Cerpen Maria Magdalena Bhoernomo
PAGI-PAGI, begitu bangun dari tidurnya, Egono tiba-tiba berteriak-teriak. “Ibu! Aku ingin menjadi raksasa!”
Teriakan putra bungsuku yang umurnya baru 5 tahun itu membuatku terkejut dan kemudian terpana. Kepalaku mendadak dipenuhi tanda tanya: "Kenapa anakku tiba-tiba ingin menjadi raksasa? Apa dan siapa yang telah mempengaruhinya sehingga berkeinginan yang sangat aneh itu? Apakah mungkin dia sudah pernah mengenal atau bertemu dengan raksasa? Menurutnya, seperti apakah raksasa itu?”
Lantas segera kusuruh Egono mandi. Dan sambil mengawasinya mandi, aku mencoba bertanya dengan lembut. “Memangnya kamu sudah tahu seperti apa raksasa itu?”
Sambil menyabuni tubuhnya, Egono menjawab bahwa dia semalam bermimpi bertemu dengan raksasa yang bertubuh besar dan kuat. Kemudian dia bertarung dengan raksasa itu dan dia kalah. “Aku ingin menjadi raksasa paling besar dan kuat agar tidak kalah lagi.”
Aku tersenyum geli. Jelas sudah anakku sedang terobsesi akibat bermimpi aneh. Obsesi itu bisa saja berkembang dan menjelma menjadi perilaku, oleh karenanya aku harus menjaganya agar tetap hidup normal sebagaimana umumnya seorang anak. Tapi ternyata Egono semakin ingin menjadi raksasa. Siangnya, sepulang dari Taman Kanak-kanak, dia kembali berteriak-teriak sambil mencariku di dapur.
“Ibu! Aku ingin menjadi raksasa!”
Saat itu aku sedang memasak di dapur. Aku langsung menyuruhnya berganti pakaian. Sambil berganti pakaian, dia berkata lagi ingin menjadi raksasa. “Saya ingin menjadi raksasa seperti gambar yang banyak dipasang di mana-mana.”
“Gambar-gambar caleg, maksudmu?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Ya, mereka pasti sudah berhasil menjadi raksasa. Buktinya, gambar mereka sangat besar-besar.” Egono menjawab sambil mengambil segelas air minum di dalam kulkas.
“Mereka bukan raksasa,” aku mencoba memberinya pengertian. “Mereka sama dengan ayah dan ibu. Mereka sengaja membuat gambar besar-besar yang dipasang di mana-mana agar cepat dikenal oleh masyarakat dan kemudian masyarakat bersedia memilihnya dalam pemilu nanti.”
Egono tampak bingung mendengar penjelasanku. Maklumlah, dia memang baru 5 tahun. Belum mengerti masalah politik.
“Ibu salah. Mereka pasti raksasa! Buktinya, gambarnya sangat besar-besar.”
“Gambar mereka memang sengaja dicetak dalam ukuran besar. Tapi tubuh mereka sama dengan tubuh ayah dan ibu.”
Egono menggeleng mantap. “Ibu salah! Mereka itulah yang pernah bertarung denganku dalam mimpi. Mereka bisa menelan tubuhku, tapi kemudian dimuntahkannya. Aku ingin menjadi raksasa yang lebih besar dibanding mereka, agar aku bisa mengalahkan mereka.”
Kata-kata Egono membuatku geleng-geleng kepala. Betapa obsesi seorang anak memang bisa sangat aneh dan menggelikan. Mungkin dia bermimpi bertarung dengan gambar-gambar caleg yang memang berukuran sangat besar itu, kemudian sekarang punya keinginan menjadi raksasa yang lebih besar.
“Kalau kamu memang ingin menjadi raksasa, kamu harus rajin minum susu,” rayuku kemudian. Selama ini Egono tak mau minum susu, sehingga tubuhnya agak kurus. Sebagai ibu aku malu mempunyai anak balita yang bertubuh kurus, yang bisa dikira kurang gizi.
“Oke, Bu! Egono mau minum susu, biar cepat bisa menjadi raksasa yang lebih besar dibanding gambar-gambar caleg itu.”
Dengan hati lega aku kemudian segera membuatkan segelas susu untuk diminum Egono. Mungkin karena ingin menjadi raksasa, dia langsung menenggak segelas susu itu hingga habis tanpa sisa setetes pun.
“Nah, begitulah kalau mau menjadi raksasa, harus rajin minum susu,” komentarku dengan gembira.
Mulai sekarang aku tidak perlu repot-repot membujuknya untuk minum susu. Selama ini, kalau aku atau ayahnya memaksanya minum susu, dia malah sering mogok atau memberikan susunya kepada kucing-kucing yang berkumpul di rumah kami.
***
MENJELANG sore, ketika ayahnya pulang, Egono kembali berteriak bahwa dirinya ingin menjadi raksasa.
“Wah, hebat dong. Ayah akan punya anak bertubuh besar dan kuat.” Suamiku berkomentar dengan wajah ceria. “Kalau mau jadi raksasa, harus rajin minum susu.”
“Tadi Egono sudah menghabiskan satu gelas susu yang dibuat Ibu.”
Suamiku tersenyum ceria. “Eh, kenapa kamu ingin menjadi raksasa?”
Egono kemudian menceritakan mimpinya sambil menerawang.
Suamiku mengangguk-angguk sambil memperlihatkan mimik kagum. “Raksasa yang mengalahkan kamu pasti sangat besar. Sekarang Ayah mengerti kenapa kamu ingin menjadi raksasa yang lebih besar dibanding raksasa yang gambarnya di mana-mana itu.”
“Tapi kata Ibu, gambar-gambar besar yang dipasang di mana-mana itu bukan raksasa.” Egono bicara sambil melirikku.
“Ibu memang belum pernah bertemu atau mengenal mereka.” Suamiku menanggapi pengaduan Egono sambil melirikku dengan menahan senyum.
“Jadi Ayah sudah pernah bertemu dengan raksasa-raksasa itu?” tanya Egono.
“Ya, setiap hari Ayah bertemu dengan raksasa-raksasa itu, karena kantor Ayah berdekatan dengan kantor mereka.”
“Kapan-kapan ajak Egono ke kantor Ayah, biar bertemu dengan raksasa-raksasa itu.”
“Ya, nanti kalau kamu sudah berhasil menjadi raksasa yang lebih besar dibanding mereka.”
***
SORE itu aku menghadiri pertemuan arisan ibu-ibu PKK di rumah Bu RW. Ternyata ibu-ibu yang lain saling menceritakan tentang anaknya masing-masing yang juga ingin menjadi raksasa karena pernah bermimpi bertarung dengan raksasa-raksasa yang gambarnya besar-besar dan dipasang di banyak tempat terbuka itu.
Aku diam saja, tak perlu menceritakan tentang Egono yang juga ingin menjadi raksasa. Cerita mereka sudah cukup membuktikan bahwa gambar-gambar caleg dengan ukuran besar-besar itu telah menimbulkan obsesi aneh bagi banyak anak. Ini memang aneh. Tapi rasanya masuk akal kalau anak-anak terobsesi yang aneh-aneh setelah sering memperhatikan gambar-gambar caleg berukuran besar yang semakin banyak di pasang di banyak tempat terbuka. Anak-anak belum mengeri politik dan karena itu tidak mengerti pula kenapa banyak caleg menghambur-hamburkan uangnya untuk mencetak gambar besar-besar seperti itu.
“Kenapa sejak tadi diam saja, Bu? Apakah Egono tidak ingin menjadi raksasa seperti anak-anak yang lain?” tanya Bu RW tiba-tiba setelah memperhatikan aku yang sejak tadi diam saja mendengarkan obrolan ibu-ibu yang lain.
“Ya, Egono juga ingin menjadi raksasa, Bu. Katanya pernah bermimpi bertarung dengan gambar caleg yang besar-besar itu, Bu.” Akhirnya aku membuka mulut.
“Memang keterlaluan gambar-gambar caleg itu. Kenapa harus dibuat sangat besar-besar sehingga merusak pemandangan dan sekarang membuat anak-anak ingin menjadi raksasa?!” Bu RW tampak kesal.
“Ya, namanya kampanye, tujuannya agar dikenal dan dipilih masyarakat, ya harus memasang gambar-gambar yang sangat besar, Bu.” Aku mencoba memberi pengertian tentang perlunya kampanye bagi caleg-caleg untuk memenangkan pemilu nanti.
“Ya, semuanya memang ingin menang. Tapi kenapa tidak mencari cara lain yang lebih menarik bagi rakyat? Memangnya rakyat akan bersedia memilih mereka setelah melihat gambar mereka besar-besar dipasang di mana-mana?!”
“Itulah perbedaan antara rakyat dengan calon wakil rakyat, Bu. Bagi rakyat, mungkin lebih menarik kalau caleg bersedia memberikan bantuan dana untuk membangunan jalan-jalan dan gang-gang di desa.”
Bu RW tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. “Apa mungkin munculnya banyak gambar caleg yang besar-besar itu sebagai indikasi akan munculnya politik raksasa?”
“Maksud Bu RW?” aku tiba-tiba penasaran dengan istilah “politik raksasa” yang dilontarkan Bu RW.
“Maksud saya, mungkin caleg-caleg sengaja berlomba-lomba memasang gambarnya yang sangat besar-besar itu karena mereka sedang terobsesi ingin menjadi raksasa.”
“Kalau begitu, caleg-caleg itu sama dengan anak-anak, dong.”
“Ya, mungkin mereka juga ingin menjadi raksasa yang bisa menelan apa saja setelah nanti menang pemilu, makanya memasang gambar-gambar besar.”
Aku menahan geli. Kata-kata Bu RW tampak sinis. Dan rasanya memang wajar jika rakyat bersikap sinis kepada caleg-caleg yang memasang gambar besar-besar itu.
***
MALAMNYA, aku bersama suami menyaksikan berita teve. Egono sudah tidur di kamarnya. Tiba-tiba muncul berita menghebohkan dari sejumlah daerah. Banyak anak yang tiba-tiba berperilaku seperti raksasa. Mereka menelan makanan dan minum susu dalam porsi yang berlebihan karena ingin cepat-cepat bisa menjadi raksasa. Bahkan sejumlah anak terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena terlalu kekenyangan sampai perutnya menggelembung sehabis minum belasan gelas susu dan sejumlah potong roti.
Aparat keamanan kemudian bertindak cepat untuk mencegah lebih banyak anak yang ingin meniru perilaku raksasa. Gambar-gambar caleg berukuran besar-besar, bahkan gambar presiden dan wakil presiden berukuran raksasa yang dipasang di banyak tempat segera diambil oleh regu polisi.
Tindakan tegas aparat keamanan itu didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalangan pakar politik dan sosial serta psikiater juga mendukung tindakan aparat keamanan yang telah mengambil gambar-gambar caleg berukuran besar-besar.
Dalam acara talk show yang ditayangkan sebuah stasiun televisi, ketua lembaga perlindungan anak mendesak presiden dan wakil presiden serta semua caleg untuk mengerti dampak negatif pemasangan gambar-gambar besar di tempat-tempat terbuka.
“Banyaknya anak yang ingin menjadi raksasa gara-gara terobsesi gambar-gambar berukuran raksasa di banyak tempat sudah cukup menjadi bukti bahwa sikap berlebih-lebihan dalam kampanye politik harus ditolak. Semua pihak pasti tidak ingin bangsa kita di masa depan menjadi bangsa raksasa.” Penyiar teve mencoba merumuskan pesan yang muncul dari acara talk show yang dipandunya.
Aku dan suami tiba-tiba dilanda cemas. Jangan-jangan Egono besok pagi tiba-tiba berperilaku seperti raksasa. Kami sangat cemas jika Egono terlalu banyak makan dan minum sehingga kekenyangan dan terpaksa kami larikan ke rumah sakit.
Kecemasan betul-betul mendera hati kami, sehingga kami tidak bisa tidur. Dan menjelang fajar, hpku dan hp suamiku bergetar-getar. Kami masing-masing terpaksa menerima call yang mungkin sangat penting.
“Aduh, saya dan suami saya tidak bisa tidur, gara-gara mencemaskan anak kami. Terus terang, tadi sebelum tidur anak kami mampu menghabiskan lima gelas susu dan lima potong roti tawar,” tutur adikku lewat hp dengan suara tegang.
“Ya, sama saja, aku dan suami juga sangat cemas dan sampai sekarang belum bisa tidur. Kami juga mencemaskan Egono, karena dia juga ingin menjadi raksasa,” sahutku dengan menahan rasa tegang. Dan setelah adikku menutup call, hp langsung kuletakkan kembali di dekat bantal.
Suamiku tampak masih serius mendengarkan kata-kata entah siapa yang meneleponnya. Setelah hubungan diputus, suamiku kembali meletakkan hpnya di dekat bantal, kemudian berkata kesal sambil memelukku mesra. “Si Joni, rekan kerjaku itu lho yang barusan nelpon. Aku tidak mau menanggapinya, karena aku juga sangat cemas. Katanya, anak-anaknya dan anak-anak semua tetangganya sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena kesurupan makhluk gaib yang mengaku sebagai raksasa dari neraka jahanam.”
Aku diam saja sambil memeluk suamiku. Tubuhku tiba-tiba menggigil ketakutan. Kubayangkan Egono dan anak-anak tetangga kami semuanya juga tiba-tiba kesurupan makluk gaib yang mengaku raksasa dari neraka jahanam. Dan tiba-tiba kami mendengar banyak tetangga berteriak-teriak dari rumah masing-masing.
“Tolong! Tolong! Anak kami kesurupan raksasa! Tolong!” n
Griya Pena Kudus, 2013
Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013
PAGI-PAGI, begitu bangun dari tidurnya, Egono tiba-tiba berteriak-teriak. “Ibu! Aku ingin menjadi raksasa!”
Teriakan putra bungsuku yang umurnya baru 5 tahun itu membuatku terkejut dan kemudian terpana. Kepalaku mendadak dipenuhi tanda tanya: "Kenapa anakku tiba-tiba ingin menjadi raksasa? Apa dan siapa yang telah mempengaruhinya sehingga berkeinginan yang sangat aneh itu? Apakah mungkin dia sudah pernah mengenal atau bertemu dengan raksasa? Menurutnya, seperti apakah raksasa itu?”
Lantas segera kusuruh Egono mandi. Dan sambil mengawasinya mandi, aku mencoba bertanya dengan lembut. “Memangnya kamu sudah tahu seperti apa raksasa itu?”
Sambil menyabuni tubuhnya, Egono menjawab bahwa dia semalam bermimpi bertemu dengan raksasa yang bertubuh besar dan kuat. Kemudian dia bertarung dengan raksasa itu dan dia kalah. “Aku ingin menjadi raksasa paling besar dan kuat agar tidak kalah lagi.”
Aku tersenyum geli. Jelas sudah anakku sedang terobsesi akibat bermimpi aneh. Obsesi itu bisa saja berkembang dan menjelma menjadi perilaku, oleh karenanya aku harus menjaganya agar tetap hidup normal sebagaimana umumnya seorang anak. Tapi ternyata Egono semakin ingin menjadi raksasa. Siangnya, sepulang dari Taman Kanak-kanak, dia kembali berteriak-teriak sambil mencariku di dapur.
“Ibu! Aku ingin menjadi raksasa!”
Saat itu aku sedang memasak di dapur. Aku langsung menyuruhnya berganti pakaian. Sambil berganti pakaian, dia berkata lagi ingin menjadi raksasa. “Saya ingin menjadi raksasa seperti gambar yang banyak dipasang di mana-mana.”
“Gambar-gambar caleg, maksudmu?” tanyaku dengan kening berkerut.
“Ya, mereka pasti sudah berhasil menjadi raksasa. Buktinya, gambar mereka sangat besar-besar.” Egono menjawab sambil mengambil segelas air minum di dalam kulkas.
“Mereka bukan raksasa,” aku mencoba memberinya pengertian. “Mereka sama dengan ayah dan ibu. Mereka sengaja membuat gambar besar-besar yang dipasang di mana-mana agar cepat dikenal oleh masyarakat dan kemudian masyarakat bersedia memilihnya dalam pemilu nanti.”
Egono tampak bingung mendengar penjelasanku. Maklumlah, dia memang baru 5 tahun. Belum mengerti masalah politik.
“Ibu salah. Mereka pasti raksasa! Buktinya, gambarnya sangat besar-besar.”
“Gambar mereka memang sengaja dicetak dalam ukuran besar. Tapi tubuh mereka sama dengan tubuh ayah dan ibu.”
Egono menggeleng mantap. “Ibu salah! Mereka itulah yang pernah bertarung denganku dalam mimpi. Mereka bisa menelan tubuhku, tapi kemudian dimuntahkannya. Aku ingin menjadi raksasa yang lebih besar dibanding mereka, agar aku bisa mengalahkan mereka.”
Kata-kata Egono membuatku geleng-geleng kepala. Betapa obsesi seorang anak memang bisa sangat aneh dan menggelikan. Mungkin dia bermimpi bertarung dengan gambar-gambar caleg yang memang berukuran sangat besar itu, kemudian sekarang punya keinginan menjadi raksasa yang lebih besar.
“Kalau kamu memang ingin menjadi raksasa, kamu harus rajin minum susu,” rayuku kemudian. Selama ini Egono tak mau minum susu, sehingga tubuhnya agak kurus. Sebagai ibu aku malu mempunyai anak balita yang bertubuh kurus, yang bisa dikira kurang gizi.
“Oke, Bu! Egono mau minum susu, biar cepat bisa menjadi raksasa yang lebih besar dibanding gambar-gambar caleg itu.”
Dengan hati lega aku kemudian segera membuatkan segelas susu untuk diminum Egono. Mungkin karena ingin menjadi raksasa, dia langsung menenggak segelas susu itu hingga habis tanpa sisa setetes pun.
“Nah, begitulah kalau mau menjadi raksasa, harus rajin minum susu,” komentarku dengan gembira.
Mulai sekarang aku tidak perlu repot-repot membujuknya untuk minum susu. Selama ini, kalau aku atau ayahnya memaksanya minum susu, dia malah sering mogok atau memberikan susunya kepada kucing-kucing yang berkumpul di rumah kami.
***
MENJELANG sore, ketika ayahnya pulang, Egono kembali berteriak bahwa dirinya ingin menjadi raksasa.
“Wah, hebat dong. Ayah akan punya anak bertubuh besar dan kuat.” Suamiku berkomentar dengan wajah ceria. “Kalau mau jadi raksasa, harus rajin minum susu.”
“Tadi Egono sudah menghabiskan satu gelas susu yang dibuat Ibu.”
Suamiku tersenyum ceria. “Eh, kenapa kamu ingin menjadi raksasa?”
Egono kemudian menceritakan mimpinya sambil menerawang.
Suamiku mengangguk-angguk sambil memperlihatkan mimik kagum. “Raksasa yang mengalahkan kamu pasti sangat besar. Sekarang Ayah mengerti kenapa kamu ingin menjadi raksasa yang lebih besar dibanding raksasa yang gambarnya di mana-mana itu.”
“Tapi kata Ibu, gambar-gambar besar yang dipasang di mana-mana itu bukan raksasa.” Egono bicara sambil melirikku.
“Ibu memang belum pernah bertemu atau mengenal mereka.” Suamiku menanggapi pengaduan Egono sambil melirikku dengan menahan senyum.
“Jadi Ayah sudah pernah bertemu dengan raksasa-raksasa itu?” tanya Egono.
“Ya, setiap hari Ayah bertemu dengan raksasa-raksasa itu, karena kantor Ayah berdekatan dengan kantor mereka.”
“Kapan-kapan ajak Egono ke kantor Ayah, biar bertemu dengan raksasa-raksasa itu.”
“Ya, nanti kalau kamu sudah berhasil menjadi raksasa yang lebih besar dibanding mereka.”
***
SORE itu aku menghadiri pertemuan arisan ibu-ibu PKK di rumah Bu RW. Ternyata ibu-ibu yang lain saling menceritakan tentang anaknya masing-masing yang juga ingin menjadi raksasa karena pernah bermimpi bertarung dengan raksasa-raksasa yang gambarnya besar-besar dan dipasang di banyak tempat terbuka itu.
Aku diam saja, tak perlu menceritakan tentang Egono yang juga ingin menjadi raksasa. Cerita mereka sudah cukup membuktikan bahwa gambar-gambar caleg dengan ukuran besar-besar itu telah menimbulkan obsesi aneh bagi banyak anak. Ini memang aneh. Tapi rasanya masuk akal kalau anak-anak terobsesi yang aneh-aneh setelah sering memperhatikan gambar-gambar caleg berukuran besar yang semakin banyak di pasang di banyak tempat terbuka. Anak-anak belum mengeri politik dan karena itu tidak mengerti pula kenapa banyak caleg menghambur-hamburkan uangnya untuk mencetak gambar besar-besar seperti itu.
“Kenapa sejak tadi diam saja, Bu? Apakah Egono tidak ingin menjadi raksasa seperti anak-anak yang lain?” tanya Bu RW tiba-tiba setelah memperhatikan aku yang sejak tadi diam saja mendengarkan obrolan ibu-ibu yang lain.
“Ya, Egono juga ingin menjadi raksasa, Bu. Katanya pernah bermimpi bertarung dengan gambar caleg yang besar-besar itu, Bu.” Akhirnya aku membuka mulut.
“Memang keterlaluan gambar-gambar caleg itu. Kenapa harus dibuat sangat besar-besar sehingga merusak pemandangan dan sekarang membuat anak-anak ingin menjadi raksasa?!” Bu RW tampak kesal.
“Ya, namanya kampanye, tujuannya agar dikenal dan dipilih masyarakat, ya harus memasang gambar-gambar yang sangat besar, Bu.” Aku mencoba memberi pengertian tentang perlunya kampanye bagi caleg-caleg untuk memenangkan pemilu nanti.
“Ya, semuanya memang ingin menang. Tapi kenapa tidak mencari cara lain yang lebih menarik bagi rakyat? Memangnya rakyat akan bersedia memilih mereka setelah melihat gambar mereka besar-besar dipasang di mana-mana?!”
“Itulah perbedaan antara rakyat dengan calon wakil rakyat, Bu. Bagi rakyat, mungkin lebih menarik kalau caleg bersedia memberikan bantuan dana untuk membangunan jalan-jalan dan gang-gang di desa.”
Bu RW tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. “Apa mungkin munculnya banyak gambar caleg yang besar-besar itu sebagai indikasi akan munculnya politik raksasa?”
“Maksud Bu RW?” aku tiba-tiba penasaran dengan istilah “politik raksasa” yang dilontarkan Bu RW.
“Maksud saya, mungkin caleg-caleg sengaja berlomba-lomba memasang gambarnya yang sangat besar-besar itu karena mereka sedang terobsesi ingin menjadi raksasa.”
“Kalau begitu, caleg-caleg itu sama dengan anak-anak, dong.”
“Ya, mungkin mereka juga ingin menjadi raksasa yang bisa menelan apa saja setelah nanti menang pemilu, makanya memasang gambar-gambar besar.”
Aku menahan geli. Kata-kata Bu RW tampak sinis. Dan rasanya memang wajar jika rakyat bersikap sinis kepada caleg-caleg yang memasang gambar besar-besar itu.
***
MALAMNYA, aku bersama suami menyaksikan berita teve. Egono sudah tidur di kamarnya. Tiba-tiba muncul berita menghebohkan dari sejumlah daerah. Banyak anak yang tiba-tiba berperilaku seperti raksasa. Mereka menelan makanan dan minum susu dalam porsi yang berlebihan karena ingin cepat-cepat bisa menjadi raksasa. Bahkan sejumlah anak terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena terlalu kekenyangan sampai perutnya menggelembung sehabis minum belasan gelas susu dan sejumlah potong roti.
Aparat keamanan kemudian bertindak cepat untuk mencegah lebih banyak anak yang ingin meniru perilaku raksasa. Gambar-gambar caleg berukuran besar-besar, bahkan gambar presiden dan wakil presiden berukuran raksasa yang dipasang di banyak tempat segera diambil oleh regu polisi.
Tindakan tegas aparat keamanan itu didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalangan pakar politik dan sosial serta psikiater juga mendukung tindakan aparat keamanan yang telah mengambil gambar-gambar caleg berukuran besar-besar.
Dalam acara talk show yang ditayangkan sebuah stasiun televisi, ketua lembaga perlindungan anak mendesak presiden dan wakil presiden serta semua caleg untuk mengerti dampak negatif pemasangan gambar-gambar besar di tempat-tempat terbuka.
“Banyaknya anak yang ingin menjadi raksasa gara-gara terobsesi gambar-gambar berukuran raksasa di banyak tempat sudah cukup menjadi bukti bahwa sikap berlebih-lebihan dalam kampanye politik harus ditolak. Semua pihak pasti tidak ingin bangsa kita di masa depan menjadi bangsa raksasa.” Penyiar teve mencoba merumuskan pesan yang muncul dari acara talk show yang dipandunya.
Aku dan suami tiba-tiba dilanda cemas. Jangan-jangan Egono besok pagi tiba-tiba berperilaku seperti raksasa. Kami sangat cemas jika Egono terlalu banyak makan dan minum sehingga kekenyangan dan terpaksa kami larikan ke rumah sakit.
Kecemasan betul-betul mendera hati kami, sehingga kami tidak bisa tidur. Dan menjelang fajar, hpku dan hp suamiku bergetar-getar. Kami masing-masing terpaksa menerima call yang mungkin sangat penting.
“Aduh, saya dan suami saya tidak bisa tidur, gara-gara mencemaskan anak kami. Terus terang, tadi sebelum tidur anak kami mampu menghabiskan lima gelas susu dan lima potong roti tawar,” tutur adikku lewat hp dengan suara tegang.
“Ya, sama saja, aku dan suami juga sangat cemas dan sampai sekarang belum bisa tidur. Kami juga mencemaskan Egono, karena dia juga ingin menjadi raksasa,” sahutku dengan menahan rasa tegang. Dan setelah adikku menutup call, hp langsung kuletakkan kembali di dekat bantal.
Suamiku tampak masih serius mendengarkan kata-kata entah siapa yang meneleponnya. Setelah hubungan diputus, suamiku kembali meletakkan hpnya di dekat bantal, kemudian berkata kesal sambil memelukku mesra. “Si Joni, rekan kerjaku itu lho yang barusan nelpon. Aku tidak mau menanggapinya, karena aku juga sangat cemas. Katanya, anak-anaknya dan anak-anak semua tetangganya sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena kesurupan makhluk gaib yang mengaku sebagai raksasa dari neraka jahanam.”
Aku diam saja sambil memeluk suamiku. Tubuhku tiba-tiba menggigil ketakutan. Kubayangkan Egono dan anak-anak tetangga kami semuanya juga tiba-tiba kesurupan makluk gaib yang mengaku raksasa dari neraka jahanam. Dan tiba-tiba kami mendengar banyak tetangga berteriak-teriak dari rumah masing-masing.
“Tolong! Tolong! Anak kami kesurupan raksasa! Tolong!” n
Griya Pena Kudus, 2013
Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013