Cerpen Indrian Koto
BEGITULAH. Inis yang sudah lama menghilang kini kembali ke rumah. Semua orang meributkan kejadian itu. Kedatangan dan kepergiannya sungguh jauh berbeda, bagai langit dan bumi. Dulu ia pergi dengan keadaan paling murung dan dikutuk banyak orang: melompat jendela, di hari Selasa, di tengah malam pula. Kini dia pulang dengan kesempurnaan seorang wanita. Cantik dan kaya.
"Berubah sekali dia tampaknya. Jengatnya putih berkilat, gelang dan kalung bergelantungan di badannya. Senang benar tampaknya hidup dia," kata Mak Tando pagi itu di kedai Guru Abek sambil mengunyah lontong gulai cubadak. Lepau itu tampak ramai sepagi ini, oleh orang tua dan gadis muda.
"Tak itu saja, Mak Tando. Kulitnya berminyak, bajunya bagus-bagus. Awak melihat benar dari dekat, dan bercakap-cakap barang sekejap," ujar Tek Sidar tak mau kalah.
"Iyalah, jadi orang dia tampaknya. Tidak serupa anak gadis kita, yang kusut dan tampak hitam. Berpanas setiap hari. Aih, kulitnya tiada berdaki, mukanya bersih berkilat, tidak serupa kita yang dipenuhi bintik hitam dan jerawat batu meskipun sudah pakai bedak beras," Ijui menyahut pula dari sebelah.
"Entah rantau mana yang dia tuju sehingga bisa hidup sesenang itu," kata Mak Tando, sambil meletakkan piring makannya. Bersendawa besar dan segera meraih gelas minum.
"Itu yang belum sempat awak tanyakan. Bertemunya sebentar saja awak dengannya, kemarin pagi, ketika awak hendak ke mengatur air di sawah Munggu." Tek Sidar mengusap mulut, menggigit kerupuk merah yang berderuk. "Awak cuma bertanya, 'Kapan datang, Nak Gadis?' dia menjawab sambil tersenyum, berseri-seri muka dia. 'Tek Sidar, ya? Baru semalam' begitu jawabnya. Masih ingat jua dia dengan orang gaek ni. 'Ah, tidak akan lupa awak do, Tek' katanya pula. Lalu dia bertanya soal anak-anakku. Ya kubilang saja apa adanya 'Nde Nak, oi. Si Igus sudah beranak dua, Nan Tina alah meranda, Osep dan Kudil di Malaysia, mengekas mencari beras. Si Andi sudah tak tahu ke mana, hilang lenyap di rantau orang. Sangsai, Nak oi. Sangsai' begitu kata awak. Nan dia tersenyum saja dan menyuruh awak bersabar saja."
Selesai bercerita, Tek Sidar kembali mengunyah sisa lontongnya, lalu memesan bubur pulut hitam. "Pakai lupi," Katanya pada Empol yang sibuk di belakang meja.
Idek mendengus. "Tapi, bagaimana pun dia pernah berbuat salah," katanya. Semua perempuan yang ada di lepau itu terdiam sejenak. Ingatan mereka mundur ke belakang, beberapa tahun yang lalu.
"Ah.. apa yang dikerjakan di rantau coba sehingga bisa tampak sesenang itu. Siapa pula yang tidak mencoba merantau di kampung ini, tak ada yang tampak serupa dia. Masa merantau dengan ijazah SMA saja bisa pulang dengan emas sebanyak itu. Negeri mana malah yang dia pijak?" Idek kembali mencerocos. Semua orang diam mendengarkan. "Tak ada yang tahu bukan, ke mana dia menghilang lima tahun ini? Dan apa kerjanya di rantau orang?"
"Benar itu," Ijai menyahut dari seberang meja. "Anak gadis merantau sendiri, tak lazim pula tanah yang dia pijak. Entah di negeri mana malah dia berdiam."
Warung kecil yang terdiri dari pondok di depan rumah Guru Abek itu mendadak sepi. Para perempuan yang terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri juga beberapa anak sekolah memenuhi pondok kecil itu yang terletak di bawah pohon jambu air besar yang daunnya bertebaran di musim panas begini. Di seberang, di bengkel Sibe, Epen tampak memutar-mutar mesin dinamo. Sepagi ini tangannya sudah hitam oleh oli dan gomok. Di jalan, beberapa anak sekolah berjalan agak ke pinggir. Beberapa remaja SMP dan SMA bergerombol di depan pagar, menanti oto yang akan mengangkut mereka ke sekolah masing-masing. Beberapa oto tambang balai berhenti di depan mereka, sebagian masih tampak kosong, tapi tak satu pun dari mereka bergerak.
"Ndak, Da. Nanti saja," jawab mereka setiap kali oto berhenti.
Selalu seperti itu, mereka menunggu angkutan yang lebih bagus, yang mesinnya masih halus, catnya belum menggelupas.
"Belum juga berangkat, Kau," pekik Ni Janah pada anak gadisnya yang memakai seragam SMP.
"Amak ini. Nantilah. Menunggu oto Uda Ijal."
Begitulah setiap pagi, kampung kecil itu telah berdenyut jauh sebelum embun pecah dan kabut terbuka. Subuh, mereka, para ibu dan anak gadisnya bersitungkin di dapur, merebus air, menghangatkan gulai semalam, memasak nasi, mencuci piring. Anak gadis memilih jalan aman, menyapu halaman. Ketika matahari baru tumbuh di balik Bukit Timbulun, laki mereka sudah bangun. Dengan sarung melilit mereka menyerbu kamar mandi. Segera segelas kopi terhidang di atas meja. Setelah itu anak-anak berebut mandi, siap-siap hendak sekolah. Si ibu menyerbu warung, membeli sabun dan keperluan dapur lalu masuk ke kedai lontong.
Pagi sepenuhnya milik perempuan. Laki-laki cukup menikmati segelas kopi dan beberapa potong kue yang dijajakan anak-anak sebelum berangkat ke sekolah, atau dibeli sang istri dari warung. Selalu tersedia godok kalau tidak onde-onde ubi, kue tepung tapai, kue talam, goreng pisang, ubi atau talas. Ritual pagi sebelum mereka menyantap nasi dan berhembus ke sawah dan ke ladang.
"Siapa yang bisa tahu kerjanya dia?" Suara Idek membuyarkan lamunan penghuni lapau kecil itu.
"Coba bayangkan, di negeri mana yang bisa membuat orang sesenang itu. Lihat dia, tinggi terurus, bersih dan ramping. Kesenangan terpancar benar dari wajahnya. Banyak pula uangnya. Tentu kerjanya bersenang-senang saja. Nah, kita tahu belaka, kata amaknya, Etek Rainas, dia belum juga berlaki. Lalu duit dari mana pula dia dapat? Dan usia setua itu belum berlaki? Tak percaya awak." Ketus terdengar suaranya.
"Ho.. lihat saja pantatnya sudah kempes. Siapa yang ngasih uang pada dia untuk makan dan bersenang-senang kalau dia tidak...," Ijai menjawab sambil mengusap bibirnya yang merah oleh gincu, sebagian lengket di tangan. Dia tak melanjutkan kata-katanya, memandang orang sekeliling.
"Melonte. Tentu saja melonte." Suara Idek terdengar keras, sampai ke pinggir jalan, di mana para remaja masih bersitungkin menunggu mobil. Terdengar ke telinga Epen yang sedang memutar mesin dinamo.
***
INIS bukan tak tahu percakapan itu. Jauh sebelum kepulangannya kini, sudah dia duga kemungkinan-kemungkinan itu. Ia paham belaka bagaimana orang-orang di kampungnya mempercakapkan siapa saja, menyingkap aib siapa saja. "Mobil yang mendaki, mereka yang sesak napas," begitu kata Amaknya berkata ketika dia pulang. "Tapi ndak usahlah diambil hati. Memang sudah begini perangai orang kita. Kita yang mengalami peristiwa baik-buruk, orang lain jualah yang meributkannya."
Dan dia, dengan keberangkatan yang tidak wajar telah membuat aib keluarga itu serupa tak selesai-selesai. Kepergiannya di sebuah malam, di hari Selasa dengan melompati jendela telah membuat orang ribut dan menganggap tindakannya sudah keterlaluan.
Jika kini banyak orang mempercakapkannya dengan segala kebaikan dan keburukan dia tak lagi merisaukannya. Kampungnya, di mana hamparan sawah, gunung, dan pantai yang memanjang, serupa nasib orang-orang: retak di musim kemarau, bocor di musim hujan. Sawah tak lagi menjanjikan, bukit-bukit terbakar, ladang dibiarkan menjadi hutan. Waktu lebih banyak dihabiskan para ibu dan anak gadisnya di beranda, mencari kutu dan bercakap ini-itu. Kampung makin lengang, anak muda mencoba mengadu nasib ke negeri orang. Kepulangan tak membawa perubahan apa-apa. Jalan makin lengang, warung kopi hanya diisi oleh gerutuan-gerutuan dan obrolan-obrolan ringan, sebentuk kekalahan laki-laki di sawah-ladang. Laut tak pula bisa diharapkan. Debu berterbangan sepanjang siang.
Di musim-musim seperti itu Inis pulang, saat di mana orang-orang merayakan kekalahan gemilang. Kampung serupa penjara kecil saja. Dalam keadaan serupa itu, ia bisa membangunkan rumah buat keluarganya. Rumah yang sudah lama doyong dan lapuk. Sebagai anak tertua dia merasa berkewajiban membantu keluarganya. Tiga orang adiknya kali ini bisa memperlihatkan muka di depan banyak orang. Rumah mereka sudah berlistrik, motor bebek terparkir di depan rumah yang sepenuhnya baru: rumah batu beratap tinggi, lantai keramik, membuat siapa saja betah berteduh di sana.
Orang-orang kini tak lagi perlu bertanya apa yang dikerjakan di rantau orang. Hampir tak ada yang mempercakapkan lagi bagaimana dia bisa tidak terkena tulah oleh sikap nekat dan keterlaluannya dulu, yang pergi diam-diam dan tak layak dilakukan oleh seorang anak gadis: melompat jendela di malam buta, di hari Selasa pula. Selasa adalah hari api, tak baik melakukan perjalanan. Tapi Inis, dengan kenekatannya, dalam waktu beberapa tahun saja mampu memperlihatkan kepada orang sekampungnya, tak ada bala, tak ada apa-apa yang buruk terjadi padanya.
"Untung kau tidak menerima pinangan Epen dulu, Nak. Bakalan sengsara kau," bisik Mak Tando padanya. Hampir sepanjang siang rumahnya dipenuhi ibu-ibu sekadar berbincang dan numpang berteduh di beranda yang dingin itu.
"Kenapa memangnya, Tek?"
"Wah.. lihat saja dia sekarang. Kapalnya habis terjual. Usaha kayunya tak jalan-jalan. Usaha penjualan terinya pun mengambang di tengah jalan. Kau lihat dia sekarang, orang kaya itu terlunta-lunta, menumpang kerja di tempat orang. Tiap hari tangannya bergomok, sepanjang siang membongkar dinamo dan mesin-mesin. Di sini Nak, hidup selalu menurun, tak pernah mendaki..."
Inis menarik napas. Ia ingat betul, keluarga Epen adalah orang kaya. Dia yang berkuasa atas teri dan ikan asin di pelabuhan batang Surantih. Dia punya kapal penangkap ikan, semua kini habis terjual.
"Orang kaya ternyata punya utang banyak pula. Seperti kita juga." Balas Mak Itam sambil mengunyah sirih.
Tapi itu pula yang mencemaskannya. Kepulangannya kali ini hanyalah untuk menengok sang ibu yang sering sakit-sakitan dan sekadar melepas kerinduan. Tapi kepulangan ini pula yang membuatnya berat hati. Orang-orang semakin banyak berkeluh padanya. Orang tua tentang anak gadisnya, para dara yang mempercakapkan nasibnya. Kesimpulan dari itu semua adalah keinginan mereka mengikuti jejak Inis ke tanah rantau. Ke tanah lain yang tak terpikirkan oleh orang-orang, kecuali untuk melanjutkan sekolah. Tanah Jawa, negeri sendiri tetapi begitu asing di telinga.
"Bagaimana pula mencari kerja di sana. Sedang mereka berbondong-bondong datang ke sini, ke tempat terpencil dan tak tersentuh cangkul." Kalimat Epen itu masih terngiang di telinganya ketika dia mencoba mendekati Inis.
"Siapa tahu, Da. Siapa tahu awak bisa mengadu untung ke sana. Belum terniat awak menikah," elaknya.
"Apalagi yang kau pikir. Kalau kita sudah berkeluarga, tentu keluargamu tak morat-marit macam begini. Adik-adikmu bisa sekolah, dan amakmu tak perlu lagi jualan sayur ke pasar. Semua sudah ada. Semua sudah tersedia."
"Tapi awak ingin merubah nasib dengan tangan sendiri, Da. Awak masih muda."
Itu yang membuat Epen sakit hati. Alasan masih muda terasa tidak pantas didengarkan di sini. Kawan-kawan seusianya sudah banyak yang menikah dan punya anak. Dia sudah tamat SMA dan sudah setahun pula menganggur. Tapi dasar dia keras kepala. Kenekatan itu pula yang membuatnya pergi jauh-jauh. Ke rantau, tempat di mana tak ada orang-orang kampung dan dikenal.
Kini, mata semua orang berharap padanya. Ingin mencoba peruntungan yang sama. Malaysia, tanah seberang sudah lama tak menjanjikan. Ringgit yang terkumpul tidak bertuah. Mereka yang berangkat hanya memperkaya para calo saja, dan ketakutan membantai mereka sepanjang hari. Pengusiran sepanjang waktu menguntit mereka. Pendatang haram, ah, tahulah bagaimana nasibnya.
Dan dia mendengar keluhan sepanjang hari dari mereka, para gadis dan orang tua tentang nasib mereka dan anaknya. Inis semakin gamang saja. Sepanjang waktu ini mereka tak lagi bertanya apa pekerjaannya Jakarta sana. Mereka tak lagi soal apakah hanya sekadar menjaga restoran padang, tukang cuci, pengasuh anak, dan sebagainya. Yang meraka inginkan hidup mereka bisa berubah dan pulang serupa Inis.
Malam itu, sehari sebelum keberangkatannya Inis tak bisa tidur. Bagaimana cara mengatakan pada mereka bahwa, memang di tanah ini, untuk kerja yang baik dan gaji yang besar bukan milik mereka, orang-orang kampung yang lugu. Dia tak ingin orang-orang kampungnya mengikuti jejaknya. Pekerjaan apa yang bisa didapat dengan mengandalkan tenaga saja? Ia tak tega jika para gadis kampungnya harus serupa dia, mengumpulkan uang dari keringat dan apak kasur, lewat desahan dan rintihan. Ia tak kuat membayangkan.
Satu yang terlintas di kepalanya adalah, barangkali akan melakukan kekonyolan yang sama serupa dulu. Melompati jendela dan berangkat dengan segera, tepat di hari Selasa.
2007-2011
Lampung Post, Minggu, 25 Maret 2012
Sunday, March 25, 2012
Sunday, March 18, 2012
Kambing
Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
PASIEN itu berdiri mematung. Keraguan terlihat enggan meninggalkannya. Ia telah mengidap kanker selama dua tahun. Dan kambing itu satu-satunya harapan. Kambing itu berbulu cokelat, tidak gemuk dan tidak tua. Bahkan menurut Sarip, nama pasien itu, kambing itu terlalu muda.
Ia melihat Sarip kembali memandangi mata kambing itu. Mata yang selembut susu, biru abu-abu. Sedetik kemudian ia melihat keraguan di mata pasiennya itu bertambah.
Ia menarik tali ikat kambing, kambing mengembik dan dengan patuh mengikutinya ke pinggir kebun. Di pojok kebun terdapat kandang sapi. Di salah satu tiang bambu kandang itulah ia mengikatkan tali kambing.
Sarip mengikuti dari belakang.
"Bagaimana, apa kau siap?" tanyanya.
Sarip terdiam, menunduk dan memerhatikan kuku-kuku jari tangannya yang menghitam. Sementara ia sendiri memerhatikan pasiennya itu. Sarip masih berusia kepala tiga, tapi ia tampak seperti berumur lima puluhan. Tubuh yang kurus, wajah sayu dan kepala yang botak. Hanya matanya yang masih terlihat menyimpan semangat.
Sarip kembali menatap padanya dan ia masih membaca keraguan di mata Sarip.
Lalu Sarip kembali menunduk. Kali ini memerhatikan kuku-kuku kakinya yang menghitam, juga sandal jepit tua yang ia pakai. Sarip menghela napas dalam.
Sarip telah menyerah, pikirnya. Sarip sudah menjalani tiga paket kemo. Ia sudah kehabisan uang.
Dari Sarip ia tahu bahwa setiap kali Sarip berhasil menyelesaikan satu paket kemo, dokternya mengatakan dan memastikan bahwa ia telah bebas dari kanker. Dan setiap kali mendengar kabar demikian, Sarip dan istrinya, Ami, merasa sangat bahagia. Namun, di pemeriksaan lanjutan, dokter memberitahu, sel kanker telah kembali tumbuh.
Sarip berkata setiap tetes cairan kemo mengaliri nadinya, ia merasa seperti berputar-putar di roller-coaster raksasa. Tak tahu kapan roller-coaster itu akan berhenti. Naik-turun-putaran terjal, hari-hari penuh muntah.
Dan sekarang Sarip dihadapkan dengan kemo keempatnya.
Sarip pun sudah habis-habisan menjual semua yang ia punyai. Rumah, mobil, tanah, bahkan perhiasan emas milik istrinya, Ami. Sarip tak tahu dengan cara apa ia akan membayar perawatan kemo selanjutnya.
"Bagaimana?" tanyanya lagi, menghembuskan asap kretek dari bibirnya. Bau kemenyan memenuhi udara sekitar.
Ia melihat Sarip kembali melirik kambing di pojok kebun. Kambing itu sedang memamah rumput hijau dan dedaunan. Kemudian Sarip mengangkat bahu.
“Tak lama, hanya satu jam saja. Setelah itu kamu akan sembuh selamanya,” ia berusaha meyakinkan.
Keraguan di mata Sarip makin terlihat nyata. "Bolehkah aku berpikir dulu?" Sarip bertanya.
Ia meludah ampas keretek ke tanah merah. Kemudian ia mengangguk. "Tapi jangan lama," katanya, "Kita tak pernah tahu kapan waktunya akan datang."
Sarip terlihat menelan ludah. Sekejap kemudian Sarip mengangguk. "Tak lama, sore nanti aku kembali."
Ia pun mengangguk.
Sebelum pulang Sarip kembali menjenguk kambing yang diikat. Menatap lama pada mata kambing itu. Ia pandangi Sarip yang melangkah lunglai sampai hilang ditelan jalan.
Mereka akan menyerah ...
Mereka akan datang tak lama lagi ...
Mereka akan kembali menggurat sejarah yang sama ...
*
SETIBA di rumah, ia menemui istrinya, Ami, sedang sibuk memisahkan daun benalu dari daun teh. Ami duduk di lantai keramik putih, menghadap pada dua tampah bambu yang sangat lebar. Satu tampah diperuntukan bagi daun benalu saja.
Sudah dua tahun ia meminum air rebusan daun benalu. Rasanya luar biasa pahit. Namun, benalu yang tumbuh ditubuhnya tak juga musnah.
Ia sering bermimpi buruk. Di dalam mimpinya akar-akar kanker melibat organ-organ dalam tubuhnya dan memusnahkan semua sel yang mereka lalui. Akar-akar itu menjalar-jalar, berawal dari paru-paru lalu ke darah dan tulang. Di dalam mimpinya, ia dapat melihat akar-akar itu berwajah. Bermata dan bermulut. Ia dapat mendengar mereka tertawa.
Mendengar langkah kakinya, Ami menoleh. "Bagaimana pertemuanmu dengan si Mbah?"
Ia ikut duduk di lantai, menghadap tampah bambu dan mulai memetiki satu per satu daun benalu.
"Bagaimana tadi, Sarip?" Ami bertanya lagi. "Kenapa kelihatan tidak semangat begitu?"
Ia mencoba menggaruk kepalanya yang botak. Kulit kepalanya kering dan rambut yang dulu lebat sekarang telah habis, rontok. “Ya begitu,” jawabnya.
"Ya begitu apa?"
"Aku sudah melihat kambingnya."
"Lalu?"
Ia memandang istrinya. Rambut yang indah. Wajah yang cantik. Matanya yang bulat lebar memandangnya lembut, selembut mata seorang bayi. Ia menunduk kembali, menghadapi dedaunan benalu.
"Aku butuh waktu."
"Tapi kita tak punya banyak waktu," lirih Ami berkata.
Ia terdiam. Ya, pikirnya, ia tak pernah tahu kapan kematian akan menjemputnya. Perkiraan dokter, karena kankernya sudah stadium lanjut, 3B, setengah tahun untuknya sudah sangat baik.
Ami menyentuh tangannya. "Apa yang ditunggu?"
"Aku ragu."
"Kenapa ragu?"
Ia berpikir sejenak, apakah ia harus utarakan alasannya. Ia takut ia akan terdengar tak masuk akal.
Ami terus menatap matanya, menunggu jawab.
"Aku tidak tega."
"Tidak tega?" tanya Ami. "Pada kambing?"
"Ya, pada kambing."
Kali ini Ami yang terdiam lama, sebelum akhirnya berkata, "Kita makan kambing, kan?"
"Ya," angguknya.
"Lalu?" Ami bertanya.
"Tapi ini berbeda. Aku merasa seolah mengorbankan kambing itu."
"Kita mengorbankan kambing kan? Begitu juga Nabi Ibrahim."
"Tapi ini berbeda. Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya, yang lalu berubah menjadi kambing, demi perintah Tuhan."
Ia mendesah dan melanjutkan, "Kalau ini, aku merasa seolah melawan perintah Tuhan. Melawan takdirku sendiri."
Ami terdiam lama. Lalu ia bertanya, "Apa ada cara lain untuk sembuh?"
"Aku tidak tahu."
"Semua sudah kau tempuh."
Ia mengangguk.
"Kau mau seorang shinsei mengiris-iris tubuhmu, hingga kau berlumuran darah."
Ia mengangguk.
"Kau bersedia ditusuk-tusuk ribuan jarum."
Ia mengangguk.
"Tapi tidak dengan kambing? Tidak tega?"
Ia menghela napas dalam.
"Kau sudah berjanji akan berobat ke mana saja dan dengan cara apa saja."
"Tapi penyakit ini takdirku, Ami. Bukan takdir kambing itu."
Ami memandangi daun-daun benalu yang terhampar di tampah bambu. "Lalu apa takdirku, Sarip? Kehilangan kau?"
Ia terdiam, memandangi wajah istrinya. Lalu ia menjatuhkan wajahnya ke pundak Ami.
"Begitu cintakah kita pada hidup, Ami?"
"Bukankah kematian adalah alami. Seperti bunga yang tumbuh lalu layu dan mati?"
"Apakah tidak mungkin kematian lebih indah dibanding kehidupan?"
*
IA dan suaminya datang ke rumah dukun itu. Rumah bata tanpa pagar yang memunggungi senja. Rumah itu terlihat sunyi. Di pojok kebun, di sudut kandang sapi, seekor kambing diikat pada salah satu tiang bambu. Ke pojok itulah, ia mengajak suaminya melangkah.
Kambing yang berbulu cokelat. Tidak gemuk dan tidak tua. Bahkan, menurutnya, kambing itu terlalu muda. Ia memandangi mata kambing itu. Mata yang lembut, seolah ada selaput kabut tipis membungkus retina biru keabu-abuan.
Ia merasa kerongkongannya tiba-tiba kering. Ia menelan ludah. Ludah itu terasa pahit.
Tapi ia tak melihat ada jalan lain. Suaminya, Sarip, telah dua tahun mengidap kanker. Ia tidak ingin kehilangan Sarip. Kambing itulah satu-satunya harapan.
Ia beranikan diri mengetuk pintu.
Sang dukun sendiri yang membukakan pintu. Rambutnya gondrong dan wajah berlubang. Cambang yang lebat tak terurus. Kalung dan gelang akar bahar. Menampakkan bibir dan gigi-giginya yang hitam, dukun itu menyeringai.
"Aku tahu kalian pasti akan datang."
Ia terdiam, "Kalian?" tanyanya.
"Ya," dukun itu terkekeh, "tentu saja istri akan datang menemani."
Sang dukun membuka pintu lebar-lebar, memersilakan ia dan Sarip masuk ke dalam, kemudian menutup pintu.
Tak ada kursi atau meja di ruang yang mereka masuki. Hanya ada dua dipan bambu dan sebuah tikar usang. Ia mencium bau kemenyan.
"Duduklah," kata sang dukun, menyila pada tikar. "Aku ambil kambingnya dulu."
Sang dukun berlalu ke belakang rumah. Ia terdiam. Genggaman Sarip pada tangannya terasa menguat. Sarip pun diam sedari tadi. Ia memandang pada mata Sarip. Mata yang lembut. Mata itu tersenyum padanya.
"Kamu yakin?" tanyanya.
Sarip tersenyum, "Apa saja aku lakukan untukmu, Ami."
Mendengar jawaban Sarip, ia merasa tak nyaman. Ia merasa ada yang salah. Juga dengan sejarah. Ia tidak ingin menjadi bagian dari kesalahan. Bukan Hawa yang membujuk Adam untuk menyalahi perintah Tuhan. Bukan Hawa. Dan juga bukan dirinya.
Sang dukun masuk kembali ke dalam ruangan. Dari tangannya yang besar dan berbulu lebat menjulur seutas tali. Tali itu mengikat leher seekor kambing. Kambing mengembik. Matanya yang biru keabu-abuan memandang padanya penuh iba.
Sang dukun mengangkat kambing itu dan meletakkannya pada sebuah dipan bambu. Ia mengikat kaki-kaki kambing, dua kaki menjadi satu. Kambing itu tidak berontak, ia hanya mengembik pelan.
"Tidurlah di dipan ini," perintah sang dukun kepada Sarip, sambil menunjuk pada dipan yang kosong.
Sarip menurut. Dengan pasrah ia tidur di dipan bambu. Sang dukun menarik sebuah tungku liat berjelaga kecil dari sudut ruang. Dukun itu merapal mantra yang entah artinya apa.
Ia mencium bau kemenyan.
"Kau akan sembuh sebentar lagi," sang dukun menyeringai pada Sarip. “Setelah ini, kambing itu yang akan menderita penyakitmu."
Dukun itu mengangkat tungku di atas kepala Sarip, menghembuskan asap kemenyan ke tubuh Sarip. Lalu dukun itu berpindah ke dipan sebelah. Melakukan yang sama pada kambing. Kambing itu mengembik.
Tiba-tiba saja ia berteriak.
*
MALAMNYA, di kamar mereka, Ami dan Sarip tidur berpelukan. Sarip bermimpi, akar-akar kanker di dalam tubuhnya menjalar-jalar menuju ke kaki. Akar-akar itu keluar keluar telapak, masuk ke dalam tanah dan menembus inti bumi. Sarip dapat melihat akar-akar itu berwajah. Akar-akar itu bermata. Dan Sarip dapat mendengar dirinya sendiri tertawa.
Ami menggeliat bangun. Ia mendengar suaminya, Sarip, tertawa-tawa dalam tidurnya. Ami dapat melihat, dari jari-jemari tangan suaminya, akar-akar menjalar keluar. Akar-akar itu memanjang, menggapai dan membelit tubuhnya.
Ami merasa sangat nyaman. Ia merasa telah membetulkan sesuatu yang salah. Juga dengan sejarah. Ia ingin menjadi bagian darinya. Bukan Hawa yang membujuk Adam untuk menyalahi perintah Tuhan. Bukan Hawa. Dan juga bukan dirinya.
Akar-akar itu masuk ke kulit-kulit Ami, menjalar-jalar di dalam tubuhnya dan menembus ke jantung. Ami tertawa. Ia merasa amat bahagia.
Lancaster, Januari 2012
Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012
PASIEN itu berdiri mematung. Keraguan terlihat enggan meninggalkannya. Ia telah mengidap kanker selama dua tahun. Dan kambing itu satu-satunya harapan. Kambing itu berbulu cokelat, tidak gemuk dan tidak tua. Bahkan menurut Sarip, nama pasien itu, kambing itu terlalu muda.
Ia melihat Sarip kembali memandangi mata kambing itu. Mata yang selembut susu, biru abu-abu. Sedetik kemudian ia melihat keraguan di mata pasiennya itu bertambah.
Ia menarik tali ikat kambing, kambing mengembik dan dengan patuh mengikutinya ke pinggir kebun. Di pojok kebun terdapat kandang sapi. Di salah satu tiang bambu kandang itulah ia mengikatkan tali kambing.
Sarip mengikuti dari belakang.
"Bagaimana, apa kau siap?" tanyanya.
Sarip terdiam, menunduk dan memerhatikan kuku-kuku jari tangannya yang menghitam. Sementara ia sendiri memerhatikan pasiennya itu. Sarip masih berusia kepala tiga, tapi ia tampak seperti berumur lima puluhan. Tubuh yang kurus, wajah sayu dan kepala yang botak. Hanya matanya yang masih terlihat menyimpan semangat.
Sarip kembali menatap padanya dan ia masih membaca keraguan di mata Sarip.
Lalu Sarip kembali menunduk. Kali ini memerhatikan kuku-kuku kakinya yang menghitam, juga sandal jepit tua yang ia pakai. Sarip menghela napas dalam.
Sarip telah menyerah, pikirnya. Sarip sudah menjalani tiga paket kemo. Ia sudah kehabisan uang.
Dari Sarip ia tahu bahwa setiap kali Sarip berhasil menyelesaikan satu paket kemo, dokternya mengatakan dan memastikan bahwa ia telah bebas dari kanker. Dan setiap kali mendengar kabar demikian, Sarip dan istrinya, Ami, merasa sangat bahagia. Namun, di pemeriksaan lanjutan, dokter memberitahu, sel kanker telah kembali tumbuh.
Sarip berkata setiap tetes cairan kemo mengaliri nadinya, ia merasa seperti berputar-putar di roller-coaster raksasa. Tak tahu kapan roller-coaster itu akan berhenti. Naik-turun-putaran terjal, hari-hari penuh muntah.
Dan sekarang Sarip dihadapkan dengan kemo keempatnya.
Sarip pun sudah habis-habisan menjual semua yang ia punyai. Rumah, mobil, tanah, bahkan perhiasan emas milik istrinya, Ami. Sarip tak tahu dengan cara apa ia akan membayar perawatan kemo selanjutnya.
"Bagaimana?" tanyanya lagi, menghembuskan asap kretek dari bibirnya. Bau kemenyan memenuhi udara sekitar.
Ia melihat Sarip kembali melirik kambing di pojok kebun. Kambing itu sedang memamah rumput hijau dan dedaunan. Kemudian Sarip mengangkat bahu.
“Tak lama, hanya satu jam saja. Setelah itu kamu akan sembuh selamanya,” ia berusaha meyakinkan.
Keraguan di mata Sarip makin terlihat nyata. "Bolehkah aku berpikir dulu?" Sarip bertanya.
Ia meludah ampas keretek ke tanah merah. Kemudian ia mengangguk. "Tapi jangan lama," katanya, "Kita tak pernah tahu kapan waktunya akan datang."
Sarip terlihat menelan ludah. Sekejap kemudian Sarip mengangguk. "Tak lama, sore nanti aku kembali."
Ia pun mengangguk.
Sebelum pulang Sarip kembali menjenguk kambing yang diikat. Menatap lama pada mata kambing itu. Ia pandangi Sarip yang melangkah lunglai sampai hilang ditelan jalan.
Mereka akan menyerah ...
Mereka akan datang tak lama lagi ...
Mereka akan kembali menggurat sejarah yang sama ...
*
SETIBA di rumah, ia menemui istrinya, Ami, sedang sibuk memisahkan daun benalu dari daun teh. Ami duduk di lantai keramik putih, menghadap pada dua tampah bambu yang sangat lebar. Satu tampah diperuntukan bagi daun benalu saja.
Sudah dua tahun ia meminum air rebusan daun benalu. Rasanya luar biasa pahit. Namun, benalu yang tumbuh ditubuhnya tak juga musnah.
Ia sering bermimpi buruk. Di dalam mimpinya akar-akar kanker melibat organ-organ dalam tubuhnya dan memusnahkan semua sel yang mereka lalui. Akar-akar itu menjalar-jalar, berawal dari paru-paru lalu ke darah dan tulang. Di dalam mimpinya, ia dapat melihat akar-akar itu berwajah. Bermata dan bermulut. Ia dapat mendengar mereka tertawa.
Mendengar langkah kakinya, Ami menoleh. "Bagaimana pertemuanmu dengan si Mbah?"
Ia ikut duduk di lantai, menghadap tampah bambu dan mulai memetiki satu per satu daun benalu.
"Bagaimana tadi, Sarip?" Ami bertanya lagi. "Kenapa kelihatan tidak semangat begitu?"
Ia mencoba menggaruk kepalanya yang botak. Kulit kepalanya kering dan rambut yang dulu lebat sekarang telah habis, rontok. “Ya begitu,” jawabnya.
"Ya begitu apa?"
"Aku sudah melihat kambingnya."
"Lalu?"
Ia memandang istrinya. Rambut yang indah. Wajah yang cantik. Matanya yang bulat lebar memandangnya lembut, selembut mata seorang bayi. Ia menunduk kembali, menghadapi dedaunan benalu.
"Aku butuh waktu."
"Tapi kita tak punya banyak waktu," lirih Ami berkata.
Ia terdiam. Ya, pikirnya, ia tak pernah tahu kapan kematian akan menjemputnya. Perkiraan dokter, karena kankernya sudah stadium lanjut, 3B, setengah tahun untuknya sudah sangat baik.
Ami menyentuh tangannya. "Apa yang ditunggu?"
"Aku ragu."
"Kenapa ragu?"
Ia berpikir sejenak, apakah ia harus utarakan alasannya. Ia takut ia akan terdengar tak masuk akal.
Ami terus menatap matanya, menunggu jawab.
"Aku tidak tega."
"Tidak tega?" tanya Ami. "Pada kambing?"
"Ya, pada kambing."
Kali ini Ami yang terdiam lama, sebelum akhirnya berkata, "Kita makan kambing, kan?"
"Ya," angguknya.
"Lalu?" Ami bertanya.
"Tapi ini berbeda. Aku merasa seolah mengorbankan kambing itu."
"Kita mengorbankan kambing kan? Begitu juga Nabi Ibrahim."
"Tapi ini berbeda. Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya, yang lalu berubah menjadi kambing, demi perintah Tuhan."
Ia mendesah dan melanjutkan, "Kalau ini, aku merasa seolah melawan perintah Tuhan. Melawan takdirku sendiri."
Ami terdiam lama. Lalu ia bertanya, "Apa ada cara lain untuk sembuh?"
"Aku tidak tahu."
"Semua sudah kau tempuh."
Ia mengangguk.
"Kau mau seorang shinsei mengiris-iris tubuhmu, hingga kau berlumuran darah."
Ia mengangguk.
"Kau bersedia ditusuk-tusuk ribuan jarum."
Ia mengangguk.
"Tapi tidak dengan kambing? Tidak tega?"
Ia menghela napas dalam.
"Kau sudah berjanji akan berobat ke mana saja dan dengan cara apa saja."
"Tapi penyakit ini takdirku, Ami. Bukan takdir kambing itu."
Ami memandangi daun-daun benalu yang terhampar di tampah bambu. "Lalu apa takdirku, Sarip? Kehilangan kau?"
Ia terdiam, memandangi wajah istrinya. Lalu ia menjatuhkan wajahnya ke pundak Ami.
"Begitu cintakah kita pada hidup, Ami?"
"Bukankah kematian adalah alami. Seperti bunga yang tumbuh lalu layu dan mati?"
"Apakah tidak mungkin kematian lebih indah dibanding kehidupan?"
*
IA dan suaminya datang ke rumah dukun itu. Rumah bata tanpa pagar yang memunggungi senja. Rumah itu terlihat sunyi. Di pojok kebun, di sudut kandang sapi, seekor kambing diikat pada salah satu tiang bambu. Ke pojok itulah, ia mengajak suaminya melangkah.
Kambing yang berbulu cokelat. Tidak gemuk dan tidak tua. Bahkan, menurutnya, kambing itu terlalu muda. Ia memandangi mata kambing itu. Mata yang lembut, seolah ada selaput kabut tipis membungkus retina biru keabu-abuan.
Ia merasa kerongkongannya tiba-tiba kering. Ia menelan ludah. Ludah itu terasa pahit.
Tapi ia tak melihat ada jalan lain. Suaminya, Sarip, telah dua tahun mengidap kanker. Ia tidak ingin kehilangan Sarip. Kambing itulah satu-satunya harapan.
Ia beranikan diri mengetuk pintu.
Sang dukun sendiri yang membukakan pintu. Rambutnya gondrong dan wajah berlubang. Cambang yang lebat tak terurus. Kalung dan gelang akar bahar. Menampakkan bibir dan gigi-giginya yang hitam, dukun itu menyeringai.
"Aku tahu kalian pasti akan datang."
Ia terdiam, "Kalian?" tanyanya.
"Ya," dukun itu terkekeh, "tentu saja istri akan datang menemani."
Sang dukun membuka pintu lebar-lebar, memersilakan ia dan Sarip masuk ke dalam, kemudian menutup pintu.
Tak ada kursi atau meja di ruang yang mereka masuki. Hanya ada dua dipan bambu dan sebuah tikar usang. Ia mencium bau kemenyan.
"Duduklah," kata sang dukun, menyila pada tikar. "Aku ambil kambingnya dulu."
Sang dukun berlalu ke belakang rumah. Ia terdiam. Genggaman Sarip pada tangannya terasa menguat. Sarip pun diam sedari tadi. Ia memandang pada mata Sarip. Mata yang lembut. Mata itu tersenyum padanya.
"Kamu yakin?" tanyanya.
Sarip tersenyum, "Apa saja aku lakukan untukmu, Ami."
Mendengar jawaban Sarip, ia merasa tak nyaman. Ia merasa ada yang salah. Juga dengan sejarah. Ia tidak ingin menjadi bagian dari kesalahan. Bukan Hawa yang membujuk Adam untuk menyalahi perintah Tuhan. Bukan Hawa. Dan juga bukan dirinya.
Sang dukun masuk kembali ke dalam ruangan. Dari tangannya yang besar dan berbulu lebat menjulur seutas tali. Tali itu mengikat leher seekor kambing. Kambing mengembik. Matanya yang biru keabu-abuan memandang padanya penuh iba.
Sang dukun mengangkat kambing itu dan meletakkannya pada sebuah dipan bambu. Ia mengikat kaki-kaki kambing, dua kaki menjadi satu. Kambing itu tidak berontak, ia hanya mengembik pelan.
"Tidurlah di dipan ini," perintah sang dukun kepada Sarip, sambil menunjuk pada dipan yang kosong.
Sarip menurut. Dengan pasrah ia tidur di dipan bambu. Sang dukun menarik sebuah tungku liat berjelaga kecil dari sudut ruang. Dukun itu merapal mantra yang entah artinya apa.
Ia mencium bau kemenyan.
"Kau akan sembuh sebentar lagi," sang dukun menyeringai pada Sarip. “Setelah ini, kambing itu yang akan menderita penyakitmu."
Dukun itu mengangkat tungku di atas kepala Sarip, menghembuskan asap kemenyan ke tubuh Sarip. Lalu dukun itu berpindah ke dipan sebelah. Melakukan yang sama pada kambing. Kambing itu mengembik.
Tiba-tiba saja ia berteriak.
*
MALAMNYA, di kamar mereka, Ami dan Sarip tidur berpelukan. Sarip bermimpi, akar-akar kanker di dalam tubuhnya menjalar-jalar menuju ke kaki. Akar-akar itu keluar keluar telapak, masuk ke dalam tanah dan menembus inti bumi. Sarip dapat melihat akar-akar itu berwajah. Akar-akar itu bermata. Dan Sarip dapat mendengar dirinya sendiri tertawa.
Ami menggeliat bangun. Ia mendengar suaminya, Sarip, tertawa-tawa dalam tidurnya. Ami dapat melihat, dari jari-jemari tangan suaminya, akar-akar menjalar keluar. Akar-akar itu memanjang, menggapai dan membelit tubuhnya.
Ami merasa sangat nyaman. Ia merasa telah membetulkan sesuatu yang salah. Juga dengan sejarah. Ia ingin menjadi bagian darinya. Bukan Hawa yang membujuk Adam untuk menyalahi perintah Tuhan. Bukan Hawa. Dan juga bukan dirinya.
Akar-akar itu masuk ke kulit-kulit Ami, menjalar-jalar di dalam tubuhnya dan menembus ke jantung. Ami tertawa. Ia merasa amat bahagia.
Lancaster, Januari 2012
Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012
Sunday, March 11, 2012
Zulaikha dan Segelas Air yang Tertumpah dari Tangannya
Cerpen M. Raudah Jambak
PEREMPUAN itu termenung, menatap jauh menembus langit. Tangannya mengelus ubun-ubun Zulaikha, anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Bocah perempuan itu memandang tak berkedip ke arah ibunya, seperti ikut merasakan keresahan hati ibunya. Zulaikha pun tak seperti biasanya, dia lebih suka mengelendoti ibunya, padahal hari begitu cerahnya. Perempuan itu dengan lembut nyamembelai-belai rambut dan mengobral ciumannya ke seluruh wajah Zulaikha, seolah-seolah inilah hari terakhir kebersamaan mereka. Matahari tepat di atas kepala di saat perempuan itu memastikan Zulaikha sudah dibuai mimpi.
Matanya tak bekerjap sedikit pun menatap wajah anaknya yang terlelap. Dengan penuh hati-hati, perempuan itu menyingkirkan selimut yang melintas di dahi anaknya yang agak berkeringat. Akibat sentuhan itu, bocah perempuan itu menggaruk dahinya sesaat. Wajah oval mungil itu tampak semakin cantik dalam bias matahari yang menembus kaca jendela, kamar tidur mereka. Perempuan itu perlahan mengibas tangannya untuk mengusir lalat yang melintas tiba-tiba di atas wajah Zulaikha. Kemudian dia mengambil kelambu mungil yang biasa menjadi tameng tidur Zulaikha semasa bayi dulu.
Selanjutnya, perempuan itu duduk di kursi dekat meja yang di atasnya ada segelas air putih yang siap untuk diminum. Di sebelahnya, sebotol obat tidur yang berisi penuh. Kemarin perempuan itu telah membelinya di toko obat di depan rumah mereka. Keinginan perempuan itu sudah bulat untuk menghabiskan obat itu sekaligus. Matanya bergantian menatap ke arah gelas minuman dan botol obat tidur itu, ia menganggap kedua benda itulah akhirnya menjadi penentu segalanya. Namun, seketika matanya menatap perlahan ke arah Zulaikha, ada terbersit semacam keragu-raguan di sana.
Harus, semua harus kuselesaikan dengan caraku! Harus kuselesaikan sekarang juga, jerit batinnya. Perlahan dengan tangan gemetar perempuan itu membuka tutup botol obat itu dengan perasaan berdebar-debar. Separuh lebih obat itu kini sudah berpindah ke telapak tangan kirinya. Dengan perasaan yang lebih mendebarkan, tangan kanannya menggenggam erat segelas air putih yang telah dipersiapkan. Selanjutnya diletakkannya kembali gelas dari tangan kanannya, dan kini separuh obat tidur itu sudah berpindah ke tangan kanannya.
Perlahan-lahan tangan itu meninggi, mulutnya mulai menganga dan matanya mulai dipejamkan. Tapi suara igauan Zulaikha seketika menghentikan aksinya. Perempuan itu terpana dan meletakkan obat tidur itu di atas meja dan segera menuju ke arah Zulaikha, memandangnya. “Ampunkan ibu, anakku! Apakah kamu yang harus menanggung dosa-dosa ibu?” Isaknya tertahan. Perempuan itu menyingkirkan selimut kecil yang menaungi tidur anaknya. Tangannya perlahan mengusap keringat yang mulai membanjir di dahi bocah perempuan yang terlelap itu. Menyingkirkan selimut yang melintas seenaknya. Dalam perasaan yang yang sudah teraduk-aduk, makin teraduk-aduk, melihat wajah anak tanpa dosa itu. Beberapa saat kemudian kedua tangannya meraba wajahnya, dan seluruh tubuhnya, lalu berhenti di antara kedua pahanya.
"Kenapa kau tak mampu menahan diri!"
Seketika butir-butir air mata menetes satu per satu membasahi pipinya, kemudian tergelincir jatuh. Tangannya segera meraih tisu dari sakunya, lalu menyeka pipinya yang basah. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan kamar, seperti mencari harapannya yang tertinggal. Dia terpaku pada sebuah foto yang berdiri tegak tepat di atas meja rias kamarnya. Dia segera duduk di depan kaca rias dan meraih foto itu. Tatapan matanya selalu berganti pada foto dan kaca rias.
Ya, perempuan itu menatap lekat bergantian wajahnya yang ada di foto dan di cermin. Batinnya berteriak, "Aku tidak minta dilahirkan cantik!" Mungkin! Ini penyebabnya. Kecantikannya telah menyebabkan munculnya berbagai peristiwa. Apalagi usianya masih cukup muda, 25 tahun, mewajarkannya berpenampilan seksi. Tubuh yang sintal dan kulit yang begitu halus, kuning langsat. Siapa pun pasti tidak akan membantahnya. Akan tetapi hari ini dia begitu menyesali kecantikannya. Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya, menjambak rambutnya, mencakari wajahnya biar wajahnya berubah mengerikan seperti monster.
Biar tidak seorang pun laki-laki yang memabukkannya dengan berbagai lena. Namun tangannya kaku, tenggorokannya seakan tersekat benda berat. Dengan perasaan yang tertekan, perempuan itu mengehempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia menelentang di samping Zulaikha sambil menekan dan memukulkan bantal ke wajahnya sendiri.
Perempuan itu tidak ingin berpikir macam-macam. Perempuan itu tidak ingin melihat apa-apa. Perempuan itu tidak ingin mendengar apa-apa. Tidak ingin apa pun. Tapi wajah itu, tubuh itu, terbayang silih berganti datang memenuhi isi kepalanya. Puluhan kaum borjuis, puluhan kaum intelektual, bahkan ratusan lelaki seakan memperhatikan dengan mata penuh birahi. Datang berjubel menelanjangi dengan mata beringas mereka. Tepuk tangan dan decak syahwat yang riuh seperti menggemuruh ditelinganya. Trauma ketika ia memperagakan pakaian renang musim panas di atas catwalk. Dengan pakaian renang yang cukup transparan.
"Wah!"
"Hebat!"
"Luar biasa!"
"Sempurna! Sempurna!"
Begitulah seterusnya. Tepuk tangan menggema menembus suara musik dan penerangan lampu sorot, dengan pandangan biji mata lelaki yang hampir muncrat keluar, perempuan itulah. Mulai dari barisan depan sampai barisan belakang berebut hendak mengabadikannya lewat foto.
Dia betul-betul primadona. Dia adalah figur yang mengagumkan. Setiap inci yang ada di tubuhnya begitu sempurna. Wajahnya adalah wajah yang menjadi impian banyak wanita. Tubuhnya adalah impian keinginan setiap pria. Semuanya betul-betul mencerminkan segala kewanitaannya, melebihi Cleopatra yang pernah menaklukkan dua Raja Romawi dalam pelukannya. Tuhan seperti telah memberikan anugerah yang begitu luar biasa padanya. Dan perempuan itu begitu menyadarinya. Dengan kecantikannya dia mampu menaklukan lelaki mana saja. Menyedot perhatian siapa saja. Sesungging senyuman semua lelaki yang menatapnya. Selain itu, dia mampu menjadi duta budaya, kecerdasannya mampu membuat kagum siapa saja. Ketika dia bicara, dengan kharisma kecantikannya, mampu membungkam ratusan orang untuk tetap tekun mendengarnya. Dia begitu paham politik. Sangat mengerti ekonomi. Tidak diragukan di bidang seni, budaya, dan sebagainya.
Sungguh-sungguh luar biasa. Kecerdasan dan kecantikannya berpadu luar biasa. Pernah dia diundang dalam lomba model tingkat internasional di sebuah negara tetangga. Tetapi hal itu mendapat reaksi keras rakyat negeri ini. Sebab, mereka tidak ingin perempuan itu direbut negara lain. Sebab itu pulalah dia diminta untuk menjadi salah satu calon legislatif dari salah satu partai berkuasa negeri ini. Walaupun begitu, perempuan itu terus merasa diterpa kerasnya gelombang kehidupan. Ingar bingar dan kekaguman orang-orang terhadapnya tetap menghempaskannya ke pantai kesepian.
Bagaimanapun dia tetaplah wanita. Perseteruan antara mantan pacarnya yang anak pejabat dengan pengusaha kaya terhadap keabsahan Zulaikha anak siapa, terus merongrong batinnya. Ada tawaran tes DNA, justru itu kesimpulan yang menyakitkan. Dan perempuan itu belum memberi persetujuan. Karena wajah inilah yang menyebabkannya menjadi janda dan kini hatinya menganga dalam kekosongan.
Di sudut hatinya, kerinduan untuk keluar menghantarkannya mendapatkan hasrat terhadap kehadiran seorang hakiki. Tidak hanya sekadar dalam hati, tapi hadir dalam kehidupan nyata. Semula dia beranggapan dengan kecantikan ini dia dapat memilih lelaki mana saja yang disukai. Tidak seperti lelaki yang selalu memaksakan terhadap keabsahan Zulaikha. Tetapi ternyata kecantikan dan kelebihannya justru membuatnya terkungkung terhadap ketakutan lelaki meminangnya, meragukan kesetiaannya.
Lelaki hanya beranggapan dia hanya untuk digelimangi dengan suasana hura-hura. Dan, perempuan itu menyadarinya, ketika beberapa pengusaha muda yang kaya datang padanya, dia lebih banyak menolak. Hanya satu yang dia tidak ragu, Romi seorang pria tampan, aktivis organisasi pemuda di daerahnya. dia berusia 30 tahun, berstatus bujangan. Pertemuan mereka bermula ketika memperagakan busana dari bahan bulu hewan. Romi protes habis-habisan dan perempuan itu justru terkagum-kagum padanya.
Sejak itu mereka sering bertemu, memanen benih rindu. Dan atas prakarsa Romi pulalah yang mengantarkan perempuan itu menjadi salah seorang caleg dari partai terbesar negeri ini. Namun, perempuan itu tetaplah wanita, perempuan itu selalu menyerah dalan pelukan Romi dengan segenap gairah kewanitaannya. Berkali-kali perempuan itu memanen kerinduan, berkali-kali pula menggugurkan buahnya.
Perempuan itu selalu kalah. Kekalahannya semakin nyata setelah Romi digantikan Romi-Romi yang lain. Lebih ganas dan beringas. Sampai pada satu titik, perempuan itu tidak sedikitpun mencium aroma Romi, apalagi menikmati sosoknya. Pupus sudah harapannya. Seketika dia bangkit. Perempuan itu meraih gelas yang berisi air putih di atas meja dan meraih obat tidur yang teronggok liar di sana.
"Sayonara! Selamat tinggal anakku, Zulaikha! Kita tidak akan bertemu lagi!" rintihnya.
Tiba-tiba Zulaikha terbangun, dia memandang manja pada ibunya, setengah merengek.
"Ma, bobok yok!" ajak Zulaikha meringis.
Perempuan itu gelagapan. Segera dia meletakkan gelas dan obat tidur itu di atas meja. Dan segera menuju Zulaikha, rebah di sampingnya. Perempuan itu kembali membelai dahi Zulaikha sambil menyanyikan lagu Nina Bobo. Zulaikha kembali tenteram. Suara azan magrib dari kejauhan terdengar sayup-sayup. Bersahut-sahutan dengan suara azan dari mesjid terdekat.
Perempuan itu merasa begitu lelah. Dia menatap langit-langit kamar, menelentang. Suara jangkrik pun mulai beradu mengantar suasana senja yang temaram. Perempuan itu setengah ragu, bangkit atau merebahkan diri? Perempuan itu lantas merebahkan dirinya. Selebihnya dia tak ingat apa-apa lagi. Tertidur dan terlelap.
***
SUBUH mengambil alih waktu, perempuan itu terbangun. Dia tersentak karena suara azan terakhir beradu dengan dengus napas disertai desah yang berat. Zulaikha, putrinya, tergeletak meradang di lantai kamar. Badannya menggelepar hebat dengan kaki dan tangan mengehentak-hentak, serta mulut yang berbuih. Perempuan itu seketika merasa jantungnya berhenti berdetak saat dia tidak menemukan obat tidur di atas meja dan segelas air putih yang kosong tergeletak di samping Zulaikha yang hampir berhenti bergerak. n
Lampung Post, Minggu, 11 Maret 2012
PEREMPUAN itu termenung, menatap jauh menembus langit. Tangannya mengelus ubun-ubun Zulaikha, anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Bocah perempuan itu memandang tak berkedip ke arah ibunya, seperti ikut merasakan keresahan hati ibunya. Zulaikha pun tak seperti biasanya, dia lebih suka mengelendoti ibunya, padahal hari begitu cerahnya. Perempuan itu dengan lembut nyamembelai-belai rambut dan mengobral ciumannya ke seluruh wajah Zulaikha, seolah-seolah inilah hari terakhir kebersamaan mereka. Matahari tepat di atas kepala di saat perempuan itu memastikan Zulaikha sudah dibuai mimpi.
Matanya tak bekerjap sedikit pun menatap wajah anaknya yang terlelap. Dengan penuh hati-hati, perempuan itu menyingkirkan selimut yang melintas di dahi anaknya yang agak berkeringat. Akibat sentuhan itu, bocah perempuan itu menggaruk dahinya sesaat. Wajah oval mungil itu tampak semakin cantik dalam bias matahari yang menembus kaca jendela, kamar tidur mereka. Perempuan itu perlahan mengibas tangannya untuk mengusir lalat yang melintas tiba-tiba di atas wajah Zulaikha. Kemudian dia mengambil kelambu mungil yang biasa menjadi tameng tidur Zulaikha semasa bayi dulu.
Selanjutnya, perempuan itu duduk di kursi dekat meja yang di atasnya ada segelas air putih yang siap untuk diminum. Di sebelahnya, sebotol obat tidur yang berisi penuh. Kemarin perempuan itu telah membelinya di toko obat di depan rumah mereka. Keinginan perempuan itu sudah bulat untuk menghabiskan obat itu sekaligus. Matanya bergantian menatap ke arah gelas minuman dan botol obat tidur itu, ia menganggap kedua benda itulah akhirnya menjadi penentu segalanya. Namun, seketika matanya menatap perlahan ke arah Zulaikha, ada terbersit semacam keragu-raguan di sana.
Harus, semua harus kuselesaikan dengan caraku! Harus kuselesaikan sekarang juga, jerit batinnya. Perlahan dengan tangan gemetar perempuan itu membuka tutup botol obat itu dengan perasaan berdebar-debar. Separuh lebih obat itu kini sudah berpindah ke telapak tangan kirinya. Dengan perasaan yang lebih mendebarkan, tangan kanannya menggenggam erat segelas air putih yang telah dipersiapkan. Selanjutnya diletakkannya kembali gelas dari tangan kanannya, dan kini separuh obat tidur itu sudah berpindah ke tangan kanannya.
Perlahan-lahan tangan itu meninggi, mulutnya mulai menganga dan matanya mulai dipejamkan. Tapi suara igauan Zulaikha seketika menghentikan aksinya. Perempuan itu terpana dan meletakkan obat tidur itu di atas meja dan segera menuju ke arah Zulaikha, memandangnya. “Ampunkan ibu, anakku! Apakah kamu yang harus menanggung dosa-dosa ibu?” Isaknya tertahan. Perempuan itu menyingkirkan selimut kecil yang menaungi tidur anaknya. Tangannya perlahan mengusap keringat yang mulai membanjir di dahi bocah perempuan yang terlelap itu. Menyingkirkan selimut yang melintas seenaknya. Dalam perasaan yang yang sudah teraduk-aduk, makin teraduk-aduk, melihat wajah anak tanpa dosa itu. Beberapa saat kemudian kedua tangannya meraba wajahnya, dan seluruh tubuhnya, lalu berhenti di antara kedua pahanya.
"Kenapa kau tak mampu menahan diri!"
Seketika butir-butir air mata menetes satu per satu membasahi pipinya, kemudian tergelincir jatuh. Tangannya segera meraih tisu dari sakunya, lalu menyeka pipinya yang basah. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan kamar, seperti mencari harapannya yang tertinggal. Dia terpaku pada sebuah foto yang berdiri tegak tepat di atas meja rias kamarnya. Dia segera duduk di depan kaca rias dan meraih foto itu. Tatapan matanya selalu berganti pada foto dan kaca rias.
Ya, perempuan itu menatap lekat bergantian wajahnya yang ada di foto dan di cermin. Batinnya berteriak, "Aku tidak minta dilahirkan cantik!" Mungkin! Ini penyebabnya. Kecantikannya telah menyebabkan munculnya berbagai peristiwa. Apalagi usianya masih cukup muda, 25 tahun, mewajarkannya berpenampilan seksi. Tubuh yang sintal dan kulit yang begitu halus, kuning langsat. Siapa pun pasti tidak akan membantahnya. Akan tetapi hari ini dia begitu menyesali kecantikannya. Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya, menjambak rambutnya, mencakari wajahnya biar wajahnya berubah mengerikan seperti monster.
Biar tidak seorang pun laki-laki yang memabukkannya dengan berbagai lena. Namun tangannya kaku, tenggorokannya seakan tersekat benda berat. Dengan perasaan yang tertekan, perempuan itu mengehempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia menelentang di samping Zulaikha sambil menekan dan memukulkan bantal ke wajahnya sendiri.
Perempuan itu tidak ingin berpikir macam-macam. Perempuan itu tidak ingin melihat apa-apa. Perempuan itu tidak ingin mendengar apa-apa. Tidak ingin apa pun. Tapi wajah itu, tubuh itu, terbayang silih berganti datang memenuhi isi kepalanya. Puluhan kaum borjuis, puluhan kaum intelektual, bahkan ratusan lelaki seakan memperhatikan dengan mata penuh birahi. Datang berjubel menelanjangi dengan mata beringas mereka. Tepuk tangan dan decak syahwat yang riuh seperti menggemuruh ditelinganya. Trauma ketika ia memperagakan pakaian renang musim panas di atas catwalk. Dengan pakaian renang yang cukup transparan.
"Wah!"
"Hebat!"
"Luar biasa!"
"Sempurna! Sempurna!"
Begitulah seterusnya. Tepuk tangan menggema menembus suara musik dan penerangan lampu sorot, dengan pandangan biji mata lelaki yang hampir muncrat keluar, perempuan itulah. Mulai dari barisan depan sampai barisan belakang berebut hendak mengabadikannya lewat foto.
Dia betul-betul primadona. Dia adalah figur yang mengagumkan. Setiap inci yang ada di tubuhnya begitu sempurna. Wajahnya adalah wajah yang menjadi impian banyak wanita. Tubuhnya adalah impian keinginan setiap pria. Semuanya betul-betul mencerminkan segala kewanitaannya, melebihi Cleopatra yang pernah menaklukkan dua Raja Romawi dalam pelukannya. Tuhan seperti telah memberikan anugerah yang begitu luar biasa padanya. Dan perempuan itu begitu menyadarinya. Dengan kecantikannya dia mampu menaklukan lelaki mana saja. Menyedot perhatian siapa saja. Sesungging senyuman semua lelaki yang menatapnya. Selain itu, dia mampu menjadi duta budaya, kecerdasannya mampu membuat kagum siapa saja. Ketika dia bicara, dengan kharisma kecantikannya, mampu membungkam ratusan orang untuk tetap tekun mendengarnya. Dia begitu paham politik. Sangat mengerti ekonomi. Tidak diragukan di bidang seni, budaya, dan sebagainya.
Sungguh-sungguh luar biasa. Kecerdasan dan kecantikannya berpadu luar biasa. Pernah dia diundang dalam lomba model tingkat internasional di sebuah negara tetangga. Tetapi hal itu mendapat reaksi keras rakyat negeri ini. Sebab, mereka tidak ingin perempuan itu direbut negara lain. Sebab itu pulalah dia diminta untuk menjadi salah satu calon legislatif dari salah satu partai berkuasa negeri ini. Walaupun begitu, perempuan itu terus merasa diterpa kerasnya gelombang kehidupan. Ingar bingar dan kekaguman orang-orang terhadapnya tetap menghempaskannya ke pantai kesepian.
Bagaimanapun dia tetaplah wanita. Perseteruan antara mantan pacarnya yang anak pejabat dengan pengusaha kaya terhadap keabsahan Zulaikha anak siapa, terus merongrong batinnya. Ada tawaran tes DNA, justru itu kesimpulan yang menyakitkan. Dan perempuan itu belum memberi persetujuan. Karena wajah inilah yang menyebabkannya menjadi janda dan kini hatinya menganga dalam kekosongan.
Di sudut hatinya, kerinduan untuk keluar menghantarkannya mendapatkan hasrat terhadap kehadiran seorang hakiki. Tidak hanya sekadar dalam hati, tapi hadir dalam kehidupan nyata. Semula dia beranggapan dengan kecantikan ini dia dapat memilih lelaki mana saja yang disukai. Tidak seperti lelaki yang selalu memaksakan terhadap keabsahan Zulaikha. Tetapi ternyata kecantikan dan kelebihannya justru membuatnya terkungkung terhadap ketakutan lelaki meminangnya, meragukan kesetiaannya.
Lelaki hanya beranggapan dia hanya untuk digelimangi dengan suasana hura-hura. Dan, perempuan itu menyadarinya, ketika beberapa pengusaha muda yang kaya datang padanya, dia lebih banyak menolak. Hanya satu yang dia tidak ragu, Romi seorang pria tampan, aktivis organisasi pemuda di daerahnya. dia berusia 30 tahun, berstatus bujangan. Pertemuan mereka bermula ketika memperagakan busana dari bahan bulu hewan. Romi protes habis-habisan dan perempuan itu justru terkagum-kagum padanya.
Sejak itu mereka sering bertemu, memanen benih rindu. Dan atas prakarsa Romi pulalah yang mengantarkan perempuan itu menjadi salah seorang caleg dari partai terbesar negeri ini. Namun, perempuan itu tetaplah wanita, perempuan itu selalu menyerah dalan pelukan Romi dengan segenap gairah kewanitaannya. Berkali-kali perempuan itu memanen kerinduan, berkali-kali pula menggugurkan buahnya.
Perempuan itu selalu kalah. Kekalahannya semakin nyata setelah Romi digantikan Romi-Romi yang lain. Lebih ganas dan beringas. Sampai pada satu titik, perempuan itu tidak sedikitpun mencium aroma Romi, apalagi menikmati sosoknya. Pupus sudah harapannya. Seketika dia bangkit. Perempuan itu meraih gelas yang berisi air putih di atas meja dan meraih obat tidur yang teronggok liar di sana.
"Sayonara! Selamat tinggal anakku, Zulaikha! Kita tidak akan bertemu lagi!" rintihnya.
Tiba-tiba Zulaikha terbangun, dia memandang manja pada ibunya, setengah merengek.
"Ma, bobok yok!" ajak Zulaikha meringis.
Perempuan itu gelagapan. Segera dia meletakkan gelas dan obat tidur itu di atas meja. Dan segera menuju Zulaikha, rebah di sampingnya. Perempuan itu kembali membelai dahi Zulaikha sambil menyanyikan lagu Nina Bobo. Zulaikha kembali tenteram. Suara azan magrib dari kejauhan terdengar sayup-sayup. Bersahut-sahutan dengan suara azan dari mesjid terdekat.
Perempuan itu merasa begitu lelah. Dia menatap langit-langit kamar, menelentang. Suara jangkrik pun mulai beradu mengantar suasana senja yang temaram. Perempuan itu setengah ragu, bangkit atau merebahkan diri? Perempuan itu lantas merebahkan dirinya. Selebihnya dia tak ingat apa-apa lagi. Tertidur dan terlelap.
***
SUBUH mengambil alih waktu, perempuan itu terbangun. Dia tersentak karena suara azan terakhir beradu dengan dengus napas disertai desah yang berat. Zulaikha, putrinya, tergeletak meradang di lantai kamar. Badannya menggelepar hebat dengan kaki dan tangan mengehentak-hentak, serta mulut yang berbuih. Perempuan itu seketika merasa jantungnya berhenti berdetak saat dia tidak menemukan obat tidur di atas meja dan segelas air putih yang kosong tergeletak di samping Zulaikha yang hampir berhenti bergerak. n
Lampung Post, Minggu, 11 Maret 2012
Sunday, March 4, 2012
Cerita-Cerita Picisan Sepanjang Februari
Cerpen Alexander G.B.
1. Sebuah malam di Tanjungkarang dan kamu tak ada
Membelah malam sebuah Februari yang dingin dan berangin. Dari Gunungterang ke Perum Kemiling. Mimpi-mimpi pucat di pinggiran kota kecil yang selalu gagal mendefinisikan dirinya. Menikmati hembusan angin lembut dan bintang-bintang yang pelan-pelan redup ditutup awan.
Sepanjang jalan kukenang senyummu, penuh harap sekaligus menyimpan dukacita yang panjang.
"Sudah lama bunga-bunga di belakang rumah tak kau siram, sudah lama pantai itu tak kau sapa. Waktu mengajari kita untuk bersabar selama menunggu, sedang jarak mengajari kita tentang rindu."
Tanjungkarang terlelap. Dibekap mimpi-mimpi tentang water front city dan jembatan Selat Sunda. Sementara itu, aku masih berkutat dengan pekerjaan sepele yang tak kunjung tuntas. Berkali-kali mulutku menguap. Keteguk lagi kopi yang nyaris dingin. Kepulan asap rokok menjelma bayangmu. Aku menyusun kembali kisah-kisah muram dan berserakan di kepala. Aku menghimpunnya dan berharap bisa menjadi cerita pendek atau sebuah puisi indah yang lekas kukirimkan kepadamu, hingga kamu tak perlu terlalu merasa sendiri.
Pernah aku berpikir untuk meninggalkanmu. Tanpa air mata. Tanpa pesan apa pun dari bibir indahmu. Kepalaku menyimpan banyak keraguan. Seperti kendaraan yang tak henti berlintasan, suara klakson, dan penjual koran juga. Begitu ramai.
Menjelang pukul satu, kususuri Jalan Panglima Polim hingga Purnawirawan. Senyummu hadir sepanjang jalan itu. Senyum badai embun yang memadamkan nyala api di dadaku. Aku menggigil. Merasakan kegelapan yang begitu pekat. Sesaat terdiam. Tercekat oleh perasaan yang aneh. Tanpamu, aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Seperti lelaki yang ditinggalkan purnama.
Esoknya kamu akan menjelma black hold, menyerap setiap unsur dalam diriku. Aku ingin menghindar tapi selalu gagal. Saat ini, kita seperti mahluk konyol yang menunggu ditinggalkan atau meninggalkan. Lalu, ada hati yang merasa kehilangan, yang tak lagi lengkap, atau anggapan-anggapan lain yang terkadang begitu sulit untuk dimengerti.
Paginya aku terbangun. Aku mencari-cari kamu. Tak ada siapa-siapa. Daun-daun jambu berserakan di belakang rumah. Aku merapikan batu-batu di depan pintu, menganti baterai jam dinding yang sudah dua hari tak lagi berdetak. Ada beberapa sarang laba-laba di sudut kamar. Ada potretmu tergantung di situ, tersenyum seolah sedang mengejek kesendirianku.
2. Rumah dan ayah yang tak lagi hijau
Aku tak tahu jika ayahmu tak lagi berwarna hijau. Ayah semakin jarang pulang ke rumah. Seperti kamu. Bertahun-tahun tak ada jejakmu di situ. Ada pigura berwana cokelat melekat di dinding ruang tamu. Seorang wanita suka sekali memandang begitu lama. Jarum jam mengelak untuk melakukan ketidakbiasaan. Ia terus berputar sesuai dengan garis edarnya. Tak hendak melakukan semacam improvisasi.
Apa yang sedang kamu lakukan? Beberapa daun bungur rebah di tanah. Undakan menuju beranda berlumut. Lalu, suara batuk-batukmu terdengar mengusik ketenanganku.
"Aku tak apa-apa. Hanya sedikit terganggu kisah-kisah yang kamu hidangkan setiap malam, oleh iklan-iklan dan berita kriminal di koran dan televisi, juga foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu."
Jejak-jejak ayah begitu nyata di matamu. Kamu begitu peragu dan takut yang kerap tidak pada tempatnya. Bahkan, kamu tak pernah mau singgah di taman dua musim itu. Sebuah taman yang dibangun seorang teman yang suka menulis sajak-sajak indah tentang Januari. Aku ingin mengajakmu ke sana. Berbagi cerita, bertukar kebosanan dan keluh kesah yang kerap menjadi menu sarapan dan makan malam.
"Kenapa sekarang kamu semakin kurus?"
Kamu menghapus banyak sekali jejak ayah di situ. Seolah-olah menolak lelaki yang turut menyusun dirimu.
"Tidak. Bukan begitu. Terlalu banyak ayah di rumah ini."
"Tetapi, bukankan itu normal. Setiap rumah dan halaman selalu saja dipenuhi Ayah bukan?"
"Tapi aku ingin berubah. Aku ingin melepas ritus kecemasan yang turun-temurun harus ditelan mentah-mentah bagi penerusnya. Tetapi, aku tak hendak menolak silsilah. Aku hanya ingin berubah."
"Bukankah ayah juga suka berubah-ubah?"
Kamu diam. Menjelma tugu selamat datang. Lalu, memintaku segera berlalu, meninggalkan Tanjungkarang dan tak lagi mengingatmu. Kamu wanita yang aneh. Kamu menolak peta dan tanda-tanda jalan yang mestinya tetap kamu simpan sebagai bekal perjumpaan.
"Tidak. Aku tidak menyesal. Aku bebas menyusun kisah-kisahku. Aku bebas membangun taman yang berbeda dari ayah."
"Mengapa kamu begitu membenci ayah?"
"Aku sudah bilang. Aku tidak membenci ayah. Aku hanya ingin sedikit berubah."
Ia kembali diam. Aku juga diam. Bulan kroak di langit dimakan kala. Awan kelabu menaungi Tanjungkarang. Sementara, aku sangat ingin melihatmu tersenyum setiap pagi. Tapi, selalu gagal lantaran hujan yang tak pernah alpa sepanjang Februari. Apakah kamu tahu bahwa ayah tak lagi berwarna hijau.
3. Ayah dan sebilah pisau di matamu
Matamu menyimpan sebilah pisau. Pisau dari baja yang kuat dan tajam. Kamu selalu membuatku takut. Aku ingin kamu terpejam. Selamanya. Agar mata itu tak lagi melukaiku. Sudah kubilang jangan menatapku seperti itu. Tolong. Aku ingin bebas dari tatapanmu.
Lalu aku teringat ketika sendiri di sebuah halte. Berharap sebuah bus melintas dan lekas membawaku pergi. Sejenak menjauh darimu. Kamu seperti ayah. Atau justru kamu sesungguhnya telah menjelma ayah. Ayah yang bagiku seperti ikan di akuarium. Ia berenang ke sana kemari dan merasa berada di sungai atau samudera.
Dulu aku kerap gagal menjelaskan kepada ayah bahwa aku harus keluar rumah, bahwa aku harus pergi agar aku tak hidup di akuarium yang sama. Tapi, ayah selalu menolak. Ia tak ingin dibantah oleh siapa pun. Ibu juga hanya diam di kursi. Lalu, setelah ayah pergi, ibu suka mengelus rambutku. Gelombang pasang melanda dadaku.
Langit merah marun, Sayang. Apa yang sedang kamu risaukan. Bukankan aku ada di sini. Menemanimu. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu ada untukmu. Kamu adalah takdirku. Percayalah. Aku ada karena kamu membutuhkan teman yang bisa kamu ajak bercerita. Bertukar kisah lama yang dulu selalu kita sangkal. Kita kubur di halaman atau gudang tempat banyak barang bekas teronggok begitu saja.
Tapi, pertemuan demi pertemuan membuat kita justru menghadirkan hal-hal yang mestinya kita abaikan.
"Sore ini, aku ingin kamu berhenti merayu? Aku tak ingin selalu kamu dustai?"
"Ya. Aku juga sudah bosan. Toh, sesungguhnya kita tetap sendiri. Kita tak mungkin sungguh-sungguh bersama, meskipun tubuh kita begitu rapat, kulit kita saling bersentuhan. Aku merasakan napasmu. Kamu merasakan debar jantungku."
Pisau di matanya kembali berkilat. Aku terhenyak. Ia menatap tanpa berkedip selama beberapa menit. Membuatku jadi kehilangan cara untuk duduk tenang di dekatnya. Sekuntum mawar tergolek di dekat pintu. Seorang lelaki berwajah musim dingin memungutnya. Mawar itu diletakkan di akuarium. Sebuah figura terjatuh.
4. Suara di rembang petang
Di rembang petang kamu menatap ombak yang berkejaran. Seekor camar terbang sendiri, pelepah kelapa menari-nari.
"Meski tak abadi. Aku selalu ingin bersamamu. Kita akan berpisah. Tak apa. Tapi paling tidak kita pernah berbahagia. Itu sudah cukup bagiku, ujarmu. Sebelum sebuah mobil menjemputku.
"Ketidakabadian itu aneh ya?" tanyaku.
"Ya," ujarmu diikuti helaan napas yang tidak menyenangkan.
Pernah, wanita itu berdiri dengan dua sayap malaikat di punggungnya. Dia mengusir mimpi-mimpi buruk. Tanpa lelah menemaniku berjalan. Mengajari bersabar ketika keadaan tak sejalan harapan, bahwa akan ada pagi ketika hidup terasa selalu malam. Senyumnya adalah telaga.
Tapi, kini mata itu menjelma senja yang pucat. Setiap helai rambutnya menyimpan ratusan kisah sedih. Matahari dan rembulan bersembunyi dibalik rimbun awan. Kini, Ia seperti tanaman yang layu karena terlalu lama dipeluk kemarau. Aku tidak tahu sebabnya. Dan, enggan untuk menduga-duga. Tapi, aku tetap mengaguminya.
Mengenalnya membuat banyak alasan untuk berbahagia. Tapi, sekaligus bersedih karena terlalu sering berpisah. Cakrawala membentangkan banyak warna. Berkali-kali aku tergoda pelangi atau gerimis yang turun sore hari. Tapi, berkali-kali pula lembaran-lembaran lain ingin kubuka. Tapi, tatapan dan genggaman tangannya selalu membawaku kembali. Menunggu. Perempuan berpipi merah jambu.
Bandar Lampung, Februari 2012
Lampung Post, Minggu, 4 Maret 2012
1. Sebuah malam di Tanjungkarang dan kamu tak ada
Membelah malam sebuah Februari yang dingin dan berangin. Dari Gunungterang ke Perum Kemiling. Mimpi-mimpi pucat di pinggiran kota kecil yang selalu gagal mendefinisikan dirinya. Menikmati hembusan angin lembut dan bintang-bintang yang pelan-pelan redup ditutup awan.
Sepanjang jalan kukenang senyummu, penuh harap sekaligus menyimpan dukacita yang panjang.
"Sudah lama bunga-bunga di belakang rumah tak kau siram, sudah lama pantai itu tak kau sapa. Waktu mengajari kita untuk bersabar selama menunggu, sedang jarak mengajari kita tentang rindu."
Tanjungkarang terlelap. Dibekap mimpi-mimpi tentang water front city dan jembatan Selat Sunda. Sementara itu, aku masih berkutat dengan pekerjaan sepele yang tak kunjung tuntas. Berkali-kali mulutku menguap. Keteguk lagi kopi yang nyaris dingin. Kepulan asap rokok menjelma bayangmu. Aku menyusun kembali kisah-kisah muram dan berserakan di kepala. Aku menghimpunnya dan berharap bisa menjadi cerita pendek atau sebuah puisi indah yang lekas kukirimkan kepadamu, hingga kamu tak perlu terlalu merasa sendiri.
Pernah aku berpikir untuk meninggalkanmu. Tanpa air mata. Tanpa pesan apa pun dari bibir indahmu. Kepalaku menyimpan banyak keraguan. Seperti kendaraan yang tak henti berlintasan, suara klakson, dan penjual koran juga. Begitu ramai.
Menjelang pukul satu, kususuri Jalan Panglima Polim hingga Purnawirawan. Senyummu hadir sepanjang jalan itu. Senyum badai embun yang memadamkan nyala api di dadaku. Aku menggigil. Merasakan kegelapan yang begitu pekat. Sesaat terdiam. Tercekat oleh perasaan yang aneh. Tanpamu, aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Seperti lelaki yang ditinggalkan purnama.
Esoknya kamu akan menjelma black hold, menyerap setiap unsur dalam diriku. Aku ingin menghindar tapi selalu gagal. Saat ini, kita seperti mahluk konyol yang menunggu ditinggalkan atau meninggalkan. Lalu, ada hati yang merasa kehilangan, yang tak lagi lengkap, atau anggapan-anggapan lain yang terkadang begitu sulit untuk dimengerti.
Paginya aku terbangun. Aku mencari-cari kamu. Tak ada siapa-siapa. Daun-daun jambu berserakan di belakang rumah. Aku merapikan batu-batu di depan pintu, menganti baterai jam dinding yang sudah dua hari tak lagi berdetak. Ada beberapa sarang laba-laba di sudut kamar. Ada potretmu tergantung di situ, tersenyum seolah sedang mengejek kesendirianku.
2. Rumah dan ayah yang tak lagi hijau
Aku tak tahu jika ayahmu tak lagi berwarna hijau. Ayah semakin jarang pulang ke rumah. Seperti kamu. Bertahun-tahun tak ada jejakmu di situ. Ada pigura berwana cokelat melekat di dinding ruang tamu. Seorang wanita suka sekali memandang begitu lama. Jarum jam mengelak untuk melakukan ketidakbiasaan. Ia terus berputar sesuai dengan garis edarnya. Tak hendak melakukan semacam improvisasi.
Apa yang sedang kamu lakukan? Beberapa daun bungur rebah di tanah. Undakan menuju beranda berlumut. Lalu, suara batuk-batukmu terdengar mengusik ketenanganku.
"Aku tak apa-apa. Hanya sedikit terganggu kisah-kisah yang kamu hidangkan setiap malam, oleh iklan-iklan dan berita kriminal di koran dan televisi, juga foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu."
Jejak-jejak ayah begitu nyata di matamu. Kamu begitu peragu dan takut yang kerap tidak pada tempatnya. Bahkan, kamu tak pernah mau singgah di taman dua musim itu. Sebuah taman yang dibangun seorang teman yang suka menulis sajak-sajak indah tentang Januari. Aku ingin mengajakmu ke sana. Berbagi cerita, bertukar kebosanan dan keluh kesah yang kerap menjadi menu sarapan dan makan malam.
"Kenapa sekarang kamu semakin kurus?"
Kamu menghapus banyak sekali jejak ayah di situ. Seolah-olah menolak lelaki yang turut menyusun dirimu.
"Tidak. Bukan begitu. Terlalu banyak ayah di rumah ini."
"Tetapi, bukankan itu normal. Setiap rumah dan halaman selalu saja dipenuhi Ayah bukan?"
"Tapi aku ingin berubah. Aku ingin melepas ritus kecemasan yang turun-temurun harus ditelan mentah-mentah bagi penerusnya. Tetapi, aku tak hendak menolak silsilah. Aku hanya ingin berubah."
"Bukankah ayah juga suka berubah-ubah?"
Kamu diam. Menjelma tugu selamat datang. Lalu, memintaku segera berlalu, meninggalkan Tanjungkarang dan tak lagi mengingatmu. Kamu wanita yang aneh. Kamu menolak peta dan tanda-tanda jalan yang mestinya tetap kamu simpan sebagai bekal perjumpaan.
"Tidak. Aku tidak menyesal. Aku bebas menyusun kisah-kisahku. Aku bebas membangun taman yang berbeda dari ayah."
"Mengapa kamu begitu membenci ayah?"
"Aku sudah bilang. Aku tidak membenci ayah. Aku hanya ingin sedikit berubah."
Ia kembali diam. Aku juga diam. Bulan kroak di langit dimakan kala. Awan kelabu menaungi Tanjungkarang. Sementara, aku sangat ingin melihatmu tersenyum setiap pagi. Tapi, selalu gagal lantaran hujan yang tak pernah alpa sepanjang Februari. Apakah kamu tahu bahwa ayah tak lagi berwarna hijau.
3. Ayah dan sebilah pisau di matamu
Matamu menyimpan sebilah pisau. Pisau dari baja yang kuat dan tajam. Kamu selalu membuatku takut. Aku ingin kamu terpejam. Selamanya. Agar mata itu tak lagi melukaiku. Sudah kubilang jangan menatapku seperti itu. Tolong. Aku ingin bebas dari tatapanmu.
Lalu aku teringat ketika sendiri di sebuah halte. Berharap sebuah bus melintas dan lekas membawaku pergi. Sejenak menjauh darimu. Kamu seperti ayah. Atau justru kamu sesungguhnya telah menjelma ayah. Ayah yang bagiku seperti ikan di akuarium. Ia berenang ke sana kemari dan merasa berada di sungai atau samudera.
Dulu aku kerap gagal menjelaskan kepada ayah bahwa aku harus keluar rumah, bahwa aku harus pergi agar aku tak hidup di akuarium yang sama. Tapi, ayah selalu menolak. Ia tak ingin dibantah oleh siapa pun. Ibu juga hanya diam di kursi. Lalu, setelah ayah pergi, ibu suka mengelus rambutku. Gelombang pasang melanda dadaku.
Langit merah marun, Sayang. Apa yang sedang kamu risaukan. Bukankan aku ada di sini. Menemanimu. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu ada untukmu. Kamu adalah takdirku. Percayalah. Aku ada karena kamu membutuhkan teman yang bisa kamu ajak bercerita. Bertukar kisah lama yang dulu selalu kita sangkal. Kita kubur di halaman atau gudang tempat banyak barang bekas teronggok begitu saja.
Tapi, pertemuan demi pertemuan membuat kita justru menghadirkan hal-hal yang mestinya kita abaikan.
"Sore ini, aku ingin kamu berhenti merayu? Aku tak ingin selalu kamu dustai?"
"Ya. Aku juga sudah bosan. Toh, sesungguhnya kita tetap sendiri. Kita tak mungkin sungguh-sungguh bersama, meskipun tubuh kita begitu rapat, kulit kita saling bersentuhan. Aku merasakan napasmu. Kamu merasakan debar jantungku."
Pisau di matanya kembali berkilat. Aku terhenyak. Ia menatap tanpa berkedip selama beberapa menit. Membuatku jadi kehilangan cara untuk duduk tenang di dekatnya. Sekuntum mawar tergolek di dekat pintu. Seorang lelaki berwajah musim dingin memungutnya. Mawar itu diletakkan di akuarium. Sebuah figura terjatuh.
4. Suara di rembang petang
Di rembang petang kamu menatap ombak yang berkejaran. Seekor camar terbang sendiri, pelepah kelapa menari-nari.
"Meski tak abadi. Aku selalu ingin bersamamu. Kita akan berpisah. Tak apa. Tapi paling tidak kita pernah berbahagia. Itu sudah cukup bagiku, ujarmu. Sebelum sebuah mobil menjemputku.
"Ketidakabadian itu aneh ya?" tanyaku.
"Ya," ujarmu diikuti helaan napas yang tidak menyenangkan.
Pernah, wanita itu berdiri dengan dua sayap malaikat di punggungnya. Dia mengusir mimpi-mimpi buruk. Tanpa lelah menemaniku berjalan. Mengajari bersabar ketika keadaan tak sejalan harapan, bahwa akan ada pagi ketika hidup terasa selalu malam. Senyumnya adalah telaga.
Tapi, kini mata itu menjelma senja yang pucat. Setiap helai rambutnya menyimpan ratusan kisah sedih. Matahari dan rembulan bersembunyi dibalik rimbun awan. Kini, Ia seperti tanaman yang layu karena terlalu lama dipeluk kemarau. Aku tidak tahu sebabnya. Dan, enggan untuk menduga-duga. Tapi, aku tetap mengaguminya.
Mengenalnya membuat banyak alasan untuk berbahagia. Tapi, sekaligus bersedih karena terlalu sering berpisah. Cakrawala membentangkan banyak warna. Berkali-kali aku tergoda pelangi atau gerimis yang turun sore hari. Tapi, berkali-kali pula lembaran-lembaran lain ingin kubuka. Tapi, tatapan dan genggaman tangannya selalu membawaku kembali. Menunggu. Perempuan berpipi merah jambu.
Bandar Lampung, Februari 2012
Lampung Post, Minggu, 4 Maret 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)