Cerpen Tita Tjindarbumi
Langit semakin hitam. Bulan bersembunyi entah dimana. Tak satu pun terlihat bintang yang biasanya tak lelah berkedip-kedip. Gedung itu masih berdiri tegak seperti berpuluh tahun yang lalu. Tak banyak yang berubah. Secara fisik gedung itu tetap terlihat kokoh dan arogan.
Langit semakin hitam. Bulan bersembunyi entah dimana. Tak satu pun terlihat bintang yang biasanya tak lelah berkedip-kedip. Gedung itu masih berdiri tegak seperti berpuluh tahun yang lalu. Tak banyak yang berubah. Secara fisik gedung itu tetap terlihat kokoh dan arogan.
Di beberapa bagian gedung tua yang masih kokoh itu, cat tembok gedung itu telah terlihat kusam. Warna catnya memudar terkikis waktu. Semak dan ilalang yang tubuh subur, tingginya nyaris menutupi pintu masuk rumah itu.
Jika bukan karena kerinduan pada neneknya, Damian tak akan mau menginjakan kaki ke gedung itu. Dari kejauhan saja ia sudah merasakan aura lain yang membuat bulu kuduknya berdiri. Lamat –lamat terdengar suara langkah terseok. Sesekali telinganya seperti mendengar suara napas terengah. Semakin dekat ke pintu kamar Damian merasa seperti sedang terjebak di sebuah kota tanpa penghuni. Hanya suara sirine mobil patrol milik satu-satunya polisi di kota mati itu. Imajinasinya kacau. Apalagi rasa takut kian menyergapnya. Ia merasa tubuhnya mendadak dingin. Bulu kuduknya tak hanya berdiri. Tetapi tubuhnya juga seperti tak bertulang.
“Tak ada yang perlu kau takutkan,” Damian seperti mendengar suara bisikan.
Ah, suara siapa itu? Ia tak pernah mendengar suara sehalus itu. Lagi pula kabar yang ia dengar gedung tua itu sudah hampir sepuluh tahun tak berpenghuni. Satu persatu penghuni rumah itu pergi meninggalkan rumah peninggalan neneknya.
Pertikaian keluarga tak bisa dihindari. Beberapa ahli waris bertengkar memperebutkan rumah yang dibangun neneknya dengan susah payah. Ahli waris perempuan yang kebanyakan sudah menjadi orang kaya ingin rumah itu dijual saja.
“Kami ingin menikmati warisan sebelum mati.” ujar Rum, anak perempuan nenek yang nomor tiga. Ia bahkan ngotot mengatakan jika belum laku dijual maka yang menempati rumah itu harus membayar uang sewa sehingga semua ahli waris bisa menikmati uang sewa rumah warisan itu.
“Betul, Tante Rum, kami juga sebagai ahli waris mama sepakat,” tukas Nana anak tertua dari anak perempuan nenek yang paling tua dan telah meninggal.
Damian menggoyang-goyangkan kepalanya. Ingin memastikan apakah ia sedang bermimpi atau hanya berhalusinasi? Lalu mengapa ia seperti melihat rumah itu? Rumah tua yang terasa sekali banyak penghuninya. Makhluk asing yang tak bisa dilihat tetapi mengapa ia bisa merasakan dan melihat mereka dengan jelas?
Wajah-wajah asing yang lalu lalang seperti tak peduli padanya. Wajah-wajah yang sibuk dengan urusan masing-masing dan tak menoleh padanya.
Damian menepuk pipinya kuat-kuat. Terasa sakit. Ia tidak sedang bermimpi. Tetapi Damian sadar sepenuhnya ia sedang berada di kamarnya, tidak di rumah tua itu. Bukankah rumah tua itu cukup jauh jaraknya? Bahkan untuk mencapai rumah itu ia harus menempuh perjalanan sehari semalam.
Sunyi semakin menikam malam. Damian menarik selimut tebal semakin ke atas. Nyaris menutup separuh wajahnya. Semakin ke atas. Menahan napas.
Uff...gigil menyerang tubuh Damian. Ditahannya napas lalu menghembuskan perlaha. Dadanya masih sesak dan aroma anyir berbaur dengan lembab menyeruak semakin dekat ke penciumannya.
Ini bukan halusinasi…
Damian memaksa matanya agar bisa tidur. Dipejamkan matanya berharap setelah itu ia terlelap dan tidak lagi berada antara tidur dan terjaga. Bayangan rumah tua dan wajah-wajah asing itu masih saja menari-nari di pelupuk matanya.
Lalu suara halus itu…suara siapa? Damian mencoba mengingat-ingat. Sulit baginya menggali sisa kenangan tentang rumah itu. Memorinya telah penuh dengan potongan-potongan peristiwa yang terjadi. Hanya sebagian kisah masa kecil dan tentang rumah itu yang ia ingat. Yang paling Damian ingat adalah semua cucu ahli waris rumah itu dipaksa keluar dari rumah itu hanya karena sebuah kertas penjanjian usang yang ditandatangani bapaknya dan saudara-saudaranya.
Padahal, bapaknya sudah lama meninggal. Seharunya ia sebagai ahli waris bapak punya hak atas rumah itu. Tetapi ia juga menjadi korban pengusiran.
Bukan tak berani melawan keangkuhan mereka, tetapi Damian tahu, mengalah adalah satu-satunya sikap yang bisa membuat hubungan keluarga terjaga. Meski pada akhirnya, sulit mempertahankan keharmonisan.
Tiba-tiba suara itu datang lagi. Sayup-sayup dan nyaris hanya seperti bisikan. Jauh sekali suara itu tetapi telinga Damian bisa menangkap getarannya. Damian mengerahkan kemampuan kerja telinganya bekerja ekstra. Sementara suhu tubuhnya mulai naik. Ruangan kamarnya yang dingin tak mampu menahan cairan yang mulai merembes dari pori tubuhnya. Damian berharap dapat mendengar suara dan kalimat yang diucapkan.
Apa yang diucapkan? Suara siapa itu?
Damian tak berhasil mengembalikan memori masa lalu. Dia juga tak berhasil mengingat pemilik suara itu. Padahal …sepertinya ia cukup akrab dengan suara itu.
Lalu suara siapa?
Ini halusinasi. Tak mungkin ada suara orang berbisik di tengah malam menjelang dini hari? Perasaan takut tiba-tiba mengurungnya. Ia harus membuang rasa takut itu. Ia tak mau dikuasi oleh makhluk-makhluk jahat yang bisa saja jin atau setan yang sedang mengganggunya.
"Meeeoooooong!"
Teriakan kucing yang biasa tidur di sofa depan kamar Damian nyaris membuat jantung Damia melompat.
Gubraakh!
Suara kotak sampah di depan kamarnya seperti ditendang dengan kekuatan dasyat.Bulu kuduknya langsung berdiri. Ya, Tuhan...ini bukan halusinasi. Damian melempar selimutnya begitu saja lalu bangun dan duduk sambil bersandar di bantal yang ditumpuk. Antara takut dan penasaran datang silih berganti. Ini bukan yang pertama kali ia mengalami malam-malam yang ganjil.
Suara lolong anjing yang panjang. Langkah yang membuntuti dirinya di sepanjang pintu masuk rumah kos hingga ke lantai atas dan berhenti persis saat ia membuka kamar yang selalu didahului dengan mengucapkan salam sebagaimana seorang muslim.
Bahkan tergelincirnya dirinya dari anak tangga beberapa saat lalu membuat kecurigaan Damian semakin kuat. Coba bayangkan keganjilannya, bagaimana mungkin ia bisa tergelincir sementara ia berjalan dengan hati-hati saat menapaki anak tangga satu demi satu. Untunglah dengan sikap tangannya memegang kayu yang membingkai tangga.
Dua menit. Dibiarkannya kucing-kucing itu mengeong semakin keras dengan suara menyayat. Duh...
Lalu dengan cepat Damian mengambil Ipod yang berada di balik bantalnya. Lalu ditekannya tombol play. Beberapa detik kemudian terdengar suara seorang membaca Al Fatehah dengan keras. Sengaja dibesarkan volumenya. Bibir Damian sibuk komat-kamit mengikuti ayat demi ayat yang kusambung dengan membaca ayat kursi.
Tiba-tiba ponsel Damian berdering. Dengan cepat diambilnya ponsel yang berada di sebelah kanan bantalnya. Lampu ponsel yang berkedip-kedip member cahaya di kamar Damian yang gelap. Ia tak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala.
Yoi, tulisan itu muncul di layar ponselnya. Nama guru spiritual temannya. Damian tidak percaya urusan perdukunan. Ia memilih diam setiap kali teman-temannya sibuk membahas tentang dunia supranatural. Damian juga tak mau mengumbar cerita bahwa ia bisa merasakan adanya “makhluk asing” di tempat yang baru ia datangi.
"Assalamualaikum," ujar Damian dengan suara pelan.
Setelah menekan tombol yes dari seberang kudengar suara Abah Yoi menjawab salamnya. "Ada apa?" tanya Abah Yoi dengan suara penuh kekuatiran.
Damian menggerakan bibirnya, meringis. Ia ingin bersikap wajar. Badannya masih dingin. Tubuhnya menggigil. Anehnya keringat terus mengalir sampai kaos Damian basah.
Damian berusaha bicara sewajarnya untuk menutupi ketegangan dan ketakutan.
"Nggak ada apa-apa."
"Benar? tidak ada apa-apa?" Suara Abah Yoi terdengar ragu. Tak percaya. Tetapi ia tak ingin memaksa. Abah Yoi tahu Damian sedang ketakutan.
Damian mengangguk. Sedetik kemudian ia tersenyum menyadari ketololannya. Bagaimana Abah Yoi bisa melihat anggukannya? Dia berada di seberang laut sana.
"Cuma sedang tidak bisa tidur. Penyakit lama, Bah."
"Yang begitu-begitu bisa dilawan dengan membaca al Fatihah dan ayat kursi." katanya seakan paham yang sedang terjadi.
Lagi-lagi Damian mengangguk. Walah kenapa jadi bloon?
***
Malam itu mata Damian tak bisa dipejamkan. Masih aja telinganya terngiang –ngiang seolah masih mendengar suara aneh. percakapan lamat-lamat.Ada suara tawa. Tak lama berganti dengan suara musik. Padahal malam tadi setelah merasa agak tenang Ipod dimatikan dan Damian beranjak ke meja kerjanya. Menengok ke laptopnya yang masih dalam keadaan online. Membuka halaman sosial media dan membuka halaman word.
Malam ini sebetulnya ia sedang menulis kisah seorang perempuan. Damian membayangkan perempuan itu begitu cantik dengan body yang nyaris sempurna tanpa kekurangan disana-sini. matanya yang biru membuat Damian menjulukinya sebagai perempuan biru. Gaun merah yang sering dipakainya membuatnya menambahkan dengan sebutan perempuan bergaun kesumba.
Saat sedang asyik dengan imaji yang semakin meliar tiba-tiba saja jemarinya berhenti. suara langkah itu membuatnya berhenti menulis.
Ada apa?
Perempuan itu…
Yaaa…Damian bergidik. Suara itu memang suara perempuan yang sedang berbisik. Langkahnya yang menyeret itu seperti langkah perempuan yang sangat hati-hati, kuatir gaun berwarna kesumbanya yang bak gaun pengantin itu terjurai panjang menempel di lantai, entah berapa panjang ekor gaun itu, terinjak karena nyerimpetin langkahnya. Bayangan perempuan itu serupa lukisan hidup di benaknya.
Siapa perempuan itu? Mengapa ia seperti ingin menarik Damian masuk ke dalam rumah tua itu. Rumah warisan neneknya yang lama kosong dan sangat menakutkan dalam bayangan Damian. Sepuluh tahun lebih ia tak pernah kesana. Tak ada keinginannya masuk ke dalam rumah yang merobek tali silahturahmi dengan keluarga besarnya.
Tidak! Damian tidak akan mengikuti suara itu meski sebenarnya ia mulai tergelitik ingin tahu siapa perempuan bergaun kesumba itu. Damian penasaran ingin melihat wajah perempuan itu.
Siapakah dia? Penunggu rumah itu? Setahu Damian tidak ada hantu perempuan yang menunggu rumah itu. Beberapa yang pernah Damian lihat ketika masa kanak-kanak tetapi tak pernah ada perempuan dengan gaun kesumba yang gaunnya sudah usang meski bekas-bekas kemewahan masih terlihat.
Lalu apa maunya dia? Mengapa ia muncul di antara alam setengah sadarnya?
Korban pembunuhan? Damian mencoba mengingat beberapa kejadian di rumah itu. Tak pernah ada cerita soal kematian yang mencurigakan. Meski terjadi perselisihan keluarga, tak sampai terjadi pertumpahan darah.
Otak Damian lelah. Ia tak menemukan jawabannya. Ia tak pernah melihat perempuan itu. Akhirnya Damian menarik selimutnya.
***
Esoknya Damian terbangun mendengar suara Adzan subuh. Benaknya masih digelayuti bayangan perempuan bergaun kesumba itu. Di luar kamarnya masih gelap. Damian beranjak dari tempat tidur menuju pintu kamar. Memutar kunci lalu membuka pintu. Keranjang sampah yang berada di depan kamarnya berpindah ke depan pintu kamar lain. Isinya berhamburan dimana-mana.
Lalu Damian berjalan keluar kamar. Memeriksa pintu yang menuju balkon, letaknya tak jauh dari kamarnya. Bulu-bulu kucing berserakan di atas sofa, sebagian di lantai.
Jantung Damian seperti berhenti sekian detik. Jadi kejadian semalam bukan halusinasi. Suara kucing yang mengeong ketakutan, suara bak sampah ditendang dan lolong anjing yang panjang….
Damian membalikkan badannya, berjalan kea rah kamarnya. Lalu ia masuk ke kamar mandi dan berwudhu. Pagi ini sholat subuhnya lebih lama dari biasanya. Damian tahu kemana dan kepada siapa ia meminta pertolongan dan perlindungan.
Selesai sholat Damian mematikan AC, lalu membuka tirai jendela kamarnya. Membuka jendela kamarnya. Matanya berhenti ketika melihat kalender di dinding tak jauh dari jendela kamarnya. Ada lingkaran merah di angka 16 yang ternyata jatuh pada hari Kamis.
Tak jauh dari jendela Damian menemukan beberapa helai rontokan rambut berwana hitam berkilau dan panjang. Juga sobekan kain berwarna merah.
Tubuh Damian seperti dipaku…. n
Lampung Post, Minggu, 14 Juli 2013
No comments:
Post a Comment