Sunday, January 10, 2010

Belajar Bercerita tentang Tokoh Fiktif Belaka yang di antaranya Bernama Kasdi

Cerpen F. Moses

PEMBACA terkasih, semoga kau tak kecewa kepadaku. Apalagi berniat menghukumku lantaran aku tak becus bercerita. Beginilah ceritanya.

Dari desa yang selalu cerah bersama latar perbukitan bak bukit barisan yang mengelilingi daratan dan kesegaran udara paginya yang konon selalu ditunggu-tunggu karena begitu melengkapi kecerahan dari desa yang memang selalu cerah ini, membuat seluruh warga tak pernah memalaskan diri untuk segera menyambut pagi. Mulai anak-anak hingga para orang tua, ingin menghirup udara segar kemudian menikmati pesonanya. Namun apa daya, sontak bisa saja berubah seperti mendung tengah menggantung hebat.

Pagi ini, seluruh warga desa menunggu kedatangan Kasdi. Terlebih kekasihnya, Lasmi. Ia tahu benar bahwa Kasdi pasti pulang.

"Kasdi oh Kasdi sayang, aku selalu setia menunggumu di sini," katanya pelan penuh kesabaran. Penuh keyakinan. Optimistis. Sedikit pun jauh dari utopis.

"Untuk kau ketahui, seluruhnya sudah dipersiapkan, Lasmi," kata Ponimin, bapaknya, tiba-tiba saja.

Ponimin memang berharap anak gadis satu-satunya itu dijodohkan dengan Kasdi sejak mereka di bangku SMP. Maklum, Ponimin tahu benar sebab Kasdi--kalau boleh dibilang--seorang remaja paling cakap nan gagah di desa ini. Gagah nan tampan, paling percaya diri yang acap bikin mabuk kepayang para bapak di desa ini untuk menjodohkan tiap anak gadisnya.

Tentang mabuk kepayang, memang sudah bukan milik para ibu lagi, melainkan para bapak. Kini semuanya tercapai dari bukan hasil paksaan. Karena sejak dulu mereka memang sudah saling mencintai.

"Seluruh warga desa sudah menyiapkannya dengan rapi, Lasmi. Mulai dari rangkaian hiasan dari janur kuning untuk ditempatkan di tiap sudut pelosok jalan, hingga gebyok1 yang terbuat dari kayu untuk latar kursi pengantin kalian hasil ukiran anak buah si Bonang. Kau tahu, kan, siapa tak kenal pemuda bernama Bonang di desa ini. Bonang yang terkenal paling saleh juga rajin. Dan Bonang yang selalu bercita-cita ingin mengabdikan dirinya secara total di pesantren. Tentang ketenaran si Bonang itu, jangankan desa, bahkan sampai kota besar banyak orang tahu siapa dia. Meski sekarang sudah entah ke mana dia. Untungnya masih ada beberapa anak buahnya. Sama jagonya dengan Bonang dalam soal bikin ukiran-ukiran kayu," kata Ponimin menjelaskan.

Tentang si Bonang yang memang tak asing lagi, dengan segala kreativitasnya, yang di antaranya mahir bikin ukiran-ukiran dari kayu, juga paling terkenal di kota. Apalagi desa. Dia memang patut ditiru oleh banyak pemuda di sini. Meski hanya duduk di bangku SD, namun dia tahu benar cara memanfaatkan kemahirannya itu. Mulai dari mahir silat, bikin ketan, bikin tempe, bikin cincin maupun gelang dari serat rotan, hingga mahir untuk membuat macam ukiran yang terbuat dari kayu. Kesemuanya dilewati dengan pahit getir dan bermacam asam-garam. Hingga kini dia lebih memilih bikin macam ukiran dari kayu yang di antaranya gebyok. Gebyok dari kayu jati yang selalu dibikinnya banyak macam gaya dan keindahan agar tak terlihat membosankan saat menjadi latar sepasang mempelai yang sudah menjadi begitu khas. Anehnya, akhir-akhir ini dia sudah jarang terlihat. Kabar burung paling santer mengatakan kalau cita-citanya sudah tercapai dengan hidup menyantren. Untung saja, masih dapat diteruskan oleh beberapa anak buahnya dalam usaha ukirannya itu.

***

KESEJUKAN dari cerah pagi masih tetap menyelimuti desa. Lasmi setia dan memang selalu setia untuk menunggu Kasdi pulang. Sebab Kasdi bagi hatinya adalah lelaki yang tak pernah beringkar janji.

Dulu, zaman Kasdi menaksir Lasmi secara diam-diam, Kasdi berjanji kepada Lasmi untuk kembali mengadakan pengajian buat para pemuda desa yang sudah berhenti sejak lama. Sungguh sebuah niatan yang mulia. Tak hanya itu, Kasdi juga dianggap sebagai pemuda yang cukup berhasil menciptakan kerukunan sesama pemuda antardesa. Kalau bukan Kasdi yang menyatukan mereka lewat ragam acara kepemudaan yang digalangnya, siapa lagi. Apalagi saat menyambut hari ulang tahun negeri ini, membuat Kasdi semakin sibuk mengajak seluruh warga untuk ikut memikirkan kesemarakan apa yang mesti dilakukan desanya untuk negeri tercintanya ini.

Semua itu dilakukan atas dasar ketulusan yang utuh tanpa pamrih. Untuk persatuan, tentunya. Seperti semboyan negeri ini sejak dulu: bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Sungguh pemuda bermental nasionalis.

Ya, itulah yang menjadikan Kasdi banyak mendapat rasa simpati dari semua warga desa. Sekarang Ponimin merasakan semua itu menjadi kenyataan.

Makanya, tiga minggu sejak Kasdi melamar Lasmi pada waktu itu, seluruh warga desa tak segan menyibukkan diri. Bersibuk tak kenal lelah menyiapkan segalanya. Segala keperluan pernikahan mereka beberapa hari lagi. Sebab tiada lagi memang yang dapat membantu menyiapkan pernikahan mereka tanpa gotong-royong.

Mungkin itulah sebab: Kasdi pemuda baik-baik, Kasdi juga termasuk anak muda seorang diri dalam keluarganya. Anak satu-satunya dari kedua orang tua yang sudah entah ke mana sejak dirinya masih SD. Kabar entah dari siapa pernah menyebut kalau ibunya sebagai tenaga kerja di negeri seberang sudah mati karena disiksa majikan. Dan tak lama berselang dalam hitungan tahun bapaknya mati kecelakaan saat membawa truk sampah. Mengenaskan. Tragis.

Dari masa lalu, ia juga pernah bertempat tinggal dengan cara menumpang di rumah Bonang. Bonang yang baik hati yang kini juga sudah entah ke mana. Pastinya, entah kabar dari mana, juga menyebut kalau cita-cita Bonang sudah kesampaian dengan hidup menyantren. Bisa dibilang, Bonang sangat berpengaruh dalam mencetak mental Kasdi menjadi cakap; menjadikan Kasdi perlahan menjadi pemuda yang dewasa dan mandiri bermental mantap.

***

SEGALA persiapan untuk pernikahan Kasdi dengan Lasmi hampir siap. Perasaan Ponimin yang sangat senang hati mulai sedikit gusar.

"Lasmi, di mana Kasdi?"

"Belum ada kabar, Pak. Tenang aja, nanti juga pasti pulang," jawab Lasmi singkat dengan ringan dan tenang.

Tak hanya Lasmi yang ringan dan tenang, seluruh warga juga tak mempersoalkan belum terlihatnya Kasdi hingga sore ini. Meski besok pagi acara pernikahan mereka mesti dimulai. Tak ada kegusaran, kecuali Ponimin yang memang terlihat mulai gusar, Ponimin yang terlihat mondar-mandir ke sana ke sini di selasar rumahnya. Seperti banyak ingin diucapkannya ke seluruh warga agar membantu mencari Kasdi. Namun, Ponimin yang gusar dan mulai terlihat panas akhirnya sedikit mencair. Sebab seluruh warga, kenyatannya, juga tenang-tenang saja. Mereka yakin Kasdi tak akan ke mana.

"Besok sudah hari pernikahannya. Masak Kasdi menghilang. Tak masuk akal dan sungguh tak mungkinlah," kata Masno di sela kebersamaan warga lain saat memasang tenda besar di selasar rumah Ponimin. Masno mencoba menenangkan kegamangan Ponimin.

Lain hal berbeda dengan Lasmi yang tampak tenang dan santai. Ia malah asyik sibuk sendirian di kamar pengantin yang tampak siap dinikmati bagi sepasang kekasih.

Lasmi dalam benak membayangkan akan dengan bersahaja juga leluasanya berbagi kasih dengan Kasdi sang pujaan hati, dengan bebas bergerak ke sana ke sini di atas ranjang besar bertabur ranum bunga dari berbagai jenis. Lasmi juga membayangkan betapa anggun mengenakan gaun kebaya yang tengah tergantung di sebalik pintu kamar pengantinnya. Juga jas milik Kasdi yang terlihat begitu hitam mengilat bersama dasi kuning. Betapa tampak jumawanya Kasdi nanti. Terlebih kedua cincin yang sudah terukir nama mereka berdua di antara laci dari rak cermin berwarna kuning keemasan bakal menjadi simbol keutuhan cinta mereka.

***

SEGALANYA sudah disiapkan sejak jauh hari. Segalanya pula semakin dimatangkan hingga hari ini. Segalanya dirasa mantap pula sampai hari ini. Segalanya, bila perlu, memang siap dilaksanakan hari ini juga.

Ya, memang siap dilaksanakan hari ini juga. Namun, tak terbayang bagaimana perasaan Ponimin. Kenyataan semakin tak dapat dihindarkan: Ponimin semakin gamang. Limbung. Ponimin sekuat tenaga tak akan pernah menyangka apalagi berangan buruk dalam harap cemasnya ini. Bila terjadi apa-apa menjelang pernikahan si anak dengan seorang pemuda yang sangat dibanggakannya.

Suatu ketika, dalam hitungan waktu, dengan kepanikan yang serasa begitu mendekapnya, jantung Ponimin seperti tunggang-langgang berdegup seorang diri.

Kenyataan mengatakan kalau Ponimin ke sana ke sini bertujuan entah tanpa sepengetahuan warga desa.

Dalam hitungan waktu yang sebentar lagi pagi, Ponimin pergi ke kota sambil bertanya ke sana ke sini. Hasilnya nihil. Namun, tetap saja Ponimin mencarinya.

***

PADA lain tempat, di daerah permukiman elite kawasan ibu kota, di sebuah rumah mewah tempat sarangnya beberapa orang ekstrem, seorang pemuda terendus berniat lebih memilih menjadi pengantin di sini--bersama teman lamanya. Ketimbang menjadi pengantin di desa bersama kekasihnya.

Ya, pemuda itu, bersama teman lamanya semasa bertempat tinggal di desa, terdoktrin aliran sesat oleh orang asing yang baru dikenalnya. Orang asing dari kaki tangan buronan kelas satu negeri ini yang mati beberapa waktu lalu dengan kondisi mengenaskan oleh Tim Pemburu Teroris.

Semoga kau tak kecewa kepadaku, sebab aku mengakhiri cerita hanya dengan cara begini. Yang bukan dari aku semata sebagai pengarang.

Beginilah akhirnya.

Semoga saja pemuda itu, yang ternyata Kasdi dengan teman lamanya bernama Bonang, mengurungkan niatan ekstrem itu dan menguburnya dalam-dalam: menjadi pengantin bermahkota bom yang sekejap mampu meluluh-lantakkan sekitar.

Kita tunggu saja bagaimana kabar terakhir dari mereka. Dan kabarilah aku dengan ceritamu apabila kau mengetahuinya.

Gangg. Manyar Telukbetung, 2009

Catatan:

1. Istilah dari bahasa Jawa yang berarti "dinding kayu"

2. Bukan istilah sebenarnya dari yang berarti "mempelai lelaki atau perempuan dalam pernikahan", melainkan "pelaku bom bunuh diri"


---------------
F. Moses, lahir Jakarta, 8 Febuari, alumnus Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2005). Menulis puisi dan cerpen yang pernah termuat di beberapa media. Aktif bersama KOMPI (Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia) wilayah Lampung. Tinggal dan bekerja di Telukbetung

Lampung Post, Minggu, 10 Januari 2010

No comments:

Post a Comment