku mengerti kemarahan Marsya. Aku mengerti aku sangat egois. Tetapi kemudian kemarahan putriku dan gerimis yang turun perlahan di luar meluruhkan perasaanku. Aku luluh. Kuletakkan jasad istriku di tempat semula.
Sebelum aku merelakan jasad istriku mereka bawa, aku cuma bisa berkata: sebelum kalian kuburkan jasadnya, silakan periksa seluruh tubuhnya, apakah ada sedikit goresan saja. Kalian boleh membawanya visum atau otopsi, apakah hatinya juga terluka? Aku seorang yang sangat mudah tersinggung dan selalu menghayati perasaan. Padahal aku sangat menyayanginya. Dan aku tak bisa berpisah darinya.
Suasana ruangan mendadak menjadi begitu hening. Marsya berhenti menangis. Mertuaku tak bersuara. Yang ada hanya keheningan yang pekat. Hanya suara piano di seberang jalan yang terdengar samar-samar. Suara piano yang indah, mahakarya Listz, namun melantunkan lagu kematian.
Juni 2010
Catatan:
1) Chairil Anwar, dalam Nisan
Lampung Post, Minggu, 8 Agustus 2010
Sunday, August 1, 2010
Selingan Tragedi
Cerpen Sungging Raga
"ATAS nama apa mereka turun ke jalan?"
"Atas nama bangsa."
"Bangsa siapa?"
"Bangsa mereka sendiri."
Bendera berkibar, jalanan macet. Udara sedikit mendung. Hujan masih tertahan. Orang-orang berselimut amarah, berselimut bahasa yang tajam. Bendera diikat ke kayu, kayu digenggam tangan. Invasi jalan raya, jalan protokol, jalan umum. Polisi diam, formalitas ketertiban. Pengendara mobil dan motor menggerutu, mencaci-maki dalam hati. Sebagian jalan terpotong oleh iring-iringan manusia itu. Seperti robot, berteriak-teriak seragam dan serentak, nada yang tegak, siap merusak. Mereka berjalan terbungkus kain-kain bertuliskan huruf besar, caci maki, tuntutan demi tuntutan, erangan yang tak tertahan, tertuang dalam selaksa ancaman. Mereka berjalan sambil mengenakan kaus kaki di kepala, mereka terbatuk dan dalam mulut mereka tiba-tiba keluarlah manusia lain yang langsung tumbuh dewasa kemudian ikut berjalan kemudian terbatuk dan keluarlah bendera putih yang akan bertulis kecaman-kecaman serupa. Mereka begitu panjang, pohon-pohon kering merasa heran, cuaca diam.
"Ah, macet begini."
"Aku bisa telat, nih!"
"Aku juga. Sudah nggak bisa memutar pula!"
"Nasib!"
"Ampun deh!"
"Aku dengar, menyingkirkan duri dari jalan adalah sebagian dari iman."
"Betul."
"Apa mereka tidak tahu itu?"
"Seharusnya tahu."
"Kenapa tetap membuat jalanan macet?"
"Karena mereka merasa bukan duri."
"Mereka merasa benar sendiri!"
Matahari demam. Dari langit tampak lubang raksasa. Arak-arakan awan bergulung seperti selimut yang keliru, arahnya acak. Abstrak. Hujan tak berani memandang, pasti ada pawang, yang membuat hujan bertepuk sebelah tangan. Ah, tepuk tangan, mereka juga suka bertepuk tangan, riuh mengiringi perjalanan ratusan bahkan ribuan orang itu yang entah bermuara di mana. Dari mana mereka? Terbuat dari apa? Apakah mereka dari langit? Turun begitu saja bersama badai yang menggeram semalaman? Apa yang mereka inginkan?
"Mereka pasti mau membuat bangsa sendiri."
"Apa?"
"Ya, mereka tidak puas."
"Apa bangsa ini sudah tidak beres?"
"Buat aku sih, sudah cukup beres."
"Buat mereka?"
"Mungkin sama sekali tidak beres."
"Apa yang tidak beres dalam bangsa ini bagi mereka?"
"Ya bangsa itu sendiri yang tidak beres."
"Apakah semua bangsa tidak beres di mata mereka?"
"Mungkin."
"Pernahkah mereka melihat bangsa yang beres?"
"Tidak ada."
"Jadi, mereka berkhayal dong?"
"Bukan, mereka itu mimpi."
"Wih, mimpi kok seperti itu?"
"Ya. Begitulah kalau dininabobokan mimpi mereka sendiri."
Orang-orang itu tiba di sebuah gedung. Gedung bertuliskan dosa. Dicap dosa dan tak terampunkan. Orasi. Orasi. Mungkin tak sabar menunggu. Mereka justru sudah ditunggu, petugas keamanan yang lugu, yang terpaksa berdiri di sana demi membelikan anaknya segelas susu. Tetapi begitulah takdir. Amarah mendorong amarah. Pecah. Pecah. Orang-orang memecahkan kaca. Gedung bertingkat itu berkeringat penuh kaca, kaca dilempari, gedung terkejut dari tidurnya, listrik padam, AC menutup dirinya. Para pelayan disuruh keluar, kalau tidak mau dilempar ke sana-kemari. Dosa berhamburan, dari mulut dan dari tangan. Dosa. Itu dosa. Itu juga dosa. Itu juga. Ah, semua dosa. Ah, apa itu dosa? Kenapa kalian tidak berhenti? Ini merusak moral! Hancurkan! Ayo! Sikat! Orang-orang berhambur, merangsek masuk. Berhasil. Bangku-bangku ditendang. Pria-pria kesepian kalang kabut bukan kepalang. Lampu disakiti. Meja digulingkan, botol bertubrukan. Gelas dan ayunan pedang berjabat tangan.
"Nah, lihat, bangsa ini memang tidak becus."
"Kata siapa?"
"Kata orang-orang itu."
"Apa mereka itu sedang memberi contoh?"
"Ya. Mereka sedang mengusir setan."
"Dari mana?"
"Dari bangsa ini."
"Apa bisa berhasil?"
"Mungkin saja, tapi ada setan yang tidak akan bisa diusir."
"Setan apa?"
"Setan dalam tubuh mereka sendiri."
Ruangan di dalam gelap. Porak-poranda. Teriakan menggema. Tolong. Di sini terjadi pembantaian atas nama... Atas nama siapa? Aduh! Kaca pecah, matahari pecah, hiasan bintang di langit-langit remuk. Lampu patah. Gelinjang cahaya. Ruangan kerja diterjang, di dalam ruang itu ada hutan gelap. Seribu binatang tersingkap sampai meloncat ke ubun-ubun. Pasukan berbendera dan berkaus kaki di kepala itu belingsatan. Mereka bersorak. Mereka merusak, beranjak, bersorak lagi, mengaum, serentak.
"Wah, sadis."
"Itulah makna kebajikan."
"Kebajikan?"
"Benar."
"Mereka sedang melakukan kebajikan?"
"Tentu, kebajikan yang mereka baca."
"Mereka membaca kebajikan?"
"Ya. Mereka membaca dengan membabi buta."
"Babi?"
"Itu istilah. Mereka membaca, menafsirkan sendiri, bergerak. Menunggu perintah serempak."
"Mereka tentara?"
"Ya. Tentara kebajikan."
"Sadis begitu?"
"Itulah kebajikan menurut mereka. Sebenar-benar kebajikan."
Cerita hampir usai. Reporter televisi tumbuh seperti jamur, cahaya redup menampar udara. Kamera video berdesakan dengan peristiwa, bahu didesak, tangan ditarik. Kamera merekam, hati tak merekam. Mereka seperti amarah yang belum padam. Sementara di luar, mendung semakin pekat. Bangunan menjadi penjara yang rusak, papan nama rubuh. Mengapa tak ada jejak-jejak Shubuh? Hah, mereka berharap apa? Orang-orang ditendang, orang-orang menendang, macan kelaparan. Tikus tak bisa tidur. Hujan turun langsug deras. Kocar-kacir airnya. Ban tak jadi dibakar. Amarah tak pernah menjelma sabar. Cepat keluar kalau tak mau terkapar.
"Seperti sandiwara."
"Tentu saja. Dan yang mereka bela itu adalah kebenaran."
"Kebenaran untuk kita semua?"
"Kebenaran untuk golongan mereka sendiri."
Manusia terakhir dilempar. Kaca meledak!
Jogja, 2010
--------------
Sungging Raga, lahir 25 April 1987 di Situbondo, Jawa Timur. Kadang-kadang tinggal di Yogyakarta. Buku perdananya kumpulan cerpen: Ketenangan Merentang Kenangan (Greentea, 2010)
Lampung Post, Minggu, 1 Agustus 2010
"ATAS nama apa mereka turun ke jalan?"
"Atas nama bangsa."
"Bangsa siapa?"
"Bangsa mereka sendiri."
Bendera berkibar, jalanan macet. Udara sedikit mendung. Hujan masih tertahan. Orang-orang berselimut amarah, berselimut bahasa yang tajam. Bendera diikat ke kayu, kayu digenggam tangan. Invasi jalan raya, jalan protokol, jalan umum. Polisi diam, formalitas ketertiban. Pengendara mobil dan motor menggerutu, mencaci-maki dalam hati. Sebagian jalan terpotong oleh iring-iringan manusia itu. Seperti robot, berteriak-teriak seragam dan serentak, nada yang tegak, siap merusak. Mereka berjalan terbungkus kain-kain bertuliskan huruf besar, caci maki, tuntutan demi tuntutan, erangan yang tak tertahan, tertuang dalam selaksa ancaman. Mereka berjalan sambil mengenakan kaus kaki di kepala, mereka terbatuk dan dalam mulut mereka tiba-tiba keluarlah manusia lain yang langsung tumbuh dewasa kemudian ikut berjalan kemudian terbatuk dan keluarlah bendera putih yang akan bertulis kecaman-kecaman serupa. Mereka begitu panjang, pohon-pohon kering merasa heran, cuaca diam.
"Ah, macet begini."
"Aku bisa telat, nih!"
"Aku juga. Sudah nggak bisa memutar pula!"
"Nasib!"
"Ampun deh!"
"Aku dengar, menyingkirkan duri dari jalan adalah sebagian dari iman."
"Betul."
"Apa mereka tidak tahu itu?"
"Seharusnya tahu."
"Kenapa tetap membuat jalanan macet?"
"Karena mereka merasa bukan duri."
"Mereka merasa benar sendiri!"
Matahari demam. Dari langit tampak lubang raksasa. Arak-arakan awan bergulung seperti selimut yang keliru, arahnya acak. Abstrak. Hujan tak berani memandang, pasti ada pawang, yang membuat hujan bertepuk sebelah tangan. Ah, tepuk tangan, mereka juga suka bertepuk tangan, riuh mengiringi perjalanan ratusan bahkan ribuan orang itu yang entah bermuara di mana. Dari mana mereka? Terbuat dari apa? Apakah mereka dari langit? Turun begitu saja bersama badai yang menggeram semalaman? Apa yang mereka inginkan?
"Mereka pasti mau membuat bangsa sendiri."
"Apa?"
"Ya, mereka tidak puas."
"Apa bangsa ini sudah tidak beres?"
"Buat aku sih, sudah cukup beres."
"Buat mereka?"
"Mungkin sama sekali tidak beres."
"Apa yang tidak beres dalam bangsa ini bagi mereka?"
"Ya bangsa itu sendiri yang tidak beres."
"Apakah semua bangsa tidak beres di mata mereka?"
"Mungkin."
"Pernahkah mereka melihat bangsa yang beres?"
"Tidak ada."
"Jadi, mereka berkhayal dong?"
"Bukan, mereka itu mimpi."
"Wih, mimpi kok seperti itu?"
"Ya. Begitulah kalau dininabobokan mimpi mereka sendiri."
Orang-orang itu tiba di sebuah gedung. Gedung bertuliskan dosa. Dicap dosa dan tak terampunkan. Orasi. Orasi. Mungkin tak sabar menunggu. Mereka justru sudah ditunggu, petugas keamanan yang lugu, yang terpaksa berdiri di sana demi membelikan anaknya segelas susu. Tetapi begitulah takdir. Amarah mendorong amarah. Pecah. Pecah. Orang-orang memecahkan kaca. Gedung bertingkat itu berkeringat penuh kaca, kaca dilempari, gedung terkejut dari tidurnya, listrik padam, AC menutup dirinya. Para pelayan disuruh keluar, kalau tidak mau dilempar ke sana-kemari. Dosa berhamburan, dari mulut dan dari tangan. Dosa. Itu dosa. Itu juga dosa. Itu juga. Ah, semua dosa. Ah, apa itu dosa? Kenapa kalian tidak berhenti? Ini merusak moral! Hancurkan! Ayo! Sikat! Orang-orang berhambur, merangsek masuk. Berhasil. Bangku-bangku ditendang. Pria-pria kesepian kalang kabut bukan kepalang. Lampu disakiti. Meja digulingkan, botol bertubrukan. Gelas dan ayunan pedang berjabat tangan.
"Nah, lihat, bangsa ini memang tidak becus."
"Kata siapa?"
"Kata orang-orang itu."
"Apa mereka itu sedang memberi contoh?"
"Ya. Mereka sedang mengusir setan."
"Dari mana?"
"Dari bangsa ini."
"Apa bisa berhasil?"
"Mungkin saja, tapi ada setan yang tidak akan bisa diusir."
"Setan apa?"
"Setan dalam tubuh mereka sendiri."
Ruangan di dalam gelap. Porak-poranda. Teriakan menggema. Tolong. Di sini terjadi pembantaian atas nama... Atas nama siapa? Aduh! Kaca pecah, matahari pecah, hiasan bintang di langit-langit remuk. Lampu patah. Gelinjang cahaya. Ruangan kerja diterjang, di dalam ruang itu ada hutan gelap. Seribu binatang tersingkap sampai meloncat ke ubun-ubun. Pasukan berbendera dan berkaus kaki di kepala itu belingsatan. Mereka bersorak. Mereka merusak, beranjak, bersorak lagi, mengaum, serentak.
"Wah, sadis."
"Itulah makna kebajikan."
"Kebajikan?"
"Benar."
"Mereka sedang melakukan kebajikan?"
"Tentu, kebajikan yang mereka baca."
"Mereka membaca kebajikan?"
"Ya. Mereka membaca dengan membabi buta."
"Babi?"
"Itu istilah. Mereka membaca, menafsirkan sendiri, bergerak. Menunggu perintah serempak."
"Mereka tentara?"
"Ya. Tentara kebajikan."
"Sadis begitu?"
"Itulah kebajikan menurut mereka. Sebenar-benar kebajikan."
Cerita hampir usai. Reporter televisi tumbuh seperti jamur, cahaya redup menampar udara. Kamera video berdesakan dengan peristiwa, bahu didesak, tangan ditarik. Kamera merekam, hati tak merekam. Mereka seperti amarah yang belum padam. Sementara di luar, mendung semakin pekat. Bangunan menjadi penjara yang rusak, papan nama rubuh. Mengapa tak ada jejak-jejak Shubuh? Hah, mereka berharap apa? Orang-orang ditendang, orang-orang menendang, macan kelaparan. Tikus tak bisa tidur. Hujan turun langsug deras. Kocar-kacir airnya. Ban tak jadi dibakar. Amarah tak pernah menjelma sabar. Cepat keluar kalau tak mau terkapar.
"Seperti sandiwara."
"Tentu saja. Dan yang mereka bela itu adalah kebenaran."
"Kebenaran untuk kita semua?"
"Kebenaran untuk golongan mereka sendiri."
Manusia terakhir dilempar. Kaca meledak!
Jogja, 2010
--------------
Sungging Raga, lahir 25 April 1987 di Situbondo, Jawa Timur. Kadang-kadang tinggal di Yogyakarta. Buku perdananya kumpulan cerpen: Ketenangan Merentang Kenangan (Greentea, 2010)
Lampung Post, Minggu, 1 Agustus 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)