Sunday, February 22, 2015

Pembunuh Kerinduan

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


BONGKOT menghadap ke arah timur. Ia berdiri dengan kaki lunglai dan tubuh gemetar. Tangannya yang terjulur ke bawah memegang golok berlumuran darah. Ia baru saja membunuh kerinduannya yang terakhir.

Ia berharap setelah peristiwa ini, ia tidak lagi memiliki kerinduan kepada siapa pun dan kepada apa pun. Ya! Kerinduan yang membuat setiap orang menjadi cengeng. Kerinduan yang kerap menggedor-gedor petala hati secara melankolis. Kerinduan yang sering kali melukiskan bayang-bayang kecemburuan. Bahkan terkadang membuat jaringan pikiran mampet untuk mengalirkan akal sehat. Sehingga lahirlah cerita-cerita sadisme tentang orang-orang yang bunuh diri atau membunuh pasangannya sendiri.

Bongkot menarik napas dalam-dalam. Ia tidak tahu apakah udara yang dihirup dan dihembuskannya itu menyiratkan kelegaan atau penyesalan. Sebagaimana matanya yang kosong menatap sosok kerinduan yang terkapar di hadapannya; di atas rerumputan yang dibasahi genangan-genangan cahaya purnama. Sosok yang samar terlihat; tercerai berai dilumuri cipratan-cipratan darah segar. Sosok yang semasa hidupnya sering kali menohok dengan kegalauan demi kegalauan.

“Dan sekarang dia telah mati!”

Ya! Malam semakin naik. Bongkot masih berdiri dengan kaki lunglai dan tubuh gemetar. Ujung goloknya melepas tetesan darah terakhir ke atas rerumputan. Sementara bulan purnama tepat berada di atas kepalanya. Kemudian ia mulai menggali lubang. Kemudian ia menyatukan kembali sosok kerinduan yang terserak; membopong dan menguburkannya.

Tak ada kesedihan. Tak ada air mata. Wajahnya tampak dingin dan beku. Sedingin dan sebeku udara malam.

Setelah itu Bongkot tengadah menatap bulan. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan berteriak: “Tuhaaannn...!”
           
***

“Aku sayang kamu, tau...! Aku cinta kamu!” suara Lesly terdengar manja.

Bongkot hanya tersenyum.

“Kamu sayang aku juga, kan...? Kamu cinta aku?!”

Bongkot hanya tersenyum

“Jawab dong, Beib..., aku butuh kepastian. Aku akan sangat bahagia jika kamu mengatakan itu untukku. Ayo katakan, Beib...”

Bongkot hanya tersenyum.

Lesly memberengut. Ditatapnya Bongkot dengan tajam. Meskipun kecewa dan marah namun aroma kemanjaan terus mengembang di wajahnya.

“Kamu denger aku nggak, sih?!”

Bongkot hanya tersenyum.

Lesly berpaling. Ia melempar tatapannya ke laut lepas. Alangkah indahnya pemandangan. Langit senja yang kemerahan. Matahari di ufuk pelan-pelan akan tenggelam. Perahu nelayan diayun gelombang di kejauhan. Dan ombak yang kejar berkejaran menjelang pantai. Angin berdesir. Anak rambut di kening Lesly lembut bergoyang.

Tapi bisakah seseorang menikmati keindahan dengan hati yang tengah dirundung kegalauan?

“Ayo katakan, Beib! Aku nggak peduli dibilang lebay. Aku hanya ingin mendengarnya dari bibirmu. Kamu sayang aku, kan?!” 

Bongkot mengangguk.

“Kamu cinta aku?!”

Bongkot mengangguk

“Kamu selalu merindukan aku?!”

Bongkot terdiam. Keningnya berkerut. Seketika wajahnya tampak tegang. Jauh di lubuk hatinya yang dalam ia ingin sekali merindukan Lesly.

Ya! Lesly gadis yang menemui dan meminta tanda tangannya seusai acara peluncuran buku cerpen terbarunya yang berjudul “Pembunuh Kerinduan”. 

Saat itu, Lesly dengan senyum penuh kemanjaan mendekatinya dan seperti yang lain menyodorkan buku cerpen yang dibelinya untuk ditandatangani. Namun tidak seperti yang lainnya, Lesly kemudian meminta juga nomor hape dan PIN BB.

“Hai pengarang...” suatu hari Lesly memulai percakapan di bbm.

“Hai juga...” Bongkot membalas.

“Aku sudah baca cerpen-cerpenmu. Aku suka!”

“Terima kasih...”

“Tapi ada juga yang aku nggak suka!”

“Ohya...?”

“Cerpenmu Pembunuh Kerinduan itu sadis!”

“Ohya...?”

“Itu menafikan kodrat kemanusiaan!”

“Ohya...?”

“Bagaimanapun manusia tidak bisa melepaskan diri dari pikiran dan perasaan yang bersemayam di otak dan hatinya. Membunuh pikiran sama dengan tidak waras. Membunuh perasaan sama dengan sadis. Kamu tahu itu...?”

“Ohya...?”

“Aku capek ngomong sendiri!” Lesly menghentikan percakapan BBM-nya.

Hari berganti. Matahari menyinari bumi. Bintang-bintang menghiasi malam. Lesly terus dimiangi kerinduan. Di benaknya wajah Bongkot selalu terbayang-bayang. Ia sendiri tidak mengerti kenapa semua ini terjadi. Setiap kali ia coba melupakan, setiap kali itu pula sosok Bongkot mengembang dalam ingatan.

Ping!!!

Lesly mengirim pesan sinyal lewat BBM. Bongkot tersenyum dan membalasnya

“Aku mau bertemu kamu!” sambung Lesly

“Boleh. Hehe...”

“Jemput aku di depan mal, ya!”

“Boleh. Hehe...”

“Pokoknya sejam lagi aku tunggu! Boleh, hehe...”

“Ok deh!”

Hari berganti. Pertemuan di depan mal itu berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya. Hingga hubungan Bongkot dan Lesly bertambah akrab. Semakin akrab. Dan kemudian bersepakat menjalin hubungan sebagai kekasih. Ya!
               
***

“Tapi sepertinya aku cuma bertepuk sebelah tangan...” ungkap Lesly curhat kepada Cida, teman kuliahnya.

“Kok bisa...?!” ucap Cida

“Ya bisalah!”

“Maksudmu?” Cida menghentikan langkah. Lesly ikut menghentikan langkah. Lalu mereka berjalan ke bangku taman yang tersedia di kampus. Lesly menghempaskan diri dan duduk dengan lesu.

“Haruskah aku membencinya, Cida?”

“Tenanglahlah, Lesly. Kau harus bersikap tenang untuk membuat keputusan” pinta Cida dengan lembut sambil menyodorkan botol minuman mineral. Lesly menerimanya, membuka tutup botol dan mereguk airnya.

“Ceritalah padaku, Lesly..., agar kamu merasa lega.”

Lesly menarik napas panjang.

“Dia lelaki yang aneh, Cida...” suara Lesly terdengar sungkan 

“Sama sekali tidak romantis. Dingin..., cuek..., dan menyebalkan! Apakah karena dia seorang pengarang? Sehingga ia hidup dengan khayalan-khayalannya saja. Bayangkan, Cida..., dia tidak pernah menelponku lebih dulu. Dia tidak pernah SMS aku lebih dulu. Dia tidak pernah BBM aku lebih dulu. Inbox facebook, twitter, line, whatsapp, dia tidak pernah lebih dulu!”

“Mungkin dia sibuk, Lesly”

“Sibuk kamu bilang...?!”

“Aku bilang mungkin, Lesly...”

“Hemmm..., tidak, Cida! Semestinya cinta selalu punya ruang dalam kesibukan-kesibukan sepadat apa pun. Cinta selalu punya sayap untuk menempuh jarak sejauh apa pun. Cinta selalu punya magma untuk meledakkan diri dari himpitan gunung sebesar apa pun. Kau tahu itu.”

Cida hanya diam.

Mendung turun di wajah Lesly. Air matanya seperti gerimis pertama yang mengalir pelan di atas daun-daun. Kenapakah Tuhan menciptakan kesedihan bagi manusia?

Ataukah lantaran manusia memiliki cinta? Dan cinta melahirkan kerinduan? Dan kerinduan melahirkan harapan? Dan harapan melahirkan semangat? Dan semangat melahirkan tindakan? Dan tindakan melahirkan pilihan? Dan pilihan melahirkan risiko? Dan risiko melahirkan kesedihan? Oh, tidak! Tentu saja tidak! Karena risiko juga bisa melahirkan kebahagiaan. Layaknya dua sisi mata uang. Kitalah yang menentukan risiko dari pilihan yang kita putuskan. Ya!

“Apakah aku telah salah mencintai orang, Cida...? Atau karena dia tidak mencintai aku? Karena itu dia tidak pernah merindukan aku!”

Cida hanya diam.

Sementara air mata Lesly seperti gerimis pertama yang mengalir pelan di atas daun-daun. ”Begitulah cinta, deritanya tiada akhir!” ungkap Siluman Babi (Ciopatkai) dalam cerita Sun Go Kong. Ah...!!!   
           
***

Bongkot duduk bersideku menghadap ke arah makam. Wajahnya sendu membaca tulisan yang pernah diguratkannya di atas batu nisan. Ia membacanya berulang-ulang di dalam hati. Sebuah epithap: di sini terkubur kerinduanku yang terakhir.

Tangannya yang memegang linggis terlihat gemetar. Sebuah pertempuran tengah terjadi dalam dirinya. Antara keinginannya untuk menggali kembali kerinduannya, dengan keinginan membiarkan saja kerinduan itu tetap terkubur. Di tengah keremangan malam itu sesekali tangannya mencoba mengangkat linggis tinggi-tinggi. Tetapi niatnya membongkar kuburan itu tiba-tiba saja terhenti. Bagai ada suatu betotan yang menarik tangannya kembali ke bawah.

Bongkot merenung-renung. Terus merenung-renung. Ya! Hingga kemudian tekadnya bulat untuk mengangkat kembali sosok kerinduan yang selama ini telah dikuburkannya. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah menghapus tulisan di atas nisan itu. Ia mengeluarkan sapu tangannya. Namun, belum sempat sapu tangannya menyentuh tulisan di batu nisan, tiba-tiba terdengar suara teriakan lantang.

“Hentikan! Tidak perlu kamu melakukannya. Biarkan kerinduanmu tenang di dalam kuburnya!”

Bongkot menoleh kebelakang. Ia terkejut ketika mengenali sosok yang berkata itu.

“Lesly...??!”

“Ya! Aku..!!!” Lesly melangkah mendekati Bongkot, sementara kedua tangannya membopong sesosok mayat yang berlumuran darah. Bongkot berdiri dan berbalik menghadap ke arah Lesly.

“Apa yang telah kamu lakukan, Lesly...?” suara Bongkot bergetar.

“Aku telah membunuh kerinduanku!”

“Astaga..!!?”

“Lihatlah sosok ini. Sosok yang senantiasa memupuk kesedihanku. Sosok yang selalu membuat galau hatiku. Dan sekarang dia telah menjadi mayat. Lihatlah! Lihatlah, Bongkot! Mayat ini!”

Bongkot hanya memandang dengan wajah tegang.

“Galilah lubang, Bongkot. Aku ingin menguburkan mayat kerinduanku!”

Bagai digerakkan gelombang sihir yang luar biasa, Bongkot menuruti apa yang dikatakan Lesly. Ia mengayun dan menancapkan linggis ke tanah dengan sekuat tenaga. Tancapan demi tancapan membongkar tanah. Hingga menganga sebentuk liang kubur.

Lesly kemudian menguburkan mayat kerinduan dalam gendongannya. Setelah itu Lesly berdiri berhadap-hadapan dengan Bongkot.

“Sekarang masihkah kita memerlukan cinta?!” suara Lesly terdengar hambar.

Malam semakin naik. Bulan perlahan ditutup kabut. Gerimis turun mencium rerumputan. Di keremangan malam itu sosok Bongkot dan Lesly hanya terlihat seperti siluet. Hanya siluet. Ya! n

Bandar Lampung, 12/2014.


Lampung Post, Minggu, 22 Februari 2015

No comments:

Post a Comment