Cerpen Muhammad Amin
DI setiap usungan keranda, ia percaya ada manusia bahagia di dalamnya. Ada manusia-manusia yang lega terbebas dari petaka. Ada pula manusia-manusia yang terbebas dari lilitan utang yang sekian lama menjeratnya atau sebuah tanggung jawab besar yang jika ia masih hidup akan membuatnya kian tersiksa. Maka, dengan kematian seseorang telah terbebas dari banyak hal. Terputus dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Maka ia-seorang laki-laki tak dikenal itu, membuat kesimpulan sendiri menurut versinya: orang-orang yang berada di dalam usungan keranda dan terbungkus dalam kain putih bersih adalah manusia-manusia bahagia.
Dia melihat sendiri bagaimana saat-saat terakhir orang di dalam usungan keranda itu. Dia tahu persis kronologisnya. Bahkan dia masih dapat membayangkan bagaimana seseorang di dalam usungan keranda tersebut meregang nyawa. Wajahnya hanya tampak merasa sakit sesaat, beberapa jenak, kemudian hening dan kosong-tak ada lagi nyawa dalam tubuh tak berdaya itu.
Kematian lebih baik daripada seseorang di dalam usungan keranda itu harus merasakan sakit luar biasa karena tulang belulangnya remuk-redam terbentur kepala mobil pikap yang melaju kencang dari arah kiri saat ia menyeberang. Tubuh renta itu terpental dan terbentur lagi dengan tembok pagar rumah dan mobil pikap itu melaju tergesa-gesa, kabur sebelum tertangkap massa.
Kematian akan lebih baik daripada sanak-saudaranya harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk pengobatan. Dan mungkin saja lelaki tua di dalam usungan keranda itu telah lama digerogoti kanker atau diabetes beserta penyakit komplikasi yang menahun. Lelaki tua itu mungkin telah lama mendambakan kematian karena menganggap dirinya tak berguna lagi, tak mampu melakukan apa pun dan hanya merepotkan keluarga saja.
Dengan kematiannya tadi siang, maka tuntaslah dahaganya akan kematian. Dan lelaki tua di dalam usungan keranda menjadi manusia paling bahagia karena baru saja terbebas dari segala hal yang dapat menyiksa raga dan jiwanya. Begitulah sementara kesimpulan yang ada di kepala lelaki tak dikenal itu.
Dia mengikuti rombongan yang mengantar jenazah ke tanah permakaman. Dia melihat orang tua di dalam bungkusan kain kafan itu diturunkan ke liang kubur. Di situlah rumahnya yang terakhir, sepi, dan jauh dari segala macam hiruk pikuk duniawi. Meski wajahnya tampak sayu dan tak bersemangat, dia tahu lelaki tua itu sedang menyembunyikan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang tak terperikan.
Lelaki tak dikenal itu bertanya pada seseorang di sebelahnya-yang tampaknya tetangga si jenazah, tentang lelaki tua yang telah diturunkan ke liang lahatnya dan siap ditimbun tanah.
"Orang tua ini namanya Pak Soemanti. Dia sangat dihormati di lingkungan kami karena ia seorang mantan pejuang. Dia tinggal di kompleks sana akhir-akhir ini, di rumah anaknya. Namun tinggalnya tak pernah tetap."
"Apa dia tak punya tempat tinggal. Bukankah mantan pejuang dijamin pemerintah sisa hidupnya?"
"Dulunya punya, tapi setelah digusur untuk pembangunan hotel berbintang, ia pontang-panting menumpang tempat tinggal pada anak dan cucunya. Ketika dia masih kuat, dia sering berjualan pisang berkeliling kompleks, bahkan sampai ke pasar. Tapi sekarang tidak lagi karena dia sudah semakin berumur dan tak kuat lagi berjalan."
Suasana jadi hening dan takzim ketika seorang kiai memimpin pembacaan doa dan tahlil. Setelah acara penaburan bunga oleh anggota keluarga yang berduka, mereka meninggalkan tanah permakaman.
***
Laki-laki itu duduk merenungkan percakapannya tadi dengan seseorang. Dia tak mengira sebelumnya lelaki tua yang tertabrak mobil pikup siang tadi adalah seorang mantan pejuang. Seorang pahlawan yang telah menyelamatkan banyak orang. Betapa malang nasib seorang mantan pejuang, gerutunya dalam hati. Untung aku tidak hidup di zaman penjajah dan memilih menjadi seorang pejuang.
Kini keyakinannya bertambah bahwa orang tua tadi benar-benar bahagia atas kematiannya. Bahkan sangat bahagia karena baru saja terlepas dari kekangan kemalangan dan perlakuan tak adil. Mungkin saja anak cucunya telah rela dan merasa lega.
Dia membayangkan betapa hebat lelaki tua itu ketika mudanya. Kekita peluru-peluru berdesing meluncur ke arahnya, dia dengan sigap serta merta dapat menghindar dengan tepat, dan dengan satu tombakan bambu saja satu tentara musuh melayang. Saat tentara-tentara lawan menyerbu markas, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Mereka dapat mengusir para penjajah dari tanah leluhur meski jumlah mereka lebih sedikit dibanding jumlah tentara lawan dan senjata yang tak memadai. Begitulah imajinasi lelaki tak dikenal itu mengenai peperangan zaman penjajah.
Dugaannya sangat kuat, orang tua tadi akan mendapat tempat terhormat di dalam kuburnya. Dengan kejadian tadi siang dia telah mendapat sebuah inspirasi buat melepas kesusahannya selama ini: kematian!
Bila lelaki tak dikenal itu mengingat-iangat kesusahannya selama ini, dia akan stres berat dan hampir menjadi orang gila baru. Maka ia tak ingin sedikitpun mengingat-ingatnya lagi, apalagi menceritakannya pada orang lain. Merepotkan dan membuat hati tak nyaman. Apalagi jika harus mengorbankan kewarasan hanya untuk mengingat hal-hal sulit yang tak penting lagi dipikirkan. Maka jangan harap mendengar cerita itu dari mulutnya.
Karena itu, biar kuceritakan sedikit tentang kesusahannya itu. Sedikit saja karena hanya itu yang kutahu. Jangan sampai ada yang menceritakannya lagi pada orang lain dan jangan sampai dia mengetahui hal ini. Sebenarnya ia tak mau aku mencerikan ini pada siapa pun, tapi apa boleh buat. Tentu kau akan merasa penasaran jika tak kuceritakan di sini. Demikian kira-kira sedikit pengetahuan tentang kesusahannya itu.
Dulu dia besar dan dibesarkan di lingkungan dan keluarga yang susah. Rumah kecil mereka berada di belakang musala. Setiap kali ia mendengar suara tutup keranda membuka kemudian menutup kembali, tak lama setelah itu dari corong mikrofon disiarkan kabar duka orang meninggal. Dia menyimpulkan itulah pertanda paling konkret mengenai keranda dan orang meninggal setelah beberapa puluh kali pengalaman itu terus berulang.
Kemudian setelah dewasa, nasib mengutusnya menjadi seorang yang penting dalam masyarakat. Dia menjadi pejabat yang baik. Pejabat yang sangat dihormati sekaligus terkenal sebagai pejabat yang bersih.
Namun, karena tuntutan kebutuhan dan anak istri, gaya hidup yang mewah dan iblis-iblis laknat di sekitarnya baik yang terlihat maupun tak terlihat sering merayunya, akhirnya ia menerima juga tawaran suap yang dulu selalu mengalir dan selalu ditolaknya.
Awalnya mereka hidup tenang dan nyaman, dengan kebahagiaan yang mengalir terus-menerus tanpa sedikit pun gangguan dan gesekan. Namun, setelah sekian lama gelagatnya tercium juga oleh aparat hukum. Kasusnya diusut tuntas dan diadili. Dan diputuskan ia bersalah telah menerima suap ditambah tuduhan menggelapkan dana proyek. Dia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyerah. Meski tuduhan menggelapkan dana proyek tak terbukti, kasus penyuapan yang menjeratnya. Dia sudah berupaya membayar pengacara hebat, juga berkompromi dengan aparat tersebut, tapi tak berhasil. Rupanya tak semua aparat hukum dapat diajak "kompromi". Akhirnya dia menerima kekalahan dan menjalani hukuman sebagaimana mestinya.
Bertahun-tahun dia mendekam dalam kurungan, kedinginan tanpa fasilitas-fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dia frustrasi.
Setelah keluar dari penjara, ia tak lagi punya apa-apa. Kembalilah ia ke anak-istrinya. Namun tak pernah diduga sebelumnya, mereka sama sekali tak menerimanya. Bahkan istrinya, tanpa sepengetahuan dia, telah menikah dengan pengusaha kaya dan hidup enak bersama anak-anaknya. Anak-anaknya juga sama sekali tak menghendaki bapaknya kembali, karena ia sudah tak punya apa-apa lagi.
Masyarakat tempat tinggalnya pun yang awalnya bersimpati dengannya turut tak menerimanya. Bahkan ia dicemooh dan dilempari dengan batu dan sampah. Rangkaian kejadian yang tak diduganya inilah yang membuatnya sakit hati dan hampir gila.
Di dalam pikirannya sebuah usungan keranda adalah jalan terbaik buatnya, daripada harus mendekam di Rumah Sakit Jiwa bersama orang-orang sinting.
Malam itu ia tak bisa tidur memikirkan kematiannya, kematian yang bagaimana yang paling baik buatnya.
Saat mendengar gerbong kereta api melintas, dia sadar bahwa tempat duduknya saat ini sangat dengat dengan lintasan rel kereta api, hanya melewati dua buah rumah melalu sebuah gang sempit. Dia menimbang-nimbang keputusannya karena muncul pikiran untuk memasangkan salah satu anggota tubuhnya-lehernya, di atas besi lintasan kereta api dan menunggu roda-roda besi tajam melindasnya dengan cepat. Dia hanya perlu tidur telentang dan memasangkan lehernya. Dia yakin hanya akan terasa sakit sebentar, sedikit nyeri, setelah itu nyawanya melayang.
Namun setelah menimbang-nimbang kembali rencana ini, ia jadi ragu. Dia berpikir siapa yang akan bertanggung jawab dan menguburnya. Betapa repot dan menjijikkan jika otak dan tetelan dagingnya berserakan tak menentu. Dia ingin mencari cara yang lebih sederhana, namun efesien.
Di hadapannya segala macam kendaraan melintas dengan deras di atas jalan mulus. Dia bias memilih salah satu kendaraan, tentunya kendaraan pribadi agar pemiliknya mau bertanggun jawab dan menguburkannya dengan layak.
Dia mencari momen yang tepat. Saat sebuah Mercy hitam melintas, dia sengaja menyeberang dan menabrakkan tubuhnya. Dia terpental ke pinggir trotoar. Darah kental mengalir ke aspal, dan dia menggelepar. Mobil yang menabrak tadi berhenti.
Dua orang anak yang memaai seragam sekolah itu turun karena kaget. Salah satunya menjerit dan satunya tergagap-gagap.
"Itu Papa!" teriak anak yang tergagap tadi. Lelaki muda yang menyetir mobil dan siap ke kantor tadi juga kaget. Kemudian dengan bantuan orang-orang, tubuh lelaki yang tertabrak itu dibopong dan dimasukkan ke dalam mobil. Mereka mengantarnya ke rumah sakit.
Laki-laki tak dikenal itu mendengar anak-anaknya menangis, tapi ia tak sepenuhnya sadar.
***
Lelaki yang tertabrak siang tadi kaget mendapati tubuhnya yang ringan tanpa beban. Beginikah rasanya mati, ucapnya dalam hati. Kini ia telah menjadi manusia paling bahagia seperti yang ia dambakan selama ini karena cita-citanya telah tercapai.
Dia melihat tubuhnya yang kaku terbungkus kain kafan di dalam usungan keranda dibawa ke tanah permakaman. Dia bangga bukan main. Dan kaget bukan main saat melihat anak istrinya menangis tersedu-sedu. Melihat mereka menangis begitu dia merasa ingin kembali.
Setelah pembacaan doa dan tahlil, penaburan bunga oleh sanak keluarga, mereka pergi meninggalkan tanah perkuburan. Tinggal dia sendiri meringkuk di bawah tanah. Setelah itu, dua makhluk tak dikenal datang tergopoh gopoh membawa buku catatan seperti tukang kredit menagih tunggakan dalam pikiran lelaki itu. Dia heran karena merasa selama ini tak pernah mengambil barang kreditan.
Kotaagung, 2009
Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010
No comments:
Post a Comment