: Rina
Cerpen Alex R. Nainggolan
APA aku pernah mengenal dirimu? Bertemu denganmu di suatu tempat, di sebuah tahun yang buruk; sehingga dirimu merupa de ja vu? Ketika asap de ja vu itu berkelebatan di kelenjar otakku. Semacam menyeret ingatan. Sayangnya, aku tak pernah lengkap untuk mengingatmu.
Jadi siapa namamu? Engkau cuma menggeleng. Matamu menjelma paku. Sesekali melihat detak jam dinding. Sebentar-sebentar mencuri ke layar televisi. Sebuah berita yang menggabarkan tragedi. Ah, betapa bangsa ini terus menanggungnya. Tragedi yang melulu berulang. Nyawa yang melayang. Korban yang seperti hujan. Begitu deras. Kali ini, tentang pesawat yang menabrak cadas gunung. Dan seperti kaucium bau tabrakan itu. Ah, betapa dirimu begitu seksi.
Setelah ini kau akan pergi ke mana?
Kau hanya membisu.
Lalu dari bibirmu yang menyala itu bersiul lagu. Lagu yang juga mengingatkanku pada perempuan, yang pernah kutemui di suatu masa.
Lagu apa?
Nggak tau. Tapi enak aja dengar nadanya.
Tapi kauhapal liriknya.
Sedikit.
Perasaan banyak, deh....
Little-little.... tapi hidup enggak perlu dibawa perasaan. Enjoy aja—mengingatkanku pada sebuah iklan.
Ia berkhotbah. Suara dering telepon seluler. Senandung lagu.
Kenapa enggak diangkat?, aku bertanya.
Ia tertawa. Matanya menyipit. Mengingatkanku pada guguran daun. Rumput yang mengering. Debu pasir yang terbang. Rumah-rumah yang terbakar.
Biar saja! Lelaki kadal bunting. Lelaki bajingan.
Loh, aku juga lelaki. Tidak semua laki-laki, kataku pelan sembari mengingat lagu dangdut yang lumayan tenar dibawakan Basofi Sudirman.
Dan tiba-tiba aku kepingin sekali buat mengecup bibirmu.
Tapi aku belum mengenalmu. Belum sungguh, belum seluruh. Hanya sebuah kafe yang remang. Di luar, gerimis tiba. Jalanan menjelma jadi bayangan yang basah. Seperti rimbun air yang berkerumun. Sebentar lagi akan deras. Hanya mendung.
Terasa November menyelinap di depan.
***
DENTINGAN lagu Shoot The Piano Player masih menerawang. Ada sesak di sana. Ada candu yang lindap. Ada barisan sedih yang singgah tanpa henti. Terus berjalan. Memasuki stasiun ingatan. Kafe ini begitu lirih. Kafe yang sunyi. Dan perempuan itu duduk di sana. Tanpa ekspresi. Mungkin sedang masuk ke dalam refrain atau beat lagu. Mungkin ia sedang asyik mengunci kenangan. Matanya menyipit dan mulai berair.
Mata yang sendu. Namun hanya berair. Sepertinya air mata tak jadi menetes di pipinya. Sebab perona pipinya masih cerlang. Masih merah muda. Dan ia masih cantik. Ia meremas-remas sapu tangan putih di atas meja. Ia mengusap rambut. Ia menahan napas.
Aku di sudut yang lain. Masih di kafe itu. Suara lagu itu menyayat. Namun terasa nikmat, seperti menitipkan jeda pada sebuah hal. Hal yang tak sepenuhnya bisa kuingat dengan lengkap.
Lalu siapa namamu?, aku mengulang pertanyaan yang sama.
Seperti juga kuingat wajah pejabat negeri ini yang kerap melontarkan pernyataan yang sama. Berulang-ulang. Tanpa bobot. Tak berenergi. Tak bergairah. Dan mengapa juga segala hal bermula dari nama? Nama yang kerap menjadi awalan bagi pertemuan. Sepertinya nama adalah hal yang seksi. Nama pula yang mungkin membuat seorang Adam jatuh cinta pada Hawa.
Shoot The Piano Player masih saja bergema. Ah, apakah aku mesti menembak pemain piano semacam dalam lagu itu? Agar denting nada itu tak lagi bergetar. Supaya sunyi bisa sendiri. Dan hanya ada percakapan antara aku dan perempuan itu. Sayang aku tak membawa sepucuk pistol. Meskipun ini negeri koboi, karena di sini setiap orang bebas mengacungkan senjata api. Bila tersulut sedikit emosi, bahkan di kerumunan sekadar menciutkan nyali. Ya, mestinya kutembak saja kepala pemain piano itu. Supaya lagu berhenti. Dan aku bisa luas bercakap denganmu, mencium harum parfummu, atau menatap lekat dengan dekat bening matamu. Mata yang saat bercakap begitu penuh gairah.
Tunggu!, temani aku sebentar, radangmu pelan.
Aku baru saja ingin beranjak. Sebab kau tak pernah menyebutkan namamu. Bahkan di pertanyaan yang kedua.
Mengapa cinta terasa cuma sekadar gema? tanyamu memantul. Mengingatkanku pada bola bekel.
Lalu aku kelimpungan. Mencari lagi makna cinta di bibir gelas kaca yang masih tersisa bekas lipstikmu di gigirnya. Aku belingsatan, mencari cinta di kerlip lelampuan kafe. Juga asap rokok yang merawang. Ah, mengapa cinta mendadak cuma gema? Cuma lintasan peristiwa yang singgah saat pertama kali kenal. Saat dua mata bertemu dan berkemah di dalamnya.
Telepon selulernya berdering lagi.
Serius tak mau kamu angkat?
Biarin aja. Paling-paling cuma lelaki iseng. Seperti kamu.
Seperti aku?
Iya, kamu?
Buat apa kamu tiba-tiba mendekat? Bukankah kita tak pernah kenal sebelumnya? Cinta yang cuma sekadar gema.
Tapi aku tertarik padamu.
Hanya gombal yang silau. Mulanya begitu, seterusnya apa?
Aku ingin menikahimu.
Hanya baru sekali kenal, tiba-tiba kau ingin mengajakku menikah. Lelaki edan!
Biar. Aku ingin engkau menjadi ibu bagi anak-anakku-kataku sembari mengingat baris puisi Rendra.
Boleh kusimpan nomor selulermu?
Percuma.
Kok, percuma?
Ya, kaudengar sendiri yang barusan saja ada dering. Tapi tak pernah kuangkat. Buat apa? Kau hanya akan menghubungi angin. Yang kau dapati kelak cuma sebekas kekosongan.
Baiklah, kalau begitu alamat rumahmu? Mungkin apartemenmu?
Tidak perlu.
Kalau begitu namamu?
Ah. Ini sudah pertanyaan ketiga tentang nama.
Rina. Sudah, cukup?
Dan lagu itu masih saja mengalun. Namun kali ini terasa lembut. Shoot The Piano Player.
***
CINTA cuma sekadar gema. Gema yang memanjang. Seperti hujan yang turun. Seperti relung jauh yang mendadak samar-samar. Tak pernah bisa dengan lengkap diterka. Apakah betul itu dirimu? Saat November luruh, lalu hujan jatuh satu-satu di setiap harinya?
Mungkin pula akan kutambatkan semacam kait buatmu. Meskipun aku tak memunyai nomor telepon atau alamatmu. Hanya hati kecil yang bisa menjawabnya. Hati kecilku yang meyakini jika dirimu bakal menjadi ibu bagi anak-anakku.
Terasa betapa November bakal jadi panjang. Semacam sebuah prosa yang tak pernah selesai untuk ditulis. Aku yakin bakal bertemu denganmu lagi. Di suatu tempat dan kita akan bercakap akrab. Sebab, seperti ucapmu: cinta cuma sekadar gema.
**
Mestinya aku mengantarkanmu pulang malam itu. Ke apartemenmu. Malam yang larut dan seperti bangkrut. Malam yang gelap membayang. Mungkin sebentar lagi hujan. Bukankah aku telah mengetahui namamu? Tapi engkau seperti tegar. Engkau seperti tak mau berhubungan lebih lanjut.
Sudah tidak perlu, ucapmu. Jika kau perlu, kau akan menemuiku lagi di kafe ini, sambungmu.
Dan kau bergegas pergi. Meskipun remang kafe ini belum tutup. Meskipun lagu yang kaugemari belum benar-benar selesai. Meskipun pula, di luar gerimis masih turun sedikit-sedikit. Namun kau memilih pulang. Langkahmu menjauh. Lagu itu masih saja berputar. Aku merebut hamparan nada-nadanya. Aku terlelap di untaiannya. Aku terkesima.
***
APAKAH aku pernah mengenal dirimu? Bertemu denganmu di suatu tempat, di sebuah tahun yang buruk; sehingga dirimu merupa de ja vu? Ketika asap de ja vu itu berkelebatan di kelenjar otakku. Tapi sebenarnya siapa namamu? Seketika aku mengingat bulan di kalender. Mungkin engkau adalah perempuan yang selama ini kucari. Mataku kembali tertumbuk pada kalender. Ahai, sudah November...
Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012
Cerpen Alex R. Nainggolan
APA aku pernah mengenal dirimu? Bertemu denganmu di suatu tempat, di sebuah tahun yang buruk; sehingga dirimu merupa de ja vu? Ketika asap de ja vu itu berkelebatan di kelenjar otakku. Semacam menyeret ingatan. Sayangnya, aku tak pernah lengkap untuk mengingatmu.
Jadi siapa namamu? Engkau cuma menggeleng. Matamu menjelma paku. Sesekali melihat detak jam dinding. Sebentar-sebentar mencuri ke layar televisi. Sebuah berita yang menggabarkan tragedi. Ah, betapa bangsa ini terus menanggungnya. Tragedi yang melulu berulang. Nyawa yang melayang. Korban yang seperti hujan. Begitu deras. Kali ini, tentang pesawat yang menabrak cadas gunung. Dan seperti kaucium bau tabrakan itu. Ah, betapa dirimu begitu seksi.
Setelah ini kau akan pergi ke mana?
Kau hanya membisu.
Lalu dari bibirmu yang menyala itu bersiul lagu. Lagu yang juga mengingatkanku pada perempuan, yang pernah kutemui di suatu masa.
Lagu apa?
Nggak tau. Tapi enak aja dengar nadanya.
Tapi kauhapal liriknya.
Sedikit.
Perasaan banyak, deh....
Little-little.... tapi hidup enggak perlu dibawa perasaan. Enjoy aja—mengingatkanku pada sebuah iklan.
Ia berkhotbah. Suara dering telepon seluler. Senandung lagu.
Kenapa enggak diangkat?, aku bertanya.
Ia tertawa. Matanya menyipit. Mengingatkanku pada guguran daun. Rumput yang mengering. Debu pasir yang terbang. Rumah-rumah yang terbakar.
Biar saja! Lelaki kadal bunting. Lelaki bajingan.
Loh, aku juga lelaki. Tidak semua laki-laki, kataku pelan sembari mengingat lagu dangdut yang lumayan tenar dibawakan Basofi Sudirman.
Dan tiba-tiba aku kepingin sekali buat mengecup bibirmu.
Tapi aku belum mengenalmu. Belum sungguh, belum seluruh. Hanya sebuah kafe yang remang. Di luar, gerimis tiba. Jalanan menjelma jadi bayangan yang basah. Seperti rimbun air yang berkerumun. Sebentar lagi akan deras. Hanya mendung.
Terasa November menyelinap di depan.
***
DENTINGAN lagu Shoot The Piano Player masih menerawang. Ada sesak di sana. Ada candu yang lindap. Ada barisan sedih yang singgah tanpa henti. Terus berjalan. Memasuki stasiun ingatan. Kafe ini begitu lirih. Kafe yang sunyi. Dan perempuan itu duduk di sana. Tanpa ekspresi. Mungkin sedang masuk ke dalam refrain atau beat lagu. Mungkin ia sedang asyik mengunci kenangan. Matanya menyipit dan mulai berair.
Mata yang sendu. Namun hanya berair. Sepertinya air mata tak jadi menetes di pipinya. Sebab perona pipinya masih cerlang. Masih merah muda. Dan ia masih cantik. Ia meremas-remas sapu tangan putih di atas meja. Ia mengusap rambut. Ia menahan napas.
Aku di sudut yang lain. Masih di kafe itu. Suara lagu itu menyayat. Namun terasa nikmat, seperti menitipkan jeda pada sebuah hal. Hal yang tak sepenuhnya bisa kuingat dengan lengkap.
Lalu siapa namamu?, aku mengulang pertanyaan yang sama.
Seperti juga kuingat wajah pejabat negeri ini yang kerap melontarkan pernyataan yang sama. Berulang-ulang. Tanpa bobot. Tak berenergi. Tak bergairah. Dan mengapa juga segala hal bermula dari nama? Nama yang kerap menjadi awalan bagi pertemuan. Sepertinya nama adalah hal yang seksi. Nama pula yang mungkin membuat seorang Adam jatuh cinta pada Hawa.
Shoot The Piano Player masih saja bergema. Ah, apakah aku mesti menembak pemain piano semacam dalam lagu itu? Agar denting nada itu tak lagi bergetar. Supaya sunyi bisa sendiri. Dan hanya ada percakapan antara aku dan perempuan itu. Sayang aku tak membawa sepucuk pistol. Meskipun ini negeri koboi, karena di sini setiap orang bebas mengacungkan senjata api. Bila tersulut sedikit emosi, bahkan di kerumunan sekadar menciutkan nyali. Ya, mestinya kutembak saja kepala pemain piano itu. Supaya lagu berhenti. Dan aku bisa luas bercakap denganmu, mencium harum parfummu, atau menatap lekat dengan dekat bening matamu. Mata yang saat bercakap begitu penuh gairah.
Tunggu!, temani aku sebentar, radangmu pelan.
Aku baru saja ingin beranjak. Sebab kau tak pernah menyebutkan namamu. Bahkan di pertanyaan yang kedua.
Mengapa cinta terasa cuma sekadar gema? tanyamu memantul. Mengingatkanku pada bola bekel.
Lalu aku kelimpungan. Mencari lagi makna cinta di bibir gelas kaca yang masih tersisa bekas lipstikmu di gigirnya. Aku belingsatan, mencari cinta di kerlip lelampuan kafe. Juga asap rokok yang merawang. Ah, mengapa cinta mendadak cuma gema? Cuma lintasan peristiwa yang singgah saat pertama kali kenal. Saat dua mata bertemu dan berkemah di dalamnya.
Telepon selulernya berdering lagi.
Serius tak mau kamu angkat?
Biarin aja. Paling-paling cuma lelaki iseng. Seperti kamu.
Seperti aku?
Iya, kamu?
Buat apa kamu tiba-tiba mendekat? Bukankah kita tak pernah kenal sebelumnya? Cinta yang cuma sekadar gema.
Tapi aku tertarik padamu.
Hanya gombal yang silau. Mulanya begitu, seterusnya apa?
Aku ingin menikahimu.
Hanya baru sekali kenal, tiba-tiba kau ingin mengajakku menikah. Lelaki edan!
Biar. Aku ingin engkau menjadi ibu bagi anak-anakku-kataku sembari mengingat baris puisi Rendra.
Boleh kusimpan nomor selulermu?
Percuma.
Kok, percuma?
Ya, kaudengar sendiri yang barusan saja ada dering. Tapi tak pernah kuangkat. Buat apa? Kau hanya akan menghubungi angin. Yang kau dapati kelak cuma sebekas kekosongan.
Baiklah, kalau begitu alamat rumahmu? Mungkin apartemenmu?
Tidak perlu.
Kalau begitu namamu?
Ah. Ini sudah pertanyaan ketiga tentang nama.
Rina. Sudah, cukup?
Dan lagu itu masih saja mengalun. Namun kali ini terasa lembut. Shoot The Piano Player.
***
CINTA cuma sekadar gema. Gema yang memanjang. Seperti hujan yang turun. Seperti relung jauh yang mendadak samar-samar. Tak pernah bisa dengan lengkap diterka. Apakah betul itu dirimu? Saat November luruh, lalu hujan jatuh satu-satu di setiap harinya?
Mungkin pula akan kutambatkan semacam kait buatmu. Meskipun aku tak memunyai nomor telepon atau alamatmu. Hanya hati kecil yang bisa menjawabnya. Hati kecilku yang meyakini jika dirimu bakal menjadi ibu bagi anak-anakku.
Terasa betapa November bakal jadi panjang. Semacam sebuah prosa yang tak pernah selesai untuk ditulis. Aku yakin bakal bertemu denganmu lagi. Di suatu tempat dan kita akan bercakap akrab. Sebab, seperti ucapmu: cinta cuma sekadar gema.
**
Mestinya aku mengantarkanmu pulang malam itu. Ke apartemenmu. Malam yang larut dan seperti bangkrut. Malam yang gelap membayang. Mungkin sebentar lagi hujan. Bukankah aku telah mengetahui namamu? Tapi engkau seperti tegar. Engkau seperti tak mau berhubungan lebih lanjut.
Sudah tidak perlu, ucapmu. Jika kau perlu, kau akan menemuiku lagi di kafe ini, sambungmu.
Dan kau bergegas pergi. Meskipun remang kafe ini belum tutup. Meskipun lagu yang kaugemari belum benar-benar selesai. Meskipun pula, di luar gerimis masih turun sedikit-sedikit. Namun kau memilih pulang. Langkahmu menjauh. Lagu itu masih saja berputar. Aku merebut hamparan nada-nadanya. Aku terlelap di untaiannya. Aku terkesima.
***
APAKAH aku pernah mengenal dirimu? Bertemu denganmu di suatu tempat, di sebuah tahun yang buruk; sehingga dirimu merupa de ja vu? Ketika asap de ja vu itu berkelebatan di kelenjar otakku. Tapi sebenarnya siapa namamu? Seketika aku mengingat bulan di kalender. Mungkin engkau adalah perempuan yang selama ini kucari. Mataku kembali tertumbuk pada kalender. Ahai, sudah November...
Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012
No comments:
Post a Comment