Sunday, March 6, 2011

Kado Mimpi buat Konglomerat

Cerpen Iwan Gunadi


INI benar-benar tak masuk akal. Aku konglomerat yang selalu menindas dan mengisap rakyat. Tapi rakyat pula yang menghadiahiku sebuah tempat di surga.

Mulanya sebuah kado di atas meja di kantorku. Kado itu berlapis kertas warna putih dengan pita merah. Bentuknya kotak empat persegi panjang dengan ukuran setengah meter kali satu meter. Tebalnya sekitar lima sentimeter.

Sambil duduk, kertas kado segera kurobek. Ternyata lukisan. Kedua tanganku menegakkan lukisan itu dengan memegangi kedua tepinya. Dalam jarak pandang sepanjang tanganku, sebuah lukisan yang ramai terpampang di hadapanku. Ramai oleh orang-orang yang tersenyum dan tertawa, ramai oleh deretan atau tumpukan barang-barang mewah: rumah, mobil, televisi, laptop, ponsel, lembaran pecahan rupiah, lembaran dolar, buku, amplop, dan memo. Sebuah gambar realis yang terkesan menjadi surealis lantaran membaur, tanpa batas. Semuanya serbaindah dan mudah. Sesuatu yang tak asing bagiku. Tak heran bila aku tak tertarik mengamatinya.

Justru, yang menarik mataku adalah gambar di pusat lukisan itu. Gambar itu menyerupai wajah. Tapi ia tak bisa kupastikan betul-betul wajah. Sebab, pada gambar inilah teknik surealis justru menguat. Meski begitu, ia seperti mengajakku menengok masa lalu yang perih. Tapi, belum juga ingatan masa lalu itu mewujud secara jelas, gambar yang laksana wajah seorang bocah itu menyedot tubuhku memasuki dunia dalam lukisan itu.

Aku mencoba memalingkan muka dari wajah itu. Tapi makin kuat aku mencoba memalingkan muka, makin kuat pula wajah itu menyedot tubuhku. Energiku terkuras, lalu terlemparlah aku ke surga.

Itu sebetulnya bukan kado pertama yang kuterima. Sebelumnya, dalam setengah tahun ini, sudah 20 kado kuterima. Hampir setiap minggu aku menerima kado. Kado-kado itu tiba-tiba saja hadir di meja kerjaku, baik di rumah ataupun di kantor. Tapi yang tersering adalah di kantor. Tampaknya, sebagian besar pengirim kado itu tahu benar bahwa aku lebih banyak di kantor ketimbang di rumah.

Tak pernah diketahui secara pasti siapa pengirim kado-kado itu. Tak pernah ada satu kata pun tertulis di kado-kado itu. Baik di dalam kado, apalagi di luar kado.

Kecuali kado terakhir yang diimbuhi kata-kata dan sebuah kado lain. Ada dua kata di kado terakhir. Ditulis di bagian luar bawah kado. Begini bunyinya: "Dari Rakyat." Kado lain itu datang beberapa minggu sebelumnya. Isinya cuma secarik memo. Bunyinya: "Tolong diperhatikan teman baik saya ini. Tertanda, Tuhan". Sepotong sinisme yang tajam mengiris.

Seluruh pekerja di kantor atau seluruh orang di rumah tak tahu siapa yang menaruh kado-kado itu di atas meja kerjaku. Sekretaris pribadiku di kantor dan istriku di rumah tak tahu. Para petugas satuan pengamanan (satpam) di kantor dan di rumah pun tak pernah melihat orang yang tak dikenal atau mencurigakan masuk ke kamar kerjaku ketika kantor tutup atau ketika libur atau ketika malam tiba. Seluruh nama dalam daftar tamu, setelah diselidiki, tak ada seorang pun yang berkepentingan dengan kado-kado itu. Jadi, siapa para pengirim itu? Tak pernah diketahui secara pasti. Meski begitu, di luar kado terakhir, biasanya, setelah membuka sebuah kado, aku bisa memperkirakan siapa "aktor intelektual" di balik setiap pengiriman kado.

Aku selalu hati-hati menghadapi isi kado-kado itu. Sebelum kubuka sendiri, tim keamananku harus memastikan bahwa kado-kado itu tak akan mencederai, apalagi mencelakakanku. Setelah dipastikan aman dan semua orang kusuruh meninggalkan ruang kerjaku, termasuk istriku bila di rumah, aku selalu membuka setiap kado secara tergesa-gesa.

Di luar kado terakhir, aku selalu tercengang setelah mengetahui isi suatu kado. Misalnya, saat aku membuka kado berisi boneka wanita telanjang setinggi sekitar 25 cm. Boneka tersebut dilumuri cairan bening seperti lendir. Ujung telunjukku mencoba menyentuhnya. Agak lengket. Hidungku yang besar segera membaui ujung telunjukku. Agak bau anyir. Uh, air mani!

Pikiranku segera menerawang. Hari itu, aku baru saja memenangkan tender proyek pembangunan jalan tol di ujung timur pulau ini. Empat perusahaan terlibat dalam terder tersebut, termasuk perusahaanku. Aku tahu, mereka perusahaan yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Perusahaanku sendiri, saat itu, baru terjun ke bisnis pembangunan jalan tol. Tapi aku punya potensi lebih besar untuk memenangkan tender itu: aku kenal dan tahu betul kesenangan pejabat yang akan memutuskan tender tersebut. Zaman memang telah berubah, tapi perilaku pejabat tetap sama seperti perilakuku.

Tak sulit mencari tahu siapa dari tiga perusahaan itu yang mengirimkan kado boneka wanita telanjang. Tak juga sukar “mendiamkan” si pengirim. Besoknya urusan selesai. Bahkan, kemudian, bos perusahaan itu banyak membantu urusanku di sektor itu.

Contoh lain adalah kado berisi sepotong kelamin kuda jantan yang baru saja dipotong. Darah segar masih menggenang di bawah kelamin kuda jantan itu di dalam plastik bening. Segera saja aku ingat sejumlah artis, foto model, peragawati, dan ratu kecantikan yang pernah atau masih menjadi selimut tidurku. Beberapa di antaranya kugandeng dari tangan pejabat atau pengusaha lain. Bahkan, ada yang kurebut ketika masih dipakai seorang purnawirawan jenderal bintang tiga. Aku tahu siapa di antara mereka yang mengirim kelamin kuda jantan itu. Yang pasti, ia bukan purnawirawan itu. Sebab, yang terakhir ini telah menjadi salah seorang komisaris di salah satu perusahaanku.

Akhirnya, semua pengirim kado itu berhasil kuketahui. Semuanya berhasil pula kutangani. Kalau kooperatif, mereka tentu akan menjadi mitra bisnis. Keuntungan terbesar tentu ada di tanganku. Kalau tak kooperatif, ya terpaksa kulibas. Kalau kadar ketakkooperatifannya rendah atau sedang, cukup perusahaan-perusahaannya yang kulibas. Kalau tinggi atau keterlaluan, ya, dengan sangat menyesal, aku juga tak mau lagi melihatnya berseliweran.

Jadilah aku pengusaha yang tak tertandingi. Kekayaanku sangat melimpah. Kekuasaanku tak terbatas. Bahkan, seorang presiden atau wakil rakyat pun tak bisa berbuat apa-apa terhadapku bila aku bertindak salah atau keliru.

Nah, semua itu seketika hilang ketika aku terlempar ke surga. Aku tetap kaya dan berkuasa. Aku tetap mudah memperoleh segala yang kuinginkan. Tapi yang lain pun memiliki dan memperoleh hal yang sama. Padahal, aku paling tidak suka kalau ada yang mampu menyaingi.

Ketakdigdayaan itu kuketahui setelah aku mencoba menyogok sejumlah yang lain. Ketika baru terlempar ke surga, aku mendapati sepasang yang lain sedang berasyik-masyuk. Aku menawari mereka pasangan lain yang lebih cantik dan tampan bagi masing-masing agar mereka mau menuruti dan mewujudkan segala perintah dan keinginanku. Eh, mereka malah menawariku yang lebih cantik.

Harta kekayaan yang melimpah dan tak terbatas kutawarkan kepada penjudi yang kalah. Ia mau. "Tapi keputusan enggak ada di tanganku," akunya dengan mimik muka tanpa keluhan. Jadi? "Kau tanyalah sama Tuhan, boleh enggak aku menerima suapmu. Kalau boleh, tanya juga sama Tuhan, apa Tuhan bisa menjamin bahwa harta kekayaan yang akan kau suapkan itu benar-benar harta kekayaanmu, bukan harta kekayaan Tuhan." Oh, benar-benar menjengkelkan.

Aku berteriak minta tolong. Aku minta ampun. Ketukan bertubi-tubi dan cepat kudengar menerpa pintu.

Mataku terbuka. Di hadapanku, di atas meja kerjaku di kantor, lukisan itu masih membentang.

***

Di meja kerja di rumah, aku mendapatkan kado sejenis. Cuma, pitanya putih. Sampul kadonya merah. Aku takut membukanya. Tapi serasa ada yang memaksa tanganku untuk segera merobek sampulnya dan melihat isinya.

Sebuah lukisan dengan ukuran dan isi yang sama. Bedanya, di lukisan itu tak tampak gambar manusia. Kalaupun ada, itu adalah wajah seorang perempuan tua di pusat lukisan yang tampak samar-samar. Wajah itu pun mengingatkanku pada masa silam yang buruk. Keburukan yang muncul karena kebodohan ibuku. Ibu yang dungu, yang mau saja menyerahkan kegadisannya hanya karena sebuah rayuan. Ibu yang memilihkan ayah tiri yang selalu menampar atau menendangku bila aku berbuat salah, meskipun kecil saja.

Aku mencoba memalingkan muka dari wajah itu. Tapi makin kuat aku mencoba memalingkan muka, makin kuat pula wajah itu menyedot tubuhku. Energiku terkuras, lalu terlemparlah aku ke surga.

Tak ada yang lain yang kutemui. Setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang lain yang sejenis denganku yang berhasil kutemui. Lebih dari setahun, keadaan tetap sama. Padahal, setahun di akhirat, konon, berbanding lurus dengan berabad-abad, bermilenium-milenium, atau bahkan jauh lebih lama dari itu di dunia.

Semua kebutuhanku memang terpenuhi. Tapi untuk apa kalau aku cuma sendiri. Tak ada yang bisa kusuap, kutegor, kurebut, kuselingkuhi, kuteror, kuhancurkan, kubunuh, dan seterusnya. Bahkan, kutawari untuk kusuap, kutegor, kurebut, kuselingkuhi, kuteror, kuhancurkan, kubunuh, dan seterusnya nihil. Aku kaya dan berkuasa, tapi keduanya tak punya efek apa-apa. Jadi, buat apa?

"Kau betul-betul masih ingin menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya? Ampunmu cuma pura-pura?" Suara yang terdengar keras di telingaku itu membuyarkan lamunanku.

Aku menyapukan pandangan ke sekeliling. Tak ada siapa pun.

"Kau betul-betul masih ingin menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?"

"Siapa kau?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku?" Suara itu terdengar lebih keras.

"Kau jawab dulu pertanyaanku!"

"Kau belum menjawab pertanyaanku?" Suara itu mulai memekakkan telinga. Rasa sakit mulai menjalari telingaku.

"Baik. Aku jawab: mau."

"Maukah kau menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?"

"Kau siapa?"

"Apa kau melontarkan pertanyaan yang sama ketika akan menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?" Suara itu membuat telingaku bertambah sakit.

"Baik. Aku jawab: mau!"

"Betul-betul mau?" Suara itu membuat telingaku makin sakit.

"Kau sungguh berani kepada Malaikat Maut!" Suara itu begitu keras.

Cairan terasa mengalir dari kedua telingaku. Jari-jemari kedua tanganku merabanya. Kulihat darah segar di jari-jemari kedua telapak tanganku.

Aku pingsan seketika. Atau, entah sudah mati. Aku tak tahu pasti. Yang kurasakan, mataku yang lain melihat lukisan itu tergeletak di meja kerja di rumahku. Kedua tanganku tak lagi memegang kedua tepinya agar tegak. n


Lampung Post
, Minggu, 6 Maret 2011

No comments:

Post a Comment