Cerpen S.W. Teofani
TAK pernah terpikir aku akan menggoreskan pena untuk frasa ini. Tapi memang yang digariskan hadir pasti kan tiba. Jika kau cari di kumpulan surat-suratku kepada yang kucintai Ny. Abendanon, tulisan ini takkan kau temukan. Tapi ini bukan lembar yang hilang.
Seperti kumpulan naskah itu, lampir ini pun tak ada pada kiraku. Saat melepas segala beban kepada yang terkasih Ny. Abendanon, aku tak pernah menghitung kelak jejak penaku menjadi nyala zaman. Bagiku, menuangnya sepenuh cinta telah membebaskan jiwa dari segala belenggu duka. Sungguh tak kuraba jika bulir duka yang menjadi tinta suatu masa menjelma minyak lentera yang tak ada habisnya.
Aku tak pernah punya ingin namaku mengharum melebihi saat kuada. Semua berjalan di luar kuasa kalam pun kiraku. Andai penaku anak panah, tak pernah kutarik gendewa begitu rupa. Aku tak lebih melesakkannya pada sebuah cita, segumpal ingin, yang kuwasilahkan pada lembar-lembar yang kukirimkan kepada sang kekasih Ny. Abendanon. Dialah sahabat, ibu, kekasih jiwa yang memahami hasratku.
Atau tanpa kusadari dia racun hidupku, yang membuat tak nyaman dengan gelar raden ayu pun segala tradisi yang di matanya adalah belenggu. Perlahan penuh kepastian, umpama tetes air yang melubangkan batu, aku setumbuk dengannya. Dia hembuskan pengetahuan Eropa, aku menerima begitu rupa. Aku turut mendepa ada yang salah pada tradisi bangsaku, ada yang tak adil pada kaumku. Meskipun untuk segala cara pandang itu aku melukai hati ibundaku, mengoyak kepatuhan kaumku, menggundahkan saudara-saudaraku. Apa yang kuanggap benar, tak seiya dengan tradisi. Lalu mereka menggelariku pembangkang. Raden ayu yang berperilaku tak lugu. Menerjang pagar-pagar yang terpancang sepanjang ruang.
Aku tak pernah meraba, jika suatu masa lembar-lembar yang kukirimkan padanya menjadi cahaya yang lebih cerlang dari pelita. Ada yang bernaung pada pendarnya, juga mendapati kerlip nyala yang diterima dari kejauhan masa. Ada pula yang selalu mengenangnya dengan lambang-lambang suka yang dicipta dari zamannya.
Aku mendamba suatu zaman di mana perempuan tak terhalang menyecap pengetahuan. Kini zaman telah melerai belenggu-belenggu waktu. Tak kudapati lagi kumpulan perempuan yang diam di kamar menunggu pinangan. Bilik-bilik perawan dihuni saat mentari menepi. Kala benderang, wanita-wanita zaman menatah pengetahuan juga memamah remah kehidupan. Bertebaran bersama kaum Adam meraih rezeki pun kepandaian. Terang telah terbit, gelap telah menyisip, meskipun hadir kegelapan-kegelepan lain yang menjadi tugas cahaya kehidupan. Maka perempuan-perempuan akan menjadi lentera pada setiap zamannya. Kita hanya punya kisah dan waktu yang berbeda, pun keberuntungan yang tak sama. Adakah di masaku aku paling bercahaya? Tidak. Telah bertebaran bunga-bunga bangsa yang bermekaran pada ranah dan ruang yang tetap menjadi rahasia.
Setelah tiba masa pingitan, aku disibukan oleh hantu-hantu kecemasan yang berkeliaran. Zamanku menelikung langkah hingga kakiku lumpuh di bilik mimpi. Aku hanya punya angan suatu hari akan lempang kaki lembut perempuan ke ranah yang mampu dia jamah. Lalu aku goreskan pena hati dengan tinta yang dicelup pada setiap lelehan saksi sunyi. Di kertas kanvas kehidupan aku goreskan setiap yang menyesak di angan-angan. Kukirimkan keluhku ke negeri yang jauh. Kucecap semangat dari jiwa yang membarakan impian. Aku tak tahu berapa harga prangko yang kububuhkan, hingga lembar-lembar itu menembus dari zaman ke zaman. Mewangikan segugus ide yang tak semua terwujudkan. Adalah di ujung waktuku sebagian mimpiku maujud, meskipun masih menyisa harap tak terungkap. Andaikan ini menjadi sigi yang menerangi, aku tak sendiri.
Di ranah lain di ruang bangsaku, bermunculan perempuan-perempuan sezaman yang sebangun denganku. Yang juga merindu cahaya mentari pemekar biji-biji pengetahuan. Satu demi satu bermunculan, menumbuhkan kecambah-kecambah yang lebih mencerdaskan. Pada waktunya di musim hujan tetumbuhan itu bermunculan, bersemi menyemai diri. Hingga tumbraslah anak pemikiran tentang kesetaraan pada lahan perubahan. Lalu anak-anak zaman mengenangkanku, mengagungkan surat-suratku, hingga yang lain tersembunyi di balik batu-batu peradaban.
Jika di masaku aku banyak mengenal teman wanita sebangsa, mungkin tak hanya kepada Ny. Abendanon kukirim semua warta. Tersebutlah si cerdas Rohana, yang terlahir semasa denganku. Dia pun merindu kaumnya tak bersembunyi di bilik rumah gadang. Andai ruang menambatkankan kami, adalah dua sejoli yang saling menghargai dengan perpaduan energi. Tapi tak ada yang disesalkan dari pertautan ketentuan. Semua berjalan dengan tuntunan Tangan Yang Sama. Dia yang menghidupkan kami untuk menorehkan langkah-langkah kecil demi cita-cita tak terduga.
Adalah Rohana, yang bersuamikan Kudus, melangkah lebih lempang, menatah lebih dalam. Dengan waktu yang lebih panjang dari yang kumiliki, diterobosnya segala yang sebelumnya mimpi. Aku lebih banyak mencecap pengetahuan Belanda, meskipun tetap kujunjung adiluhung budaya bangsaku, sedang Rohana melahap yang datang dari negeri yang jauh pun bangsanya sendiri. Tidaklah patut membanding keberuntungan, tapi tak mengapa memuji kelebihan kawan. Saat aku disibukan dengan pikiran-pikiranku yang tertuang di lembar-lembar saksi sejarah itu, dia telah mendidik kaumnya dengan taksa. Jika aku asyik membaca lembar-lembar kabar dari Eropa, dia mencipta laman berita itu bagi kaumnya. Di tangannya pula Soenting Melayu menjadi warta pertama kaum hawa di Nusantara.
Belum tunai langkah cergas Rohana menitah kaumnya. Dia dirikan Sekolah Amai Setia untuk mematangkan pribadi kaumnya. Adakah langkah itu tak melebihi tajamnya surat-suratku? Jika buah pena menjadi getah damar yang menyalakan dian, langkah-langkahnya menjadi matahari yang menerangi semesta sepenuh tulus. Rohana, adakah kau lebih beruntung terlahir sebagai perempuan Sumatera, yang tak harus terbelenggu kasta. Ah...tak ada sesal kita Perca atau Dwipa, pun wanita di belehan Indonesia lainnya, ikhtiar dan ketentuan Yang Agung telah manjadikan kita ada dengan kurang dan lebihnya.
Jika aku boleh cemburu, karena kau tunai mendapat pengajaran dari guru-guru agamamu. Untuk mendapat pengajaran tentang agama, aku berperantara bangsa Belanda, dengan orang Belanda pula, yang bangsa tak disuka bangsa kita. Kepada Senouck Hugronye aku tanyakan tentang agama. Di tanahku, begitu sulit aku bertemu ahli-ahli agama yang siap menjawab gelisah manahku hingga tak tertangkup semua gelisah membara itu. Maka Rohana, begitu lengkap kau cecap berbagai cabang pengetahuan. Andai cita kita tersambung di masa itu, mungkin telah kita bagi segala ruah pun gelisah. Akan kukirimkan meja tulis ukiran Jepara untuk saksi-saksi kerjamu, pun gamelan Jawa yang aku suka.
Belum tunai kusebut satu-satu pendar lakumu. Tak cukup kau bimbing kaum Hawa memegang pena, mengukirkan tinta, kau ajarkan pada mereka beradu cerdas menukar barang pada Belanda. Kau tak hanya piawai menisik kain menejelujur benang, jalur dagang pun kau lempangkan. Ilmu siasah pun kau praktekkan. Duhai Putri Minang, adakah keraguan bangsa ini mengharumkan seluruh jejakmu, hingga aku lebih bersinar darimu?
Tak cukup bagimu Soenting Melayu pun Amai Setia, setelah prahara menerpa, kau lebih kukuh mengunggah langkah. Kau bangun Rohana School yang menandaskan baktimu pada kaum pun bangsamu. Di sana kau didik anak-anak zaman dengan takrir purna. Maka silaulah Belanda pada seluruh yang kau sangga. Sia-sia bangsa Eropa itu tak mengizinkanmu mengenyam pendidikan di sekolahnya, ternyata pengetahuanmu melampaui tempaan mereka. Maka menjadilah kau wanita utama, pendidik anak-anak bangsa kala gelap masih gulita karena Kartini tak seorang saja.
Kastil Nurul Yaqin, April 2011
* Terinspirasi dari surat-surat Kartini dan kisah perjuangan Rohana Kudus.
** Untuk Mamak, perempuan tangguh yang paling mencintaiku.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 April 2011
Sunday, April 24, 2011
Sunday, April 17, 2011
Televisi tanpa Channel
Cerpen Muhammad Amin
permisi, saya sedang bunuh diri sebentar
bunga dan bensin di halaman
teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada1)
Kerap berkali-kali lelaki tokoh kita membentak-bentak dirinya sendiri. Di depan televisi. Seperti lelaki gila. Apa yang ia saksikan di depan layar 24 inci itu hanya gambar-gambar tentang dirinya. Tentang ketololannya dalam menangani permasalahan pelik yang menimpanya beberapa waktu lalu. Tekanan dari berbagai pihak. Juga televisi dan koran-koran yang tak henti menyorot dan memberitakan dirinya.
Bahkan hingga ia sudah mengundurkan diri dari ‘kursi panas’nya, masih saja ada yang memburunya.
Tapi kini, ia lebih tampak seperti pria dungu yang suka memaki-maki dirinya sendiri di depan televisi.
II
Adakah mereka menyangka bahwa saya sedang depresi? Saya rasa tidak. Saya rasa mereka tak akan berprasangka seburuk itu. Saya pintar menyembunyikan sesuatunya. Bahkan mungkin sampai suatu saat nanti mereka tak akan pernah tahu siapa sebenarnya saya.
Saya sangat beruntung menemukan tempat senyaman ini. Saya tak perlu lagi merasa takut dihantui orang-orang yang memburu saya.
Saya sudah menjadi orang baik-baik sekarang. Percayalah. Saya sudah berubah. Mereka pun bersikap baik terhadap saya. Mungkin di sini memang akan saya temukan kehidupan yang baru. Tanpa kekangan. Tanpa tekanan.
Saya akan bahagia tinggal di sini. Mungkin sampai suatu saat nanti. Dan saya tak perlu khawatir bila suatu hari saya bakal mati di sini…
III
Kami mendapatkan tetangga baru. Dia kelihatan orang baik-baik. Suka berinteraksi. Dan sangat menyenangkan jika diajak mengobrol. Jadi kami tak perlu menaruh prasangka yang buruk kepadanya.
Kadangkala, pada saat-saat tertentu, ia lebih betah berada di rumah. Tidak ke luar seharian. Dan kami tak perlu bertanya-tanya mengenai hal itu. Keesokannya ia sudah bergabung bersama kami. Mengobrol, melantur, bahkan menertawakan apa pun yang bisa ditertawai. Minum kopi sambil main kartu hingga larut malam.
Namun akhir-akhir ini kami baru menyadari wajah lelaki itu tak asing lagi. Sepertinya kami kerap melihat wajah itu. Wajah di televisi itu. Tapi kami lupa siapa dia. Apakah ia orang penting? Orang terkenalkah?
Tapi orang di layar televisi itu berkepala botak. Dan tetangga kami berambut gondrong dan berkacamata. Apakah ia sedang menyamar? Kami tak terlalu bisa mengingat. Kami pun tak mau berprasangka. Bukankah sejak awal kami tak ingin menaruh prasangka buruk terhadapnya?
IV
Dia, lelaki tokoh kita, sering mengingat-ingat kenangan itu. Kenangan dengan kekasih yang amat ia cintai. Namanya Anne, wanita cantik keturunan Indo. Posturnya tinggi semampai. Garis wajahnya mewarisi kecantikan ibunya, wanita Eropa yang menikah keduakalinya dengan ayahnya.
Anne, nama itu selalu mengendap di dalam pikirannya seperti lumpur di tepi sungai. Kekasihnya yang kemudian ia ketahui tak sungguh-sungguh menjalin hubungan dengannya.
Mereka sudah berpacaran selama hampir tiga tahun. Itu bukan waktu yang singkat dalam menjalin hubungan. Mereka selalu bersama. Anne sering menginap di apartemennya. Begitu pun sebaliknya.
Si lelaki menginginkan mereka menjalin hubungan yang lebih serius. Tetapi Anne selalu menolak dan berdalih belum punya keinginan menikah.
"Kita bisa menikmati hidup tanpa harus menikah," katanya. Akhirnya ia harus memaklumi wanita yang pikirannya berkiblat pada budaya Barat itu. Tanpa harus memperlebar masalah. Tanpa banyak pertanyaan. Dan mereka masih punya banyak waktu buat bersama.
Setelah dia tahu Anne akan pergi ke luar negeri meninggalkannya sendiri, suatu malam di sebuah kafe, dia mengajukan pertanyaan bodoh ini:
"Anne, mau kau mati bareng denganku?"
Anne tersentak dari tempat duduknya, mengira kekasihnya sedang bergurau.
"Apa kamu bilang?" Anne ingin mendengar pertanyaan itu lagi.
"Mau kau mati bareng denganku agar kita bisa pergi bersama-sama?"
"Aku tak suka lelucon macam itu. Pasti kau sedang bercanda."
"Aku tidak sedang berlelucon atau pun main-main, Anne. Aku sudah membawakan dua utas tali, sebotol racun serangga atau kamu ingin mencari cara lain yang lebih menyenangkan. Kamu tinggal pilih yang mana. Ini akan menjadi saat-saat paling indah untuk mati."
"Kamu sudah gila!" bentak Anne sambil menamparnya.
Mereka, para tetangga saya, memang sangat menyenangkan. Mereka sudah mengganggap saya sebagai bagian dari mereka. Dan begitupun sebaliknya.
Hari-hari yang saya jalani penuh dengan kegembiraan. Berjam-jam kami bisa tertawa. Bahkan hingga larut malam. Tak pernah terasa. Sampai suatu saat mereka membahas hal yang paling sensitif bagi saya: televisi.
Mereka bertanya mengenai lelaki yang ada di televisi itu, mengapa wajahnya mirip saya. Pada saat itu saya berhenti tertawa. Saya tak bisa lagi tertawa. Entah mengapa.
Saya mengira, pasti mereka semakin bertanya-tanya. Bahkan curiga. Ternyata tidak. Mereka malah tertawa melihat wajah saya yang kelihatan kebingungan. Seperti orang dungu, gurau mereka. Ah, betapa lucunya mereka. Sebenarnya saya tak pernah bermaksud berlelucon, namun mereka memancing saya.
Dan akhirnya saya pun ikut tertawa.
VI
Hal paling lucu yang pernah kami dengar darinya, yaitu ia pernah mengatakan bahwa ia akan mati dalam waktu-waktu dekat ini. Tentu kami tak percaya begitu saja. Kami menyangka ia sedang berlelucon. Dia seorang yang humoris, kami tahu itu. Bisa saja kali ini ia ingin menjadikan kematian sebagai bahan lelucon.
Tapi entah akhir-akhir ini ia selalu membahas tentang kematian. Lalu kami bertanya, "Adakah kamu punya penyakit ganas yang sekian lama menggerogoti tubuhmu sehingga dokter memvonis umurmu tinggal beberapa bulan lagi?"
"Tidak," katanya.
"Adakah seorang pembunuh bayaran diam-diam mengincar nyawamu akhir-akhir ini?"
"Tidak," katanya.
"Adakah kamu berniat bunuh diri?"
Dia menggeleng.
"Atau kamu telah menemui Izrail agar datang lebih segera untuk mencabut nyawamu untuk mengeakhiri masa kontrakmu di dunia?" tanya kami sambil bergurau.
Dia diam saja. Tapi matanya berbinar-binar.
VII
Ternyata mereka menemukan saya. Orang-orang itu yang selalu menekan saya. Mereka yang membuat saya tertekan. Mereka, orang-orang bersafari, yang telah menggusur kedudukan saya. Mereka, orang-orang berkamera, yang telah memasukkan wajah saya di dalam halaman koran-koran dan layar televisi. Mereka selalu tampak tak puas, selalu saja ingin memburu keberadaan saya.
Dan mereka, orang-orang yang dulu berada di belakang saya, rupanya menginginkan kematian saya agar fakta-fakta mengenai mereka tak terbongkar. Malam-malam kerap saya merasa merinding mendengar derap langkah dan suara seperti seseorang mencongkel jendela. Mungkin mereka ingin membunuh saya. Silakan...
Tapi cara macam itu cukup membuat saya bergidik. Tak apa, toh sebentar lagi saya memang akan mati. Saya sudah kehilangan segalanya. Harta, istri, anak-anak, rasa nyaman, bahkan setengah dari kewarasan saya. Dan mereka ingin mengambil lagi semuanya tanpa bersisa.
Akhir-akhir ini saya kerap merasa terlalu sentimentil. Rindu pada istri saya yang pergi dengan lelaki lain, pada anak-anak yang tak mau lagi mengakui saya sebagai ayah di saat keadaan saya sedang terpuruk. Rindu pada suasana rumah.
Saya selalu menghayati perasaan. Dan itu saya lakukan di depan televisi yang menyiarkan program-program membosankan. Sinetron dan kuis-kuis yang bikin suntuk.
Saya juga kerap teringat pada Anne, kekasih saya dulu yang meninggalkan saya begitu saja ke negeri tempat tinggal orang tuanya. Tanpa memberikan harapan lagi kepada saya.
Bagaimana keadaannya sekarang? Apa yang ia lakukan sekarang? Mungkinkah ia tak akan pernah bersuami dan tetap melajang hingga kini?
VIII
Lelaki tokoh kita masih saja membentak-bentak dirinya sendiri. Di depan televisi yang menyala. Televisi yang hanya menampakkan bintik-bintik seperti koloni jutaan semut dan gemuruh suara menyesakkan ruangan. Sekarang ia merasa amat letih. Dia ingin pergi. Ke mana saja.
Pikirannya selalu terganggu oleh suara-suara yang muncul dari balik dinding rumahnya. Suara derap langkah kaki di balik tembok rumah dan seseorang yang mencongkel jendela.
Dia benar-benar letih. Jika suatu saat seorang wanita datang ke rumahnya mengetuk pintu. Terdengar dari dalam suara desis televisi yang masih menyala dan dia menyahut dengan suara terburu-buru.
"Maaf, tunggulah di luar, saya sedang bunuh diri sebentar."
Wanita itu tercenung, hampir tak percaya mendengar suara itu.
"Ratman, ternyata kamu belum berubah," gumamnya menggeleng-gelengkan kepala.
Kotaagung, 01 Desember 2010 22:33 WIB
Catatan:
1 Afrizal Malna dalam puisi “Televisi Channel 00”
Lampung Post, Minggu, 17 April 2011
permisi, saya sedang bunuh diri sebentar
bunga dan bensin di halaman
teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada1)
Kerap berkali-kali lelaki tokoh kita membentak-bentak dirinya sendiri. Di depan televisi. Seperti lelaki gila. Apa yang ia saksikan di depan layar 24 inci itu hanya gambar-gambar tentang dirinya. Tentang ketololannya dalam menangani permasalahan pelik yang menimpanya beberapa waktu lalu. Tekanan dari berbagai pihak. Juga televisi dan koran-koran yang tak henti menyorot dan memberitakan dirinya.
Bahkan hingga ia sudah mengundurkan diri dari ‘kursi panas’nya, masih saja ada yang memburunya.
Tapi kini, ia lebih tampak seperti pria dungu yang suka memaki-maki dirinya sendiri di depan televisi.
II
Adakah mereka menyangka bahwa saya sedang depresi? Saya rasa tidak. Saya rasa mereka tak akan berprasangka seburuk itu. Saya pintar menyembunyikan sesuatunya. Bahkan mungkin sampai suatu saat nanti mereka tak akan pernah tahu siapa sebenarnya saya.
Saya sangat beruntung menemukan tempat senyaman ini. Saya tak perlu lagi merasa takut dihantui orang-orang yang memburu saya.
Saya sudah menjadi orang baik-baik sekarang. Percayalah. Saya sudah berubah. Mereka pun bersikap baik terhadap saya. Mungkin di sini memang akan saya temukan kehidupan yang baru. Tanpa kekangan. Tanpa tekanan.
Saya akan bahagia tinggal di sini. Mungkin sampai suatu saat nanti. Dan saya tak perlu khawatir bila suatu hari saya bakal mati di sini…
III
Kami mendapatkan tetangga baru. Dia kelihatan orang baik-baik. Suka berinteraksi. Dan sangat menyenangkan jika diajak mengobrol. Jadi kami tak perlu menaruh prasangka yang buruk kepadanya.
Kadangkala, pada saat-saat tertentu, ia lebih betah berada di rumah. Tidak ke luar seharian. Dan kami tak perlu bertanya-tanya mengenai hal itu. Keesokannya ia sudah bergabung bersama kami. Mengobrol, melantur, bahkan menertawakan apa pun yang bisa ditertawai. Minum kopi sambil main kartu hingga larut malam.
Namun akhir-akhir ini kami baru menyadari wajah lelaki itu tak asing lagi. Sepertinya kami kerap melihat wajah itu. Wajah di televisi itu. Tapi kami lupa siapa dia. Apakah ia orang penting? Orang terkenalkah?
Tapi orang di layar televisi itu berkepala botak. Dan tetangga kami berambut gondrong dan berkacamata. Apakah ia sedang menyamar? Kami tak terlalu bisa mengingat. Kami pun tak mau berprasangka. Bukankah sejak awal kami tak ingin menaruh prasangka buruk terhadapnya?
IV
Dia, lelaki tokoh kita, sering mengingat-ingat kenangan itu. Kenangan dengan kekasih yang amat ia cintai. Namanya Anne, wanita cantik keturunan Indo. Posturnya tinggi semampai. Garis wajahnya mewarisi kecantikan ibunya, wanita Eropa yang menikah keduakalinya dengan ayahnya.
Anne, nama itu selalu mengendap di dalam pikirannya seperti lumpur di tepi sungai. Kekasihnya yang kemudian ia ketahui tak sungguh-sungguh menjalin hubungan dengannya.
Mereka sudah berpacaran selama hampir tiga tahun. Itu bukan waktu yang singkat dalam menjalin hubungan. Mereka selalu bersama. Anne sering menginap di apartemennya. Begitu pun sebaliknya.
Si lelaki menginginkan mereka menjalin hubungan yang lebih serius. Tetapi Anne selalu menolak dan berdalih belum punya keinginan menikah.
"Kita bisa menikmati hidup tanpa harus menikah," katanya. Akhirnya ia harus memaklumi wanita yang pikirannya berkiblat pada budaya Barat itu. Tanpa harus memperlebar masalah. Tanpa banyak pertanyaan. Dan mereka masih punya banyak waktu buat bersama.
Setelah dia tahu Anne akan pergi ke luar negeri meninggalkannya sendiri, suatu malam di sebuah kafe, dia mengajukan pertanyaan bodoh ini:
"Anne, mau kau mati bareng denganku?"
Anne tersentak dari tempat duduknya, mengira kekasihnya sedang bergurau.
"Apa kamu bilang?" Anne ingin mendengar pertanyaan itu lagi.
"Mau kau mati bareng denganku agar kita bisa pergi bersama-sama?"
"Aku tak suka lelucon macam itu. Pasti kau sedang bercanda."
"Aku tidak sedang berlelucon atau pun main-main, Anne. Aku sudah membawakan dua utas tali, sebotol racun serangga atau kamu ingin mencari cara lain yang lebih menyenangkan. Kamu tinggal pilih yang mana. Ini akan menjadi saat-saat paling indah untuk mati."
"Kamu sudah gila!" bentak Anne sambil menamparnya.
Mereka, para tetangga saya, memang sangat menyenangkan. Mereka sudah mengganggap saya sebagai bagian dari mereka. Dan begitupun sebaliknya.
Hari-hari yang saya jalani penuh dengan kegembiraan. Berjam-jam kami bisa tertawa. Bahkan hingga larut malam. Tak pernah terasa. Sampai suatu saat mereka membahas hal yang paling sensitif bagi saya: televisi.
Mereka bertanya mengenai lelaki yang ada di televisi itu, mengapa wajahnya mirip saya. Pada saat itu saya berhenti tertawa. Saya tak bisa lagi tertawa. Entah mengapa.
Saya mengira, pasti mereka semakin bertanya-tanya. Bahkan curiga. Ternyata tidak. Mereka malah tertawa melihat wajah saya yang kelihatan kebingungan. Seperti orang dungu, gurau mereka. Ah, betapa lucunya mereka. Sebenarnya saya tak pernah bermaksud berlelucon, namun mereka memancing saya.
Dan akhirnya saya pun ikut tertawa.
VI
Hal paling lucu yang pernah kami dengar darinya, yaitu ia pernah mengatakan bahwa ia akan mati dalam waktu-waktu dekat ini. Tentu kami tak percaya begitu saja. Kami menyangka ia sedang berlelucon. Dia seorang yang humoris, kami tahu itu. Bisa saja kali ini ia ingin menjadikan kematian sebagai bahan lelucon.
Tapi entah akhir-akhir ini ia selalu membahas tentang kematian. Lalu kami bertanya, "Adakah kamu punya penyakit ganas yang sekian lama menggerogoti tubuhmu sehingga dokter memvonis umurmu tinggal beberapa bulan lagi?"
"Tidak," katanya.
"Adakah seorang pembunuh bayaran diam-diam mengincar nyawamu akhir-akhir ini?"
"Tidak," katanya.
"Adakah kamu berniat bunuh diri?"
Dia menggeleng.
"Atau kamu telah menemui Izrail agar datang lebih segera untuk mencabut nyawamu untuk mengeakhiri masa kontrakmu di dunia?" tanya kami sambil bergurau.
Dia diam saja. Tapi matanya berbinar-binar.
VII
Ternyata mereka menemukan saya. Orang-orang itu yang selalu menekan saya. Mereka yang membuat saya tertekan. Mereka, orang-orang bersafari, yang telah menggusur kedudukan saya. Mereka, orang-orang berkamera, yang telah memasukkan wajah saya di dalam halaman koran-koran dan layar televisi. Mereka selalu tampak tak puas, selalu saja ingin memburu keberadaan saya.
Dan mereka, orang-orang yang dulu berada di belakang saya, rupanya menginginkan kematian saya agar fakta-fakta mengenai mereka tak terbongkar. Malam-malam kerap saya merasa merinding mendengar derap langkah dan suara seperti seseorang mencongkel jendela. Mungkin mereka ingin membunuh saya. Silakan...
Tapi cara macam itu cukup membuat saya bergidik. Tak apa, toh sebentar lagi saya memang akan mati. Saya sudah kehilangan segalanya. Harta, istri, anak-anak, rasa nyaman, bahkan setengah dari kewarasan saya. Dan mereka ingin mengambil lagi semuanya tanpa bersisa.
Akhir-akhir ini saya kerap merasa terlalu sentimentil. Rindu pada istri saya yang pergi dengan lelaki lain, pada anak-anak yang tak mau lagi mengakui saya sebagai ayah di saat keadaan saya sedang terpuruk. Rindu pada suasana rumah.
Saya selalu menghayati perasaan. Dan itu saya lakukan di depan televisi yang menyiarkan program-program membosankan. Sinetron dan kuis-kuis yang bikin suntuk.
Saya juga kerap teringat pada Anne, kekasih saya dulu yang meninggalkan saya begitu saja ke negeri tempat tinggal orang tuanya. Tanpa memberikan harapan lagi kepada saya.
Bagaimana keadaannya sekarang? Apa yang ia lakukan sekarang? Mungkinkah ia tak akan pernah bersuami dan tetap melajang hingga kini?
VIII
Lelaki tokoh kita masih saja membentak-bentak dirinya sendiri. Di depan televisi yang menyala. Televisi yang hanya menampakkan bintik-bintik seperti koloni jutaan semut dan gemuruh suara menyesakkan ruangan. Sekarang ia merasa amat letih. Dia ingin pergi. Ke mana saja.
Pikirannya selalu terganggu oleh suara-suara yang muncul dari balik dinding rumahnya. Suara derap langkah kaki di balik tembok rumah dan seseorang yang mencongkel jendela.
Dia benar-benar letih. Jika suatu saat seorang wanita datang ke rumahnya mengetuk pintu. Terdengar dari dalam suara desis televisi yang masih menyala dan dia menyahut dengan suara terburu-buru.
"Maaf, tunggulah di luar, saya sedang bunuh diri sebentar."
Wanita itu tercenung, hampir tak percaya mendengar suara itu.
"Ratman, ternyata kamu belum berubah," gumamnya menggeleng-gelengkan kepala.
Kotaagung, 01 Desember 2010 22:33 WIB
Catatan:
1 Afrizal Malna dalam puisi “Televisi Channel 00”
Lampung Post, Minggu, 17 April 2011
Sunday, April 10, 2011
Anak Haram Indonesia
Cerpen Tandi Skober
"AKU ingin jadi Promatheus yang melepas absurditas menantang dewa-dewa, mencuri api Olymphus sekaligus ogah sembah sungkem di haribaan Dewa Zeus. Aku ingin jadi anak haram Indonesia, memanjat Monas, mencuri emas sekaligus tak waswas disebut tak waras," ucap saya tiap kali saya datang ke Jakarta.
Jakarta cuma bisa tertawa. Dalam tawa ada taring juga tarung antarkepentingan. "Itu tak elok, Tandi," ucap Jakarta, "Jadilah wong cilik yang baik. Soalnya, Gusti di puncak Monas itu adalah simbol identitas adiluhung. Maka sebagai kawula alit selayaknya kau loyal, integratif, memanunggal emban ingemban salawase."
Jakarta sesaat sedot umbel," Lihat semesta alam, samudra, maruta, bumi, angkasa, surya, kartika, dan dahana adalah sifat kodrati jagad yang tak pernah cekcok. Semua itu mengajarkan adanya makrokosmos dan mikrokosmos yang berputar secara ajek, teratur, dan posisional. Artinya, ada pengembaraan metafisika sangkan paraning dumadi, yaitu manunggalnya kawula-gusti. Dari pemikiran ini, seyogianya paham dan mengerti dalam memaknai hidup ini."
Arifkah ujaran Jakarta itu? Tentu tidak! Mungkin ini lantaran saya adalah anak haram Indonesia. Tapi saya percaya pada teori muram tentang humanisme aneh. Saya yakini bahwa pada hakikatnya manusia adalah keniscayaan nestapa yang tak pernah berhenti menjaring angin, memerangi ruang awang-uwung, dan mengibarkan pembrontakan-pembrontakan. Di sini edan adalah dealektika rasionalitas ego. Dari Gurun Nod di sebelah timur Taman Eden, simak Qain yang lontarkan protes terhadap otoritas Ketuhanan. Juga Begawan Wisrawa dalam literatur Jawa Kuna tak sungkan kangkangi doktrin luhur transendental, lantas sambil menafsui Dewi Sukesih, ia berontak, mencoba merebut Sastrajendra Hayuningrat dari pusat periferial kekuasaan dewa-dewa. Bahkan hingga kini, para pemerhati eksistensialisme tak bisa melupakan teriakan Nietzsche: "Gotterdammerung: The Twillight of the idols!"
Jakarta sewot. Ia telanjangi saya. Saya ditaruh dalam sebuah gelas beraroma alkohol. Dalam gelas retak, saya lihat diriku bergerak zigzag, kadang tiarap, kerap kali merangkak tertatih-tatih. Bahkan hanya beberapa inci dari mataku ada belati beliau yang siap membuat mataku buta. "Aku adalah kekalahan demi kekalahan yang mempiramida, yang tak pernah letih mengobrak-abrik tatanan jati diriku," teriak saya di bawah gambar Garuda Pancasila.
Orang-orang tepuk tangan. Tapi tidak bagi Jakarta. Saya lihat diri saya ada dalam gelas di atas meja Indonesia. "Sudah saatnya kamu berhenti menjadi Tandi," ucap Jakarta.
Pukimak! Jakarta bukan Tuhan! Jakarta adalah hantu-hantu yang tuhankan utang luar negeri. Meski begitu, saya tahu bila saya berhenti menjadi Tandi maka saya akan berjalan poyang-paying sempoyongan di atas dua rel kemustahilan, yaitu rel realitas dan rel absurditas yang tak punya ujung.
***
Jakarta menaruh granat di kepalaku. "Berhentilah menjadi Tandi!"
Saya tatap mata Jakarta. "Lihat saya, Jakarta! Saya maklumatkan perlawanan metafisika! Saya adalah edan yang mengendap-endap di antara mesin-mesin raksasa peradaban dan rasionalitas ego yang gagap. Saya adalah edan yang terlempar pada kesunyian gulita, terjerembab pada jaring-jaring gurita kekuasaan. Saya adalah taik berwarna kuning bisa disebut PPP, Golkar, atau PDI bahkan mungkin ICMI yang diretorika menjadi kelompok cendekiawan."
Sialan! Jakarta kok tersenyum. Granat di kepalaku siap meledak! Bila sudah begini, gendengku berdendang ria. Edanku sorak-sorak bergembira. Gilaku jadi Caligula. Oh, Indonesia, ternyata menjadi sinting amenanging zaman edan, bisa membuatku menjadi bintang yang tak bisa terpangkas sistem budaya politik apa pun juga. Maka dalam hiruk-pikuk suara yang sintingkan diriku, saya berteriak, "Kita adalah generasi edan yang dikeluarkan dari garasi petinggi negeri sekali dalam lima tahun."
Jakarta kian sewot. Ia menyeret saya ke kamar putih Rumah Sakit Jiwa bernama Indonesia. "Di ruang ini, berhentilah menjadi Tandi," teriak Jakarta, "Kenapa? Kamu telah menjadi serpihan sepi yang kamu pintal dari ruang tanpa dinding. Nalar kamu abnormal!"
"Serpihan sepi?" ucapku pelan, "Percayalah, ini bukan duka dealektis rohanisme. Saya tak kesepian ketika berteriak di atas tangga dan menjadi anak haram Indonesia. Saya tidak kesepian ketika memanjat Monas mengelusi emas kuning-kemuning. Soalnya, saya adalah saya, sosok manusia yang tak pernah berhenti dipenjara berhala."
"Analisa nalarmu liar, Tandi," kata Jakarta.
"Tapi saya tak sendiri kan? Dari album wacana filsafat, misalnya, kerap kita temui penjelajahan waswas manusia yang terjerat oyod mingmang paradigmatik. Tak sedikit manusia yang mengonanikannya dalam metamorfosa Nol. Sebut saja Sartre yang memansturbasi dengan cara meminum mata air moral dari terali penjara abadi humanisme."
Polisi berpangkat kopral menelikung tangan saya. Sret! Tangan dan kaki saya diborgol! Tapi Jakarta tidak bisa memborgol suara saya. "Mencari langit penuh bintang," tutur saya, lirih, "Mencari rindu yang jauh. Di sinilah akar metafisika anak haram Indonesia. Apa artinya? Saya ini hanya seonggok nestapa yang melata dari penjara ke penjara, dari kamar ke kamar, dari statsiun yang satu ke statsiun lainnya. Adalah perjalanan kehilangan ketika saya tidak tahu pasti di posisi mana eksistensialisme didealektisasi."
***
Redaktur cerpen koran X tertawa membaca kumpul teks di atas. "Ini bukan Cerpen, Tandi. Emang sih kayaknya sih kaya dengan retorika obrak-abrik, tapi tidak ada yang bisa didapat dari cerpen ini. Sementara saya masukan ke spam saja ya..."
"Kotak sampah."
Redaktur cerpen itu mengangguk. Mata saya terbelalak. Saya ingin katakan bahwa cerpen saya ini bergerak pada dataran filsafat non-naratif. Mestinya sih mengusik kolbu, menyublimasi, memuasi batin redaktur. Mestinya sih, redaktur itu bilang, "Sip, Tandi! Tak mustahil cerpen ini lahir hasil dari ziarah lokal meditasi. Cerpen ini mampu mendiamkan gemuruh pemberontakan lewat asketisme intelektual. Dalam cerpen ini, meski rumit melingkar-lingkar tapi di sini ada duka abadi manusia. Ada kerumitan involutif yang mengimpit. Ada luka yang ditorehkan pisau nasib yang aneh."
Tapi ya itu tadi, redaktur X keukeh tak mau menerima cerpenku. Saya tinggalkan redaktur cerpen X. Cerpen saya kirim ke redaktur cerpen Media Indonesia bernama Djadjat Sudradjat dengan surat pengantar sebagai berikut:
"Dikmas Djadjat Sudradjat, namanya saja usaha untuk mencari seisap dua isap asap rokok, bersama ini saya kirim cerpen Anak Haram Indonesia. Seperti halnya Hamlet yang terjerat eksitensialisme zaman Victoria yang rumit, demikian juga kandungan maksud cerpen ini. Artinya, cerpen ini, bukan sekadar kumpul kalimat belaka. Bahkan semakin saya renungi, saya semakin meyakini adanya partikel pemikiran Friedrich Nietzsche dalam cerpen ini.
Ini cerpen bagus, Dikmas. Bila Nietzsche dalam Zarathustra kisahkan kesunyian sebagai simbolisme humanisme aneh, maka dalam Anak Haram Indonesia, saya khabarkan pengembaraan kegelisahan sang anak dalam mencari terminal terakhir kereta yang berangkat senja ketika emas Monas semakin pucat. Saya coba menakwil Indonesia dalam bingkai Frohliche Wissenschaft. Indoesia saat ini sedang meninting lentera dari hutan ke hutan belantara lainnya, hingga ia membunuh rasionalitas ego dan berteriak, "Apa yang paling suci dan mulia yang pernah dimiliki dunia, kini mengucurkan darah karena pisau kita. Maka siapa yang harus mengapus darah dari tangan kita semua?" Inilah substansi cerpen saya.
Semoga Dikmas berkenan membaca cerpen ini dan layak muat di ruang cerpen Media Indonesia.
Wassalam
Tandi Skober
***
Ternyata cerpen ini tak jua dimuat. Hingga tadi siang, Kamis 31 Maret 2011, saya temukan amplop di dalam ordner map kumal. Hmm, saat dibuka, ada lembaran-lembaran cerpen Anak Haram Indonesia. Jadi, surat tidak terkirim?
"Iya tidak saya kirim," ucap istriku. "Sudah berpuluh-puluh cerpen dikirim ke koran dan majalah kagak ada yang dimuat. Lebih baik ongkos pos kilat khusus dibelikan empal gentong."
Ternyata empal gentong lebih bermakna ketimbang Nietzsche!
Bandung, Friday, April 01, 2011, pkl 04:08:10
Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
"AKU ingin jadi Promatheus yang melepas absurditas menantang dewa-dewa, mencuri api Olymphus sekaligus ogah sembah sungkem di haribaan Dewa Zeus. Aku ingin jadi anak haram Indonesia, memanjat Monas, mencuri emas sekaligus tak waswas disebut tak waras," ucap saya tiap kali saya datang ke Jakarta.
Jakarta cuma bisa tertawa. Dalam tawa ada taring juga tarung antarkepentingan. "Itu tak elok, Tandi," ucap Jakarta, "Jadilah wong cilik yang baik. Soalnya, Gusti di puncak Monas itu adalah simbol identitas adiluhung. Maka sebagai kawula alit selayaknya kau loyal, integratif, memanunggal emban ingemban salawase."
Jakarta sesaat sedot umbel," Lihat semesta alam, samudra, maruta, bumi, angkasa, surya, kartika, dan dahana adalah sifat kodrati jagad yang tak pernah cekcok. Semua itu mengajarkan adanya makrokosmos dan mikrokosmos yang berputar secara ajek, teratur, dan posisional. Artinya, ada pengembaraan metafisika sangkan paraning dumadi, yaitu manunggalnya kawula-gusti. Dari pemikiran ini, seyogianya paham dan mengerti dalam memaknai hidup ini."
Arifkah ujaran Jakarta itu? Tentu tidak! Mungkin ini lantaran saya adalah anak haram Indonesia. Tapi saya percaya pada teori muram tentang humanisme aneh. Saya yakini bahwa pada hakikatnya manusia adalah keniscayaan nestapa yang tak pernah berhenti menjaring angin, memerangi ruang awang-uwung, dan mengibarkan pembrontakan-pembrontakan. Di sini edan adalah dealektika rasionalitas ego. Dari Gurun Nod di sebelah timur Taman Eden, simak Qain yang lontarkan protes terhadap otoritas Ketuhanan. Juga Begawan Wisrawa dalam literatur Jawa Kuna tak sungkan kangkangi doktrin luhur transendental, lantas sambil menafsui Dewi Sukesih, ia berontak, mencoba merebut Sastrajendra Hayuningrat dari pusat periferial kekuasaan dewa-dewa. Bahkan hingga kini, para pemerhati eksistensialisme tak bisa melupakan teriakan Nietzsche: "Gotterdammerung: The Twillight of the idols!"
Jakarta sewot. Ia telanjangi saya. Saya ditaruh dalam sebuah gelas beraroma alkohol. Dalam gelas retak, saya lihat diriku bergerak zigzag, kadang tiarap, kerap kali merangkak tertatih-tatih. Bahkan hanya beberapa inci dari mataku ada belati beliau yang siap membuat mataku buta. "Aku adalah kekalahan demi kekalahan yang mempiramida, yang tak pernah letih mengobrak-abrik tatanan jati diriku," teriak saya di bawah gambar Garuda Pancasila.
Orang-orang tepuk tangan. Tapi tidak bagi Jakarta. Saya lihat diri saya ada dalam gelas di atas meja Indonesia. "Sudah saatnya kamu berhenti menjadi Tandi," ucap Jakarta.
Pukimak! Jakarta bukan Tuhan! Jakarta adalah hantu-hantu yang tuhankan utang luar negeri. Meski begitu, saya tahu bila saya berhenti menjadi Tandi maka saya akan berjalan poyang-paying sempoyongan di atas dua rel kemustahilan, yaitu rel realitas dan rel absurditas yang tak punya ujung.
***
Jakarta menaruh granat di kepalaku. "Berhentilah menjadi Tandi!"
Saya tatap mata Jakarta. "Lihat saya, Jakarta! Saya maklumatkan perlawanan metafisika! Saya adalah edan yang mengendap-endap di antara mesin-mesin raksasa peradaban dan rasionalitas ego yang gagap. Saya adalah edan yang terlempar pada kesunyian gulita, terjerembab pada jaring-jaring gurita kekuasaan. Saya adalah taik berwarna kuning bisa disebut PPP, Golkar, atau PDI bahkan mungkin ICMI yang diretorika menjadi kelompok cendekiawan."
Sialan! Jakarta kok tersenyum. Granat di kepalaku siap meledak! Bila sudah begini, gendengku berdendang ria. Edanku sorak-sorak bergembira. Gilaku jadi Caligula. Oh, Indonesia, ternyata menjadi sinting amenanging zaman edan, bisa membuatku menjadi bintang yang tak bisa terpangkas sistem budaya politik apa pun juga. Maka dalam hiruk-pikuk suara yang sintingkan diriku, saya berteriak, "Kita adalah generasi edan yang dikeluarkan dari garasi petinggi negeri sekali dalam lima tahun."
Jakarta kian sewot. Ia menyeret saya ke kamar putih Rumah Sakit Jiwa bernama Indonesia. "Di ruang ini, berhentilah menjadi Tandi," teriak Jakarta, "Kenapa? Kamu telah menjadi serpihan sepi yang kamu pintal dari ruang tanpa dinding. Nalar kamu abnormal!"
"Serpihan sepi?" ucapku pelan, "Percayalah, ini bukan duka dealektis rohanisme. Saya tak kesepian ketika berteriak di atas tangga dan menjadi anak haram Indonesia. Saya tidak kesepian ketika memanjat Monas mengelusi emas kuning-kemuning. Soalnya, saya adalah saya, sosok manusia yang tak pernah berhenti dipenjara berhala."
"Analisa nalarmu liar, Tandi," kata Jakarta.
"Tapi saya tak sendiri kan? Dari album wacana filsafat, misalnya, kerap kita temui penjelajahan waswas manusia yang terjerat oyod mingmang paradigmatik. Tak sedikit manusia yang mengonanikannya dalam metamorfosa Nol. Sebut saja Sartre yang memansturbasi dengan cara meminum mata air moral dari terali penjara abadi humanisme."
Polisi berpangkat kopral menelikung tangan saya. Sret! Tangan dan kaki saya diborgol! Tapi Jakarta tidak bisa memborgol suara saya. "Mencari langit penuh bintang," tutur saya, lirih, "Mencari rindu yang jauh. Di sinilah akar metafisika anak haram Indonesia. Apa artinya? Saya ini hanya seonggok nestapa yang melata dari penjara ke penjara, dari kamar ke kamar, dari statsiun yang satu ke statsiun lainnya. Adalah perjalanan kehilangan ketika saya tidak tahu pasti di posisi mana eksistensialisme didealektisasi."
***
Redaktur cerpen koran X tertawa membaca kumpul teks di atas. "Ini bukan Cerpen, Tandi. Emang sih kayaknya sih kaya dengan retorika obrak-abrik, tapi tidak ada yang bisa didapat dari cerpen ini. Sementara saya masukan ke spam saja ya..."
"Kotak sampah."
Redaktur cerpen itu mengangguk. Mata saya terbelalak. Saya ingin katakan bahwa cerpen saya ini bergerak pada dataran filsafat non-naratif. Mestinya sih mengusik kolbu, menyublimasi, memuasi batin redaktur. Mestinya sih, redaktur itu bilang, "Sip, Tandi! Tak mustahil cerpen ini lahir hasil dari ziarah lokal meditasi. Cerpen ini mampu mendiamkan gemuruh pemberontakan lewat asketisme intelektual. Dalam cerpen ini, meski rumit melingkar-lingkar tapi di sini ada duka abadi manusia. Ada kerumitan involutif yang mengimpit. Ada luka yang ditorehkan pisau nasib yang aneh."
Tapi ya itu tadi, redaktur X keukeh tak mau menerima cerpenku. Saya tinggalkan redaktur cerpen X. Cerpen saya kirim ke redaktur cerpen Media Indonesia bernama Djadjat Sudradjat dengan surat pengantar sebagai berikut:
"Dikmas Djadjat Sudradjat, namanya saja usaha untuk mencari seisap dua isap asap rokok, bersama ini saya kirim cerpen Anak Haram Indonesia. Seperti halnya Hamlet yang terjerat eksitensialisme zaman Victoria yang rumit, demikian juga kandungan maksud cerpen ini. Artinya, cerpen ini, bukan sekadar kumpul kalimat belaka. Bahkan semakin saya renungi, saya semakin meyakini adanya partikel pemikiran Friedrich Nietzsche dalam cerpen ini.
Ini cerpen bagus, Dikmas. Bila Nietzsche dalam Zarathustra kisahkan kesunyian sebagai simbolisme humanisme aneh, maka dalam Anak Haram Indonesia, saya khabarkan pengembaraan kegelisahan sang anak dalam mencari terminal terakhir kereta yang berangkat senja ketika emas Monas semakin pucat. Saya coba menakwil Indonesia dalam bingkai Frohliche Wissenschaft. Indoesia saat ini sedang meninting lentera dari hutan ke hutan belantara lainnya, hingga ia membunuh rasionalitas ego dan berteriak, "Apa yang paling suci dan mulia yang pernah dimiliki dunia, kini mengucurkan darah karena pisau kita. Maka siapa yang harus mengapus darah dari tangan kita semua?" Inilah substansi cerpen saya.
Semoga Dikmas berkenan membaca cerpen ini dan layak muat di ruang cerpen Media Indonesia.
Wassalam
Tandi Skober
***
Ternyata cerpen ini tak jua dimuat. Hingga tadi siang, Kamis 31 Maret 2011, saya temukan amplop di dalam ordner map kumal. Hmm, saat dibuka, ada lembaran-lembaran cerpen Anak Haram Indonesia. Jadi, surat tidak terkirim?
"Iya tidak saya kirim," ucap istriku. "Sudah berpuluh-puluh cerpen dikirim ke koran dan majalah kagak ada yang dimuat. Lebih baik ongkos pos kilat khusus dibelikan empal gentong."
Ternyata empal gentong lebih bermakna ketimbang Nietzsche!
Bandung, Friday, April 01, 2011, pkl 04:08:10
Lampung Post, Minggu, 10 April 2011
Sunday, April 3, 2011
Jurai
Cerpen Guntur Alam
[1]
EBAKku meninggal hanya beberapa purnama saja setelah aku mengoek panjang dari rahim emak. Di pagi kelabu pada tanggal 5 Mei 1987. Pagi yang kelak kucatat sebagai pagi yang paling pekat dalam hidup. Sebuah pagi yang ternyata begitu mahadalam menentukan nasibku.
Mula-mula, pagi itu adalah pagi yang biasa. Serupa pagi-pagi yang datang saban harinya. Berembun. Dingin. Basah. Dan matahari merah sebesar tampah menyeruak dari rerimbun durian rimba di seberang Sungai Lematang, memedarkan warna saga yang menggoda di kilat muka air yang mengalir ke hilir. Lalu, sesuatu bernama jurai membuatnya menjadi pagi yang buta, tertutup, dan gulita.
Ucapan emaklah yang mula-mula (pula) menyiumkanku pada pagi yang gulita itu. Menghadirkan sebuah pagi yang teramat kelam. Ebakmu telah mati dan kau seorang yatim bersamaku di limas ini.
Lukisan wajah emak yang lembut tiba-tiba mengeras, berubah macam pahatan cadas putih di Pengentingan, hulu Sungai Lematang yang berpusar ganas dan lubuk para buaya kumbang. Aku merasa mulut-mulut buaya kumbang itu menganga, memperlihatkan taring-taring mereka yang menguning dan menjijikkan. Mulut buaya-buaya itulah muara jalan yang harus kulewati setelah tamparan keras emak di dada, tamparan yang menyisakan sebuah kesakitan yang mengental dan teramat kental. Dan seolah ada mulut-mulut gaib, terurailah cerita tentang pagi-pagi kelamku.
Juraimu buruk, Bujang. Ebakmu mati muda, di usia kedua puluh delapan. Tak bermusabab, seperti kena tenung dukun-dukun wanita yang merapalkan ilmu setan. Dapatlah kau tengok parasmu yang menghabiskan gurat mukanya. Adalah pantang bagi orang dusun kita, anak bujang membelah pinang dengan ebaknya. Alamat kau pun akan mati muda. Mati tanpa musabab di pagi gulita.
Oi, zaman! Alangkah dingin pagi ingusan ini. Berembun dan mencumbu sumsum. Hendak rasanya aku berlari dan meringkuk dalam telekung emak. Menyumpal cuping rapat-rapat dari ramalan yang diterakan orang sedusun laman atas nasibku yang kelam. Seketika jalan kampung ini serupa jalan penuh bangkai, mengelindapkan bau busuk yang teramat maha, mengental, dan mengaduk-aduk isi perutku dengan riang-gembira. Adalah kepercayaan mereka akan jurai, nasib seseorang yang tertera dari nasib-nasib yang mengukung leluhurnya.
Ebakmu berbini dua. Gampang sekali termakan rayuan janda. Tak pandai menjaga mata, tak cakap menjaga rasa. Oi, dapatlah pula kau rasakan bila kakimu melangkah, Bujang. Serupa telapak jijik yang enggan menjejak tanah. Itu alamat, kau pun akan berbini dua.
Itulah yang membuatmu mendadak benci dengan nasib buruk ebak. Jikalau ia tak mati muda, jikalau ia tak bebini dua, jikalau ia tak menurunkan parasnya, jikalau ia tetap ada, di sini, bersamaku, mengubah pagi gulitaku. Serupa pagi bujang-bujang yang mengurai tawa dengan derai yang rincak.
Dari ebak, kusandang jurai mati yang disematkan orang-orang sedusun Tanah Abang di pedalaman Muaraenim sana. Jurai yang membuat langkahku berat menyongsong matahari merah di pagi buta.
[2]
BILA aku menatap wajah emak yang hitam mengeras, aku seperti terbangun dari mimpi buruk pada malam yang teramat pekat. Emakku seorang perempuan perkasa. Tak banyak perempuan-perempuan di Tanah Abang kuat menjanda dalam bilangan waktu yang teramat lama bahkan seumur hidupnya. Siapa pula yang tahan mendengar gunjingan, cibiran, lebih-lebih tatapan sinis wanita-wanita bersuami gatal. Ada mata-mata penuh selidik, ada cuping-cuping yang menyimak dengan teliti.
Emak-mu perempuan kuat, Bujang. Tengoklah limasmu yang terpancang, menghujam ke kedalaman tanah leluhur kita. Rimba-rimba balam yang diwariskan ebakmu, mengalirkan getah-getah putih yang dipahat tangan kapalan emakmu sejak pagi masih ingusan, sejak kau masih lelap dalam balutan besan kotak-kotak di tengah limas.
Jurai emak yang orang-orang Tanah Abang ceritakan padaku adalah seruas obor bambu berminyak tanah penuh. Sebatang obor yang mengawani derap langkah yang terseok-seok, terantuk dalam gulita pagi yang mataharinya telah mati.
Pada garis tangan emak yang keras, pada telapaknya yang kapalan, aku menetak sekisah orang-orang Tanah Abang akan jurai yang Ebak wariskan padaku. Tentang mati muda, tentang berbini dua, tentang kemalangan yang mengintai dari balik pekat. Dari deru napas emak yang tersengal ketika menggenjot sepeda kumbang berpipa lurus di tengahnya bila mendaki bukit-bukit terjal menuju rimba balam, aku menghirup aroma bunga-bunga. Menghirup denyut yang berdetak menuju kehidupan.
Pada emak aku merajut asa yang hampir tenggelam dalam pusaran ketakutan yang diranakkan malam. Pada emak aku merangkul matahari yang hendak padam. Membawanya berlari menuju pagi, menuju pintu gerbang di ujung gulita tak berpangkal.
Emakmulah yang menjadi muasal atas kematian ebakmu. Emak-mu, wanita berkulit hitam, berwajah keras, dan hati yang serupa cadas di Pengentingan. Ia meminang kesumat pada dukun-dukun wanita yang merapalkan mantera setan di kampung sebelah, merajam ebakmu yang telah menikam hatinya dengan pengkhianatan. Emakmu wanita keras yang memberimu jurai atas sebuah dendam.
Oi, adalah jalan memang penuh onak durinya. Hendak aku terjerembab, lalu meraung, jika perlu melolong-lolong pada kelam raya yang makin gulita. Cerita yang orang-orang Tanah Abang tambahkan pada sebaris riwayat perkasa Emak, membuatku termangu di tengah gelap. Mendadak saja, aku merasa obor di tanganku meliuk lemah, ada kerlip kecil seolah kerakap yang ada di batu. Matahari yang kugendong dalam dekapan, seperti hendak terlepas dan menggelinding, jatuh, ke dalam jurang gelap yang mengangah di sepanjang jalan. Apakah sebuah kesahihan yang mereka terakan? Mungkin pulakah ini hanyalah seuntai cerita yang lahir dari bibir-bibir yang mencecap gula sebuah pergunjingan? Anak-anak dari hati yang dihamili iri atas kesempurnaan emak di mata mereka.
Mataku menemukan segurat wajah emak yang sembab, ketika kusodorkan batang oborku yang hampir saja padam. Tangan Emak yang kasar mengelus hatiku yang masai. Ada kehati-hatian seorang Emak sejati dalam elusannya, elusan yang kian menutup rahasia yang tak kumengerti. Rahasia yang kian kedap, kian gelap.
Emak menyodorkan hatinya yang agung dan tak teraba, seolah hendak membenarkan sekisah orang Tanah Abang, hanyalah titisan sedarah yang dapat membaca ceritanya. Kusimak. Lalu, dadaku mengembang. Pada pagi yang masih gulita, emak menyulut senyumku yang hampir pudar. Darinya kudapat jurai keras tentang dunia.
[3]
ADA dua sisi yang saling berbuntut, bila kuurai jurai yang dilahirkan mulut-mulut orang Tanah Abang untukku, dari benih yang disemai pugoe-kajut. Pada orang tua ebakku ini, kutemukan dua cerita yang bertolak. Laksana sebuah kampung: Satu makmur, satu hitam, menyedihkan.
Pada kajut kutemukan tamasya kampung nan makmur. Seolah aku berada di padang rumput musim semi. Semua kuncup rumput berbunga, menyeruak kuntum-kuntum cerita yang elok disimak telinga.
Kajut-mulah Bujang, yang menurutkan darah tukang cerita ke tubuhmu. Mewariskan hidung bangirnya, mata eloknya, bahkan kecakapan membaca tanda-tanda yang alam sematkan.
Namun, pada padang rumput pun, tak semua kuntum bunga menebar aroma yang rincak di bulu hidung. Ada yang tak berbau, ada yang wangi sayup, ada yang semerbak, pun ada pula yang berbau busuk.
Kajut-mu, Bujang, seseorang yang besar ilmu. Gudang jampi-jampi bulu perindu. Tukang rekat-retak dua orang berbalur rindu-cemburu. Tentulah darah yang mengalir di tubuhmu, tak hanya darah tukang ceritanya, tapi darah penakluk untuk jiwa yang kasmaran atau pun diremuk nelangsa.
Untaian jurai itu membuatku tersengat di antara jaga yang sejaganya. Mendadak perkampungan makmur itu telah dibakar kemarau, kemarau yang seolah turun selama bertahun-tahun, hingga napas kehidupan menjadi layu. Dan, aku pun kembali memuarakan itu kepada emak, memintanya menceritakan kisah titisan sedarah, kisah yang hanya dapat disimak yang bertalian saja.
Kampung jurai pugoe yang memaktubkan kisah orang sedusun akan garis takdirku adalah kampung hitam. Pekat. Gulita. Serupa jurai yang diturunkan ebak untukku. Kusam.
Pugoe-mu itu mantan tentara. Hidup keras di tengah rimba Muaro Bungo sana. Pantaslah bila kau jadi Bujang yang keras kepala, pembangkang, tukang onar, dan seperti tak punya rasa.
Mendengar jurai ini, aku hanya diam. Diam. Diam. Dan diam. Lalu, melangkah dengan ketergesaan yang maha. Keinginan yang lekas usai menyusurinya. Semakin jauh, kian menjauh, menuju denyut kehidupan yang kuyakin akan menyambutku di ujung. Aku merasa ada lambaian sunyi yang sayup, memanggilku untuk gegas meninggalkan jurai yang tak ingin kudekap dengan asyik-masyuk itu.
[4]
PADA sekisah jurai-ku yang ini, tak banyak yang orang Tanah Abang terakan, ramalkan, ataupun duga-duga. Entah. Serupa berkongsi, semua berkatup. Menyumbal mulut, lalu hanya terdengar bisik-bisik yang tak terlalu mengusik.
Tengoklah, Bujang, kulitmu legam serupa arang. Tidakkah kau merasa berbeda dengan sanak saudara yang ada di limas ebakmu yang terpancang? Bila kau susur cerita tentang warna, dapat kau nukil dengan hati lapang, kalau kulitmu adalah turunan dari emakmu yang berdarah Kebon Undang1). Darah itu dialirkan dari pugoe-mu yang bergelar Remuas. Kau pun memiliki tanda, dua tetek yang tumbuh di ketiak, serupa dua tangan Siwa, sebagai pengingat kau pernah lahir pada masa yang silam. Pada reinkarnasi yang dipercaya benar-benar ada.
Jurai-ku dari garis kampung emak, tak banyak terkisah. Serupa kajut yang telah mengejankan emak dari selangkangannya yang memerah di masanya, tak banyak cakap, tak banyak cerita, tak banyak gaung yang didengar. Ia ada, terasa tak ada. Ia seolah embun yang lahir di pagi buta, tak terlalu dilihat orang. Walau dinginnya masih menyungkup di kulit yang mengerut.
Lamat, jurai dari garis itu menyamar, kemudian hilang lenyap seperti tak berbekas, serupa keraton-keraton Kebon Undang yang runtuh pelan-berlahan, mengurai satu-satu hingga rata. Lalu, rumput kanji mengambil peran. Merimbun hijau serupa nanggai, menutup, mengubur cerita tentang jurai dari garis pugoe-kajut-ku itu yang pernah ada. Tak berbekas, tak berpeta, tak mampu kembali untuk bercerita.
[5]
BERMUASAL dari jurai-jurai itulah orang-orang Tanah Abang membacakan ramalan nasibnya akan bujang-gadis yang mengoek panjang di tanah leluhur mereka. Berpasang mata akan berpasat, berpasang telinga akan menyimak, berpasang mulut akan berkisah: Inilah juraimu, Bujang.
Kau akan mati di pagi yang masih gulita, meninggalkan istri dua dengan anak-anak ingusan macam rayap. Hatimu keras laksana cadas, pandai bermain lidah dengan watak yang pemarah. Akan banyak jampi yang berkitar di ubun-ubun kepala. Bila kau selamat dari jurai yang diwariskan ebak, kau akan lahir kembali, menjadi agung, menjadi besar, serupa moyangmu yang pernah memerintah Kebon Undang.
Itulah sekisah, tentang juraiku yang diramalkan orang se-Tanah Abang. Hendak percaya, atau tidak: Sejatinya, aku tak berharap itu nyata.
C59, September 2010—Januari 2011.
--------
Guntur Alam, lahir di Tanahabang, Muaraenim, Sumatera Selatan, 20 November 1986. Menyelesaikan pendidikan di Teknik Sipil Universitas Islam '45 Bekasi. Kini menetap di Bekasi, Jawa Barat.
Kompas, Minggu, 3 April 2011
[1]
EBAKku meninggal hanya beberapa purnama saja setelah aku mengoek panjang dari rahim emak. Di pagi kelabu pada tanggal 5 Mei 1987. Pagi yang kelak kucatat sebagai pagi yang paling pekat dalam hidup. Sebuah pagi yang ternyata begitu mahadalam menentukan nasibku.
Mula-mula, pagi itu adalah pagi yang biasa. Serupa pagi-pagi yang datang saban harinya. Berembun. Dingin. Basah. Dan matahari merah sebesar tampah menyeruak dari rerimbun durian rimba di seberang Sungai Lematang, memedarkan warna saga yang menggoda di kilat muka air yang mengalir ke hilir. Lalu, sesuatu bernama jurai membuatnya menjadi pagi yang buta, tertutup, dan gulita.
Ucapan emaklah yang mula-mula (pula) menyiumkanku pada pagi yang gulita itu. Menghadirkan sebuah pagi yang teramat kelam. Ebakmu telah mati dan kau seorang yatim bersamaku di limas ini.
Lukisan wajah emak yang lembut tiba-tiba mengeras, berubah macam pahatan cadas putih di Pengentingan, hulu Sungai Lematang yang berpusar ganas dan lubuk para buaya kumbang. Aku merasa mulut-mulut buaya kumbang itu menganga, memperlihatkan taring-taring mereka yang menguning dan menjijikkan. Mulut buaya-buaya itulah muara jalan yang harus kulewati setelah tamparan keras emak di dada, tamparan yang menyisakan sebuah kesakitan yang mengental dan teramat kental. Dan seolah ada mulut-mulut gaib, terurailah cerita tentang pagi-pagi kelamku.
Juraimu buruk, Bujang. Ebakmu mati muda, di usia kedua puluh delapan. Tak bermusabab, seperti kena tenung dukun-dukun wanita yang merapalkan ilmu setan. Dapatlah kau tengok parasmu yang menghabiskan gurat mukanya. Adalah pantang bagi orang dusun kita, anak bujang membelah pinang dengan ebaknya. Alamat kau pun akan mati muda. Mati tanpa musabab di pagi gulita.
Oi, zaman! Alangkah dingin pagi ingusan ini. Berembun dan mencumbu sumsum. Hendak rasanya aku berlari dan meringkuk dalam telekung emak. Menyumpal cuping rapat-rapat dari ramalan yang diterakan orang sedusun laman atas nasibku yang kelam. Seketika jalan kampung ini serupa jalan penuh bangkai, mengelindapkan bau busuk yang teramat maha, mengental, dan mengaduk-aduk isi perutku dengan riang-gembira. Adalah kepercayaan mereka akan jurai, nasib seseorang yang tertera dari nasib-nasib yang mengukung leluhurnya.
Ebakmu berbini dua. Gampang sekali termakan rayuan janda. Tak pandai menjaga mata, tak cakap menjaga rasa. Oi, dapatlah pula kau rasakan bila kakimu melangkah, Bujang. Serupa telapak jijik yang enggan menjejak tanah. Itu alamat, kau pun akan berbini dua.
Itulah yang membuatmu mendadak benci dengan nasib buruk ebak. Jikalau ia tak mati muda, jikalau ia tak bebini dua, jikalau ia tak menurunkan parasnya, jikalau ia tetap ada, di sini, bersamaku, mengubah pagi gulitaku. Serupa pagi bujang-bujang yang mengurai tawa dengan derai yang rincak.
Dari ebak, kusandang jurai mati yang disematkan orang-orang sedusun Tanah Abang di pedalaman Muaraenim sana. Jurai yang membuat langkahku berat menyongsong matahari merah di pagi buta.
[2]
BILA aku menatap wajah emak yang hitam mengeras, aku seperti terbangun dari mimpi buruk pada malam yang teramat pekat. Emakku seorang perempuan perkasa. Tak banyak perempuan-perempuan di Tanah Abang kuat menjanda dalam bilangan waktu yang teramat lama bahkan seumur hidupnya. Siapa pula yang tahan mendengar gunjingan, cibiran, lebih-lebih tatapan sinis wanita-wanita bersuami gatal. Ada mata-mata penuh selidik, ada cuping-cuping yang menyimak dengan teliti.
Emak-mu perempuan kuat, Bujang. Tengoklah limasmu yang terpancang, menghujam ke kedalaman tanah leluhur kita. Rimba-rimba balam yang diwariskan ebakmu, mengalirkan getah-getah putih yang dipahat tangan kapalan emakmu sejak pagi masih ingusan, sejak kau masih lelap dalam balutan besan kotak-kotak di tengah limas.
Jurai emak yang orang-orang Tanah Abang ceritakan padaku adalah seruas obor bambu berminyak tanah penuh. Sebatang obor yang mengawani derap langkah yang terseok-seok, terantuk dalam gulita pagi yang mataharinya telah mati.
Pada garis tangan emak yang keras, pada telapaknya yang kapalan, aku menetak sekisah orang-orang Tanah Abang akan jurai yang Ebak wariskan padaku. Tentang mati muda, tentang berbini dua, tentang kemalangan yang mengintai dari balik pekat. Dari deru napas emak yang tersengal ketika menggenjot sepeda kumbang berpipa lurus di tengahnya bila mendaki bukit-bukit terjal menuju rimba balam, aku menghirup aroma bunga-bunga. Menghirup denyut yang berdetak menuju kehidupan.
Pada emak aku merajut asa yang hampir tenggelam dalam pusaran ketakutan yang diranakkan malam. Pada emak aku merangkul matahari yang hendak padam. Membawanya berlari menuju pagi, menuju pintu gerbang di ujung gulita tak berpangkal.
Emakmulah yang menjadi muasal atas kematian ebakmu. Emak-mu, wanita berkulit hitam, berwajah keras, dan hati yang serupa cadas di Pengentingan. Ia meminang kesumat pada dukun-dukun wanita yang merapalkan mantera setan di kampung sebelah, merajam ebakmu yang telah menikam hatinya dengan pengkhianatan. Emakmu wanita keras yang memberimu jurai atas sebuah dendam.
Oi, adalah jalan memang penuh onak durinya. Hendak aku terjerembab, lalu meraung, jika perlu melolong-lolong pada kelam raya yang makin gulita. Cerita yang orang-orang Tanah Abang tambahkan pada sebaris riwayat perkasa Emak, membuatku termangu di tengah gelap. Mendadak saja, aku merasa obor di tanganku meliuk lemah, ada kerlip kecil seolah kerakap yang ada di batu. Matahari yang kugendong dalam dekapan, seperti hendak terlepas dan menggelinding, jatuh, ke dalam jurang gelap yang mengangah di sepanjang jalan. Apakah sebuah kesahihan yang mereka terakan? Mungkin pulakah ini hanyalah seuntai cerita yang lahir dari bibir-bibir yang mencecap gula sebuah pergunjingan? Anak-anak dari hati yang dihamili iri atas kesempurnaan emak di mata mereka.
Mataku menemukan segurat wajah emak yang sembab, ketika kusodorkan batang oborku yang hampir saja padam. Tangan Emak yang kasar mengelus hatiku yang masai. Ada kehati-hatian seorang Emak sejati dalam elusannya, elusan yang kian menutup rahasia yang tak kumengerti. Rahasia yang kian kedap, kian gelap.
Emak menyodorkan hatinya yang agung dan tak teraba, seolah hendak membenarkan sekisah orang Tanah Abang, hanyalah titisan sedarah yang dapat membaca ceritanya. Kusimak. Lalu, dadaku mengembang. Pada pagi yang masih gulita, emak menyulut senyumku yang hampir pudar. Darinya kudapat jurai keras tentang dunia.
[3]
ADA dua sisi yang saling berbuntut, bila kuurai jurai yang dilahirkan mulut-mulut orang Tanah Abang untukku, dari benih yang disemai pugoe-kajut. Pada orang tua ebakku ini, kutemukan dua cerita yang bertolak. Laksana sebuah kampung: Satu makmur, satu hitam, menyedihkan.
Pada kajut kutemukan tamasya kampung nan makmur. Seolah aku berada di padang rumput musim semi. Semua kuncup rumput berbunga, menyeruak kuntum-kuntum cerita yang elok disimak telinga.
Kajut-mulah Bujang, yang menurutkan darah tukang cerita ke tubuhmu. Mewariskan hidung bangirnya, mata eloknya, bahkan kecakapan membaca tanda-tanda yang alam sematkan.
Namun, pada padang rumput pun, tak semua kuntum bunga menebar aroma yang rincak di bulu hidung. Ada yang tak berbau, ada yang wangi sayup, ada yang semerbak, pun ada pula yang berbau busuk.
Kajut-mu, Bujang, seseorang yang besar ilmu. Gudang jampi-jampi bulu perindu. Tukang rekat-retak dua orang berbalur rindu-cemburu. Tentulah darah yang mengalir di tubuhmu, tak hanya darah tukang ceritanya, tapi darah penakluk untuk jiwa yang kasmaran atau pun diremuk nelangsa.
Untaian jurai itu membuatku tersengat di antara jaga yang sejaganya. Mendadak perkampungan makmur itu telah dibakar kemarau, kemarau yang seolah turun selama bertahun-tahun, hingga napas kehidupan menjadi layu. Dan, aku pun kembali memuarakan itu kepada emak, memintanya menceritakan kisah titisan sedarah, kisah yang hanya dapat disimak yang bertalian saja.
Kampung jurai pugoe yang memaktubkan kisah orang sedusun akan garis takdirku adalah kampung hitam. Pekat. Gulita. Serupa jurai yang diturunkan ebak untukku. Kusam.
Pugoe-mu itu mantan tentara. Hidup keras di tengah rimba Muaro Bungo sana. Pantaslah bila kau jadi Bujang yang keras kepala, pembangkang, tukang onar, dan seperti tak punya rasa.
Mendengar jurai ini, aku hanya diam. Diam. Diam. Dan diam. Lalu, melangkah dengan ketergesaan yang maha. Keinginan yang lekas usai menyusurinya. Semakin jauh, kian menjauh, menuju denyut kehidupan yang kuyakin akan menyambutku di ujung. Aku merasa ada lambaian sunyi yang sayup, memanggilku untuk gegas meninggalkan jurai yang tak ingin kudekap dengan asyik-masyuk itu.
[4]
PADA sekisah jurai-ku yang ini, tak banyak yang orang Tanah Abang terakan, ramalkan, ataupun duga-duga. Entah. Serupa berkongsi, semua berkatup. Menyumbal mulut, lalu hanya terdengar bisik-bisik yang tak terlalu mengusik.
Tengoklah, Bujang, kulitmu legam serupa arang. Tidakkah kau merasa berbeda dengan sanak saudara yang ada di limas ebakmu yang terpancang? Bila kau susur cerita tentang warna, dapat kau nukil dengan hati lapang, kalau kulitmu adalah turunan dari emakmu yang berdarah Kebon Undang1). Darah itu dialirkan dari pugoe-mu yang bergelar Remuas. Kau pun memiliki tanda, dua tetek yang tumbuh di ketiak, serupa dua tangan Siwa, sebagai pengingat kau pernah lahir pada masa yang silam. Pada reinkarnasi yang dipercaya benar-benar ada.
Jurai-ku dari garis kampung emak, tak banyak terkisah. Serupa kajut yang telah mengejankan emak dari selangkangannya yang memerah di masanya, tak banyak cakap, tak banyak cerita, tak banyak gaung yang didengar. Ia ada, terasa tak ada. Ia seolah embun yang lahir di pagi buta, tak terlalu dilihat orang. Walau dinginnya masih menyungkup di kulit yang mengerut.
Lamat, jurai dari garis itu menyamar, kemudian hilang lenyap seperti tak berbekas, serupa keraton-keraton Kebon Undang yang runtuh pelan-berlahan, mengurai satu-satu hingga rata. Lalu, rumput kanji mengambil peran. Merimbun hijau serupa nanggai, menutup, mengubur cerita tentang jurai dari garis pugoe-kajut-ku itu yang pernah ada. Tak berbekas, tak berpeta, tak mampu kembali untuk bercerita.
[5]
BERMUASAL dari jurai-jurai itulah orang-orang Tanah Abang membacakan ramalan nasibnya akan bujang-gadis yang mengoek panjang di tanah leluhur mereka. Berpasang mata akan berpasat, berpasang telinga akan menyimak, berpasang mulut akan berkisah: Inilah juraimu, Bujang.
Kau akan mati di pagi yang masih gulita, meninggalkan istri dua dengan anak-anak ingusan macam rayap. Hatimu keras laksana cadas, pandai bermain lidah dengan watak yang pemarah. Akan banyak jampi yang berkitar di ubun-ubun kepala. Bila kau selamat dari jurai yang diwariskan ebak, kau akan lahir kembali, menjadi agung, menjadi besar, serupa moyangmu yang pernah memerintah Kebon Undang.
Itulah sekisah, tentang juraiku yang diramalkan orang se-Tanah Abang. Hendak percaya, atau tidak: Sejatinya, aku tak berharap itu nyata.
C59, September 2010—Januari 2011.
--------
Guntur Alam, lahir di Tanahabang, Muaraenim, Sumatera Selatan, 20 November 1986. Menyelesaikan pendidikan di Teknik Sipil Universitas Islam '45 Bekasi. Kini menetap di Bekasi, Jawa Barat.
Kompas, Minggu, 3 April 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)