Cerpen Alexander G.B.
1. Sebuah malam di Tanjungkarang dan kamu tak ada
Membelah malam sebuah Februari yang dingin dan berangin. Dari Gunungterang ke Perum Kemiling. Mimpi-mimpi pucat di pinggiran kota kecil yang selalu gagal mendefinisikan dirinya. Menikmati hembusan angin lembut dan bintang-bintang yang pelan-pelan redup ditutup awan.
Sepanjang jalan kukenang senyummu, penuh harap sekaligus menyimpan dukacita yang panjang.
"Sudah lama bunga-bunga di belakang rumah tak kau siram, sudah lama pantai itu tak kau sapa. Waktu mengajari kita untuk bersabar selama menunggu, sedang jarak mengajari kita tentang rindu."
Tanjungkarang terlelap. Dibekap mimpi-mimpi tentang water front city dan jembatan Selat Sunda. Sementara itu, aku masih berkutat dengan pekerjaan sepele yang tak kunjung tuntas. Berkali-kali mulutku menguap. Keteguk lagi kopi yang nyaris dingin. Kepulan asap rokok menjelma bayangmu. Aku menyusun kembali kisah-kisah muram dan berserakan di kepala. Aku menghimpunnya dan berharap bisa menjadi cerita pendek atau sebuah puisi indah yang lekas kukirimkan kepadamu, hingga kamu tak perlu terlalu merasa sendiri.
Pernah aku berpikir untuk meninggalkanmu. Tanpa air mata. Tanpa pesan apa pun dari bibir indahmu. Kepalaku menyimpan banyak keraguan. Seperti kendaraan yang tak henti berlintasan, suara klakson, dan penjual koran juga. Begitu ramai.
Menjelang pukul satu, kususuri Jalan Panglima Polim hingga Purnawirawan. Senyummu hadir sepanjang jalan itu. Senyum badai embun yang memadamkan nyala api di dadaku. Aku menggigil. Merasakan kegelapan yang begitu pekat. Sesaat terdiam. Tercekat oleh perasaan yang aneh. Tanpamu, aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Seperti lelaki yang ditinggalkan purnama.
Esoknya kamu akan menjelma black hold, menyerap setiap unsur dalam diriku. Aku ingin menghindar tapi selalu gagal. Saat ini, kita seperti mahluk konyol yang menunggu ditinggalkan atau meninggalkan. Lalu, ada hati yang merasa kehilangan, yang tak lagi lengkap, atau anggapan-anggapan lain yang terkadang begitu sulit untuk dimengerti.
Paginya aku terbangun. Aku mencari-cari kamu. Tak ada siapa-siapa. Daun-daun jambu berserakan di belakang rumah. Aku merapikan batu-batu di depan pintu, menganti baterai jam dinding yang sudah dua hari tak lagi berdetak. Ada beberapa sarang laba-laba di sudut kamar. Ada potretmu tergantung di situ, tersenyum seolah sedang mengejek kesendirianku.
2. Rumah dan ayah yang tak lagi hijau
Aku tak tahu jika ayahmu tak lagi berwarna hijau. Ayah semakin jarang pulang ke rumah. Seperti kamu. Bertahun-tahun tak ada jejakmu di situ. Ada pigura berwana cokelat melekat di dinding ruang tamu. Seorang wanita suka sekali memandang begitu lama. Jarum jam mengelak untuk melakukan ketidakbiasaan. Ia terus berputar sesuai dengan garis edarnya. Tak hendak melakukan semacam improvisasi.
Apa yang sedang kamu lakukan? Beberapa daun bungur rebah di tanah. Undakan menuju beranda berlumut. Lalu, suara batuk-batukmu terdengar mengusik ketenanganku.
"Aku tak apa-apa. Hanya sedikit terganggu kisah-kisah yang kamu hidangkan setiap malam, oleh iklan-iklan dan berita kriminal di koran dan televisi, juga foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu."
Jejak-jejak ayah begitu nyata di matamu. Kamu begitu peragu dan takut yang kerap tidak pada tempatnya. Bahkan, kamu tak pernah mau singgah di taman dua musim itu. Sebuah taman yang dibangun seorang teman yang suka menulis sajak-sajak indah tentang Januari. Aku ingin mengajakmu ke sana. Berbagi cerita, bertukar kebosanan dan keluh kesah yang kerap menjadi menu sarapan dan makan malam.
"Kenapa sekarang kamu semakin kurus?"
Kamu menghapus banyak sekali jejak ayah di situ. Seolah-olah menolak lelaki yang turut menyusun dirimu.
"Tidak. Bukan begitu. Terlalu banyak ayah di rumah ini."
"Tetapi, bukankan itu normal. Setiap rumah dan halaman selalu saja dipenuhi Ayah bukan?"
"Tapi aku ingin berubah. Aku ingin melepas ritus kecemasan yang turun-temurun harus ditelan mentah-mentah bagi penerusnya. Tetapi, aku tak hendak menolak silsilah. Aku hanya ingin berubah."
"Bukankah ayah juga suka berubah-ubah?"
Kamu diam. Menjelma tugu selamat datang. Lalu, memintaku segera berlalu, meninggalkan Tanjungkarang dan tak lagi mengingatmu. Kamu wanita yang aneh. Kamu menolak peta dan tanda-tanda jalan yang mestinya tetap kamu simpan sebagai bekal perjumpaan.
"Tidak. Aku tidak menyesal. Aku bebas menyusun kisah-kisahku. Aku bebas membangun taman yang berbeda dari ayah."
"Mengapa kamu begitu membenci ayah?"
"Aku sudah bilang. Aku tidak membenci ayah. Aku hanya ingin sedikit berubah."
Ia kembali diam. Aku juga diam. Bulan kroak di langit dimakan kala. Awan kelabu menaungi Tanjungkarang. Sementara, aku sangat ingin melihatmu tersenyum setiap pagi. Tapi, selalu gagal lantaran hujan yang tak pernah alpa sepanjang Februari. Apakah kamu tahu bahwa ayah tak lagi berwarna hijau.
3. Ayah dan sebilah pisau di matamu
Matamu menyimpan sebilah pisau. Pisau dari baja yang kuat dan tajam. Kamu selalu membuatku takut. Aku ingin kamu terpejam. Selamanya. Agar mata itu tak lagi melukaiku. Sudah kubilang jangan menatapku seperti itu. Tolong. Aku ingin bebas dari tatapanmu.
Lalu aku teringat ketika sendiri di sebuah halte. Berharap sebuah bus melintas dan lekas membawaku pergi. Sejenak menjauh darimu. Kamu seperti ayah. Atau justru kamu sesungguhnya telah menjelma ayah. Ayah yang bagiku seperti ikan di akuarium. Ia berenang ke sana kemari dan merasa berada di sungai atau samudera.
Dulu aku kerap gagal menjelaskan kepada ayah bahwa aku harus keluar rumah, bahwa aku harus pergi agar aku tak hidup di akuarium yang sama. Tapi, ayah selalu menolak. Ia tak ingin dibantah oleh siapa pun. Ibu juga hanya diam di kursi. Lalu, setelah ayah pergi, ibu suka mengelus rambutku. Gelombang pasang melanda dadaku.
Langit merah marun, Sayang. Apa yang sedang kamu risaukan. Bukankan aku ada di sini. Menemanimu. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu ada untukmu. Kamu adalah takdirku. Percayalah. Aku ada karena kamu membutuhkan teman yang bisa kamu ajak bercerita. Bertukar kisah lama yang dulu selalu kita sangkal. Kita kubur di halaman atau gudang tempat banyak barang bekas teronggok begitu saja.
Tapi, pertemuan demi pertemuan membuat kita justru menghadirkan hal-hal yang mestinya kita abaikan.
"Sore ini, aku ingin kamu berhenti merayu? Aku tak ingin selalu kamu dustai?"
"Ya. Aku juga sudah bosan. Toh, sesungguhnya kita tetap sendiri. Kita tak mungkin sungguh-sungguh bersama, meskipun tubuh kita begitu rapat, kulit kita saling bersentuhan. Aku merasakan napasmu. Kamu merasakan debar jantungku."
Pisau di matanya kembali berkilat. Aku terhenyak. Ia menatap tanpa berkedip selama beberapa menit. Membuatku jadi kehilangan cara untuk duduk tenang di dekatnya. Sekuntum mawar tergolek di dekat pintu. Seorang lelaki berwajah musim dingin memungutnya. Mawar itu diletakkan di akuarium. Sebuah figura terjatuh.
4. Suara di rembang petang
Di rembang petang kamu menatap ombak yang berkejaran. Seekor camar terbang sendiri, pelepah kelapa menari-nari.
"Meski tak abadi. Aku selalu ingin bersamamu. Kita akan berpisah. Tak apa. Tapi paling tidak kita pernah berbahagia. Itu sudah cukup bagiku, ujarmu. Sebelum sebuah mobil menjemputku.
"Ketidakabadian itu aneh ya?" tanyaku.
"Ya," ujarmu diikuti helaan napas yang tidak menyenangkan.
Pernah, wanita itu berdiri dengan dua sayap malaikat di punggungnya. Dia mengusir mimpi-mimpi buruk. Tanpa lelah menemaniku berjalan. Mengajari bersabar ketika keadaan tak sejalan harapan, bahwa akan ada pagi ketika hidup terasa selalu malam. Senyumnya adalah telaga.
Tapi, kini mata itu menjelma senja yang pucat. Setiap helai rambutnya menyimpan ratusan kisah sedih. Matahari dan rembulan bersembunyi dibalik rimbun awan. Kini, Ia seperti tanaman yang layu karena terlalu lama dipeluk kemarau. Aku tidak tahu sebabnya. Dan, enggan untuk menduga-duga. Tapi, aku tetap mengaguminya.
Mengenalnya membuat banyak alasan untuk berbahagia. Tapi, sekaligus bersedih karena terlalu sering berpisah. Cakrawala membentangkan banyak warna. Berkali-kali aku tergoda pelangi atau gerimis yang turun sore hari. Tapi, berkali-kali pula lembaran-lembaran lain ingin kubuka. Tapi, tatapan dan genggaman tangannya selalu membawaku kembali. Menunggu. Perempuan berpipi merah jambu.
Bandar Lampung, Februari 2012
Lampung Post, Minggu, 4 Maret 2012
No comments:
Post a Comment