Cerpen Muhammad Harya Ramdhoni
SIAPA pernah bayangkan seonggok jasad dewa merupakan singgasanaku kini? Dulu ia dipuja dan disembah. Tempat manusia dari berbagai kaum dan kasta memohon kasih sayang dan karunia-Nya. Mereka menyebutnya Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua. Berdiri tegak meneduhi ibu kota Kerajaan Pegunungan Tak Bernama di selatan pulau Sumatera. Setiap pagi dan petang dayang-dayang istana persembahkan wangi kemenyan berkepul-kepul dan secawan air bunga tujuh warna ke hadapannya. Lalu diam-diam ia hirup aroma sedap itu hingga tak bersisa. Tinggalkan bunga aneka warna yang jadi layu dan akhirnya mati kerontang. Tak ketinggalan harum dupa dan kemenyan pun lesap entah kemana.
Demikianlah ia dipercaya hidup dan bernyawa. Memiliki ruh sebagaimana manusia dan hewan yang hilir mudik di sekitarnya. Diyakini berperasaan dan berkehendak. Seperti makhluk mahakuasa yang menentukan hidup dan mati setiap orang serta dunia di sekelilingnya. Di bawah kaki Gunung Pesagi sembilan ratus tahun lalu ia adalah seperti yang kugambarkan kepada kalian. Di bawah kaki Gunung Pesagi sembilan ratus tahun lalu ia adalah sebatang pokok suci yang menjulang menantang langit. Pancarkan racun dan penawarnya secara bersamaan bagi sesiapa saja yang membutuhkannya. Namun di bawah kaki pegunungan ini sembilan ratus tahun kemudian kisahnya tak lagi sama. Ia tak lebih baik dengan alas kakimu kini.
***
JANGAN dengarkan perihal diriku dari mulut lelaki yang mengukuhkan penistaan terhadapku! Ia dan lima kakek moyangnya adalah para lelaki durjana yang menjatuhkan harga diriku sebagai alas pantat. Sembilan ratus tahun lalu aku adalah dewa yang menguasai seisi negeri. Diriku adalah simbol resmi sebuah negeri berdaulat. Galilah puing-puing bekas ibu kota Kerajaan Pegunungan Tak Bernama maka akan kalian temui ratusan guci dan lempeng emas dan perak bergambar diriku. Tambo-tambo2 dari kulit kayu dan hewan telah berujar dengan kagum tentang diriku, Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua.
Seluruh wangsa telah persembahkan ketaatan dan ketakziman keharibaanku sejak tiga ribu tahun sebelum diriku dipermalukan sebagai tempat penobatan temurun lima lelaki berpikiran mesum. Keberadaanku ialah kunci rahasia asal usul nenek moyang pendiri Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Hidupku berkait pula dengan simpang siur sejarah kerajaan mereka. Maka tak heran bila tiada seorang pun berani mencemooh keberadaanku di negeri ini. Setiap jiwa yang bermukim di sini memperlakukanku layaknya dewata sendiri. Mereka layani diriku penuh cinta disertai segala sikap penghambaan yang mereka punya. Pada masa jayaku telah kusaksikan betapa makhluk bernama manusia tak hanya memendam hasrat sebagai penakluk. Alam bawah sadar mereka juga menyimpan rindu untuk ditaklukkan. Sifat-sifat hamba sahaya nan laten muncul dari dalam diri mereka ketika pemujaan terhadap diriku berlangsung dengan sempurna. Lucuti segenap harga diri dan maruah mereka sebagai wakil sebenarnya Maha Dewa di atas dunia ini. Pemujaan terhadap diriku, tanpa mereka sadari, adalah kekalahan akal sehat oleh sikap penghambaan mereka yang terpendam.
Kedatangan lima lelaki asing berpikiran pesong runtuhkan digdaya diriku di hadapan seisi negeri. Mereka sebarkan benih kebencian atas diriku. Menuduhku sebagai biang keladi kekerdilan jiwa dan alam pikir seluruh rakyat. Memang begitulah adanya. Wangsa penghuni Kerajaan Pegunungan Tak Bernama mencipta diriku sebagai dewa sambil mengagungkan kebodohannya sendiri. Sementara lima lelaki berwatak pesong terus menerus menyerang diriku tanpa ampun. Hingga kerajaan itu pun goyah dan akhirnya runtuh tak bersisa melalui sebuah perang saudara yang teramat mengerikan untuk dikisahkan bahkan dalam syair pilihan gubahan pujangga agung sekalipun. Kejatuhan kerajaan itu siratkan betapa masa hidupku tak lama lagi akan berakhir. Aku meraung memohon pertolongan penguasa dan seluruh rakyat Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Aku berteriak memohon iba. Tapi tak seorang pun mendengar jerit putus asa yang kupekikkan. Setiap orang tengah berjuang mempertahankan hidupnya masing-masing. Setiap orang yang berani menentang penyebaran ajaran agama baru yang dilisankan kelima lelaki berwatak pesong mesti bersedia menerima ajal atau terusir dari tanah kelahiran sendiri.
Kepada putri kesayangan penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama kuserahkan nasibku. Sebab hanya dengannya aku dapat bercakap-cakap. Kusapa dirinya tiap kali bertandang menyembahku. Suara batinku telah menembus nurani terdalamnya sejak sang putri masih bermukim di dalam rahim ibunya. Suara gaibku menyapa dirinya melalui setiap ranting, batang, dan daun yang berkecambah dari dalam diriku. Dialah satu-satunya hamba sekaligus teman karib yang setia menemaniku di saat-saat terakhir. Bahkan ibundanya, sang ratu kerajaan itu, sama sekali tak mampu menjalin kekariban mistik denganku. Hatinya terlalu angkuh untuk menembus alam arwah yang menuntut kesucian tindak dan pikir. Secara memalukan pula ia lari tungang langgang meninggalkan diriku sendirian di bawah ancaman mata pedang lengkung milik lima lelaki berwatak pesong. Dasar hamba sahaya tak tahu sopan santun!
Pada pemujaan terakhir penguasa dan rakyat atas diriku di bulan bakha, tepatnya seminggu sebelum perang besar meletus, kutumpahkan kepadanya segala kegalauan hatiku selaku dewa tertinggi Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Saat itu bulan purnama berwarna semerah darah. Nujumkan tumpah ruah darah manusia yang tak lama lagi akan terjadi. Putri penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama membalas jerit putus asaku dengan duka cita yang tak kalah pilu. Kami bagaikan tuan dan hamba yang saling berbalas pantun. Rima yang terucap dedahkan luka dan harga diri yang remuk redam. Menyeret pula persinggungan antara nenek moyangnya dengan diriku sejak ribuan tahun silam. Pada akhirnya kami hanya bisa saling besarkan hati masing-masing tanpa tahu apa yang mesti diperbuat untuk membela diri melawan keangkuhan lima lelaki dan segenap pengikutnya.
Marah dan kecewa meruyak dalam diriku ketika kutahu putri penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama akhirnya memalingkan pula wajahnya dari haribaanku. Ia pilih dewa lain yang diusung lima lelaki berperawakan tak lumrah. Padahal ia satu-satunya harapanku agar diriku kekal sebagai sesembahan penduduk Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Ia satu-satunya hambaku yang mahir bercakap-cakap denganku tanpa dibatasi hubungan antara dewa dengan hambanya. Kupikir ia akan menjadi juru bicaraku dari alam arwah. Namun semua itu ia hancurkan dengan tega hati, demi menebus cinta buta bersama salah seorang lelaki aneh berwatak pesong. Tinggallah aku sendiri menunggu penugalan menjelang.
Kedua dahanku memang istimewa. Dahan pertama dapat timbulkan luka nanah di tubuh siapa pun yang dengan sengaja maupun tidak sentuhkan kulitnya kepadaku. Sementara dahan kedua mampu sembuhkan luka itu dengan menempelkan bagian tubuh yang sakit. Sayangnya, dua keistimewaan itu seolah tak berarti saat diriku harus menghadapi lima lelaki kalap dengan hasrat membunuh tak terbatas. Pukulan demi pukulan belati lengkung milik mereka akhiri kisah hidupku. Diriku remuk redam tanpa perlawanan sama sekali. Apakah yang bisa dilakukan sebatang pohon untuk menghindari amuk seorang ayah dan keempat anak lelakinya yang bermata gelap? Tubuhku rubuh ke tanah disertai sorak sorai ribuan rakyat penghuni Kerajaan Pegunungan Tak Bernama yang telah bersalin keyakinan. Kemudian, lelaki setengah baya yang merupakan ayah dari empat lelaki keparat itu menginjak-injak diriku yang telah terbujur kaku sembari memaki dan menudingku di hadapan khalayak. Sungguh, perbuatan lelaki tua itu menista diriku tanpa ampun. Aku memang hanya dewa sesembahan suku pegunungan yang terkucil. Namun, betapa pun itu aku masih memiliki harga diri kedewaan. Diriku telah disembah oleh para puyang penghuni dataran tinggi ini sejak dua ribu seratus tahun sebelum lima lelaki berpikiran pesong itu hadir disini, di tanah istirahat para dewa. Telah kusaksikan puluhan wangsa jatuh bangun silih berganti menguasai negeri ini. Telah kusaksikan pula ribuan perang pembinasaan dan penaklukan dilakukan tanpa segan dan takut. Semua atas nama diriku atau atas nama dewa-dewa lain. Diriku adalah saksi bisu sejarah kebangkitan dan keruntuhan sebuah wangsa. Semestinya mereka, para bekas hambaku, memelihara diriku dengan hormat walau telah beralih keyakinan. Bukannya malah menciderai hak istimewaku sebagai dewa. Ataukah ini bagian dari ajaran lima lelaki berwatak pesong yang menolak menghormati setiap tradisi kuno negeri-negeri yang mereka perangi?
***
BERHATI-HATILAH dengan bujuk rayunya. Atau kesombongannya kala dendangkan kembali berbagai dongeng muskil tentang masa jayanya selaku dewa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Ia seret kalian agar, setidaknya, bersimpati dan menyatakan kagum pada derajat kedewaannya. Kemudian pelan-pelan tanpa kalian sadari akan tersesat ke jalannya. Menyembah dan memuja dirinya seperti yang pernah dilakukan nenek moyang kita pada masa kegelapan adalah sesat pikir dan syirik belaka. Di bawah kaki Pesagi sembilan ratus tahun lalu para puyang telah berikrar mencampakkannya ke dalam tungku perapian masa lalu. Mereka menggantinya dengan Tuhan tunggal tanpa pesaing. Adalah kebodohan seekor keledai bila kalian menyembah dan mengimaninya setelah sembilan ratus tahun berselang. Setelah apa yang dilakukan nenek moyang kita demi merubah wajah negeri di bawah kaki Pesagi ini agar menjadi manusiawi dan bersahabat. Biarkan ia terbujur kaku menjadi alas pantat. Sebagai simbol tunduk dan takluk sebuah negeri penyembah berhala pada syiar para lelaki pemanggul ajaran Jalan Yang Lurus.
***
DI BAWAH kaki Pesagi sembilan ratus tahun kemudian, tepatnya menjelang dini hari, lima pemuda keturunan lima lelaki penugal Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua diam-diam memasuki bilik tempat penyimpanan jasad pohon keramat. Peringatan ayah dan paman mereka sama sekali tak diindahkan.
"Berikan golokmu," pinta pemuda pertama kepada pemuda kedua.
Pemuda kedua ulurkan apa yang dipinta sepupunya tanpa mengucap sepatah kata.
"Pelan-pelan, dong!" pemuda ketiga mengingatkan ketika melihat pemuda pertama tergesa-gesa membelah kayu bekas Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua.
"Apa betul benda ini bisa bikin kita kebal dan juga manjur untuk pelet perawan?" tanya pemuda keempat dengan nada suara gemetar.
"Bergantung pada tingkat imanmu kepada dirinya atau kepada Tuhan?" pemuda kelima malah balik bertanya. Nada suaranya terdengar sinis bukan kepalang.
Kuala Lumpur-Kota Karang, Mei 2012
Catatan
1. Gunung Pesagi merupakan gunung tertinggi di Lampung yang terletak di Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
2. Buku silsilah keturunan bangsawan Lampung Sai Batin.
Lampung Post, Minggu,29 Juli 2012
SIAPA pernah bayangkan seonggok jasad dewa merupakan singgasanaku kini? Dulu ia dipuja dan disembah. Tempat manusia dari berbagai kaum dan kasta memohon kasih sayang dan karunia-Nya. Mereka menyebutnya Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua. Berdiri tegak meneduhi ibu kota Kerajaan Pegunungan Tak Bernama di selatan pulau Sumatera. Setiap pagi dan petang dayang-dayang istana persembahkan wangi kemenyan berkepul-kepul dan secawan air bunga tujuh warna ke hadapannya. Lalu diam-diam ia hirup aroma sedap itu hingga tak bersisa. Tinggalkan bunga aneka warna yang jadi layu dan akhirnya mati kerontang. Tak ketinggalan harum dupa dan kemenyan pun lesap entah kemana.
Demikianlah ia dipercaya hidup dan bernyawa. Memiliki ruh sebagaimana manusia dan hewan yang hilir mudik di sekitarnya. Diyakini berperasaan dan berkehendak. Seperti makhluk mahakuasa yang menentukan hidup dan mati setiap orang serta dunia di sekelilingnya. Di bawah kaki Gunung Pesagi sembilan ratus tahun lalu ia adalah seperti yang kugambarkan kepada kalian. Di bawah kaki Gunung Pesagi sembilan ratus tahun lalu ia adalah sebatang pokok suci yang menjulang menantang langit. Pancarkan racun dan penawarnya secara bersamaan bagi sesiapa saja yang membutuhkannya. Namun di bawah kaki pegunungan ini sembilan ratus tahun kemudian kisahnya tak lagi sama. Ia tak lebih baik dengan alas kakimu kini.
***
JANGAN dengarkan perihal diriku dari mulut lelaki yang mengukuhkan penistaan terhadapku! Ia dan lima kakek moyangnya adalah para lelaki durjana yang menjatuhkan harga diriku sebagai alas pantat. Sembilan ratus tahun lalu aku adalah dewa yang menguasai seisi negeri. Diriku adalah simbol resmi sebuah negeri berdaulat. Galilah puing-puing bekas ibu kota Kerajaan Pegunungan Tak Bernama maka akan kalian temui ratusan guci dan lempeng emas dan perak bergambar diriku. Tambo-tambo2 dari kulit kayu dan hewan telah berujar dengan kagum tentang diriku, Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua.
Seluruh wangsa telah persembahkan ketaatan dan ketakziman keharibaanku sejak tiga ribu tahun sebelum diriku dipermalukan sebagai tempat penobatan temurun lima lelaki berpikiran mesum. Keberadaanku ialah kunci rahasia asal usul nenek moyang pendiri Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Hidupku berkait pula dengan simpang siur sejarah kerajaan mereka. Maka tak heran bila tiada seorang pun berani mencemooh keberadaanku di negeri ini. Setiap jiwa yang bermukim di sini memperlakukanku layaknya dewata sendiri. Mereka layani diriku penuh cinta disertai segala sikap penghambaan yang mereka punya. Pada masa jayaku telah kusaksikan betapa makhluk bernama manusia tak hanya memendam hasrat sebagai penakluk. Alam bawah sadar mereka juga menyimpan rindu untuk ditaklukkan. Sifat-sifat hamba sahaya nan laten muncul dari dalam diri mereka ketika pemujaan terhadap diriku berlangsung dengan sempurna. Lucuti segenap harga diri dan maruah mereka sebagai wakil sebenarnya Maha Dewa di atas dunia ini. Pemujaan terhadap diriku, tanpa mereka sadari, adalah kekalahan akal sehat oleh sikap penghambaan mereka yang terpendam.
Kedatangan lima lelaki asing berpikiran pesong runtuhkan digdaya diriku di hadapan seisi negeri. Mereka sebarkan benih kebencian atas diriku. Menuduhku sebagai biang keladi kekerdilan jiwa dan alam pikir seluruh rakyat. Memang begitulah adanya. Wangsa penghuni Kerajaan Pegunungan Tak Bernama mencipta diriku sebagai dewa sambil mengagungkan kebodohannya sendiri. Sementara lima lelaki berwatak pesong terus menerus menyerang diriku tanpa ampun. Hingga kerajaan itu pun goyah dan akhirnya runtuh tak bersisa melalui sebuah perang saudara yang teramat mengerikan untuk dikisahkan bahkan dalam syair pilihan gubahan pujangga agung sekalipun. Kejatuhan kerajaan itu siratkan betapa masa hidupku tak lama lagi akan berakhir. Aku meraung memohon pertolongan penguasa dan seluruh rakyat Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Aku berteriak memohon iba. Tapi tak seorang pun mendengar jerit putus asa yang kupekikkan. Setiap orang tengah berjuang mempertahankan hidupnya masing-masing. Setiap orang yang berani menentang penyebaran ajaran agama baru yang dilisankan kelima lelaki berwatak pesong mesti bersedia menerima ajal atau terusir dari tanah kelahiran sendiri.
Kepada putri kesayangan penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama kuserahkan nasibku. Sebab hanya dengannya aku dapat bercakap-cakap. Kusapa dirinya tiap kali bertandang menyembahku. Suara batinku telah menembus nurani terdalamnya sejak sang putri masih bermukim di dalam rahim ibunya. Suara gaibku menyapa dirinya melalui setiap ranting, batang, dan daun yang berkecambah dari dalam diriku. Dialah satu-satunya hamba sekaligus teman karib yang setia menemaniku di saat-saat terakhir. Bahkan ibundanya, sang ratu kerajaan itu, sama sekali tak mampu menjalin kekariban mistik denganku. Hatinya terlalu angkuh untuk menembus alam arwah yang menuntut kesucian tindak dan pikir. Secara memalukan pula ia lari tungang langgang meninggalkan diriku sendirian di bawah ancaman mata pedang lengkung milik lima lelaki berwatak pesong. Dasar hamba sahaya tak tahu sopan santun!
Pada pemujaan terakhir penguasa dan rakyat atas diriku di bulan bakha, tepatnya seminggu sebelum perang besar meletus, kutumpahkan kepadanya segala kegalauan hatiku selaku dewa tertinggi Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Saat itu bulan purnama berwarna semerah darah. Nujumkan tumpah ruah darah manusia yang tak lama lagi akan terjadi. Putri penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama membalas jerit putus asaku dengan duka cita yang tak kalah pilu. Kami bagaikan tuan dan hamba yang saling berbalas pantun. Rima yang terucap dedahkan luka dan harga diri yang remuk redam. Menyeret pula persinggungan antara nenek moyangnya dengan diriku sejak ribuan tahun silam. Pada akhirnya kami hanya bisa saling besarkan hati masing-masing tanpa tahu apa yang mesti diperbuat untuk membela diri melawan keangkuhan lima lelaki dan segenap pengikutnya.
Marah dan kecewa meruyak dalam diriku ketika kutahu putri penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama akhirnya memalingkan pula wajahnya dari haribaanku. Ia pilih dewa lain yang diusung lima lelaki berperawakan tak lumrah. Padahal ia satu-satunya harapanku agar diriku kekal sebagai sesembahan penduduk Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Ia satu-satunya hambaku yang mahir bercakap-cakap denganku tanpa dibatasi hubungan antara dewa dengan hambanya. Kupikir ia akan menjadi juru bicaraku dari alam arwah. Namun semua itu ia hancurkan dengan tega hati, demi menebus cinta buta bersama salah seorang lelaki aneh berwatak pesong. Tinggallah aku sendiri menunggu penugalan menjelang.
Kedua dahanku memang istimewa. Dahan pertama dapat timbulkan luka nanah di tubuh siapa pun yang dengan sengaja maupun tidak sentuhkan kulitnya kepadaku. Sementara dahan kedua mampu sembuhkan luka itu dengan menempelkan bagian tubuh yang sakit. Sayangnya, dua keistimewaan itu seolah tak berarti saat diriku harus menghadapi lima lelaki kalap dengan hasrat membunuh tak terbatas. Pukulan demi pukulan belati lengkung milik mereka akhiri kisah hidupku. Diriku remuk redam tanpa perlawanan sama sekali. Apakah yang bisa dilakukan sebatang pohon untuk menghindari amuk seorang ayah dan keempat anak lelakinya yang bermata gelap? Tubuhku rubuh ke tanah disertai sorak sorai ribuan rakyat penghuni Kerajaan Pegunungan Tak Bernama yang telah bersalin keyakinan. Kemudian, lelaki setengah baya yang merupakan ayah dari empat lelaki keparat itu menginjak-injak diriku yang telah terbujur kaku sembari memaki dan menudingku di hadapan khalayak. Sungguh, perbuatan lelaki tua itu menista diriku tanpa ampun. Aku memang hanya dewa sesembahan suku pegunungan yang terkucil. Namun, betapa pun itu aku masih memiliki harga diri kedewaan. Diriku telah disembah oleh para puyang penghuni dataran tinggi ini sejak dua ribu seratus tahun sebelum lima lelaki berpikiran pesong itu hadir disini, di tanah istirahat para dewa. Telah kusaksikan puluhan wangsa jatuh bangun silih berganti menguasai negeri ini. Telah kusaksikan pula ribuan perang pembinasaan dan penaklukan dilakukan tanpa segan dan takut. Semua atas nama diriku atau atas nama dewa-dewa lain. Diriku adalah saksi bisu sejarah kebangkitan dan keruntuhan sebuah wangsa. Semestinya mereka, para bekas hambaku, memelihara diriku dengan hormat walau telah beralih keyakinan. Bukannya malah menciderai hak istimewaku sebagai dewa. Ataukah ini bagian dari ajaran lima lelaki berwatak pesong yang menolak menghormati setiap tradisi kuno negeri-negeri yang mereka perangi?
***
BERHATI-HATILAH dengan bujuk rayunya. Atau kesombongannya kala dendangkan kembali berbagai dongeng muskil tentang masa jayanya selaku dewa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Ia seret kalian agar, setidaknya, bersimpati dan menyatakan kagum pada derajat kedewaannya. Kemudian pelan-pelan tanpa kalian sadari akan tersesat ke jalannya. Menyembah dan memuja dirinya seperti yang pernah dilakukan nenek moyang kita pada masa kegelapan adalah sesat pikir dan syirik belaka. Di bawah kaki Pesagi sembilan ratus tahun lalu para puyang telah berikrar mencampakkannya ke dalam tungku perapian masa lalu. Mereka menggantinya dengan Tuhan tunggal tanpa pesaing. Adalah kebodohan seekor keledai bila kalian menyembah dan mengimaninya setelah sembilan ratus tahun berselang. Setelah apa yang dilakukan nenek moyang kita demi merubah wajah negeri di bawah kaki Pesagi ini agar menjadi manusiawi dan bersahabat. Biarkan ia terbujur kaku menjadi alas pantat. Sebagai simbol tunduk dan takluk sebuah negeri penyembah berhala pada syiar para lelaki pemanggul ajaran Jalan Yang Lurus.
***
DI BAWAH kaki Pesagi sembilan ratus tahun kemudian, tepatnya menjelang dini hari, lima pemuda keturunan lima lelaki penugal Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua diam-diam memasuki bilik tempat penyimpanan jasad pohon keramat. Peringatan ayah dan paman mereka sama sekali tak diindahkan.
"Berikan golokmu," pinta pemuda pertama kepada pemuda kedua.
Pemuda kedua ulurkan apa yang dipinta sepupunya tanpa mengucap sepatah kata.
"Pelan-pelan, dong!" pemuda ketiga mengingatkan ketika melihat pemuda pertama tergesa-gesa membelah kayu bekas Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua.
"Apa betul benda ini bisa bikin kita kebal dan juga manjur untuk pelet perawan?" tanya pemuda keempat dengan nada suara gemetar.
"Bergantung pada tingkat imanmu kepada dirinya atau kepada Tuhan?" pemuda kelima malah balik bertanya. Nada suaranya terdengar sinis bukan kepalang.
Kuala Lumpur-Kota Karang, Mei 2012
Catatan
1. Gunung Pesagi merupakan gunung tertinggi di Lampung yang terletak di Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
2. Buku silsilah keturunan bangsawan Lampung Sai Batin.
Lampung Post, Minggu,29 Juli 2012