Sunday, October 17, 2010

Lipstik di Bawah Guyuran Hujan

Cerpen Miftah Fadhli


SEPULUH tahun silam dia pernah di sini, bersama seorang lelaki. Lelaki yang menyapu wajahnya yang basah kuyup karena hujan. Dengan takzim lelaki itu berucap, "Kita akan bertemu lagi di sini, sepuluh tahun lagi."

Maka sepuluh tahun kemudian, tepatnya hari ini, perempuan itu duduk lagi di sini. Di hari yang sama. Di hujan yang juga sama: bergedebum, membawa gigil dingin. Dia merogoh saku kanan roknya. Dikeluarkannya sebuah lipstik dan diputarnya gagangnya sehingga ujung lipstik berwarna merah menyembul bagai baut yang ditarik oleh sesuatu yang gaib. Bagai melukis, dia memoles bibir pucatnya—karena dingin—dengan lipstik itu dengan harapan, dia bisa seperti dulu lagi. Lalu diedarkannya pandangan kepada kaki kirinya. Dia mendesah, bagai resah. Ternyata dia tidak persis seperti dulu lagi.

Gerakan tangannya terhenti di tengah bibir. Dia tengadah. Hujan tidak akan berhenti, gumamnya. Lalu lipstiknya bergerak ke kanan dan kiri, lagi, di bibir atas. Kemudian bibir bawah. Begitu pelan. Begitu senyap. Hanya gemuruh hujan dan silang-sengkarut guntur bergemebyar di langit. Langit yang keruh, membawa jiwa yang rapuh. Apakah perempuan itu akan tetap bertahan di situ?

Setelah dirinya merasa sempurna, bibirnya terasa liat saat dicecap, dia memasukkan kembali lipstik merahnya di saku yang sama. Betapa gugup, betapa rikuh. Dia tidak langsung menarik tangannya keluar, melainkan berhenti sejenak di dalam saku sambil tetap memegang lipstik itu. Dia menahan gigil. Apakah lipstik itu juga menahan gigil?

Sepuluh tahun silam, dia mengingat, juga memakai lipstik yang sama. Lipstik yang umurnya bahkan melebihi umur kebersamaan dirinya dengan lelaki itu. Perjumpaan di tempat yang sama. Juga perpisahan di tempat yang tak berbeda. Berlangsung di taman yang bunganya tak memiliki warna lain selain warna merah. Semerah bibir basahnya yang tak lagi pucat.

Lelaki itu datang kepadanya dengan tangan melindungi kepalanya. Tetapi kepalanya akan tetap basah. Mata mereka bersitatap. Lama. Tapi mereka tak saling tahu, bahwa ada benang merah mengikat hati mereka berdua. Benang yang setia menembus guratan hujan yang menderu. Yang membikin ricuh. Apakah perempuan itu juga masih tidak tahu bahwa benang itu masih berada di situ?

Orang-orang berlindung di bawah payung, yang lewat di depannya menatap heran: seorang perempuan-apakah dia gila? putus asa? dan sendirian-duduk termangu, membiarkan tubuhnya kuyup dibasuh hujan menderu. Tapi dia tak peduli. Dia ingin menguji kesetiaan. Hanya itu. Tak peduli bagaimana orang memandangnya dengan kesimpulan yang bisa saja melukai perasaannya. Tak peduli hujan yang bisa saja membuatnya mati di situ.

Huh.

Dia menarik napas panjang. Mencoba bertahan dari dingin senyap yang telah merambat di ubun-ubun kepalanya. Lipstik di bibirnya pecah. Merembes ke dagu dan jatuh di pangkuannya. Merah bagai darah menyembul bagai titik sendiri di paha. Sesaat hilang sesaat muncul lagi, hilang dan muncul lagi hingga bibirnya kembali seperti asal mula: pucat, berkerut, tak terlindungi.

Dia merogoh saku roknya lagi. Mengeluarkan lipstik namun tak memoleskannya di bibir karena lipstik itu sudah tinggal pangkal. Tinggal sisa berwarna merah menyala berselemak di sekitar gagang kuningannya. Dia mendengus. Kesal? Takut? Rindu? Lantas belesakkannya lipstik itu begitu saja di saku kiri roknya.

Nun jauh di tenda-tenda biru, berpasang muda-mudi berteduh. Saling menghangatkan diri. Saling menautkan diri dengan peluk dan cium di kening. Diapun dulu begitu. Sepuluh tahun yang lalu. Menautkan diri dengan lelaki itu saat hujan tiba-tiba mengguyur tubuh, dan mereka memilih tetap di situ karena tahu hari perpisahan adalah muasal kerinduan yang tidak boleh disia-siakan.

Begitupun dirinya, saat ini. Dia ingin dipeluk. Dicium. Dan mengakhiri kerinduan yang bukan lagi sekadar muasal, tapi sudah membikin sesal. Apakah itu alasan dia tidak ingin meninggalkan tempat ini? Selain janji yang dulu disematkan, tentunya.

Tiba-tiba perempuan itu panik. Dia mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari. Menahan getar, mengulum lapar. Tadi diletakkan di sini, pikirnya. Dia bergerak sedikit ke kanan, lalu ke kiri. Tidak ada. Dia mencoba berdiri. Tidak bisa. Ia duduk lagi. Dengan kegelisahan yang tak berkurang, justru kian bertambah. Tadi di sini, bisiknya. Kantungku robek.

Hujan semakin deras. Dia tahu, hujan selalu begitu. Tapi dia tidak bisa kalau tidak menunggu. Di mana? Dia ingin menangis. Bahkan sudah menangis. Hanya saja air hujan yang rebah di wajahnya membikin kamuflase dirinya yang tegar dan tak gentar. Bangku panjang itu ditelitinya dengan tubuh tetap di tempat semula. Tak bergerak banyak. Hanya gerak meraba dan memicingkan mata di tanah yang tergenang. Di mana? Pikirnya lagi dengan buncah ketakutan yang menggelepar.

Dia terngiang, "Saat kita bertemu lagi di sini, kita harus menunjukkan benda ini."

Apakah itu sebabnya dia merasa takut?

Lagi-lagi dia teringat satu hal kembali, "Benda ini, kuberikan untukmu, agar kau tetap merasa cantik."

Apakah dia tidak akan merasa cantik lagi jika benda itu tidak ada di sisinya?

Begitu cepat. Begitu dekat. Bagaimana jika dia tiba-tiba datang? Dia ingin sekali lagi menangis, mengalahkan gemeriuh hujan yang turun, berkelebat, mengalir di taman-taman yang tanahnya menurun.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, lelaki itu menatapnya dan memberikannya lipstik merah itu. Untuk pertama kali dia memoleskan bibirnya dengan lipstik itu, yang membuat segalanya menjadi tenang. Yang membuat segalanya menjadi lengang.

"Kakimu akan baik-baik saja." Kalimat itu bergema di kepalanya.

Perempuan itu kembali mengedarkan pandangannya kepada kaki kirinya. Sambil menangis dia mengelus-elus paha kirinya yang mati rasa karena dingin. Bukan karena gigil, tapi karena dia telah mengecewakan janji sepuluh tahun silam. Apakah dia sadar kalau benang merah itu sudah tak lagi di situ? Di dadanya? Di hatinya? Di perasaannya?

Agaknya dia tahu. Dia juga tahu muasal benang yang dulu tersambung dan kini putus. Oh, aku telah menghilangkannya. Dia meraba bibirnya. Bekas lipstiknya benar-benar hilang. Dia menatap ke pangkuan, huh, dia mendengus. Di situ juga tak ada lagi sisa warna lipstik yang tadi dipakainya.

Lalu di mana?

Padahal dia sudah menunggu cukup lama untuk ini. Sudah bersikap, lebih dari kata sabar untuk perjumpaan ini. Tapi dia tak lagi bersama benda itu? Lipstik itu? Lipstik, yang seingatnya, menumbuhkan kembali harapan dan kecantikan yang dipikirnya telah hilang? Tidak. Lebih dari itu. Dia telah membunuh muasal pertemuan dan perpisahan dirinya dengan lelaki itu?

Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menahan tangis. Namun sedu-sedan. Dirasakannya asin menggores lidah-meludah, mencecap, mengedarkan pandangan ke arah kaki lagi-, ia benar-benar menahan tangis. Oh, dulu aku tidak seperti ini, katanya, dalam kepala.

Perempuan itu tidak ingin mengeluh. Betapapun dia ingat, dulu, dirinya adalah bunga cantik yang tak layu. Kini, bunga itu telah menguncup dan hanya meninggalkan rindu. Meninggalkan sebelah kakinya. Meninggalkan keraguan. Apakah rindu? Apakah masih sedu-sedan itu?

Tapi saat dia menghalau air hujan masuk ke matanya—perlahan, meski air hujan lagi-lagi masuk—dari sela jejari dia melihat lelaki itu. Tidak mungkin dia tidak ingat. Lelaki itu, tubuhnya—"Aku akan mengenakan baju merah, seperti benda itu"—basah kuyup, menatapnya takzim-masih seperti dulu-tersenyum dengan rekah yang tak berubah: "Mira?"

Bagai gugup, giginya bergemelutuk. Mereka tahu mereka sudah saling menunggu. Sangat lama. Menunggu untuk tak menemui perubahan yang bisa saja terjadi dalam sepuluh tahun. Tapi apa? Apakah benda itu? Di mana dia? Bisiknya dalam hati.

Lelaki itu duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat dia hanya menunduk-melindungi matanya—tanpa berkata sepatah pun. Tapi perlahan dia mengedarkan pandangannya ke bawah. Tepatnya kepada kaki perempuan itu. Dia mendesah. Tersenyum. Lalu mendongak demi melihat wajah perempuan itu.

"Kau masih cantik," bisiknya di telinga.

Perempuan itu tersenyum—Semoga aku bisa segera menemukannya—dan menggamit tangan lelaki itu. Rindukah? Permintaan maafkah? Kecewakah? Dia tidak tahu, tak berkata apa pun selain mengeluarkan desah napas: dia mulai kedinginan—apakah dia juga ingin dipeluk? Dicium?

Lelaki itu merogoh sakunya. Mengeluarkan sesuatu dari sana: berdetak, bergerak beriringan dibasuh hujan—tak tik tuk, sebuah jam.

"Sesuai janji, setelah sepuluh tahun, aku memberikan ini kepadamu." Tangan kirinya mengangkat tangan kanan perempuan itu.Dibukanya—bagai kulit pisang—jemari tangan hingga yang terlihat hanya kulit pucat, saling merapat, tiga garis melengkung—dua bertemu di ujung—lalu meletakkan benda itu di atasnya.

Tapi lelaki itu tidak menduga: "Kenapa kau menangis?"

Perempuan itu menggeleng. Takzim. Tapi terenggut kecantikannya. Dia berusaha menyembunyikan kesedihan dari lelaki itu. Dia memalingkan wajah. Matanya bertubrukan dengan tongkat penyangga yang tersender di sampingnya. Ah, apa yang harus kulakukan?

"Benda itu...hilang." Apa yang telah aku lakukan?

Lelaki itu memeluk. Ah. Hangat. Apakah rindunya sudah tuntas hari ini?

"Jangan khawatir. Kau masih secantik yang dulu." Erat. Keduanya mendesah. Menghapus dingin yang tiba-tiba masuk dari mulut mereka. Erat. Keduanya bagai perekat.

Apakah rindunya sudah tuntas hari ini?

Seorang anak berdiri di depan. Bagai dipaku. Dia kehujanan. Tubuh mungilnya menahan gigil. Dia tak berkata-kata: melihat dua orang saling berpelukan, erat—sepasang kekasih?

"Oh, Rian. Kenapa tidak menunggu?" sambut lelaki itu.

Sepuluh tahun silam, perempuan itu ingat, mereka hanya akan bertemu di tempat yang sama. Ada hal yang lain? Perempuan itu menginginkan yang lain? Sesuatu yang, tidak sekadar menuntaskan rindu? Tapi lelaki itu tidak: hanya sebuah pertemuan.

"Kami hidup berdua, Mira. Tidak ada orang lain. Kami hanya berdua: ayah, dan anaknya," ucap lelaki itu, kini mereka berada di bawah tenda—nun jauh dari situ, bangku taman itu terlihat dingin.

Apa yang telah kuhilangkan? Tanya perempuan itu dalam hati. Ia menahan rasa sakit pada pangkal kaki kirinya—di lututnya—, sisa kehilangan yang lain. Oh, apa yang benar-benar telah kuhilangkan?

***

Nun jauh dari tenda biru, di mana seorang lelaki dan seorang perempuan tanpa kaki kiri menuntaskan kerinduan, hujan menyeret sebatang lipstik dengan kekuatannya. Menuruni dataran berumput hijau. Mengarungi selokan dan tak akan kembali lagi ke taman itu.

Lipstik itu pernah membuat seorang perempuan merasa cantik.

2010-05-29
Tumpatan


Lampung Post, Minggu, 17 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment