Sunday, November 21, 2010

Tarian dalam Dirimu

Cerpen Alex R. Nainggolan


SELALU ada yang menari dalam dirimu. Yang tak bisa kutanggalkan setiap kali bertemu.

"Jadi kau akan terus menari, sampai kapan?"

"Sampai mimpi tak lagi terbagi."

"Tapi tubuhmu bau selokan, begitu miskin, dan amis."

"Biarlah, toh, bukan diriku yang terlihat di sini. Melainkan tarianku."

"Ya, tarianmu bagus. Serupa gentar yang tak kelihatan. Seperti menusuki bekas cuaca, kini aku seperti menemukan bagian diriku yang hilang. Barangkali telah sekian waktu tak terbaca."

Orang-orang berkerumun ke arahmu. Merapikan diri mereka. Mereka mendekat. Seakan meneliti dirimu dengan seksama. Barangkali, agak heran, sebab di daerah ini jarang ada seorang perempuan yang memperlihatkan tarian ke khalayak. Namun kau seakan tak peduli, kau tetap saja terus menari, seakan terus membagi bagian sunyimu. Cuaca seakan membaca seluruhnya. Segalanya diam, keheningan yang menelusup ke setiap pori.

"Kau tak letih menari?" tanyaku ketika melihat tubuhmu telah dipenuhi peluh, "Orang-orang di sini mengharamkan seorang perempuan untuk menari."

"Kenapa?"

"Entahlah, barangkali pantangan tidak baik. Terlebih lagi, acapkali kau perlihatkan lekuk tubuhmu."

"Biar!" kau tak peduli. Tepatnya kau telah menikmati ekstase dirimu sendiri, kau terus menari. Setiap waktu, dengan atau tanpa iringan musik. "Aku takut," kataku, "Kenapa?"

"Aku takut kehilangan dirimu, tidakkah kau mendengar bisik-bisik orang-orang itu? Yang bercakap-cakap selama kau menari?"

"Apa? Ceritakan dong!" Kau terus saja menari, seakan waktu bagimu telah lama berhenti, diam di antara gerakan tubuhmu yang dengan sekejap memanjang, dan memendek. Kau terus saja bergerak, peluhmu bercucuran, begitu banyak, pakaian yang kau kenakan basah. Hampir seluruh lekuk tubuhmu terlihat.

"Syahdan, ada seorang perempuan datang ke daerah ini. Ia mempunyai bakat menari, sama seperti dirimu. Hampir setiap saat ia menari, hingga suatu saat...orang-orang membakarnya. Ia ditangkap di sebuah malam yang hitam. Tubuhnya terbakar di atas api, tangannya terikat, dan ia lantak menjadi abu. Sejak itu pula tak ada seorang pun yang berani menari di daerah ini. Orang-orang tak ada yang berani menggoyangkan anggota tubuh mereka, bahkan ketika alunan musik terdengar."

"Kok, ceritanya cuma sebentar?"

"Menurut juru cerita, orang-orang membakarnya karena tarian yang disuguhkan telah menjelma jadi wabah yang dianggap membahayakan. Ia mesti berhenti menari. Sebelum segalanya tambah parah. Maka ia dianggap aib. Ia mesti dimusnahkan dengan segera."

"Ia punya anak?"

"Entahlah, katanya dulu ia memunyai seorang kekasih. Lelaki yang mengagumi tarian yang disuguhkannya."

"Ia punya anak?" tanyamu datang lagi.

"Kabarnya, kaulah anaknya."

"Tapi, orang tua yang aku ketahui cuma seorang lelaki yang menetap di ujung daerah ini."

"Apa pernah kau tanyakan dirimu dengan sesungguhnya padanya?"

"Kau bohong!" lalu kau pergi meninggalkanku. Meski saat meninggalkan diriku, aku masih melihat tarian dari beberapa anggota tubuhmu. Tarian yang dipenuhi elegi.

***

Di hari berikutnya, aku melihatmu menari kembali. Kali ini, jauh lebih hebat. Kau berdiri di sebuah papan yang agak tinggi, dengan diiringi alunan musik. Orang-orang datang berkerumun. Peluhmu terus bercucuran, tapi dengan demikian justru terlihat bahwa kau istimewa. Semua mata melekat kepada dirimu. Tak ada ekor mata yang seperti lepas dari dirimu. Setiap orang menahan napasnya, dengan degup jantung yang seperti ditahan. Ah, betapa kau begitu sempurna saat itu. Dirimu tampak sebagai perempuan dewasa. Terkadang tinggi, sesekali rendah. Suatu hal yang mengingatkanku pada ombak di pantai yang terus datang bertubi-tubi.

Orang-orang masih saja berkerumun, tapi aku menyaksikan dirimu di kejauhan. Melihat dirimu yang tampak seperti siluet yang membentangkan hiburan baru. Ya, betapa orang-orang di daerah ini haus hiburan. Diam-diam, aku menyukai dirimu. Diam-diam, aku mengagumi setiap lekuk yang kau tawarkan, seperti seteguk air yang disuguhkan saat aku sedang kehausan. Betapa setiap gerakanmu telah menjelma menjadi suatu yang patut dikenang. Lekuk pinggul, payudara, dan bundar wajahmu telah menyihirku. Aku terpukau, kesiap yang melecut dengan seketika. Bayangan dirimu terus saja berkelebat. Yang memaksaku malas untuk menutup mata barang sebentar.

"Kau hebat ketika menari," aku menghampirimu.

"Selalu pujian yang kau berikan. Aku muak!" katamu.

"Tapi ini sungguh-sungguh. Dari sana aku menyaksikan keteguhanmu."

"Lalu, kau akan bermaksud melarangku? Kau akan menceritakan lagi kisah itu, bahwa aku memunyai seorang Ibu yang juga menari. Bila ibuku mati dibakar, begitu?"

"Kau tak percaya?"

"Buktinya, orang-orang memujaku. Lihatlah, bagaimana mereka puas dengan suguhanku. Seorang lelaki tadi menghampiriku, ia menawarkan kartu nama. Katanya pencari bakat dari sebuah production house. Katanya, tarianku dapat dipromosikan lebih besar lagi. Bisa menyaingi goyangan Inul Daratista."

"Siapa namanya?"

"Marta."

"Jadi, kau akan menerima tawaran dari dirinya?"

"Mengapa tidak? Kesempatan tak akan datang dua kali."

Tiba-tiba kembali ada yang berdesir, berenang menjauhi dadaku. Aku melihat pijar di kedua bola matamu. Dan, aku berfirasat bila kau akan pergi, jauh, meninggalkan diriku. Aku membayangkan akan ditinggalkan dirimu. Padahal, aku belum sempat mengutarakan bila aku menyukai dirimu, tepatnya telah jatuh cinta pada dirimu.

***

Sampai di hari-hari berikutnya, kau benar-benar telah menghilang dari daerah ini. Tinggal aku sendiri, mengingat-ingat tarian yang acapkali kau utarakan. Bagaimana seluruh lekuk tubuhmu seakan berbicara padaku. Suatu bahasa yang sekejap dilahirkan dengan tiba-tiba.

Aku merasa kehilangan dirimu. Seketika pula, aku kembali terkenang pada kisah di mana seorang penari yang juga Ibumu mati dibakar orang.

Tapi nyatanya, kemarin malam, aku melihat dirimu menari di televisi. Ya, dirimu! Dengan peluh yang berkucur banyak di wajahmu.

Jakarta Barat, 2004-07-17

-----
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media.


Lampung Post
, Minggu, 21 November 2010

No comments:

Post a Comment