Cerpen Aris Kurniawan
1
Dia membaca petunjuk di selebaran itu. Manggut-manggut. Melipatnya, lantas memasukannya ke dalam saku jaket. Tapi segera dirogohnya kembali, dibuka, dan dibaca lagi. Beberapa kali. Meraba tengkuknya. Sesuatu yang dingin bagai menjalar melewati punggungnya. Dia berjalan tergesa memasuki mal dengan pandangan lurus ke depan. Bunuh diri. Ide itu menghantuinya sejak beberapa pekan terakhir. Membuat tidurnya gelisah. Hasrat yang menggebu kerap memang mengganggu tidur. Keinginan menunaikan ide yang cukup menarik. Dia merasa tertantang.
"Aku harus melakukannya," gumamnya saat membaca selebaran yang berisi petunjuk untuk menjalankan ide itu. "Inilah saatnya untuk membuktikan keberanianku, sekaligus membalas kekecewaanku," bisiknya pada diri sendiri. Seringai aneh menyembul di bibirnya. Tak ada lagi alasan untuk berdiam diri menunggu. Momen itu bisa lewat begitu saja. Itu tidak boleh terjadi. Sekaligus ini akan mengakhiri semua urusan. Dia tiada merasa merugi jika harus meninggalkan semua urusan (ataukah urusan yang meninggalkannya?).
Dia masuk ke area food court. Perutnya keroncongan. Dia baru ingat sejak malam memang belum makan, kecuali minuman bersoda dan asap tembakau dan bubuk heroin. Mama sering menelepon cuma untuk mengingatkan sudah makan atau belum. Acap dia mengabaikan peringatan itu. Tapi kali ini tanpa diperingatkan pun dia harus makan. Dia tak mau mengakhiri semua ini dalam keadaan perut kosong. Semuanya harus berlaku sebagaimana mestinya. Dilihatnya jam digital di pergelangan tangannya. Pukul 14.00. Mal masih sepi. Dia akan menunggu sampai pukul empat atau lima ketika orang-orang memenuhi lantai-lantainya. Akan kubuat kalian terlonjak dan menjerit ngeri, bisiknya lagi. Percikan darahku akan menggenangi pikiran kalian, dan kalian akan melihat tak ada yang lebih berharga dalam hidup ini selain kematian. Lalu terbayang mama yang menangis histeris. Papa yang dirundung sesal dan rasa salah. Inilah utang yang harus kalian bayar. Semalam dia menulis di buku diary-nya, seperti ini:
Jon, maafkan jika aku mati lebih dulu. Kurasa ini lebih memudahkan aku. Aku tidak mau kehilangan momen. Ketinggalan tren. Jika kamu sempat bertemu dengan papa dan mamaku, katakan pada mereka bahwa kematianku membawa serta kebencianku pada mereka. Tak ada cara lain yang lebih mudah dan ampuh dilakukan untuk membalas kebencianku pada mereka selain kematian.
Lokasinya di lantai paling atas. Di sudut kanan, dekat gerai pakaian. Ya, dia kan mendekat pilar, naik ke sekat kaca setinggi dada, lantas meluncur dari sana. Hssh, tiba-tiba dia merasa tak sabar ingin segera merasakan sensasi dari aksi ini. Dia melahap nasi goreng, menenggak minuman bersoda kegemarannya. Lantas menyalakan sebatang rokok. Sambil menghisap asap tembakau dia melihat bayangan dirinya yang memantul di dinding kaca sebelahnya. Dia tampak tampan dengan kaus lengan panjang berwarna putih bertuliskan “fuck you” yang dipadu dengan celana jins belel. Paduan yang akan menjadi pakaian terakhirnya. Masih tercium harum pewangi pakaiannya, aroma segar sabun mandi dan sampo di tubuh dan rambutnya yang berkilau lembut dielus sinar lampu. Dia yakin akan kembali ke rumah, menemukan papa dan mama yang kerap saling berdiam diri, bila tidak saling memaki. Namun tak pernah telat memberi dia uang.
2
Sebagai orang muda aku tak mau ketinggalan mengikuti tren. Kau tahu, menjadi orang muda yang ketinggalan tren akan menjadi sasaran ceomohan yang menyakitkan. Tak peduli tren itu berguna atau tidak, tidak penting bagiku. Lagi pula untuk urusan tren, tak ada istilah tak berguna atau berguna. Melainkan keren atau tidak keren. Yang penting aku tidak dikucilkan dari pergaulan. Kau pikir, apa yang lebih berguna dalam hidup ini selain menjadi pusat perhatian?
Aku beruntung, selama ini selalu bisa mengikuti tren. Berapa pun mahal ongkos untuk mengikuti sesuatu yang sedang tren. Karena kedua orang tuaku tidak pernah bisa menolak permintaanku. Mereka selalu menggelontorkan berapa pun jumlah uang yang kubutuhkan untuk mengikuti tren. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan masing-masing. Maka memenuhi apa pun keinginanku merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang mereka padaku. Jadilah aku paling depan dalam mengikuti tren apa pun yang tengah mewabah. Mereka membelikan aku mobil yang tengah jadi tren. Aku mencukur rambutku dengan mode yang tengah tren. Aku ikut balapan mobil di arena sirkuit, gank sepeda motor, mendaki gunung, panjat tebing, selancar di laut. Semua. Semua yang menjadi bahan perbincangan dan kecenderungan pergaulan.
Mungkin kau pun tahu betapa gembiranya mendapati diri menjadi bagian dari tren. Orang-orang akan memujimu sebagai orang yang selalu meng up-date tren. Menjadi pusat perhatian dan gunjingan di klub-klub pergaulan. Meskipun kadang tren yang kau ikuti tidak terlalu kau sukai. Tapi demi menjunjung tinggi pergaulan, tentulah aku sepakat untuk tak perlu merisaukan perasaan semacam itu. Seperti yang kubilang tadi: yang penting keren.
Dan sekarang aku bersiap-siap mengikuti tren bunuh diri. Kurasa dari sekian tren yang pernah kuikuti, inilah tren yang paling menantang dan bergengsi. “Ada beberapa cara bunuh diri. Kamu harus memilih mana kira-kira yang paling cocok untuk kepribadian kamu.” Begitulah petunjuk yang aku baca dari selebaran yang kudapat dari klub bunuh diri.
"Jika kamu seorang pengecut, mungkin yang paling tepat bagimu adalah dengan cara menenggak racun serangga." Lanjut selebaran tersebut. Bunuh diri cara begini tak akan ada darah keluar dari tubuh yang beku. Tapi kukira ini bukan cara yang sesuai dengan kepribadianku.
"Jika kamu seorang pemberani, cara bunuh diri yang cocok adalah menyayat leher, menusuk jantung, atau menjatuhkan diri dari ketinggian," kata selebaran itu. Hmm, kurasa ini menarik. Aku ingin orang-orang menggunjingkanku sebagai si pemberani. Tentulah sangat mudah mendapatkan pisau untuk menyayat leher atau menusuk jantung. Di dapur pelbagai jenis pisau tersedia. Baiklah, aku harus bersiap-siap. Akan kutelepon beberapa orang kawanku tentang cara bunuh diri ini.
Inilah reaksi sinis beberapa kawan yang kutelepon.
"Kapan? Wah, bakal heboh tuh. Kamu bakal terkenal. Ha ha ha..."
"Kamu yakin cara itu cocok buat kamu?"
"Ya."
"Tapi kurasa dampaknya tidak seheboh jika kau bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai tujuh belas mal. Kamu tahu Rasti, dia dielu-elukan. Pemberani sekali dia, jatuh meluncur dengan kepala di bawah."
"Wah itu terlalu merepotkan orang."
"Loh, apa pedulimu? Bukankah semakin orang repot semakin heboh? Dan karenanya kematianmu mengundang perhatian?"
Aku mulai menimbang masukan yang bagus tersebut. Benar juga. Apa urusannya dengan merepotkan orang? Toh saat itu pasti mereka tidak bisa mengejarku untuk meminta tanggung jawab. Karena aku sudah tiada, mungkin aku akan menjadi arwah yang tak kelihatan, tapi bisa melihat mereka yang kelimpungan. Wah sungguh mengasyikkan.
3
Jon terpuruk di kamarnya, air matanya meleleh. Seluruh persendian tubuhnya seperti hancur. Dia baru saja pulang dari melayat Yos yang mati bunuh diri dengan cara menenggak racun serangga. Wajah Yos yang biru membeku tampak bahagia. Jon merasa sangat cemburu pada maut yang merenggut Yos. Kenapa Yos tak menepati janji. Bukankah kemarin Yos sudah sepakat untuk mati bersama dengan cara menabrakkan diri pada kereta di Stasiun Jatinegara?
"Jon," suara mama memanggil. Jon tak menyahut. Tumben mama ada di rumah siang-siang begini.
"Jon, mama bawakan makanan kesukaan kamu, bangunlah, Sayang," kata mama. Dia duduk di tepi ranjang, membelai-belai kepala anaknya. Mama membuka pintu kamar Jon menggunakan kunci duplikat. Jon sebal dengan cara mama yang seperti ini. Main selonong, tak menghargai wilayah pribadi orang sekalipun dia anaknya. Dari dulu mama memang menyebalkan, setali tiga uang dengan papa. Jon kadang tak habis pikir kenapa dia dilahirkan di tengah-tengah mereka; orang-orang yang menganggap dirinya sekadar semacam kelinci percobaan yang tidak punya kehendak.
"Jon, mama sudah bawa formulir pedaftaran masuk sekolah musik."
Jon bergeming. Dia hafal, pasti mama juga sudah mengisinya. Dan ini artinya dia akan bertengkar lagi. Kalau Yos masih hidup, Jon tinggal lari ke rumahnya, lantas pergi dan melakukan apa saja yang mereka suka. Beberapa pekan terakhir mereka mendatangi sebuah klub yang membawa tren baru:
"Aku lebih suka menyeburkan diri ke laut," kata Yos.
"Papamu tidak akan tahu, orang-orang tak akan ada yang tahu," sergah Jon. "Kamu hanya akan dianggap hilang. Bukan bunuh diri. Lagi pula itu cara pengecut."
"Aku takut melihat darah."
"Menabrakkan diri pada kereta api kita tidak akan sempat melihat darah."
Sekarang Jon tidak tahu dengan siapa akan melakukan rencananya melenyapkan diri. Di klub bunuh diri itu dia tidak bertemu seorang pun, kecuali seorang resepsionis berwajah dingin. Dari perempuan ini Jon menerima pesan-pesan yang dicetak di selebaran atau dikirim melalui internet. Perempuan bergincu ungu itu hanya memberinya secarik kertas petunjuk dan sebuah anak kunci. Dengan petunjak di secarik kertas itu Jon memasuk lorong-lorong dalam gedung itu. Lorong-lorong kusam berlampu suram. Lantas menemukan pintu. Dengan anak kunci itu Jon membuka pintu tersebut. Di dalamnya sebuah ruangan berlampu remang. Terdapat meja dengan sebuah pesawat televisi di atasnya. Di hadapannya sofa merah mengonggok. Jon duduk di sana dan tangannya segera menyentuh remote control. Dia menekan remote dan seketika layar televisi suram itu menyala, mengetengahkan adegan-adegan bermacam cara bunuh diri. Adegan-adegan yang membuatnya bergidik sekaligus terpukau dan tertantang.
4
Tubuh itu meluncur cepat sekali. Menabrak apa saja yang menghambat perjalanannya meluncur dengan keras. Terdengar suara berdebam dan tulang remuk patah. Tengkorak kepala belah dan melontarkan segala isinya ke lantai yang dingin, disusul jeritan yang menggetarkan dinding-dinding kaca.
Bibir pucat itu sedikit bergetar saat bertemu bibir botol berisi cairan racun serangga. Cairan berwarna kekuningan itu menggelontor lekas melalui tenggorokan, meluncur melalui usus ke dalam lambung, membakar seluruh organ tubuh yang ada di dalamnya. Menghentikan kerja jantung, merobek ginjal. Membekukan darah.
Mata pisau itu merobek urat nadi, memancar darah deras sekali, bagai bendungan bedah. Digigitnya bibir menahan sakit yang menyayat…
Tubuh itu pecah bagai balon air yang robek pecah saat kereta dengan kecepatan tinggi menyambut tubuh yang melayang, mengadang.
Api itu menjilat-jilat dari tungku pembakaran yang membara. Ketika tubuh itu jatuh ke sana segera terdengar bunyi nges, disusul suara gemeretak daging dan tulang hangus serta aroma daging terbakar.
5
"Ayolah, Jon, bangun."
Jon melirik mama sekilas. Dalam sekilas itu Jon melihat wajah mama yang makin asing, yang merontokkan hasratnya mengutarakan perasaan.
"Baiklah, Jon. Kalau ada apa-apa panggil mama, ya. Mama gak ke mana-mana," ujar mama, lalu perempuan itu beranjak keluar.
Setengah jam berikutnya, Jon melihat perempuan itu menjerit histeris mendapati tubuhnya beku membiru, dengan mulut mengeluarkan buih, dan mata terbelalak. Jon hanya mendengar suara jeritan mama lamat-lamat.
Pondok Pinang, Maret 2010
---
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005).
Lampung Post, Minggu, 23 Mei 2010
No comments:
Post a Comment